MOST RECENT

17 Agustus 2008


Meneruskan Budaya Leluhur

TERIK membakar Kota Lhokseumawe, siang itu, 17 Agustus. Tampak lalu lintas lenggang di sepanjang jalan Merdeka. Di ujung jalan, tepatnya di areal Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Lhokseumawe, tampak masyarakat memadati bibir pantai itu.

Sebagian besar masyarakat memasang payung untuk berteduh. Sebagian lagi, tampak sibuk memberi dukungan pada para peserta lomba dayung sampan tradisional yang digelar di lokasi itu. Di bibir pantai itu pula tampak Agussalim, pawang laut dari Desa Hagu Selatan, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe memberi intruksi pada timnya. Dia pemegang piala bergilir Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, untuk kategori lomba dayung itu.

“Yang, penting semangat. Jangan menyerah. Kekompakan tim bisa membuat kita kembali juara,” ujarnya kepada delapan orang timnya.

Lomba dayung sampan tradisional itu dilaksanakan setiap tahun oleh Panglima Laot Kota Lhokseumawe. Lembaga adat ini, ingin mengisi kemerdekaan Republik Indonesia ke 63 dengan membudayakan tradisi mendayung sampan tradisional. “Jauh sebelum perahu mesin ada, masyarakat Aceh berlayar kemana-mana pakai perahu dayung. Ini untuk mengenang budaya leluhur kita. Bahkan, kerajaan Aceh seperti Iskandar Muda dan Samudera Pasai, juga mengandalkan perahu dayung untuk kapal perang,” ujar sekretaris Panglima Laot Kota Lhokseumawe, Mawardi Abdullah.

Untuk tahun ini, kegiatan itu diikuti empat desa, yaitu Desa Hagu Selatan, Hagu Teungoh, Ule Jalan, dan Desa Blang Naleung Mameh. Masing-masing desa menurunkan dua perahu untuk berlaga. “Berlaku babak penyisihan. Setiap lomba diturunkan empat perahu,” sebut Mawardi.

Jarak yang ditempuh peserta 50 meter. Jalannya lomba ini diawasi oleh dewan juri yang menggunakan sekoci. Ketika, start dimulai tampak seluruh masyarakat merapat ke bibir pantai. Tak takut kalau celana basah disapu air laut.

Sejumlah desa di Kota Lhokseumawe melakukan kegiatan yang beragam dalam menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Ada yang mengusung tema kebudayaan, hiburan atau hanya sekadar memberikan santunan untuk anak yatim-piatu. Seperti terlihat di Desa Hagu Selatan, tampak sejumlah anak ikut dalam lomba mencabut koin (uang logam). Uang itu ditancapkan pada buah jeruk bali. Lalu, dilumuri oli diatasnya. Aturan mainnya tidak boleh memegang jeruk tersebut. Koin yang sudah dicabut pun harus dimasukkan ke dalam gelas yang telah disediakan. Bagi anak yang mampu mencabut koin terbayak, itulah yang keluar sebagai pemenang.

Kegiatan itu didukung Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kota Lhokseumawe. BPN juga memberikan hiburan tradisional berupa pertunjukan akrobat. Kepala BPN Kota Lhokseumawe, Lukman Hakim, menyebutkan pertunjukan akrobat itu untuk menghibur masyarakat kota tersebut.

“Kita ingin menghibur masyarakat Kota Lhokseumawe. Tokoh akrobat di undang dari Lhksukon, Aceh Utara. Ibrahim, namanya,” ujar Lukman.

Dalam atraksinya, tampak Ibrahim menarik mobil dengan menggunakan giginya. Bahkan, pria ini tidak kerepotan menarik mobil Avanza dan Kijang Kapsul dengan giginya. Tiga kali dia memperagakan pertunjukkan itu. Para penonton tampak histeris dan sontak bertepuk tangan memberi semangat pada Ibrahim.

Usai pertunjukka itu, Ibarahim tidur telentang diatas kayu yang penuh dengan paku tajam. Lalu, rekannya menaiki kendaraan roda dua dan menginjak tubuh pria itu. Tak ada luka. Tak ada tangis. Tak ada pula rasa sakit terlihat dari wajah Ibrahim. Dia memang salah satu tokoh acrobat di Aceh Utara.

“Saya senang bisa menghibur masyarakat,” pungkas Ibrahim. [masriadi sambo]

06.52 | Posted in | Read More »

M Rasyid Hasyem


Pensiunan TNI yang Berwirausaha

SIANG itu, Kamis (31/7) pria itu duduk santai di pinggir jalan Desa Ulee Jalan, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Sesekali, dia memperhatikan pengendara yang singgah ke pondok miliknya. Pondok itu dibuat ala kadar. Hanya 4 x 4 meter. Itulah M Rasyid Hasyem (78 tahun). Di depannya puluhan kilogram ikan teri ditumpuk pada dua tempat terpisah. “Sudah lima belas tahun saya jualan seperti ini. Inilah hidup, saya sudah melakukan pekerjaan jenis apa saja. Tapi, akhirnya menjadi penjual ikan teri,” kenang pria renta itu.

Dia tak pernah bermimpi menjadi penjual ikan teri. Ketika remaja, Rasyid, pernah menjadi penarik pukat di pantai desa itu. Terkadang dia juga ikut melaut dengan sejumlah nelayan lainnya. Lalu, dia juga pernah menanam bayam dan kacang panjang. Hasilnya tak memuaskan. ”Saya pikir tak mungkin hidup menjadi petani terus. Jadi, saya berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain,” ujarnya. Lalu, tahun 1957 silam, dia memutuskan untuk masuk ke kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat. Masa tugasnya berakhir 1987 silam.

Penghasilan pensiun tak seberapa. Namun, dia bersyukur karena sudah mampu memerikan pendidikan delapan orang buah hatinya sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). ”Saya sudah syukur dengan gaji yang pas-pasan, bisa sekolah kan anak-anak. Meskipun hanya SMA,” ujarnya.

Pensiun dari kesatuan TNI tidak membuatnya enggan membuka usaha lainnya. Tak ada kata gengsi untuk membuka usaha, bahkan menjual ikan teri. ”Ini untuk menghidupi istri, anak-anak sudah menikah semua,” katanya. Dia dan istrinya, Puteh Cut sepakat membuka usaha jualan ikan teri. Dia membeli ikan teri dari nelayan setempat. Harganya Rp 800.000 per keranjang. Itu ikan teri basah. Jumlah itu, bisa menghasilkan 35 kilogram ikan kering.

Setelah dibeli dari nelayan, ikan teri itu lalu dijemur. ”Istri saya yang jemur. Kalau matahari terik, satu hari sudah kering,” paparnya. Setelah itu, Rasyid menjual di pondok pinggir jalan desa itu. Ikan itu, sebut Rasyid tak menggunakan formalin. Murni dikeringkan dengan matahari. ”Lihat ini, bisa dipatahkan. Kalau ikan formalin, itu kenyal sekali. Jadi digigit saja susah. Kalau alami, dipatahkan pun gampang, apalagi digigit,” paparnya. Selain itu, ciri ikan yang mengandung formalin lainnya, warna ikan teri pasti lebih mengkilap dibanding ikan teri biasa yang tanpa menggunakan formalin. Formalin, khusus digunakan untuk pengawet jenazah manusia.

Rasyid menjual ikan teri enceran. Harga jual Rp 35.000 per kilogram. Untuk satu ons dia menjual Rp 4.000. Setiap hari dia mampu menjual ikan teri kering sebanyak enam kilogram. ”Tapi, terkadang bisa lebih. Tak tentu. Maklum, nasib orang jualan,” katanya sambil tertawa.

Dia menyebutkan, sangat banyak masyarakat Aceh yang saat ini bergantung pada gelar yang diperoleh. ”Kalau sudah sarjana, tak mau bekerja seperti saya ini. Menurut saya ini salah. Jangan pakai malu kalau bekerja, yang penting kan halal. Ini yang mengakibatkan banyak sarjana pengangguran di Aceh. Karena, sudah gengsi dengan gelarnya itu,” sebutnya diplomatis.

Rasyid menambahkan, saat ini di perairan laut Aceh masih banyak jumlah ikan teri. Namun, sayangnya, sebagian besar pedagang ikan di Aceh menjual ikan itu ke Medan. Sampai di Medan, tidak ada lagi embel-embel nama ikan asal Aceh. Pengusaha Medan mengganti merk dengan nama Medan, bukan Aceh. ”Bisnis ini sebenarnya menjanjikan sekali. Sayangnya, pemerintah kita (Aceh) belum memperhatikan hasil laut. Padahal, hasil laut Aceh luar biasa,” pungkas Rasyid.

Rasyid lalu sibuk melayani pembeli ikan teri miliknya. Dia berharap hari itu dagangannya laris manis. Karena itu, untuk menyambung hidup dan tali cintanya bersama sang istri, Puteh Cut. [masriadi sambo]

05.51 | Posted in | Read More »

Lakon Bunglon

AKU seakan tak punya gigi dan nyali. Mengadapi dunia yang fana dan khilaf akan kebodohan. Merasa cerdas, namu sadar di akhir tak kan berarti. Aku tau, ini semua kebodohan dan ketololan yang tak bisa kumaafkan. Tak bisa kubayangkan sebelumnya. Tak pernah kuimpikan dan tak pernah kuinginkan.


Awalnya selalu indah. Begitu kata ibu. Akhirnya belum tentu, begitu kala bibiku. Tempatku selama ini bermeditasi soal hati. Ah, begitu bodohkan aku. Ya, mungkin. Aku selalu menganggap semua orang jujur. Tak ada pendusta. Bila aku tak pernah menyakitinya. Tapi, kali ini, sejarah burukku terulang kembali.


Aku tak bisa melupakan kenangan pahit delapan tahun lalu. Disaat aku kehilangan semuanya. Hanya duduk sendiri dibangku kosong. Di ruang-ruang kampus yang mengumpat kebodohan. Diruang yang katanya penuh angan dan cita para mahasiswa. Aku begitu tolol waktu itu. Begitu dungu. Sehingga, ketika aku tersentak, aku sadar, semuanya sudah tak ada.


Buruk. Dan aku terpuruk. Dua tahun kupulihkan diri dengan menghabiskan puluhan batang pena dan ribuan lembar kertas. Dua tahun kukuburkan semua kenangan dalam luka yang menganga. Dua tahun kutenggelamkan semua cita dan asaku. Dua tahun pula aku tenggelam dalam semua hiruk pikuk dunia. Ah, ketika aku sadar, aku berada di dunia berbeda. Kata orang tua, tak ada gunanya menyesal. Jalan masih panjang, tak ada guna pula berkeluh kesah. Dunia pelu ditaklukkan.


Kucoba menundukkan dunia. Berhasil untuk ukuranku. Tapi, hanya satu tahun. Delapan tahun lalu aku terpuruk dan kini terpuruk lagi. Aku tenggelam kembali. Dalam penipuan yang berbeda. Begitu bodoh aku bisa ditipu. Ah, aku sadar, ternyata tak semua manusia yang kuanggap jujur itu baik. Tak semuanya. Lakon bunglon, masih terjadi di dunia ini. Dan, aku kecewa. Bunglon, kembali menghempaskanku. Aku sadar, ini tak berarti. Dan, aku kembali bermeditasi. Jenuh aku dengan semua ini. Haruskah kuakhiri? [masriadi sambo].

05.49 | Posted in | Read More »

TONG

Ingin rasanya aku menghempaskanku ke dalam tong kosong penuh debu. Bau. Ingin rasanya aku melumatmu ke dalam tungku api. Agar kau tak pernah kembali. Ingin rasanya, aku memuntahkan semuan isi perutku ke wajahmu.

Kejam. Mungkin ya. Aku tak suka ditipu. Itu yang kuulang berkali-kali. Aku tak suka dikhianati. Kupikir ini normal.

Dan, kau melakukan itu. mengumbar janji basi. Tak berarti. Jauh dari makna. Kau melupakan semua pesanku selama ini. Kau ……….

Ingin rasaanya ku buang wajahmu dalam sobekan ingatan. Ingin rasanya, kuhempaskan kamu ke dasar perut bumi. Agar aku tak mengenalmu. Atau mengenal orang yang mirip dengan mu. Ingin rasanya, aku menghabiskan seluruh keturunanmu. Ingin rasanya aku melakukan itu.

Ya, aku ingin membuangmu dalam tong kosong penuh debu. Bau. Itu tempat terlayak untuk para penipu [masriadi sambo].

05.48 | Posted in | Read More »

Perjuangan Kakek Husen Buat Cucu Tercinta


KULITNYA kelam. Urat-urat ditangannya menonjol, menunjukkan pria itu pekerja keras. Siang itu, dia sibuk membuat meja. Tangan kanannya memegang palu. Tangan kiri memegang paku. Sejurus dia terdiam. Mengamati hasil buatannya. Itulah rutinitas saban hari, M Husen (55 Tahun). Warga Desa Meunasah Geumata, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara itu tampak sibuk. ”Piyoh, peuna hai yang jet lon bantu (Silahkan masuk. Apa ada yang bisa saya bantu),” ujar Husen, dalam bahasa Aceh fasih.

Ayah dua orang anak ini bekerja siang malam untuk menghidupi tujuh orang cucunya. ”Ibunya cucu saya, sudah meninggal dunia. Jadi, anaknya saya yang membiaya pendidikannya,” ujar Husen.

Dengan kemampuan pas-pasan, Husen tentu pusing membiayai pendidikan sang cucu. Namun, tak jadi soal. Semangat pria paruh baya itu luar biasa. Saban hari, dia bekerja membuat meja untuk tambahan pondasi keuangan. Meja ukuran 20 x 120 centimeter. Meja ini biasanya di pesan oleh para pemilik warung kopi di Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara.

Hasilnya tak seberapa. Satu buah meja dijual Rp 120.000. Untuk menghemat pengeluaran bahan baku, Husen, mengumpulkan sejumlah papan bekas dari toko yang menjual Gypsun di desa itu. ”Meja ini harganya tak seberapa. Saya buat sendiri. Tapi, beginilah. Saya ingin cucu saya tetap sekolah,” ujarnya. Kenangnya melambung ke puluhan tahun lalu. Tahun 1990 silam, Husen, pernah bekerja sebagai buruh harian lepas pada perusahaan ExxonMobil. Saat itu, pendapatannya lumanyan. Mampu membiaya pendidikan putrinya sampai menjadi guru pada SD Negeri Karieng, Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara. ”Anak saya satu orang guru. Ya, itu pun masih honor. Yang satunya lagi kerjaannya tak menentu,” paparnya.

Cobaan datang ketika tahun 1995 silam dia diberhentikan dari ExxonMobil. Saat itu, penghasilan mulai tak menentu. Dia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan sulit didapat. “Susah cari pekerjaan. Saya hanya membuat meja. Ya, tak ada pilihan lain. Kecuali membuat meja,”sebut Husen.

Kini, setiap hari dia mampu menghasilkan empat buah meja. Pasarannya tak hanya pemilik warung kopi, tapi juga masyarakat sekitar di Kecamatan Lhokseukon. Penghasilan dari meja tentu tak cukup. Terkadang, Husen terpaksa menjadi burung bongkar muat barang di Toko Gypsun yang ada di desa itu. Dia juga menganyam atap rumbia. ”Saya juga upahan panjat pinang, panjat kelapa. Yang, penting bisa dapat uang halal,” sebutnya lirih.

Waktunya terkuras untuk masa depan sang cucu. Satu orang cucunya, sedang menimba ilmu di SMA Muhamadiyah Lhokseumawe, satu orang di MTs Negeri Lhokseukon, dua orang SD Negeri 4 Lhokseukon. ”Tiga orang lagi belum sekolah. Ini juga harus saya pikirkan,” paparnya.

Bulan Ramadhan dianggap berkah tambahan untuk Husen. Pasalnya, ketika bulan suci itu, Mie Goreng, menjual roti yang dibuatnya sendiri. Biasanya, laba berjualan itu dibelikan untuk baju lebaran sang cucu. Istrinya, Ramullah mengamini apa yang diceritakan Husen. ”Kami ini udah tua. Jadi, lebih bagus membesarkan cucu. Agar mereka mendapatkan kasih sayang sama seperti orang yang memiliki ibu. Ibu cucu saya, sudah lama meninggal dunia. Jadi, kami harus memberi apa yang dibutuhkan cucu. Ini bakti kami sebagai kakek,” pungkas Ramullah. [masriadi sambo]

05.47 | Posted in | Read More »

Keramik dari Kota Juang


Tangan keriput itu telaten membentuk tanah liat menjadi hiasan. Mengaduk adonan cat, memolesnya kebenda yang telah jadi. Itulah usaha Abdurrahim, 70 tahun. Masyarakat memanggilnya Teungku Abdurrahim. Usianya tak lagi muda. Namun, matanya tajam memperhatikan keramik made in miliknya. Kualitas kata yang tak bisa ditawar baginya. Saat saya berkunjung kerumahnya, di Desa Cot Bada Tunong, Kecamatan Peusangan Bireuen, lelaki itu hanya mengenakan kain sarung kotak-kota coklat dan abu-abu. Tak mengenakan baju. “Maaf panas, saya tak pakai baju,” senyumnya menyambut saya.

Dia pemilik usaha keramik satu-satunya di Kabupaten Bireuen, Aceh. “Sudah lebih dua puluh tahun usaha ini saya tekuni,” ujar Abdurrahim pada saya akhir pekan lalu.

Bisnis ini salah satu bisnis yang menjanjikan. Belum banyak saingan menjadi salah satu peluang untuk mengembangkan bisnis tersebut. sayangnya, Abdurrahim mengaku, dia hanya menjual kerajinan itu keseluruh daerah di Aceh. Produksi kerajinan ini telah hadir di Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireuen dan kabupaten lainnya. Untuk mengembangkan lebih luas, dia mengaku tak memiliki pondasi dana yang kuat.

Pengalaman menekuni usaha selama 21 tahun tak bisa membuat pria itu berkembang. Pasarannya sejak berdiri sampai saat ini, masih di daerah-daerah di Nanggroe Aceh Darussalam. “Tak ada kedaerah lain. Hanya di seluruh Aceh saja. Tak ada modal,” katanya sambil tersenyum.

Lalu, bagaimana dengan laba bersih? Saya bertanya pada Abdurrahim. Ditangan pria itu, kuas telah diolesi cat. Sejurus dia terdiam. Mengayunkan kuas pada guci kecil yang telah selesai di produksi. Guci itu diatur, berjejer dan rapi. Puluhan guci dan keramik jenis lainnya dijemur di bawah terik matahari. Lalu, setelah dijemur, keramik itu sampai pada tahap pembakaran. Soal kualitas tak usah diragukan. Desi Safnita, warga Cot Gapu, Bireuen, salah seorang pembeli menyebutkan kualitas keramik daerah itu memang bagus. “Saya sering beli kemari. Kualitasnya bagus dan ikut perkembangan model,” sebut ibu satu putra ini.

“Kalau sekarang ini, sebulan paling sampai Rp 3 Juta atau paling banyak Rp 5 Juta,” sebutnya. Bagi Abdurrahim, bulan ramadhan adalah bulan penuh berkah. Disaat ramadhan datang, omzet penjualanpun meningkat. Banyak masyarakat yang memesan keramik untuk menyambut hari nan fitri. Itulah penyebab meningkatkatnya pendapatan pria murah senyum itu. Laba sebesar Rp 20 Juta mampu diraih menjelang Idul Fitri setiap tahunnya. “Dari kantor-kantor pemerintah juga banyak yang pesan, kalau menjelang hari raya,” ungkapnya

Keramik yang diproduksi Abdurrahim, terbilang up to date. Selain model-model yang telah biasa dibuatnya, dia selalu mengikuti perkembangan zaman seni pembuatan keramik. Caranya, membeli koran dan majalah. Informasi perkembangan model terbaru didapatkannya dari media. Ketika sedang berbelanja di Kota Bireuen, dia selalu menyempatkan diri singgah di kios atau toko yang menjual koran dan majalah. “Kalau tak ikut model. Pelanggan akan bosan. Saya perhatikan juga perkembangan pasar di Jawa, melalui media,” sebutnya membongkar kiat disain produknya.

Meski begitu, terkadang, mesin pengolah tanah liat yang dimilikinya tak bisa memproduksi beberapa model paling keren. Kemampuan mesin sederhana, yang terdiri dari besi pemutar dan terdapat tiang ditengahnya itu sangat terbatas. Abdurrahim tak bisa berekspresi lebih dengan mesin tersebut. “Modal saya terbatas. Kepingin rasanya membeli mesin yang baru dan bisa dipakai membuat semua model,” harapnya. Untuk membeli satu truk pick-up tanah liat sebagai bahan baku, Abdurrahim merogoh kocek sebesar Rp 150 Ribu.

Matanya kembali memperhatikan beberapa guci kecil yang telah dicat. Guci itu mengkilap diterpa sinar matahari. Cukup indah dan menarik.

Apa tidak ada bantuan dari pemerintah? Saya bertanya. Ibrahim terdiam. Sejurus kemudia, dia menyebutkan beberapa kali Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bireuen sempat mengunjungi tempat usahanya. Namun, hanya sebatas pendataan. “Mereka mengatakan ada bantuan ala kadarnya,” sebut Abdurrahim. Hingga kin, dia mengaku belum menerima bantuan dari pemerintah setempat.

Meminjam bantuan dari Bank, baginya sama dengan bunuh diri. Dia tak sanggup memikirkan bunga pinjaman yang diperoleh dari Bank. “Saya tak sanggup. Mengembalikan uang dengan bunga yang berlipat,” akunya.

Dia berharap, pemerintah kabupaten kota juang itu memperhatikan usaha kecil miliknya. Abdurahim terus bertahan menjalankan bisnis tersebut. Dibantu oleh lima orang tenaga kerja yang setia menemaninya, dia yakin bisnis itu tetap berjalan. Meskipun tak berkembang. Bisnis itu, kini butuh perhatian. Toh, dari bisnis itu juga, nama kota juang menjulang dengan sendirinya. [Masriadi Sambo]

05.45 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added