MOST RECENT

AN

13 Juli nanti, usai sudah semua penantianmu. Mengakhiri penantian yang tak kunjung pasti. Selama ini, pengembaraan mu telah mendapatkan hasil. Sekilas bersit luka itu muncul, tapi berkas indah masa lalu masih mengenang di atas kepala. Saat waktu mengulas debu dan aku masih duduk di warung itu, ada kamu, juga temanku.


Indah sekali masa itu. Masa aku masih bego dan tak mengerti arti hidup. An, kini semuanya sudah selesai. Sebentar lagi penantianmu berakhir. Dan, aku masih mengembara entah sampai kemana? Aku juga tak tau itu. An, kamu tau, satu pesan singkat masuk ke handphoneku dan kabarkan kabar gembira. Ya, tentang akhir semua cerita. Gembira mungkin bagi yang merasakan. Gembira hanya bisa dirasakan. Tak bisa di raba dan dicicipi.


An, satu hal, aku ingin kamu ceria. Senyum mu yang mengembang untuk sesama, bertahan selamanya. Itu khas mu yang ku ingat. Senyum untuk semua, katamu, ketika kita masih duduk dibawah pohon waru depan SMU mu dulu.


Kilauan bening itu ku harap tak pernah menetes. Suara serak itu tak pernah ku dengar. Aku mau, kamu hidup bahagia. Senang dan selalu ceria. Jika sakit, jangan pernah luka minum obat. Aku tau, kamu alergi yang namanya obat dan pil sejenis. Tapi, kamu bukan sendiri lagi. Kamu harus tetap sehat membina keluarga, membahagiakan suami dan anak-anakmu.


Aku tak bisa hadir di hari suci mu. Mungkin, waktu tak mengizinkan aku untuk sekadar memotretmu yang terakhir. Salamku buat suami. Salam tabik. Aku bangga bila kamu bahagia.

23.22 | Posted in | Read More »

NN

NN. gadis Kota Leuser. Aku bertemu 2 tahun lalu. Ketika usiamu lucu, aku masih bersamamu. Ketika kamu meranjak dewasa, aku juga sempat melihat lesung pipitmu. Lesung pipit dengan rambut pirang panjang. Ah, kata orang-orang, kamu idealnya wanita di kota itu. Aku bertemu kamu, ketika sibuk memotret Kali Alas. Ya, sungai itu kebangganmu. Mulutmu tak berhenti bercerita tentang kehebatan sungai itu, dari arung jeramnya sampai ikan mas. Ikan yang nikmat.

NN, kamu juga bercerita tentang militerisme di Aceh. Aku salut, bahwa kamu tak suka akan kekerasan. Padahal, ayahmu militer sejati. Teguh pendirian dan katamu, ayahmu orang yang berani. Pernah ikut perang kemana-mana. Bahkan, hampir ke seluruh provinsi negeri ini. Hebat sekali. Tapi aku tak suka militer.


NN, sontak berdeup jantungku ketika kamu tak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Padahal, bara semangatmu luar biasa. Kata orang, potensi mu ada, untuk menjadi pemikir dari kota itu. NN, waktumu mungkin tak banyak untuk melanjutkan teori-teori perkuliahan.


Dua hari lalu, aku mendapatkan informasi gembira. Dari seorang teman di Kediri, yang dulu tetanggamu. Dia bilang, kamu udah punya anak-momongan yang selalu di impikan kaummu. Wah, kabar bagus. Sekaligus kabar tak bagus. Dua mata yang berbeda. Aku terkejut, ketika mendengar kamu sudah punya anak. Ah, waktu begitu cepat. Padahal, seakan baru kemarin aku ketemu kamu.


Kamu selalu katakan, waktu tak kan menunggu kita. Kita yang kan selalu mengejar waktu. Mengejar ketertinggalan daerah. ”Kalau aku, mau menikah dan melahirkan, menyuruh anak-anak untuk sekolah dan membangun negeri ini. Itu kalau aku tak sempat kuliah. Siapalah aku? Aku tak bisa mengubah negeri ini,” katamu waktu aku usai memotret di kali terpanjang di Aceh itu.


Aku tanya? Siapa Kamu? ”Aku N-i-N-a. Nina Lianti Syaputri, gadis leuser yang ingin merubah dunia. Ya, aku pikir, impianmu wajib diteruskan. Paling tidak anakmu yang meneruskannya. Aku di sini, di kota ini hanya mendukung langkah perubahan negeri itu. Negeri yang tak pernah mau maju. Aku tunggu, gerakan dari anakmu, membawa negeri itu ke arah yang lebih baik. Meski saat itu, uban sudah memenuhi kepalaku. Aku tunggu, kamu dan perubahan yang pernah kamu ceritakan dari sini, dari kota migas ini.

23.20 | Posted in | Read More »

Tris

Teman, usiamu semakin dewasa. Jelang genap kepala tiga. Orang-orang bilang, itu tandanya, kamu semakin mapan. Ya, mungkin mapan dalam berpikir, bertindak dan mengambil kebijakan.


Tak banyak yang mau kukatakan, hanya sekadar menulis catatan dalam kategori ucapan. Ingin menulis panjang untukmu, tentangmu, namun kemampuanku terbatas. Waktu terbatas dan laju dunia semakin cepat, menggilasku. Hingga pena tak meneteskan tinta.


Teman, satu hal yang utama, kamu lebih mapan. Kedepan, waktu kan menjawab dan kamu harus mengakhiri penantian di lorong-lorong gelap. Teman, kamu harus menunaikan sunnahnya. Sesuai kriteria cintamu. Dan, aku akan dukung itu. Kali ini, usiamu semakin tua. Kamu tak kan bisa katakan, aku baru saja muda. Dan, terlahir ke dunia. Kuucapkan, selamat ulang tahun kawan. Selamat, semoga suksesmu kecipratan untuk semua dunia, termasuk aku.

23.13 | Posted in | Read More »

Syamsudduha


PENGANTAR REDAKSI
Pesantren Al Madinatuddiniyah Syamsuddhuha, Desa Gelumpang Sulu Barat, Kemukiman Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, telah berdiri sejak 1985 silam. Masyarakat sekitar menyebut pesantren ini dengan nama Dayah Syamsuddhuha. Pesantren itu telah banyak menghasilkan segudang prestasi. Akhir pekan lalu, jurnalis Independen, Masriadi Sambo mengunjungi pesantren tersebut. Berikut liputannya.

Tiga Kurikulumdi Syamsudduha

SORE itu Jum’at (13/6) Dayah Al Madinatuddiniyah Syamsuddhuha, Desa Gelumpang Sulu Barat, Kemukiman Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara terlihat sepi. Di samping kiri gerbang utama, terpampang tulisan “kawasan wajib berbusana muslim dan musimah, pakai sopan dan tidak ketat”.

Tulisan itu ditujukan untuk para pengunjung dan orang tua santri yang datang ke dayah itu. tak ada tolerir bagi kaum hawa yang mengenakan pakaian ketat berkunjung ke dayah itu. Di samping kanan gerbang, dua orang santri putra duduk santai. Mengobrol. Mereka piket di lokasi itu.

Setiap santri dikenakan jadwa piket secara bergantian. Tugasnya melayani para pengunjung yang datang ke dayah itu. Seorang santri tersenyum dan menanyakan saya mau bertemu dengan siapa. Lalu, dia mengajak saya keliling kompleks dayah seluas empat hektar itu. Saya juga ditemani seorang guru di dayah itu, Safrizal. Safrizal menyebutkan, santri sudah banyak yang pulang kampung karena liburan.

Sepanjang jalan pintu utama, tampak enam orang santri menyapu halaman. “Mereka gotong royong. Itu santri yang tidak pulang kampung,” sebutnya. Melihat kedatangan saya, sontak santri itu melemparkan senyum. Menunduk, memberi hormat.

Tradisi memberi hormat pada tamu, sudah berlangsung lama di dayah itu. Dayah yang didirikan tahun 1985 silam itu menerapkan tiga kurikulum sekaligus dalam proses belajar mengajarnya. Maklum, dayah itu terpadu. Kurikulum Departemen Agama murni diberlakukan untuk santri yang menimba ilmu di sekolah formal, madrasah aliyah dan madrasah tsanawiyah. Gedung dua sekolah formal itu terletak di sebelah timur dayah. Untuk dayah, diterapkan kukrikulum dayah salafi, khusus membaca dan mengkaji kitab kuning. Lalu, kurikulum terakhir, life skill. Memberikan ketrampilan pada santri untuk modal hidup setelah menamatkan pendidikan di dayah yang didirikan Ghazali Mohd Syam bersama tokoh masyarakat Kecamatan Dewantara itu.

Kurikulum terakhir itu memang menjadi tujuan utama sejak pendirian dayah tersebut. Dayah itu didirikan ketika PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer mulai beroperasi di Krueng Geukuh, Aceh Utara. Dayah ini dijadikan sebagai penyeimbang perubahan sosial yang terjadi kala itu. Hadirnya perusahaan raksasa itu, dikhawatirkan berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat. “Sehingga masyarakat lebih rajin mencari uang dan melupakan ilmu agama. Ini yang dikhawatirkan pendiri dayah ini,” sebut Pimpinan Dayah itu, Tengku Marwan Kamaruddin.

Awalnya dayah itu hanya berupa balai pengajian berukuran 8 x 10 meter. Santripun hanya datang dari Kecamatan Dewantara dan tidak ada pemondokan. Namun, kegigihan pada pendiri membuat dayah itu semakin berkembang. Tahun 1989, dayah itu berubah status menjadi Yayasan dan mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah. Tiga tahun kemudian, perbedaan terjadi di tubuh pengelola yayasan.

Pengelola Yayasan lalu menyerahkan persoalan yayasan itu pada Pemerintah Aceh Utara. Saat itu, Bupati Aceh Utara, Karimuddin Hasybullah mencari solusi dan mengajak ulama kharismatik Aceh, Teungku H Muhammad Amin Mahmud (Abu Tumin) dari Blang Bladeh, Kabupaten Bireun untuk memimpin dayah itu. Acara pesijuk pun dilakukan. Banyak sumbangsih kemajuan pembangunan ketika Abu Tumin, ulama kharismatik Aceh pendiri dan pemimpin Dayah Blang Bladeh memimpin dayah itu. Abu Tumin, memimpin dayah itu sampai 1995. Lalu menyerahkan ke pemimpinan pada Tengku M Dauh Hasbi.

Hingga saat ini, Abu Tumin masih melekat di kalangan santri yang sempat menimba ilmu dengan Abu Tumin. Ini pula yang menjadi nilai lebih dayah tersebut. “Saya tau benar kualitas dayah ini. Ayah saya sempat mengaji di sini. Saat itu, pemimpinnya Abu Tumin. Makanya saya mendaftarkan anak saya ke pesantren ini,” ujar, Ishak Haji, masyarakat asal Desa Ulee Rubek, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara ketika mendaftarkan anaknya di dayah itu.

Saat ini, 30 persen santri di dayah itu berasal dari luar Kabupaten Aceh Utara. Mereka berasal dari Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Bireuen dan Simeulu. Sisanya, 70 persen lagi berasal dari kecamatan dalam wilayah Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Perpaduan tiga kurikulum itu ditentukan khusus dengan pembagian jadwal yang jelas. Ini yang menjadi nilai lebih dayah terpadu itu. [masriadi sambo]

Mengembangkan Ekonomi Pesantren
PONDASI keuangan sering menjadi kendala bagi dayah. Bahkan, permasalahan pondasi dana yang sangat minim dialami hampir seluruh dayah di Aceh. Ini juga menjadi perhatian utama Dayah Syamsuddhuha. Dayah ini mendirikan Koperasi Pesantren (Kopentren). Koperasi ini membawahi dua unit usaha, yaitu usaha perbengkelan dengan penghasilan bersih sebesar Rp 500.000 per hari. Selain itu, Kopentren juga membuka unit usaha air isi ulang. Letak kedua unit usaha tepat berada di depan bangunan pesantren, di lintas Jalan Medan-Banda Aceh. Letak ini memang strategis dan memudahkan konsumen untuk mengunjungi dua unit usaha itu.

Bahkan, direncanakan bagian depan pesantren itu dibangun 15 unit rumah dan toko. “Bayangkan saja, satu unit toko bisa disewakan sebesar Rp 10 juta per tahun. Hasilnya bisa menopang keuangan pondok pesantren dan pengembangan pesantren ini ke arah lebih maju,” sebut Pimpinan Dayah itu, Tengku Marwan Kamaruddin.

Pengurus dayah sudah menganalisis peluang pasar untuk membuka unit usaha lainnya. Pemindahan kampus Universitas Malikussaleh, dari Lhokseumawe ke Desa Reuleut, sekitar dua kilometer dari dayah itu juga menjadi peluang besar untuk meraup untung dayah tersebut. Salah satu peluang usaha yang telah direncakan yaitu membuka Sentral Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan toko fotocopy plus menjual Alat Tulis Kantor (ATK) di depan pesantren. “Kita sedang menyakinkan masyarakat sekitar. Karena, lahan didepan itu lahan wakaf. Kita usahakan mulai dari sekarang membuka pondasi-pondasi dana pesantren,” sebut Marwan.

Unit usaha lainnya di dayah itu adalah warung serba ada. Warung ini khusus dibuka untuk kalangan pesantren, seperti untuk santri dan dewan guru yang menetap di kompleks pesantren tersebut. Warung ini menjual berbagai keperluan, dari peralatan kosmetik hingga alat tulis. Bahkan, warung ini juga memanjakan para santri yang gemar mengkonsumsi kopi dan teh. Semuanya tersedia di warung yang terletak di depan mesjid utama pesantren itu. Soal harga, sama dengan harga pasaran.

Dayah ini berharap, banyak donatur yang memberi modal usaha untuk pengembangan ekonomi pesantren. Meskipun dengan sistem kredit. [masriadi sambo]


Wilda Khairunnisa
Berharap jadi Ustadzah

WILDA Khairunnisa (17 tahun) baru saja menyelesaikan shalat ashar berjamaah bersama puluhan santriwati lainnya. Dara hitam manis ini terlihat malu-malu. Matanya tertunduk ke bawah lantai balai pengajian di kompleks putri Dayah Syamsuddhuha. Dia satu dari sekian banyak santri yang mengukir prestasi di balik pondok pesantren itu. Sekilas, anak dari pasangan Burhanuddin dan Sukmaniar ini tidak pernah terpikir menjadi santriwarti. Ketika kecil, dia berharap bisa masuk ke sekolah umum.

Namun, setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Cot Murong, Aceh Utara dia tertarik pada dunia dayah. Banyak teman-temannya bercerita menimba ilmu di dayah itu bagus dan bisa hidup teratur. Seluruhnya telah diatur dengan jadwal kegiatan dalam kompleks pesantren. Kenapa memilih pesantren ini? “Saya senang dengan pelajaran bahasa arab dan mengaji. Di sini lebih ditekankan pada pendalaman kajian agama, Qur’an dan kitab kuning,” ujarnya memaparkan niat awal dia masuk dayah itu.

Kini, sudah lima tahun dia mondok di pesantren itu. “Saya senang dan betah di sini (pesantren). Bisa berteman dengan banyak orang dari berbagai daerah Aceh lainnya,” sebutnya tersenyum. Soal prestasi wanita ini jagoannya. Setiap hari-hari besar dayah itu melaksanakan lomba untuk santri dan santriwati. Nah, Wilda, panggilan akrab Wilda Khairunnisa menjadi langganan juara.

Bahkan, untuk Aceh Utara dan Propinsi Aceh, wanita ini sudah beberapa kali mempersembahkan piala dan medali untuk dayah tersebut. Bahkan, dia lupa berapa banyak koleksi piala dan medali juara yang disumbangkannya untuk dayah tersebut. “Saya beberapa kali ikut lomba. Tidak semua menang. Tapi, tingkat juara tiga pasti ada, alhamdulillah,” ungkapnya.

Tahun 2004 silam dia menjuarai cerdas cermat tingkat Madrasah Tsnawiyah se-Aceh Utara. Memperoleh juara satu dalam perlombaan tahunan yang diselenggarakan Departemen Agama Aceh Utara itu tidak membuatnya puas. Dia makin gigih belajar. Khusus bahasa arab, inggris dan tahfidzul qur’an menjadi mata pelajaran favoritnya. Dia juga yang kini dijadikan ujong tombak perebut kata juara dalam setiap perlombaan yang diselenggarakan baik di Aceh Utara, Propinsi Aceh maupun perlombaan nasional. Gadis ini terbilang serba bisa, tahun 2007 lalu, dia menjurai lomba permainan piramida dan kaligrafi di se-Aceh.

Saat ini, dia duduk di bangku kelas dua Madrasah Aliyah dayah tersebut. Dikalangan teman-temannya, dia dikenal ramah dan senang berbagi. Wilda selalu haus akan ilmu pengetahuan, dia merasa tidak ada kata cukup untuk menimba ilmu. Bahkan, saat ini, tekadnya bulat. Dia ingin melanjutkan perjuangan ustadzahnya di dayah itu. “Saya ingin belajar lagi. Target saya menjadi ustadzah. Semoga saja, rencananya saya masuk pesantren lagi setelah ini. Mungkin, di luar Aceh Utara,” ungkapnya.

Ketika santri dan santriwati lainnya sibuk memberesi barang-barang untuk pulang kampung, Wilda lebih ingin berlama-lama di dayah itu. Keakraban yang dibangun pengelola dayah membuatnya betah di dalam kompleks tersebut. Bahkan, ketika libur sekolah dan dayah pun gadis ini jarang pulang ke kampung halamannya. Ketika di kampung, dia ingin segera kembali ke dayah dan membuka kitab-kitabnya. Ustadzahnya juga mengajarkan ilmu psikologi dan sosiologi secara mendalam. “Psikologi dan sosiologi di ajarkan mendalam. Padahal, kalau di tempat lain harus belajar di kuliah kan dua ilmu itu,” ujarnya bangga.

Wilda satu dari sekian banyak santriwati yang berprestasi di dayah itu. Beberapa santri lainnya seperti Darul Qutni, juara satu dalam seleksi Olimpiade bidang Ekonomi Aceh Utara dan peraih medali emas dalam lomba khatil kontemporer di Pekan Olah Raga dan Seni Pesantren se-Indonesia di Kalimantan Timur, tahun lalu tidak berada did ayah. Darul Qutni, pulang ke kampungnya di Sawang, Aceh Utara karena liburan pesantren selama sebulan penuh. [masriadi sambo]

Menyeimbangkan Iptek dan Imtaq
PIMPINAN Dayah Al Madinatuddiniyah Syamsuddhuha, Marwan Kamaruddin, duduk santai di rumah sederhana miliknya. Alumni Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, jurusan Ekonomi Islam itu terlihat santai. Dia baru saja datang dari Kabupaten Bireuen. Menghadiri pelantikan Kelapa Kantor Departemen Agama di kabupaten itu. Masriadi Sambo, jurnalis Independen, melakukan wawancara seputar pengembangan dayah yang dipimpinnya. Berikut petikannya;

Paskatsunami banyak sekali dayah bermunculan di Aceh. Apa yang paling khas dari Dayah Syamsuddhuha?
Ya, itu bertanda bagus untuk perkembangan ilmu agama di Aceh. Saya setuju itu. Untuk dayah ini, khasnya itu terletak pada kajian kitab kuning dan penerapan dua bahasa. Disini, haram menggunakan bahasa daerah. Wajib menggunakan bahasa arab dan inggris. Ini yang kita utamakan. Selain itu, kita berikan pelatihan ketrampilan untuk para santri, misalnya menjahit, merajut dan lain sebagainya.

Ada tidak santri asal luar Aceh yang belajar di dayah ini?
Tahun 1995 itu ada santri asal luar Aceh, misalnya Padang. Namun, karena kondisi keamanan yang tidak kondusif, masyarakat luar khawatir menimba ilmu di seluruh dayah Aceh. Termasuk dayah ini. Sekarang, umumnya santri berasal dari Aceh Utara dan Lhokseumawe. Hanya 30 persen dari kabupaten lainnya di Aceh, ada juga yang dari Pulau Simeulu.

Pola keterpaduan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dayah ini bagaimana?
Saya pikir pengetahuan agama itu penting. Namun, kita juga tau tuntutan global. Makanya, pengetahuan teknologi juga kita upayakan. Di Madrasah Aliyah, pengetahuan internet dan computer juga diajarkan. Meskipun hanya 12 unit computer yang tersedia. Selain itu, santri juga bisa membaca 2000 judul buku di perpustakaan. Ilmu agama dan ilmu pengetahuan itu harus sama porsinya kita berikan. Jadi, ketika keluar dari dayah, mereka memiliki bekal agama, pengetahuan dan ketrampilan. Ini bisa mengurangi angka pengangguran.

Bagaimana target pengembangan kedepan?
Kedepan, mungkin lima tahun lagi. Kita berharap bisa mendirikan kampus atau perguruan tinggi islam di kompleks dayah ini. Ini juga untuk menyeimbangkan perkembangan zaman. Sehingga, santri bisa melanjutkan studi di dayah ini. Atau orang luar yang belajar di perguruan tinggi islam kita itu bisa merasakan nikmatnya pendidikan islam di dayah ini nantinya. Kita mulai mengarah ke sana (perguruan tinggi islam).

Untuk penguatan ekonomi pesantren bagaimana?
Sekarang ada Koperasi Pondok Pesantren (Kopentren). Di Kopentren ada tiga unit usaha, perbengkelan, pengisian air isi ulang dan warung serba ada. Sekarang kita sedang rintis untuk bangun rumah dan toko. Serta SPBU.

Harapan Anda dari Pemerintah Aceh Utara

Ya, satu hal saja, saya berharap pada semua pihak, kalau ingin membantu dayah ini, saya harap bisa di bantu lahannya saja. Kita ingin kembangkan perkebunan sawit untuk menopang ekonomi pesantren. Kalau Pemerintah Aceh atau Pemerintah Aceh Utara, kalau bisa dibantu dari sisi tenaga pengajar saja, misalnya guru bahasa inggris. Kita agak kurang guru bahasa inggris.

DATA DAYAH SYAMSUDDHUHA
Nama Dayah : Al Madinatuddiniyah Syamsuddhuha
Pendiri : H Gazali Mohd Syam, H A Gani, H T Abubakar Sulaiman, H Ramli Ibrahim, H M Nursyah dan H T M Ali Basyah
Tahun Berdiri : 1985
Alamat : Jalan Medan-Banda Aceh KM 255 Kemukiman Cot Murong
Dewantara, Aceh Utara. Telp 0645 - 56731
Ciri Khas : Fiqh, Tauhid dan Bahasa Arab
Jumlah Santri : 500 orang (satri 200, santriwati 300)
Tenaga Pengajar : 40 orang dewan guru, 15 orang ustadz dan 25 orang ustadzah

22.27 | Posted in | Read More »

Kutunggu Kamu …

MALAM ini, aku tak bisa memicingkan mata. Bayangmu selalu saja melintas. Entah sampai kapan, kamu menari di depanku. Tersenyum dan lekuk lesung pipimu menggodaku untuk menciummu. Ah, Salmi. Mengapa kamu menyiksaku seperti ini. Menyiksaku dalam kebimbangan. Kamu tau, hujan itu masih membekas di wajahku. Masih teringat jelas, bulingan jernih menetes di matamu. Ketika aku meninggalkan kotamu. Ya, pergi, untuk melanjutkan studi.

“Salmi. Aku pasti selalu hubungi kamu. Ya, aku selalu rindukan kamu,” kataku, menjelang magrib. Di luar, langit masih menggemuruh. Hujan membasahi bumi. Tak ada satupun manusia yang melintas di jalan raya. Hanya aku, melintas dengan sepada motor pinjaman. Menemuimu, dua jam sebelum keberangkatanku ke Lhokseumawe. Kota dimana aku menuliskan kegelisahan hati ini untukmu.

“Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sampai di sana. Dan, kuliahmu harus cepat selesai. Aku tunggu kamu,” ujarmu manja sambil menggelanyut di lengan bajuku. Kaos hitam dan rambutmu yang legam masih kuingat. Saat itu, ingin rasanya aku meneriakkan pada dunia, bahwa aku akan kembali untukmu. Ya, mengajakmu pergi dari Kota Leuseur itu. Kota yang menurutku, tidak pernah ingin maju dan berkembang. Aku akan ajak kamu pindah ke kota ini. Membina keluarga dengan delapan orang anak dan sebuah rumah mungil.

Salmi, kamu tau, saat ini kuliahku hampir rampung. Sebentar lagi, aku meraih gelar sarjana sosial. Ya, gelar yang kau impikan. “Aku bangga kamu kuliah di sosial. Aku ingin kamu bisa merubah karakter masyarakat kota kita,” katamu per telepon ketika aku memasuki semester empat.

“Kamu mau pindah ke kota ini. Kota ini lebih menjanjikan dibanding kita terus bertahan di Kota Leuseurmu yang dingin itu?” kataku.

Hening. Tak ada suara diseberang telepon. Kamu terdiam. Aku tau, kamu tak mau berpisah dengan ibumu. Aku juga tau, kamu anak bungsu. Anak yang paling disayangi oleh orang tua dan abang-abangmu. Aku tau itu. Tapi, yakinlah. Hidup kita, jauh lebih berubah ketimbang terus bertahan di sana. Kamu tau, aku tak bisa diam melihat ketidakadilan. Ketika tulisanku menyindir pemerintahanmu, maka aku akan di cari. Di maki, di hajar, syukur bila tidak mati. “Apakah kamu mau aku mati di sana?”

“Tidak. Jangan bicara seperti itu. Aku tunggu kamu lebaran nanti,” katamu kala itu.
***
Jujur, kota ini memang keras. Kamu tau, keluargaku tak mampu memberi pondasi dana yang kuat untuk ku menimba ilmu. Di sini, di kota ini, sebagian waktuku kuhabiskan untuk menerima ketikan. Alias rental berjalan. Komputer butut yang dipinjamkan abangku menjadi modal dasar. Hasilnya tak seberapa. Selebihnya, aku mengirimkan tulisan ke beberapa surat kabar di kota ini. Honornya juga tak seberapa. Dengan honor itu, setiap awal bulan, aku ingin sekali menelponmu. Memberi kabar yang terindah, bahwa nilaiku tinggi. Tidak anjlok seperti SMA dulu.

Kamu selalu tertawa plus katakan, “Sayang, aku menunggu kamu di kota dingin ini. Segeralah selesaikan kuliahmu. Aku ingin kita bisa bersama lagi. Mandi di Kali Alas yang dingin dan makan Ikan Mas dibakar, enak sekali itu,” ujarmu manja.

Waktu itu, tahun 2005. Ramadhan telah tiba. Aku cek buku tabunganku. Ah, tak seberapa, cukup untuk pulang ke kotamu dan mentraktirmu bakso di depan Mesjid Kutarih. Bukankah itu bakso termurah di dunia dan kamu selalu senang bila kita duduk di situ sampai jam berdentang sepuluh kali.

Ramadhan tinggal lima belas hari lagi. Kusiapkan semua keperluan untuk pulang ke kampungmu juga kampungku. Ah, banyak orang di kampungmu mengatakan aku orang Aceh. Bukan orang Kutacane. Mungkin, karena ibuku berdarah Aceh tulen. Makanya, banyak orang memanggilku Dimas Aceh.

“Aku bangga dekat dengan kamu. Orang Aceh itu kan pemberani. Aku suka kamu, karena kamu pemberani. Meskipun sedikit keras kepala. Tapi, aku suka kamu,” ujarmu. Aku bayangkan, lesung pipitmu pasti terlihat jelas saat tersenyum. Sayang, sampai saat ini aku tak bisa melihat wajahmu.

Kubatalkan niat pulang ke Kutacane setelah mendengar kabar, bahwa kamu telah menunaikan sunnah rasul. Menikah. Ya, hanya dua hari setelah aku menelponmu dan memberi kabar kepulanganku.

Kamu tau, saat itu, aku tak pernah percaya pada dunia. Duniaku telah hilang. Seluruh cita-citaku kandas. Tak ada kendali. Syukur, waktu itu, keluarga mengingatkan aku, bahwa tak selamanya aku harus memiliki apa yang kuinginkan. Dua tahun aku tak mengenal wanita. Kuleburkan diri dalam tinta dan pena saban waktu. Kutenggelamkan wajahmu dalam untaian kata.

Kudengar kamu sudah memiliki buah hati. Aku senang. Tapi, sayang, kamu tau, aku kecewa. Hatiku hancur. Lebih hancur lagi, ketika mendengar, bahwa kamu tak bahagia. Hidupmu pas-pasan. Senin – kamis kata orang-orang. Beberapa kali aku menelepon teman-teman kita dulu, hanya ingin tau tentang kamu. “Ah, Salmi sudah punya anak. Tapi, Dimas, hidupnya susah. Ah, ngapain kamu berharap dengan orang yang telah menikah,” begitu kata Yeni, teman kita dulu per telepon dua hari lalu.

Jujur, saat ini, seorang wanita dekat di sampingku. Keluargaku bahkan memintaku menjadikannya ibu dari anak-anakku nanti. Tapi, jujur pula, kamu tau, aku masih sangat sayang kamu. Terkadang, aku ceritakan tentang kisah kita dulu padanya. Dia tak pernah marah. Karena kata dia, orang yang paling dicintai dalam hidup hanya satu orang. Tak mungkin dua. Kalau dua, itu bukan cinta sejati namanya. Tapi, kasih sayang atau kasihan.

Meski begitu, dia ingin ketemu kamu. Salmi, mungkin satu waktu nanti, kita akan ketemu. Pasti, waktu itu uban sudah penuh dikepala. Dan, kamu pasti mengejekku. Karena terlihat lebih tua kan.

Dua bulan lagi, kuliahku rampung. Aku ingat janjiku dulu. Aku akan pulang dan meminangmu. Tak mungkin kulakukan itu. Kamu telah menikah.

Entah dimana sekarang kamu, aku tak tau. Aku tanya pada semua teman-teman. Tak ada satupun yang tau kabarmu. Padahal, aku ingin ketemu kamu. Ya, sebelum aku mengakhiri masa lajangku. Aku ingin katakan, aku telah sarjana, tamat tepat waktu dan nilaiku bagus. Aku ingin katakan itu padamu.

Mungkin, aku hanya bisa katakan dalam goresan ini, Salmi, aku sayang kamu. Aku tak bisa melupakanmu. Moga, kamu bahagia selalu. Satu waktu, aku ingin bertemu dan mendekapmu. Ya, sebagai teman. Bukan sebagai calon istri. Salamku buat suamimu, jika kamu membaca ceritaku. Kutunggu kamu, kapanpun. Ya, sampai kapanpun, aku menunggumu, untuk secangkir kopi yang kau impikan. Kopi Aceh yang belum pernah kau teguk. “Aku tunggu kamu di sini, di kota ini.”

21.45 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added