MOST RECENT

Ketika Jujurmu




Ketika beban memuncak di kepala
Ketika mata tak bisa terpejam
Ketika waktu tak bisa terlewatkan

Ketika angin bertiup kencang
Di situ kamu berada
Ketika kejujuran, disalahartikan
Itu sebuah kebohongan dunia

Ketika aku ingin berkata
Bahwa kau terhebat
Berkata dengan semua kepolosan
Berkata untuk hari depan
Berkata tentang hal belakang menyakitkan
Dan, kamu tenggelam dalam sungai kehidupan

Ketika itu.
Anggaplah
Semua hanya memoar
Sewaktu nanti
Bisa dikenang
Untuk bahan renungan
Untuk sebuah pelajaran
Ketika matamu terpejam
Ingatlah
Dulu, aku pernah disisimu

Markas Biru, 27 Februari 2009

07.46 | Posted in | Read More »

Razali Tertipu Kuitansi


RAZALI menarik nafas. Dalam. Kemarin siang ia tak banyak bicara. Senyum pun jarang. Ia sedang mengingat kembali kenangan-kenangan buruk konflik yang merenggut sebagian kebahagiaan dalam hidupnya. Ia sulit lepas dari kenangan itu. “Anak saya meninggal dunia dalam konflik”.

“Dia anak saya satu-satunya,” kata pria 50 tahun itu. Ia mencoba menutup kesedihan itu dengan senyum yang tak manis. Tak ingin orang-orang melihat matanya berkaca. “Istri saya lumpuh,” ujarnya lagi.

Razali mengupas kembali kisah yang berat untuk dikenangnya. Ia bercerita tentang tragedi. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan TNI dan Gerakan Aceh Merdeka di dekat rumahnya di Meunasah Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Semuanya terjadi tiba-tiba.

Suatu malam, lebih empat tahun silam, senjata menyalak memecah sunyi di kampung itu. Kediaman Razali berada di antara dua pasukan yang saling gempur. Tak diketahui siapa yang kemudian menjadikan rumahnya sebagai sasaran tembak.

Anaknya tertembak. Meninggal dunia berdarah-darah di dalam rumah ketika bedil-bedil masih menyalak. Peluru, entah milik siapa, menyasar ke dadanya. Tak ada yang bisa dilakukan Razali saat itu. Tak ada yang menolong.

Desing peluru tak sempat berjeda. Tiba-tiba ledakan keras terjadi menggetarkan rumah Razali. Tidak diketahui ledakan itu berasal dari bom atau granat. Tak tahu pula siapa tuannya.

Razali hanya tahu istrinya, Nurjannah (40 tahun), tersungkur ke lantai setelah kaki kiri terkena serpihan ledakan. Nurjannah selamat, dengan sebelah kakinya lumpuh hingga sekarang.

Tragedi malam itu tidak berhenti pada kejadian berdarah-darah. Rumah Razali dibakar. Ia tahu pelakunya, tapi enggan menyebutnya. Ia menyimpan rahasia ini sendirian.

Razali kini mencoba mencari ketenangan di hidupnya. Bersama istri yang lumpuh, di lokasi rumahnya yang dulu, berdua tinggal di gubuk miring beratap terpal sumbangan kampung.

“Jangankan membuat rumah baru. Beli atap dari daun rumbia pun saya tak sanggup,” kata Razali, ketika ditemui di kantor Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) di Jalan Peutua Rumoh Rayeuk, Tumpok Teungoh, Lhokseumawe.

Untuk menafkahi keluarga, Razali yang tak berpendidikan bekerja menjadi buruh tani. Hasilnya cukup untuk makan. Jarang ia bisa menabung, karena masih harus mengobati kaki Nurjanah.

Suatu hari, pada tahun lalu, Razali mendapat kabar Badan Reintegrasi Aceh (BRA) akan memberikan bantuan kepadanya. Petugas bernama Abdullah bahkan menegaskan bahwa keluarga pria ini korban konflik yang harus dibantu, maka Razali dianjurkan segera membuat proposal permohonan bantuan dana.

Harapan ini membuat Razali menemukan kembali semangat hidup yang hilang bertahun-tahun. Ia membayangkan akan punya rumah lagi. Setidaknya ia bisa hidup bahagia lagi. Tapi, itu cuma mimpi.

BRA Aceh Utara kemudian memanggilnya datang. Di kantor itu, ia diminta menandatangani kuitansi tanda terima bantuan. Di kertas itu tertera Rp40 juta. Razali, yang tak sekolah, tak mengenal tanda tangan. Ia hanya membubuhi tanda jempol kiri di kuitansi itu. Capnya berbekas di meterai Rp6.000.

Razali masih menyimpannya. Di atas kuitansi itu, tertera nama Yusrida sebagai bendahara pengeluaran. Bukhari AK sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan dan Syahbuddin sebagai pengurus barang-barang pekerjaan di BRA Aceh Utara. Ketiga orang ini tidak menandatangani. Kuitansi itu kosong.

”Petugas BRA mengaku uang bantuan itu akan diberikan secepatnya, dalam dua tahap, untuk membangun rumah. Tapi, sampai sekarang uang itu tak ada,” kata Razali.

Terlambat. Sekarang Razali baru sadar bahwa dirinya tertipu. Ia tidak mendapatkan bantuan Rp40 juta itu. Secuil harapannya yang kembali tumbuh tiba-tiba pudar lagi. Mimpi itu tak tertebus. Razali tertipu kuitansi. [dimas]

07.59 | Posted in | Read More »

“Tolong Kami…!”

FAUZI kini terbaring lemah di rumahnya di Desa Meucat, Samudera, Aceh Utara. Tubuhnya kurus, iga-iga menonjol, kontras dengan perutnya yang buncit. Sorot mata cekungnya seakan mengisyaratkan ia benar-benar sedang tersiksa.

Sudah delapan tahun ia melewatkan hari-hari menyedihkan seperti ini. Fauzi, yang kini berusia 16 tahun, tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa keluar rumah untuk bermain dengan teman seusianya. Dia juga tak bisa bergerak bebas. Dokter memvonis Fauzi mengidap lever dan anemia akut.

”Beginilah kondisi anak saya. Kasihan dia,” ujar ibunda Fauzi, Hamidah.
Oleh dokter, remaja malang ini diwajibkan cuci darah (hemodialisis) sebulan sekali. Sekali cuci darah, dia butuh tiga sampai empat kantung darah.

Saat masih berumur delapan bulan, Hamidah melihat keanehan pada kulit anaknya, yang tidak dilihatnya pada anak–anak lain. Kulit tubuh Fauzi kuning, dengan kondisi badan kurus kering dan hanya tinggal kulit pembalut tulang.

Hamidah bingung, tidak tahu apa penyebabnya. Niat hatinya saat itu ingin memeriksakan anaknya ke dokter, tapi terbentur biaya. Ia benar-benar miskin.
Seiring waktu berlalu, anaknya terus tumbuh. Fauzi kemudian bersekolah seperti anak-anak lain.

Tapi, baru 15 hari belajar di SMP, dia sudah tidak sanggup lagi, karena sakitnya semakin. Perutnya sering sakit. Dan, ketika siksaan ini datang ia tanpa sadar kencing di celananya. Kondisi ini membuat ia minder, lalu memutuskan berhenti sekolah.
Dalam kesehariannya kini, dia sering tidur dan jarang bermain dengan teman sebayanya.

“Kalau selera makan, jangan ditanya. Dia sanggup menghabiskan nasi dua piring. Tapi, apapun yang dimakannya sia-sia, karena apa yang dimakannya tidak menjadi darah. Bahkan, saat dipegang, perutnya keras seperti batu,” kata Hamidah.

Ayah Fauzi, Muhammad Ali, mengaku dirinya juga tak bisa berbuat banyak. Dia hanya nelayan berperahu tradisional. Penghasilannya pas-pasan.

“Saya merasa tidak berguna, karena tidak mampu membahagiakan anak saya. Tapi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak dulu, hingga sekarang, keluarga kami memang sudah miskin. Maklum, pun bukan orang sekolahan,” ujarnya.

Dulu keluarga itu tinggal di gubuk reot. Namun, musibah tsunami yang melanda desanya kemudian membawa hikmah. “Sekarang kami bisa tinggal di rumah bantuan tsunami ini, yang jauh lebih bagus dari rumah kami sebelumnya,” kata Muhammad Ali lagi.

Kemiskinan membuat keluarga ini hanya mampu mencuci darah Fauzi sekali dalam enam bulan, walaupun dokter menganjurkan sebulan sekali Fauzi ganti darah. Tapi, sekarang sudah lebih dari setahun darah Fauzi belum juga ditransfusi, karena terbentur biaya.

Jangankan untuk membeli empat kantung darah setiap bulan, kata ibu Fauzi, untuk makan sehari-hari saja cukup sulit. Syukur-syukur mereka bisa makan sehari tiga kali dan tidak kelaparan.

“Selama ini kami hanya mampu berobat ke Rumah Sakit Cut Meutia (di Lhokseumawe), meski pelayanannya sangat tidak memuaskan. Tapi, hanya sampai di situlah kemampuan kami,” ujarnya lagi.

“Kami mengharapkan uluran tangan dari semua pihak, agar biaya pengobatan anak kami terbantu. Dia sangat menderita. Ketika penyakitnya kambuh, dia pasti akan langsung batuk parah, dengan wajah yang selalu pucat serta kondisi tangan dan kaki yang mengecil. Yang besar hanya perutnya”.

“Tolong kami,” kata Hamidah sambil menangis. [dimas]

01.33 | Posted in | Read More »

Dikira Gadis Malaysia


SEJAK memerankan Cek Yuli dalam mini sinema Empang Breuh, banyak orang pangling dan mengira dara cantik ini benar-benar berasal dari negeri jiran. Aksennya, penguasaan bahasa Melayu, benar-benar menyirikan ia gadis Malaysia. Padahal, Aceh tulen.

Logat Melayu Juliana Puspita memang cukup baik, maka ia tak pernah canggung saat memerankan “sahabat negeri seberang” Yusniar dalam Empang Breuh. Simaklah, ia berbicara dengan cukup baik.

“Saya sering ke Malaysia, untuk memperkenalkan budaya Aceh dengan menari atau peragaan busana. Jadi, saya terbiasa berbahasa Melayu dan sudah lumayan menguasainya,” kata Uli. Ia juga pernah tampil di Brunei Darussalam dan Thailand.

Sering, ketika Uli jalan-jalan ke luar daerah, ada orang yang tiba-tiba menyapanya dengan bahasa Melayu karena mengira Uli warga Malaysia. Sambil tersenyum, ia menyapa kembali dengan bahasa Aceh atau Indonesia.

Sulung dari tiga bersaudara ini meniti karir dunia seni sejak di SMP Negeri 1 Lhokseumawe, sebagai penari. Dia masuk sanggar Cut Mutia milik Pemerintah Aceh Utara. Sanggar ini kemudian membawanya ke beberapa negara.

Anak dari pasangan Mukhtar dan Yusna ini juga aktif di dunia modelling. Dia pernah meraih juara empat Putri Citra dan juara satu Putri Aceh di Jakarta, tahun 2003 silam. Ia juga meraih juara “Cut Kak” terbaik Provinsi Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh di Banda Aceh.

Dara kelahiran 1 Mei 1987 ini telah menjuarai 16 perlombaan modelling di Aceh dan Jakarta. Dia mengaku ingin mengharumkan nama Aceh lebih sering lagi.

”Saya ini suka hal-hal baru. Senang sekali bisa mempromosikan budaya Aceh di luar negeri. Bisa berkenalan dengan berbagai macam bangsa,” kata mahasiswi semester tujuh Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe ini.

Ada satu lagi obsesi besarnya, Uli ingin berbakti lebih nyata pada masyarakat. Caranya, berpolitik. Uli ikut berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif April mendatang. Dia didaulat sebagai calon legislatif (Caleg) oleh sebuah partai di Kota Lhokseumawe.

”Saya terjun ke dunia politik, karena ingin berbuat lebih banyak. Ingin membuktikan, bahwa nasib perempuan harus diperjuangkan oleh kaum perempuan sendiri. Ini akan saya lakukan. Mohon dukungannya ya…,” kata Uli. [dimas]

21.33 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added