MOST RECENT

Menghargai Sineas Aceh


PASKATSUNAMI film Aceh sedikit menggeliat. Industri film ini memang masih terseok dan miskin dari makna, sajian lokalitas, dan lupa pada pesan moral yang ingin disampaikan. Terlalu panjang, dan sedikit berbelit. Ini lakon film kita (Aceh) saat ini. Lihat saja, ”empang breueh” film yang disebut-sebut paling fenomenal dalam dua tahun terakhir di provinsi ini. Dari sisi pencahayaan dan pengambilan gambar, film ini memang lebih unggul ketimbang film lainnya.

Namun, dari sisi lokalitas, tampaknya film ini tak mempertimbangkannya. Lihat saja, logat Nur Hasidah (Yusniar), aktris utama film itu ketika melafalkan kalimat dalam bahasa Aceh. Sangat kaku, seakan tak memahami bahasa ibu orang Aceh. Film ini membidik humoris sebagai sajian utama. Namun, terbilang terlalu panjang. Kabarnya film ini akan berakhir pada volume ke enam. Ini sebuah durasi film serial yang sangat panjang untuk ukuran Aceh. Dari volume satu ke volume berikutnya, saya tidak melihat satu gagasan cerita yang baru, dan sedikit berbeda dibanding volume sebelumnya. Bagi saya film ini sangat datar. Sajiannya tak terlepas dari konflik Bang Joni dan Haji Umar, untuk mendapatkan Yusniar.

Tidak lebih dari itu. Pesan sosial yang disampaikan film ini juga kabur. Kabur karena film ini disajikan dalam bentuk volume. Alasan pemilihan volume ini mungkin karena pangsa pasar. Jika melihat efektifitas, film ini bisa diringkas dalam dua keping video compact disc (VCD). Artinya hanya dua atau tiga jam tayang saja. Namun, produser memilih sisi bisnis, bukan sisi makna. Sisi bisnis, semakin banyak volume yang dikeluarkan, maka semakin banyak rupiah mengalir. Sedangkan sisi makna, cendrung menghemat durasi, dan fokus pada penyampaian pesan. Inilah lakon film kita saat ini.

Tapi, hadirnya empang breueh paling tidak membuat segmen film Aceh sedikit terangkat. Saat ini, masyarakat Aceh mulai gemar membeli film Aceh. Remaja, kaum tua, dan anak-anak juga menyenanginya dari sisi nilai humoris. Bukan sisi makna dan pesan moral dalam film itu. Anehnya, genre cerita yang hampir sama ditunjukkan dalam film ”Zainab”. Saya tidak ingin menyebutkan ini budaya ikut-ikutan. Hanya ada kemiripan alur dan plot cerita saja.

Apresiasi Film

Jika di Jakarta, terjadi perdebatan siapa yang layak diberi apresiasi dalam sebuah film, di Aceh malah tidak ada apresiasi film sama sekali. Insan seni yang bergelut dalam pembuatan film tampaknya semakin terpinggirkan. Hidup mereka hanya bergantung pada penjualan kaset dan seberapa banyak kaset yang dihasilkan. Syukur bila sang seniman ini memiliki pekerjaan lain, sehingga dia bisa eksis mempertahankan kualitas, dibanding mengejar kuantitas.

Dari segi apresiasi, belum ada satu lembaga pun yang konsen untuk memberi award (penghargaan) pada pegiat film di Aceh. Pemerintah Aceh juga alpa melakukannya. Saat ini, setau saya, hanya ada apresiasi untuk seni kategori puisi dengan Piala Maja saban tahun. Untuk film, masih miskin makna. Miskin memaknai cara kerja pekerja film kita. Lupa pula memperhatikan nasib mereka.

Seorang teman aktor film lokal Aceh menceritakan, mereka masih bergantung pada angka penjualan kaset VCD. Jika, penjualan seret, berdampak pada honor pekerja film. Syukur, jika penjualan lancar. Gaji pun ikutan lancar. Dia mengaku, tidak ada sistem royalti. Hanya sistem, per VCD. Ini merugikan aktor film tentunya. Jika kaset membludak, gaji mereka tetap. Bedanya, langsung dibayarkan. Jika tidak membludak, maka gaji tertahan, dibayar dengan cicilan. Miris memang melihat nasib aktor dan pegiat film di Aceh. Namun, inilah realitas. Industri film kita belum begitu mendapat tempat yang layak dihati penonton. Hanya film-film tertentu saja yang laris manis di pasaran. Selebihnya, masih diantara laku dan tidak.

Untuk mendapat tempat, saya pikir perlu dibuat film yang original. Mengandung ide, konsep , dan tema cerita yang berbeda dengan film-film sebelumnya. Jangan melulu cerita humor dan cerita cinta semata. Toh, film jenis ini telah digarap oleh film-film sebelumnya. Mengapa tidak, mencoba membuat film dengan latar belakang budaya Aceh yang kental. Ingat Film Cut Nyak Dhien, yang digarap Garin Nugroho. Film budaya ini bahkan mampu menghentakkan jagat perfilman Indonesia. Mengapa kita, sebagai orang Aceh tidak melakukannya. Mungkin, faktor minim sponsor menjadi kendala. Untuk tahap awal, alangkah baiknya, Pemerintah Aceh, mau menjadi sponsor pembuatan film jenis ini.

Selain dijual secara komersil, film ini juga menjaga kelestarian budaya dan cerita-cerita klasik di Aceh. Masih banyak kisah pejuang, raja, ratu dan sejarah Aceh lainnya yang belum ditayangkan secara audio visual. Paskatsunami, kita semakin kehilangan ragam budaya. Masyarakat lupa pada cerita-cerita klasik kerajaannya. Sangat sedikit pula remaja yang faham tentang cerita Cut Nyak Mutia, Malahayati, dan cerita srikandi Aceh lainnya. Ini patut menjadi perhatian kita.

Untuk menggeliatkan industri film di Aceh, tampaknya perlu memberikan penghargaan khusus. Sejenis award yang diselenggarakan tahunan. Tentu ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam penilaiaan award itu, yaitu faktor pasar, pribadi, dan prestasi (Arswendo. Kompas, 16 November 2008). Award yang diberikan tidak hanya melihat sejauhmana film itu diterima dipasaran, namun juga melihat bagaimana pribadi (orang dibelakang layar) yang mensukseskan film tersebut. Seringkali yang mendapat penghargaan dalam pesta-pesta pemberian award hanya aktris dan aktor saja. Sedangkan, orang seperti kru film, producer, kameramen dan lain sebagianya lupa. Sederetan ucapan terima kasih didepan panggung kehormatan tak cukup untuk memberikan apresiasi pada orang dibelakang layar ini. Mereka juga memiliki kehidupan dan anak-bini. Jadi, nasib mereka perlu dihargai, sebagaimana mereka memberikan penghargaan pada penonton lewat seni dan keahliannya.

Disisi lain, perlu juga memberikan penghargaan pada prestasi. Ini tentu terkait kualitas film. Kualitas film yang bagus, tentu layak dinilai dewan juri. Dewan juri haruslah orang yang mengerti film, bukan hanya orang yang duduk dilembaga kebudayaan yang berasal dari kalangan birokrat dengan pengetahuan nol tentang film dan budaya.

Namun, entah kapan penghargaan akan diberikan kepada sineas film di Aceh. Kita tau, dibeberapa kota seperti Surabaya, Jakarta, Bali, dan lainnya telah mengagendakan kegiatan tahunan untuk para pembuat film. Kita berharap, ini juga akan terjadi di Aceh. Dengan pemberian makna pada penghargaan (award) saban tahun, saya pikir akan memotivasi seluruh sineas untuk melahirkan film berkualitas. Film yang diterima semua khalayak, kental dengan kearifan lokal (Aceh) dan memiliki unsur seni yang menakjubkan. Saya pikir, Pemerintah Aceh patut menjadi hero dalam ajang yang satu ini. Jangan lupa, rekontruksi budaya, paskakonflik dan bencana, perlu mendapatkan perhatian serius, jika kita tidak ingin masyarakat Aceh menjadi pelupa. Ya, lupa pada sejarahnya sendiri. Dan, tenggelam dalam budaya kosmo yang membumi saat ini. Semoga, ini bisa diperhatikan Pemerintah Aceh. Semoga, film Aceh semakin kaya makna. Makna untuk penonton, dan makna untuk keberlangsungan budaya.[MASRIADI SAMBO]

22.29 | Posted in | Read More »

MENERUSKAN TRADISI ENDATU

TRADISI memang unik. Namun, tradisi terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ya, tradisi pula yang membuat terus berkarya. Mengikuti jejak endatu (nenek moyang). Lakon itu terlihat di Desa Pande, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara.

Seperti namanya, kampung ini dihuni oleh masyarakat yang ahli mengolah potongan besi, menjadi alat-alat pertanian. Ya, pandai besi dalam bahasa Aceh, disebut seumande (mengolah besi menjadi alat pertanian).

Informasi yang dihimpun Independen, di desa itu menyebutkan, asal nama Kampung Pande diambil dari nama Kampung Pande,Kabupaten Aceh Besar. Puluhan tahun lalu, seorang warga asal Kampung Pande, Aceh Besar datang ke desa itu.

Tidak diketahui pasti, siapa namanya. Namun, kabarnya, dialah orang pertama yang mengajarkan masyarakat untuk membuat parang, cangkul, pisau, rencong dan lain sebagainya di Desa Pande, Aceh Utara.

Kini, usaha itu sudah merakyat di Aceh Utara. Jika ingin membeli parang, dan alat pertanian lainnya dalam jumlah besar, di Aceh Utara, Desa Pande tempatnya. Di sana, seluruh masyarakat membuka usaha itu.

Suara palu menggodam besi terdengar jelas dari belakang, dan samping rumah warga. Ketang, ketang……. Suara palu itu terdengar begitu keras.

Pelakunya bukan hanya kaum tua. Sejumlah anak remaja, menghabiskan paruh waktu, usai pulang sekolah, memegang palu. Memipih besi menjadi barang jadi. “Bukan hanya mencari uang. Tapi, ini sudah membumi. Saya senang bisa bekerja dan meneruskan keahlian orang tua,” kata Irfan Sasusi (18 tahun), Ahad (23/11).

Irfan belajar membuat sekop dari ayahnya. Uniknya, di desa itu masing-masing pengrajin memiliki produk yang berbeda. Ini cara menjaga persaingan bisnis, agar tetap lancar, dan tidak saling tiru.

Aziz, pemandai besi lainnya menyebutkan tradisi pandai besi memang tak pandang bulu di desa itu. Tak hanya kaum papa saja yang mengolah besi. Kaum kaya, juga melakukan hal yang sama. “Bagi masyarakat, pandai besi menjadi tradisi. Lihat saja, orang kaya juga masih membuka usaha ini,” kata Aziz.

Aziz khusus membuat skop. Dia membuka usaha itu, empat tahun lalu. Meski terbilang kecil, dibanding usaha pande besi lainnya, Aziz tetap optimis dengan pangsa pasarnya. Saat ini, dia tak hanya memasok kebutuhan skop untuk pasar Aceh Utara dan Lhokseumawe. Namun, dia juga memasok untuk kebutuhan, Meulaboh, Aceh Besar.

“Alhamdulillah, tidak pernah sepi orderan,” ungkap Aziz sumringah. Dia dibantu dua orang tenaga kerja. Puncak penjualan pandai besi di desa itu terjadi, tahun 2005-2007 silam. Banyak pesanan datang dari sejumlah kontraktor yang terlibat pembangunan fisik pascatsunami di Aceh. Aziz, bahkan kewalahan menerima orderan.

Saat itu, dia memasok 1.000 skop per satu orang kontraktor. Kini, pesanan mulai berkurang. Tidak ada lagi pesanan dalam jumlah besar. Dan, tak ada pula si pemesan harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan skop made in Aziz.

Awalnya, Aziz bekerja pada milik pemandai besi lainnya. Namun,terakhir dia memutuskan membuka usaha sendiri. Modalnya, hanya dua palu berat lima kilogram. Hasilnya, lumayan. Kini, dia bisa bertahan dan eksis pada bisnis mikro itu.

Aziz merincikan, untuk membuat skop membutuhkan bahan berupa plat kontainer yang nantinya akan di potong berbentuk persegi panjang dan kemudian di bentuk diketok serta di haluskan dengan menggunakan mesin gerinda listrik.
“Sekarang sudah ada gerinda. Dulu, saya haluskan besi pakai alat kikir manual,” kenangnya melambung ke empat tahun lalu.

Untuk harga jual skop Aziz dibanderol 17.000 per lembar. Untuk kategori skop tebal dijual Rp 22.000 per lembar.

“Kami bisa membuat skop 50 buah sehari. Kami yakin, bila ada orderan besar, bisa selesai tepat waktu. Itu menjaga kepuasan pelanggan,” kata Aziz berpromosi.

Aziz terus mengangkat palu. Memukul lempengan demi lempengan besi. Membakar dan menyeduh besi ke air. Bukan hanya soal rupiah, namun juga soal melanjutkan tradisi. Ya, tradisi yang diwariskan endatu di kampung itu. [masriadi sambo]

22.26 | Posted in | Read More »

Lensa

Teman, dunia semakin jauh saja
Tatapan kosong ada dimana-mana
Dari balik lensa
Ku coba abadikan itu

Derai tangis, tawa riang, tepuk tangan, segudang senang, sejemput pilu
Ku rekam dalam lensa kuno milikku
Ku coba membeli lensa baru
Tak mampu
Harganya terlalu mahal

Ah, kata seorang teman
Hemat saja
Nanti juga bisa dibelikan Oma
Ah, aku lupa
Oma sudah pergi
Entah kemana

Ya, waktu ku buang begitu saja
Mencari lensa baru
Untuk merekam tindakanmu
Merekam bukan wajah kuyu
Tapi wajah baru
Segar, seperti orang usai mandi dan berhias diri

20 November 2008

02.36 | Posted in | Read More »

TERBATAS

Langkah, lidah, dan lisanku kelu
Terbatas mengucapkan makna
Menghapuskan dosa dunia
Melupakan makna tersirat

Terbatas untuk angin dan hujan
Terbatas untuk sebuah kenangan
Terbatas untuk semua kenyataaan
Terbatas kemampuan
Dan,
Aku harus diam
Tak bergeming
Untuk semuanya

15 November 2008

05.56 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added