MOST RECENT

Pertimbangan

Sebenarnya, ingin aku tidak menulis lagi di kolom ucapan, dalam dunia maya yang kurancang dengan segala upaya. Ingin aku tak mau melihat dunia lagi. Ingin aku tak bersandar lagi, di kursi tempatku melepas lelah. Ingin rasanya, aku terlelap. Tertidur, untuk sebuah kemenangan. Ya, untuk sebuah kesunyian. Untuk sebuah catatan tentangmu. Ingin semua kulakukan itu. Memasukkan sobekan wajahmu dalam peti es.


Di satu sudut kisah ini telah panjang. Di sudut lainnya, ada hati yang menanti. Menunggu kata pasti. Dibagian cerita ini pula aku terpana, pada hitam di belakang masa. Tak ada yang sempurna, itu kata pepatah.


Aku sadar, dunia kita takkan sama. Ya, tak sama. Aku dibesarkan oleh alam. Dari bongkahan batu, desing mesiu, deras hujan, terpaan badai, hantaman gelombang. Alam mendidikku seperti ini. Alam pula yang membawaku kemari. Ya, ke tempat ini. Belajar dari waktu dan batu. Belajar dari dunia yang beku, kelu dan kaku.


Belajar dari makna. Kata pena dan kata hati. Belajar menentukan orientasi dan perioritas. Belajar dan terus belajar. Ya, entah sampai kapan harus belajar. Ku pikir, tak ada waktu untuk berhenti. Aku terus belajar. Mencapai target dan tujuan bangunan hidup dan kehidupan.

Di sini masalah muncul. Ketika waktuku tak banyak. Ketika nafasku melelah. Ketika detak jantung seakan enggan berdenyut. Ketika aku minta dukungan. Apa yang terjadi. Entahlah. Diam. Tertawa. Dan, melemparkan kesalahan pada waktu dan kata ”nanti”. Ah, nanti juga bisa. Kan besok baru dikumpulkan. Ini yang aneh.


Aku terbentur pada kata nanti. Nanti dan nanti lagi. Kata nanti, apa itu sebuah prioritas. Apa ini target yang akan dicapai. Seorang teman bercerita tentang makna kata ini. Dia hidup sama denganku, seperti dalam hutan belantara. Dia bercetita banyak. Tentang hidup dan kehidupan. Tentang target dan tujuan. Dan, aku mengerti maksudnya. Aku faham apa yang dia inginkan. Aku tau, dia sama sepertiku dibesarkan oleh bongkahan batu.


Merubah pikiran tak mudah. Merubah tabiat lahir sangat susah. Merubah semua kebiasaan memang sangat payah. Ini pula yang kupikir, sangat sulit kulakukan. Sulit untuk mengubahmu. Sulit untuk membentuk pola pikiranmu. Dan, sulit untuk semua prioritas yang katamu bisa nanti itu.


Pertimbangan apa lagi yang harus kubuat? Entahlah. Aku ini lahir dan dibesarkan oleh alam. Oleh batu, desing mesiu, bau menyengat dan oleh semua disekelilingku.

Aku bingung meraih kata pertimbangan.


Markas Biru, 24 September 2008.

01.39 | Posted in | Read More »

Idul Fitri 1429 H

Tangan tak bisa berjabat

Waktu terlalu jauh

Hingga tak bisa bertemu dengan kamu, dengan semua handai taulan

Aku tak bisa melakukan semua itu


Bertemu dan sungkem

Bertemu dan salaman

Bertemu dan meminta maaf


Atas semua dosa

Atas semua salah kata

Atas semua salah ucapan

Atas semua salah tindakan

Atas semua salah pikiran

Atas semua perbuatan

Atas semua gunungan dosa


Dihari nan fitri

Kuucapkan

“Selamat Merayakan Hari Kemenangan”

Mohon Maaf Atas semua tindakanku

Teman, maafkanlah.

06.01 | Posted in | Read More »

Akhir Pemikiran

AKHIRNYA apa yang tak pernah kuinginkan kan terjadi. Apa yang selalu ku hindarkan terjadi juga. Apa yang selalu kubenci dalam dua tahun terakhir, tak bisa ku-ellakkan. Ya, ini semua harus diakhiri. Akhir pemikiran dan renungan.


Kamu tahu, bahwa tak mudah menjalani semua ini. Tak mudah pula mengakhiri pemikiran panjang yang kurancang dua tahun terakhir. Tak mudah. Sulit. Tapi, ini tak bisa berlarut. Tak bisa pula carut-marut kelak dan kini. Kamu tahu, bahwa dunia ini begitu kejam. Yang membuatku tak bisa tidur. Siang dan malam. Membuatku harus berada di depan laptop berjam-jam. Bermain kata dan mencoba menempelkan foto pada kata itu. Hanya untuk profesi dan untuk rezeki.


Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik. Ya, untukmu dan untuk semua orang didekatmu. Atas permintaan atau intruksimu. Aku lakukan itu. Pertimbanganku tak lain, aku ingin kamu tertawa setelah melihat nyata. Menyaksikan semua ucapanku terbukti. Semua janji tak hanya ilusi. Semua kata tak basi. Semua tingkah tak hanya sekadar. Namun, jauh kedalam. Terbukti, bernyali atas semua perbuatan dan sikap.

Mengejar waktu itu yang kusuka. Ya, mengejar waktu kemana-mana. Merekam gambar dalam lensa. Mengabadikan dengan pena. Itu pekerjaanku. Dan, akhirnya pekerjaan itu pula yang membuatmu seakan tak nyaman. Seakan terpinggirkan. Aku tahu itu. Jujur, ini pilihan hidup. Tak bisa ditawar. Apapun pekerjaan lain ku, rekam dan abadi dalam kata tak akan kutinggalkan.

Kamu tau, sebagai orang yang bekerja sampingan untuk mikro ekonomi, aku selalu berpikir akan memiliki bidang itu. Kelak, dan, satu waktu. Membuka luas, jaringan ekonomi ke seluruh negeri. Tentu, ini kulakukan bukan hanya untukku dan keluargaku. Tapi, juga untukmu. Ya, untuk semua orang dekatku.


Aku mendesain rancangan hidup yang mulai kokoh. Aku kuatkan pondasi untuk kehidupan lebih baik. Aku buka lahan dan menerabas hutan kehidupan. Aku buka komunikasi dengan semua teman. Dengan semua seniorku. Dengan semua orang didekatku. Aku juga bawa kamu mengenal mereka. Mengenal lingkungan kerja. Membawa kamu pada taraf yang serius. Kata banyak teman, kata banyak orang, aku tak salah. Aku memilih yang tepat. Desain hidup pun tak bermasalah. Desain hidup dan rancangan kehidupanku lebih bagus, meskipun belum terimplementasi 100 persen. Aku juga perkenalkan kamu pada desain hidup itu. Mendiskusikan seluruh keputusan dan kebijakan yang kuambil. Meminta pendapatmu tentang ini dan itu. Tentang semua hal. Ya, tak ada yang tersisa. Semuanya melalui diskusi dengan mu.


Aku juga tak munafik. Aku mencoba meminta dukungan semangat. Ya semangat dari orang yang paling kusayangi. Jauh di pinggir hutan. Masuk ke perkampungan. Aku dapatkan itu. Bahkan, disebutkan, bahwa kamu mendapat lisensi restu. Tapi, apa yang terjadi. Disaat beliau, mencoba membangun komunikasi, mencoba mengenalmu lebih baik, lebih dekat. Dan, ingin sekali duduk berlama-lama denganmu. Satu waktu, satu hari tertentu. Satu masa dan satu agenda yang penting. Agenda, tak hanya sekadar diskusi dan senyum simpul. Tapi, agenda yang lebih serius. Kamu tahu itu? Ah, aku pikir kamu tak mengerti itu.

Lalu, mengapa aku mengakhiri pemikiranku? Aku tak bisa. Jujur, ketika naskahku yang kutitip dan minta bantu ke kamu, itu tak dihargai. Aku sangat benci. Benci pada ketidaktepatan waktu. Benci pada ketidakprofesionalan. Benci pula pada ketidakjujuran. Hanya dua lembar. Tak lama. Anak TK mengerik dua lembar, dalam dua jam. SD dalam 1 jam. SMP dalam 30 menit. SMA dalam 15 menit. Mahasiswa hanya dalam lima menit. Tak siapkah ini? Apa arti prioritas? Apa arti kata penting? Apa arti kata sibuk di hari Ahad. Hari Ahad dikala semua aktifitasmu tak ada. Aku sangat menghargai waktu. Dan, tak mahu egois soal waktu. Aku hargai kesibukan orang, sama dengan orang menghargai kesibukanku.


Tapi, kenapa kamu lakukan itu. Aku tak bisa ketemu kamu. Dalam waktu lama. Dalam waktu yang tak bisa kutentukan. Pikiran intelektualku sudah mencoba mengerti, mengapa itu terjadi. Pikiran jernihku berulangkali berputar. Pikiranku lainnya semuanya sudah bekerja. Semua renunganku. Semua khayalan soal masa depan, soal kehidupan dan penghidupan yang baik, soal bangunan kehidupanku. Semua telah tak ada. Aku tak bisa menemani perjalanan waktu ini. Aku tak bisa melewatkan hujan dan terik ini lagi. Aku tak bisa melupakan semua kebaikan. Ya, kebaikkanmu ketika aku ini hanya sebagai pejalan kaki. Hanya naik becak jika ada ribuan di tangan. Aku tak bisa lupakan itu. Aku pikir, aku harus katakan terima kasih untuk semua itu. Semua kebaikan, dan waktu mu yang terbuang bersamaku. Seluruh kekesalanmu pada ku. Seluruh kebosananmu.


Hari ini, aku ingin kembali ke desaku. Jauh di pedalaman. Ingin menentramkan diri. Jauh dari semua keributan. Ribut pada desainku. Ribut pada rekam lensa dan pena. Aku ingin ini berakhir. Aku tak tau, apa arti prioritas bagimu? Aku tak tahu, apa arti penting dan tidak padamu? Aku tak tahu itu.


Aku hanya ingin katakan, aku akan menjalani seluruh desain bangunan kehidupanku sendiri. Itu saja.


Markas Biru, 22 September 2008.

05.57 | Posted in | Read More »

Galau

Aku tak tahu, haru berbuat dan berkata apa hari ini. Semua naskah pikiranku tak bisa kurenungkan. Tak bisa kutuangkan kedalam kata, melalui pena. Aku terdiam. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku juga tak bisa berbuat banyak.


Saat ini, aku bingung harus berbuat apa. Mengerjakan apa dan memulai dari mana. Aku juga tak tahu, mengapa ini terjadi.


Seluruh pekerjaanku berantakan. Tak bisa seperti dulu. Di satu sudut, ada yang mengatakan bahwa aku terlalu cepat berpikir. Di sudut lainnya, ada yang menyebutkan aku terlalu cepat bertindak. Entahlah. Aku binggung. Galau dihatiku.

05.53 | Posted in | Read More »

Dayah Darul Huda


PENGANTAR REDAKSI
Dayah Darul Huda di Desa Krueng Lingka Lueng Angen, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara merupakan salah satu dayah salafi murni di Aceh. Kemarin, jurnalis Independen, Masriadi Sambo, mengunjungi dayah tersebut. Berikut reportasenya;

Mempertahankan Salafi

SORE itu, Rabu, 9 Juli 2008. Pimpinan Dayah Darul Huda, Teungku Muhammad Daud Ahmad, tampak santai di salah satu balai di samping rumahnya. Dia mengenakan kain sarung kotak-kotak biru dan baju kaos oblong warna putih. Senyumnya mengulas menyambut kedatangan saya. Seorang santri menemani saya menemui pimpinan pesantren tersohor di pedalaman Aceh Utara itu. Santri itu menganggukkan badan dan berbicara sejenak dengan Abu, panggilan akrab Teungku Muhammad Daud Ahmad. “Silahkan naik. Duduk, peuna yang jeut lon bantu neuk (apa yang bisa saya bantu nak),” ujar Abu ramah. “Maaf, saya kurang sehat. Silahkan wawancara dengan Tengku Marzuki, saya percayakan pada dia. Maafkan saya,” ujar Abu kembali setelah mengetahui maksud kedatangan saya.

Abu memang kurang sehat waktu itu. Namun, dia berusaha untuk terlihat santai. Rileks, layaknya seperti orang yang sehat. Dia menunjuk, Teungku Marzuki, salah seorang murid dan bendahara dayah tersebut. Tengku Marzuki, sudah 16 tahun mendampingi Abu mengembangkan pesantren tersebut.

Pesantren itu salah satu pesantren yang mempertahankan tradisi salafi dan mengkaji kitab kuning. Abu, memang mendidik murid-muridnya tidak terlibat dalam kancah politik kepentingan. Tak ada cerita partai politik masuk dayah dalam tradisi pesantren itu. “Abu selalu menekankan tak ada politik di dayah. Kita murni, murni salafi,” sebut Teungku Marzuki Muhammad Ali, bendahara dayah tersebut.

Pesantren itu didirikan Tengku Muhammad Daud Ahmad, 27 April 1972 silam. Saat itu, Abu baru saja selesai menimba ilmu di pesantren Samalanga. Kala itu, diatas tanah 40.000 M2 itu hanya berdiri satu balai pengajian ukuran 4 x 7 meter. Disitulah, Abu memulai kegiatan mengajar para santri. Dia lalu, mencari dukungan masyarakat untuk kemajuan pesantren. Hasilnya, lumanyan. Saat ini, bangunan tiga tingkat dengan kontruksi beton berdiri megah di Desa Krueng Lingka Lueng Angen. Satu buah mesjid tempat ibadah juga berdiri megah dengan disain taman yang indah. Ditambah lagi dengan asrama santriwati, santriwan dan rumah para dewan guru. Dua orang anak Abu Muhammad Daud Ahmad, Muzakkir dan Zainab, juga turut membantu pengembangan pesantren itu.

“Dulu, Abu bersama masyarakat bersusah payah mengembangkan pesantren ini. Banyak masyarakat yang menyumbangkan tanahnya untuk pesantren,” ujar Teungku Marzuki.

Saat ini, pesantren itu memiliki 1.150 orang santri. Jumlah itu didik oleh 77 ustad dan 32 orang ustadzah. Sangat memadai. Seluruh kegiatan dipusatkan di kompleks pesantren. Santri sangat dilarang berkeliaran diluar kompleks pesantren. Tujuan pendidikan dayah salafi ini untuk mencerdaskan santri untuk mengkaji dan mendalami ilmu agama tentunya dengan penekanan pada kitab kuning (kitab gundul). “Aturan kita sangat ketat. Kalau ada orang tua santri meminta izin anaknya tanpa ada alasan yang jelas, kita tak izinkan santri untuk pulang ke rumah,” ujar Marzuki. Benar saja, sejurus kemudian, seorang orang tua santri meminta izin anaknya untuk pulang kampung. Alasannya, agar sang anak bisa membantu turun ke sawah.

Tengku Marzuki yang dimintai izin tak memberikan izin. “Karena alasannya turun ke sawah dan anak bapak masih di kelas dasar, kami tak izinkan,” ujar Tengku Marzuki lembut. Sang ayah ini tak keberatan dan pergi meninggalkan dayah tersebut.

Kurikulum Salafi

Saya mengelilingi dayah tersebut. Tampak beberapa santri bersiap-siap untuk bermain tennis meja dan tennis lapangan. Santri lainnya sibuk memasak di dapur umum. Sepuluh orang santri duduk di depan pintu masuk pesantren. Mereka bertugas sebagai piket. Piket pula yang memiliki kewajiban untuk menyiram bunga di pekarangan dayah tersebut. Sebelah kiri pintu masuk tampak satu gedung bertingkat tiga berdiri megah. Gedung itu khusus untuk santri putri. Di jalan masuk gedung itu terpampang tulisan “dilarang masuk bagi wanita yang mengenakan celana panjang”. Dayah ini memang sangat ketat aturan. Dalam sebulan, santri hanya mendapatkan waktu libur dua hari. “Dua hari mereka bisa pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga dan melepaskan rindu pada keluarga,” sebut Tengku Marzuki. Hal itu diamini salah seorang santri, Saiful Rizal. Dia mengakui aturan di pesantren itu sangat ketat. “Kalau tak ikut pengajian rutin, padahal kondisi badan sehat. Maka akan dihukum,” ujar Rizal.

Untuk kurikulum, dayah ini memiliki kurikulum sendiri. Mereka tidak mengadopsi kurikulum Departemen Agama yang berlaku secara nasional. “Abu mempertahankan salafi murni. Kita membuat kurikulum sendiri, untuk menghidari intervensi pendidikan dari departemen agama,” papar Tengku Marzuki.

Kurikulum di dayah itu terbagi tiga, yaitu untuk tingkat ibtidaiyah (pendidikan dasar), tsanawiyah (menengah pertama) dan aliyah. Santri yang belajar ditingkat ibtidaiyah wajib memahami kitab Tahrirul Aqwal, Dhammun, Matan Al Bina, Matan Al Jarumiah, Mutammimah, Al Bajuri, Khamsatu Mautun dan sejumlah kitab lainnya. “Untuk ibtidaiyah, kita menakankan agar santri memahami ilmu fikh, nahwu, sharaf, tauhid, akhlak dan tasawuf. Agar mereka lebih mudah nantinya mempelajari kitab-kitab besar,” ujar Tengku Marzkuki.

Sedangkan ditingkat tsanawiyah para santri disodorkan kitab I’anatutthalibiin, Matan Alfiah, Syarah Al Kailani, Asshawi, Majilisis Tsaniyah dan sejumlah kitab lainnya. Untuk tingkat aliyah kitab yang diajarkan berupa Fathul Wahhab, Syarah Ibnu Aqil, Tafsir Jalalain, Ihya Ulumuddin dan sejumlah kitab lainnya. “Kita terus pertahankan tradisi salafi ini. Tak ada sekolah formal di sini. Kita didik santri yang utuh dengan ilmu agama,” pungkas Tengku Marzuki.

Pondasi Keuangan Dayah
PERKEMBANGAN zaman membuat pesantren memikirkan pondasi keuangan. Pondasi keuangan yang kokoh menjamin kesejahteraan guru dan santri di pesantren itu. Selama ini, biaya operasional pesantren berasal dari sejumlah donatur, pemerintah dan Non Government Organisation (NGO) lokal dan internasional yang konsen untuk pengembangan pendidikan pesantren.

Sejauh ini, pesantren hanya memiliki koperasi yang menjual berbagai kebutuhan santri dan dewan guru. Satu unit warung serba ada terdapat di kompleks santri putra dan putri. Selain itu, setengah hektare lebih kebun jati juga dimiliki pesantren itu. Letaknya tepat disamping kiri bangunan pesantren.

Untuk mengembangkan perekonomian pesantren, dalam waktu dekat ini, dayah itu akan membuka usaha konveksi. Satu unit toko telah dimiliki. Disitu, akan menerima tempahan pakaian. Pekerjanya diambil dari luar pesantren. “Para santri juga akan kita libatkan untuk belajar di konveksi nanti,” ujar Teungku Marzuki. Selain itu, Abu Tengku Muhammad Dauh Ahmad juga telah membeli tanah di Desa Lhok Nibong, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur untuk dijadikan mini market.

Namun, modal pesantren itu tak cukup untuk membuka minimarket. Pihak dayah sedang mengupayakan donatur untuk membuka minimarket. Memilih minimarket sebagai unit usaha tampaknya pilihan yang tepat. Pasalnya, sejauh ini belum ada satu pun minimarket yang berdiri di Lhok Nibong.

Tengku Muzakir
Tak Mau Terlibat Partai Politik

Tengku Muzakir, yang ditunjuk Abu Muhammad Daud Ahmad menerima kedatangan saya. Saat itu, dia hendak menuju Pantonlabu, Aceh Utara untuk satu keperluan tertentu. Namun, karena Abu menyuruhnya, niat itu terpaksa ditunda sementara. Abu ingin beristirahat sore itu. Berikut petikan wawancaranya;

Saat ini, banyak sekali perkembangan pesantren. Ada pula elit politik yang mencari simpati lewat pesantren. Apalagi tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 sudah dimulai, bagaimana menurut Anda?
Ya, kalau dayah ini, sejak zaman dulu tidak mau terlibat dalam kancah politik praktis. Ini yang selalu ditekankan Abu pada kami dan dewan guru lainnya. Abu, selalu menganalisis perkembangan politik di luar sana. Beliau orangnya komitmen dan seakan tau apa yang akan terjadi kedepan. Kalau beliau sudah bilang tidak mau terlibat parpol, ya tidak mau. Begitu prinsip Abu.

Soal perkembangan pesantren, apa yang paling ditekankan pada sistem pengajaran di dayah ini?
Kita mewajibkan santri patuh aturan. Aturan penting untuk mendidik mereka agar disiplin dan menghargai hukum yang sudah ditetapkan. Misalnya, santri tidak boleh keluar kompleks. Lalu, haram merokok. Kalau kedapatan merokok, ini yang paling berat hukumannya. Hukumannya, kita akan berikan sanksi agar santri itu membersihkan toilet. Kalau pelanggaran lain, ya, hanya sekedar kita hukum dengan berdiri di matahari selama dua jam. Ini penting. Agar mereka patuh aturan. Bagaimana kalau sudah keluar dari sini, dan mereka tak patuh pada hukum dunia? Bisa gawat mereka. Terlebih lagi hukum Allah Swt.

Lalu, umumnya santri masuk kemari itu dari daerah mana saja?
Sejak berdiri banyak santri yang masuk kemari itu umumnya berasal dari desa. Sangat sedikit yang berasal dari kota. Sebagian besar santri dari Lhoksukon, Lhokseumawe, Aceh Timur lebih dominan, Aceh Tamiang dan kabupaten lainnya. Kemudian, dari Padang, Riau dan Medan. Untuk asal santri Pulau Jawa tidak ada sama sekali.

Background pendidikan santri bagaimana?
Umumnya santri yang masuk ke mari setelah tamat SMP. Lalu, sebagian besar tamatan SMA. Sangat sedikit yang tamat SD masuk kemari. Kalau sudah masuk kemari, ya mereka tak dapat pendidikan formal. Disini pendidikan agama murni. Tak ada sekolah formal.

Apa saja yang sangat dibutuhkan pesantren saat ini?
Saat ini, kita butuh beberapa unit asrama guru. Kemudian, yang masih sangat kurang itu asrama santri. Sekarang kita punya tiga lantai, tapi tak cukup. Kalau bisa para donatur dan pemerintah membantu dua hal ini saja dulu.

Saiful Rizal
Sang Juara di Darul Huda

GENAP delapan tahun Saiful Rizal mondok di Pesantren Darul Huda. Pria kelahiran 20 Juni 1986 itu betah berlama-lama di pesantren itu. Awalnya, ketika masuk ke pesantren itu tahun 2000 silam, dia sempat menangis. Tidak biasa dengan tadisi mondok dengan aturan yang begitu ketat. “Dua minggu pertama saya rasanya setiap hari mau menangis. Tak betah. Setelah itu, sampai sekarang, rasanya pulang saja malas,” ujar Saiful Rizal pada saya.

Pria bertubuh gempal itu dikenal akrab dikalangan santri di pesantren itu. Niat masuk pesantren berawal ketika Ayahanda Saiful Rizal meninggal dunia. Saat itu, ibunya, Hajjah Sairah memberi dua pilihan, masuk pesantren atau masuk ke sekolah formal. Alumni SMP Negeri 1 Seunuddon itu memilih pesantren sebagai pilihan utama.

Setiap tahun, pesantren itu mengadakan perlombaan khusus untuk santri dan santriwati. Nah, Saiful Rizal, keluar sebagai sang juara setiap kali perlombaan yang diadakan. Beberapa perlombaan yang diadakan seperti lomba menafsirkan sejumlah kitab kuning, membaca kitab mahali dan sejumlah kitab lainnya. Dia juga keluar sebagai juara umum dua tahun berturut-turut dalam perlombaan itu. “Tahun 2006 dan 2007 lalu, alhamdulillah saya keluar sebagai juara umum,” ujar Saiful Rizal bangga.

Sedangkan di tahun 2003 sampai 2005 dia keluar sebagai juara satu dalam lomba baca kitab. Dia dikenal sebagai santri yang kutu buku. Niatnya untuk menjadi ustad sangat besar. Saban waktu dihabiskan untuk membaca kitab dan mengulang pelajaran yang diberikan para ustadnya. Bahkan, izin pulang kampung yang diberikan pesantren jarang sekali digunakan pria ini. “Saya lebih memilih di pesantren. Tak ada waktu untuk tidak belajar, itu tekad saya. Kecuali, ada keluarga yang musibah, itu saya baru pulang kampung,” paparnya.

Sore itu, Saiful Rizal berpenampilan seadanya. Kain sarung dan baju kemeja lengan pendek warna kuning. Keluarga Saiful memang terbiasa dengan tradisi pesantren. Dua orang abang kandungnya juga mondok belasan tahun di Pesantren Samalanga. Anak kelima dari enam bersaudara itu ingin menghabiskan waktu lebih lama di pesantren itu.

Dia terkesima dengan sikap pimpinan pesantren, Tengku Muhammad Daud Ahmad yang sangat bersahaja. Tampil sederhana namun memiliki prinsip yang kuat. Dia bangga bisa menimba ilmu dari ulama kharismatik Aceh itu. Hingga saat ini, Saiful merasa ilmu yang didapat dari pesantren itu masih sangat sedikit. “Saya ingin lama di pesantren ini. Cara belajarnya mudah di fahami. Saya bangga bisa diajarkan ilmu agama langsung dari Abu, pimpinan pesantren,” sebutnya.

Setelah menimba ilmu di pesantren ini apa yang direncanakan? Saiful menjawab tegas. “Saya ingin mendirikan pesantren lagi. Saya ingin menyebarkan ilmu agama, layaknya Abu yang mendidik kami sekarang,” sebutnya. Niat itu menjadi tujuan akhir Saiful. Dia berharap, satu waktu bisa memiliki pesantren sendiri. Menyebarkan ilmu agama untuk seluruh umat di dunia. Semoga sukses Saiful. [foto dan teks > masriadi sambo]

DATA PESANTREN DARUL HUDA
Nama Pesantren : Dayah Darul Huda
Alamat : Desa Krueng Lingka Lueng Angen, Kecamatan Langkahan
Kabupaten Aceh Utara
Pendiri : Tengku H Muhammad Daud Ahmad
Tanggal Berdiri : 27 April 1972
Alumni :
- Dayah Bustanul Huda Pimpinan Tengku H Muhammad Ali, Julok, Aceh Timur
- Dayah Nurul Huda Pimpinan Tengku Zainal Abidin, Lhok Nibong, Aceh Timur
- Dayah Bayanuddin, Pimpinan Tengku Ilyas, Ara Kundo, Aceh Timur
- Dayah Nurul Huda, Pimpinan Tengku Muhammad Isa, Idi Rayeuk, Aceh Timur



08.36 | Posted in | Read More »

Ramadhan 1429 H



TEMAN, Ramadhan tahun ini, sama dengan tahun sebelumnya. Aku masih belum bisa menyelesaikan studiku. Saat ini, aku sedang menyibukkan diri untuk menulis panjang dalam sebuah buku bersama teman-teman di Lhokseumawe. Nah, Ramadhan kali ini, aku kecewa. Tak bisa menemuimu teman. Menemui untuk mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Semoga puasamu lancar. Tak terhalang karena aktivitas yang menumpuk.

Nah, saat ini, aku hanya bisa katakan, Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Moga puasanya penuh, sampai Idul Fitri tiba. Saleum Tabek.

Masriadi Sambo
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe
Jurnalis dan Penyuka Sastra

08.33 | Posted in | Read More »

Tayangan Kartun dan Pengaruh Media


Oleh. Masriadi Sambo
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe


DUA hari lalu, publik Indonesia termasuk Aceh dikejutkan dengan hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta terhadap tayangan televisi Indonesia. KPI memasukkan tayangan kartun, Tom&Jerry yang disiarkan stasiun televisi swasta RCTI, Indosiar dalam kategori mengkhawatirkan. Khawatir dalam arti, tayangan ini mengandung unsur tidak baik bagi anak-anak. Sayangnya, pengumuman itu tidak dilakukan dengan tindakan pemberian sanksi pada stasiun televisi yang memutar secara reguler film kartun itu. KPI pun hanya memberikan kewajiban agar pengelola stasiun TV mencantumkan kode di sudut kanan layar televisi, misalnya dengan kode umum, 17 plus (untuk usia 17 tahun keatas), BO (Bimbingan orang tua) dan A (anak).
Aneh memang, di Indonesia termasuk di Aceh hari ini, globalisasi media yang menawarkan realitas semu malah semakin digemari. Realitas semu yang saya maksud tentu media yang menawarkan seakan-akan semuanya nyata dan terjadi sangat cepat. Lihatlah iklan produk kecantikan yang mengekplorasi kecantikan sang artis.

Lalu, masyarakat awam pun menerima ini mentah-mentah dan langsung membeli produk yang ditawarkan. Sampai di sini, ini tak masalah. Lalu, bagaimana dengan produk tayangan kekerasan atau media harian yang terbit menawarkan berita kekerasan. Aneh saja, segmen pasar media jenis ini bahkan sangat banyak.

Umumnya, dibeli oleh masyarakat bawah. Artinya, masyarakat kita ini terbilang sakit telah menyukai tayangan kekerasan dan media cetak yang menyajikan pemberitaan darah. Di tingkat nasional, perdebatan soal realitas semu dan masyarakat sakit ini masih berlangsung hingga kini.
Selain itu, saat ini, tidak ada pendidikan melek media untuk masyarakat secara umum. Lembaga kajian media massa pun jumlahnya sangat terbatas. Umumnya, hanya terdapat di kota-kota besar seperti, Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan. Sebelum kasus Tom&Jerry muncul, kartun Shincan juga mendapat sorotan tajam dari kalangan pemerhati media dan komunikasi massa di Indonesia. Shincan, si anak kecil yang tergolong tak sopan itu dianggap merusak moral anak-anak.

Pasalnya, si anak kecil nakal ini, seringkali melecehkan guru sekolahnya sendiri. Bahkan orang tuanya pun seringkali ”dikerjai” oleh si tokoh kecil yang menduduki ranking tontonan favorit anak di Indonesia tahun 2004 silam. Ini menarik, kini muncul Tom&Jerry.
Tom yang tak pernah akur dengan Jerry itu bukan hanya disiarkan oleh stasiun TV. Namun, kepingan Video Compact Disc (VCD) bajakannya pun laris manis di pasaran. Hampir semua anak di negeri ini pernah menonton tanyangan itu.

Lalu, saya pikir tidak cukup hanya sebatas pencantuman kode tayangan. Mencantumkan kode BO atau A, tentu bukan solusi bijak. Solusi ini hanya mengingatkan agar orangtua mendampingi anaknya ketika menonton televisi. Lalu, bagaimana dengan orangtua yang tergolong super sibuk, sehingga tak sempat mendampingi sang anak menikmati tayangan TV. Ini tentu masalah baru yang patut dipikirkan.

TV Lokal Aceh
Media komersil saat ini terlihat mulai lupa akan tanggungjawab sosialnya pada masyarakat. Maklum, media saat ini sudah beralih ke bisnis media. Bisnis tentu tujuan utamanya meraup keuntungan. Logika sederhana, tak ada pebisnis yang mahu rugi. Nah, media yang kini menawarkan realitas semu tampaknya perlu dicari penyeimbangnya. Media penyeimbang tentunya media yang peduli pada komunitas masyarakatnya.

Nah, dalam aturan hukum penyiaran Indonesia media ini disebut TV lokal. Hadirnya TV lokal disejumlah daerah di Indonesia, diharapkan menjadi penyeimbang media komersil. TV lokal, haluan utamanya bukan bisnis. Namun, memperjuangkan dan melayani kepentingan masyarakat (lokal) yang menjadi publiknya.

Untuk Aceh ini belum terlihat. Untuk jenis tayangan, tentunya tayangan TV lokal cendrung mengarah pada penguatan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Nah, kita tampaknya tak bisa berharap dari stasiun TVRI Aceh.

Selain jam siar terbatas, TVRI Aceh tampaknya belum menggunakan manajemen produksi TV yang mengacu pada standarisasi media komersil.

Saat ini, tampak iklan layanan masyarakat yang seringkali, masih terlalu kaku. Saya mengamati iklan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang menghimbau agar masyarakat mahu mendaftarkan diri ke KIP agar terdaftar sebagai peserta pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang.

Dalam iklan yang diputarkan TVRI Aceh itu bahasa yang digunakan sudah mengandung unsur lokalitas, bahasa Aceh. Namun, iklan itu tak efektif melihat durasi yang terlalu panjang, dan pola iklan yang sedikit berbelit-belit. Prinsip iklan perlu diingat, ringkas, padat, dan jelas.
Ini yang belum terlihat. Secara keseluruhan, tayangan TVRI Aceh tampaknya perlu mendapat sentuhan dan nuansa baru. Tampil modern dan tak mengeyampingkan lokalitas masyarakat Aceh.

Selain itu, Aceh TV yang kabarnya milik Jawa Pos Group ini juga belum memperlihatkan eksistensi yang dominan di Aceh. Saya berharap, Aceh TV tampil dengan nuansa modern dan lahir sebagai media yang mendidik.

Tak semata-mata meraup keuntungan seperti kebanyakan media nasional. Karena, dengan penguatan tayangan agama, budaya dan dikemas dalam nuansa modernitas yang apik, pasti media ini berhasil merebut hati masyarakat Aceh. Sayangnya, jangkauan siar Aceh TV masih terbatas.

Sebagai media dengan bendera Jawa Pos Group tentu media ini patut menawarkan prosfek lebih menjanjikan ketimbang media sebagian sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Nah, untuk itu, pencerdasan pemirsa harus terus dilakukan oleh media lokal, TV lokal ini.

Saat ini, penguasa bisnis media di Indonesia dipegang oleh Kompas Group dan Jawa Pos Group. Dua kelompok ini yang menguasai segmen pasar terbesar. Sedangkan kelompok lainnya hanya lahir sebagai media penyeimbang dengan oplah atau jangkauan terbatas.
TV lokal di Indonesia yang telah menggunakan pendekatan budaya (lokal) yang baik dan tampilan modernis, yaitu Bali TV. Dengan tampilan yang menarik, tentunya iklan bukan menjadi masalah. Tentu untuk menghidupi media, tidak cukup dengan idealis dan profesionalitas saja. Kehebatan media juga ditopang dengan modal dan laba yang lumanyan besar.

Sehingga keberlangsungan media pun bertahan lama. Pemasang iklan akan melirik media mana saja yang banyak ditonton oleh masyarakat. Saat ini, seperti saya bilang diatas, masyarakat kita cendrung menonton TV yang modernis, meskipun menawarkan realitas semu.
Tinggal lagi, bagaimana teknis media itu mengemas tayangan se-modern mungkin, namun mengandung unsur budaya lokal yang kuat. Kasus Bali TV, produk nasional juga sudah memasang iklannya pada media lokal di Bali itu. Tentu ini sebuah prestasi yang luar biasa. Selain Bali TV, JakTV juga melakukan pola yang sama.

Lalu, kenapa Aceh tak belajar dari media yang sudah sukses diluar provinsi Seramoe Mekkah ini. Sehingga, dengan adanya media penyeimbang ini, efek dari tayangan TV nasional seperti Shincan, Tom&Jerry dapat diminimalisir. Tentu, orangtua juga harus berperan mendampingi sang anak. Mendampingi dan ditambah dengan membantu anak menyaksikan tayangan lokal, budaya daerahnya sendiri akan membuat psikologis anak lebih baik. Sehingga kita tak dipusingkan lagi dengan perubahan perilaku anak sesuai tayangan yang ditontonnya. Kita tak akan disibukkan dengan Shincan, Tom & Jerry dan sepuluh jenis kartun lainnya yang tak baik ditonton anak-anak. Dengan TV lokal, anak akan tumbuh sebagai anak yang cinta akan budayanya.

Bukan cinta pada hegemoni budaya barat yang ditampilkan media nasional saat ini. Mungkinkah ini terjadi di Aceh? Entahlah.

08.28 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added