MOST RECENT

Sukses di Paraguay



Tim sepak bola U 15 asal Aceh yang kini berlatih di Paraguay, menuai sukses. Pasalnya, tim itu mampu mengalahkan lawan tanding sekelas klub Tacuari Nasional Club, Tres de Febrero Club, Cero Portenyo Club, Libertad Club, Dosde Oktubre Club, dan Club Guarani (Timnas U-15 Paraguay). Hasil laga dengan semua klub ini memuaskan pelatih John Castro asal Chili. John menyebutkan generasi muda Aceh yang sedang berlatih itu menunjukkan kemajuan siginifikan. “Mereka mampu bermain taktis. Saya senang melihat perkembangan ini,” ujar John.

Sementara itu, salah seorang pemain U 15 Aceh, Satria, dihubungi via surat elektronik menyebutkan kegiatan mereka diatur sedemikian rupa. Sejak puku 07.00 - 10.00 waktu setempat mereka digenjot latihan fisik. “Disela-sela latihan fisik, kami juga belajar strategi menyerang dan bertahan,” kata Satria.

“Khusus puku 10.00 – 12.00 kami belajar bahasa Spanyol. Selain itu, kami tetap sekolah rutin. Sangat disiplin. Tidak boleh sesuka hati,” kata Satria. Latihan fisik khusus digembleng pelatih ternama negeri itu, Hugo dan pelatih kiper Claudio. Keduanya asal Paraguay.

Satria meminta do’a dari seluruh masyarakat Aceh agar seluruh putra Aceh di sana selalu menuai sukses. “Do’akan kami agar sukses. Dan, bisa menjadi tim tangguh, membanggakan Aceh dan Indonesia,” kata Satria.

Harapan Orangtua

Sementara itu, dari Desa Aceh Utara dilaporkan orangtua Satria, Asiah berharap agar putranya fokus latihan di Paraguay. Pasalnya, Satria menjadi tumpuan keluarga. “Dua hari lalu dia telepon. Saya bilang, jangan khawatirkan mamak. Fokus pada latihan. Serius, dan harus sukses,” kata Asiah.

Asia ingin ketika Satria kembali bisa dikontak oleh klub papan atas di Indonesia. “Saya yang menjadi pembimbingnya. Saya melatih dia menjadi kiper. Dan, syukur dia kini berada posisi kiper. Bukan seperti selama ini dia sering bermain pada posisi apa pun,”ungkap Asiah.

Dia menuturkan, setiap berlaga di Paraguay, Satria selalu menelpon. Dia selalu berdo’a agar putranya dan tim Aceh selalu menuai sukses. Mampu menggempur jantung pertahanan lawan, dan keluar lapangan dengan kepala tegak. [uly/gadeng]

22.56 | Posted in , , | Read More »

Dayah Salafi Sengsara




Ironi pendidikan terjadi. Diskriminasi menimpa dayah salafi.

Ironi pendidikan terjadi antara dayah salafi dan modern di Aceh. Salafi hidup segan mati tak mahu. Menjalankan roda pendidikan agama dengan bantuan seadanya. Tak jarang terpaksa mengutang sana-sini. Itulah lakon pendidikan agama di Aceh. Padahal dana melimpah untuk pembangunan Aceh paska tsunami. Namun, suntikan dana untuk dayah salafi sangat kecil, untuk tidak dikatakan nihil.

Anggota DPRA Komisi F bidang pendidikan, Azhari Basyar, mengatakan sebenarnya dana bantuan untuk dayah sudah diplotkan sangat memadai jika dibandingkan dengan daerah lain. “Melalui Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah, bantuan diberikan sesuai dengan kategori dayah yang bersangkutan,”ujar Azhari per telepon.

Sebelumnya Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah Aceh telah melakukan akreditasi yang menetapkan kategori dayah dalam tipe A, tipe B dan balai seumeubuet (pengajian).

“Kualitas dayah kita memang masih rendah, dari sekitar 700 dayah, hanya sekitar tujuh dayah yang sudah menyamai kualitas pesantren di Jawa,”ungkap Azhari. Dia mengakui kondisi dayah Salafi di Aceh kini memang menyedihkan disbanding dayah modern. “Jelasnya, dayah di Aceh belum makmur. Ini yang saya lihat di lapangan,”ujarnya.

Peneliti dayah di Aceh, Mukhlisuddin Ilyas, menyebutkan pemerintah belum berpihak pada dayah salafi. Dia menilai tidak ada definisi konkrit tentang dayah salafi pada peraturan daerah “Hal ini menyebabkan pemahaman yang berbeda diantara pengambil kebijakan. Ini mengakibat pula yang mengakibat perbedaan perlakuan pemerintah daerah,” katanya. Dia menyarankan Pemerintah Aceh membuat qanun tentang dayah,

Anehnya lagi, jumlah dayah di Aceh tidak diketahui secara pasti. Penelitian Muklis menunjukkan angka yang berbeda. “Organisasi Rabithah Taliban mengeluarkan angka seribuan dayah pada tahun 2007, Departemen Agama merilis angka 800 dayah, sedangkan dinas pendidikan sebelum adanya Badan Pembinaan Dayah mengklaim antara 400-600 dayah,”ungkap penulis buku tentang Aceh ini.

Lebih jauh dia menyebutkan, Pergub Aceh tentang dayah semakin menyudutkan dayah salafi. “Ada yang lucu tentang dayah jika ditinjau dari klasifikasi tersebut, ada dayah Salafi yang memiliki 1000 santri tetapi menjalankan manajemen tradisional sehingga dianggap tipe B. Di tempat lain, ada dayah yang baru berdiri dengan santri ratusan saja tetapi menerapkan manajemen modern mendapat tipe A yang tentu saja akhirnya mendapat bantuan yang lebih besar,”beber Mukhlisuddin.

Dia menilai pemerintah cendrung lebih memperhatikan dayah dengan manajemen modern. Sedangkan salafi terus terlupakan. Informasi yang dihimpun bantuan dayah tahun ini mencapai Rp 226 miliar.

“Saran saya, pemerintah harus memisahkan dana bantuan antara Salafi dengan dayah modern, kedua SKPA yang terkait harus merumuskan blue print yang jelas sesuai dengan karakter Aceh, ketiga pemerintah harus membuat forum dayah semacam working group yang membahas segala kepentingan dayah dan terakhir segera membuat qanun khusus tentang dayah,”jelasnya.[nizar]

BACA TABLOID PEUNEUGAH ACEH, EDISI 4/2009

22.47 | Posted in , , , | Read More »

Ketakutan Jelang 13 Juni …



UN telah berlangsung. Kini siswa menunggu pengumuman. Harap-harap cemas. Lulus atau tidak. Karena, UN dianggap monster pendidikan.

***
“Ah, binggung bang. Entah lulus, entah tidak.”
Kalimat itu meluncur deras dari bibir dara cantik, Lasti Dewi (18 Tahun). Siswi SMA Negeri 1 Lhokseumawe itu kini menunggu hasil pengumuman Ujian Nasional (UN) direncanakan 13 Juni mendatang. Lasti satu dari 265.925 orang siswa yang gelisah di Aceh. Tidur pun tak nyenyak. Maklum, orang tua ingin melanjutkan pendidikannya ke luar Aceh. “Saya ingin masuk ke Universitas Indonesia. Ambil jurusan hubungan internasional. Jadi, kalau tak lulus, wah tak tahu harus bagaimana lagi,” ujarnya binggung.

Raut wajahnya memerah. Tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Ujian Nasional untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) telah berakhir, Jumat lalu . Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) UN akan dilangsungkan 27-30 April 2009.

Wajar saja, untuk tahun ini, Departemen Pendidikan Republik Indonesia, menyatakan peserta UN apabila memenuhi standar kelulusan, yakni memiliki nilai rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4, 25 untuk mata pelajaran lainnya. Khusus SMK nila mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00.

Berbagai cara pun dilakukan agar bisa lulus ujian yang dianggap monster pendidikan itu. Dari kursus tambahan mata pelajaran, hingga menggelar do’a bersama. Di Aceh utara, sebelum UN digelar, siswa menggelar do’a bersama di Keucamatan Geureudong Pase, dan Kecamatan Simpang Keuramat. Kegiatan serupa digelar ketika UN SMP akan dilaksanakan.

“Semua cara sudah saya lakukan. Dari belajar tambahan, sampai rajin-rajin berdo’a dan minta tolong sama Allah. Namun, hasilnya nanti entah bagaimana ini,” kata Yusna, siswi SMA Negeri 1 Matangkuli, Aceh Utara.

Orangtua murid juga gelisah. Rosniati (50 Tahun), warga Desa Kampung Jawa Baru, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe menyebutkan dia khawatir putri semata wayangnya, Cut Anggi tidak lulus UN. “Dia itu harapan keluarga satu-satunya. Kalau tidak lulus, bagaimana. Saya binggung sendiri sekarang. Anak saya siswa SMK 2 Lhokseumawe,” ujar Rosni.

Buruk Rupa Pendidikan
Data Dinas Pendidikan NAD menyebutkan, tingkat kelulusan siswa-siswi sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (MTs) pada ujian nasional tahun lalu mencapai 84,55 persen atau 63.946 orang dari 75.624 orang peserta. Di tingkat sekolah menengah atas/Madrasah Aliyah jurusan bahasa, tingkat kelulusan hanya mencapai 72,85 persen atau 212 dari 291 peserta.

Tingkat kelulusan siswa SMA/MA jurusan ilmu pengetahuan alam mencapai 82,14 persen atau 5281 orang dari 6429 peserta. Sementara untuk jurusan IPS di jenjang pendidikan yang sama, tingkat kelulusan hanya mencapai 67,11 persen atau 3467 orang dari 5166 orang peserta.

Sedangkan untuk tingkat sekolah menengah kejuruan, tingkat kelulusan mencapai 68,89 persen atau 5094 orang dari 7394 orang peserta. Tahun lalu, untuk kelulusan SMA Provinsi Aceh berada pada urutan 24 dari 33 provinsi di Indonesia. Sedangkan untuk SMK, menempati posisi paling buruk, yaitu urutan terakhir dari 33 provinsi. “Tahun lalu SMK paling buruk angka kelulusannya. Jadi, ini tidak boleh dibiarkan. Kita targetkan tahun ini lulus 90-an persen pelajar sekolah menengah itu bisa lulus. Kita harus bangkit dari keterpurukan pendidikan,” ujar wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, ketika meninjau pelaksanaan UN di Banda Aceh.

Nazar menyebutkan saat ini Aceh harus bangkit dari keterpurukan pendidikan. “Harus meningkatkan mutu lulusan. Sehingga, kita bisa bersaing dengan provinsi lainnya,” terangnya. Nazar optimis, angka kelulusan tahun ini bisa ditingkatkan. Pasalnya, dinas pendidikan telah melakukan up grade kemampuan guru mata pelajaran yang diujikan secara nasional, yaitu Bahasa Indonesia, Mate-matika dan Bahasa Inggris.

Guru pun Menolak

Meski wakil gubernur optimis angka kelulusan bisa ditingkatkan, namun di lapangan para guru khawatir terhadap kelulusan siswanya. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Lhokseumawe, Zulkifli, tidak berani mematok angka kelulusan 100 persen. Meski tahun lalu, siswa di sekolah dinyatakan lulus 100 persen. “Tidak berani saya mematok angka tinggi. Takut tidak lulus nanti, saya yang malu,” katanya.

Dia menyebutkan, dirinya hanya berani mematok angka 80 persen kelulusan. Pasalnya, standarisasi sekolah tidak berbanding lurus dengan fasilitas pendidikan di Indoensia. Masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Selain itu, tenaga pengajar juga kesulitan mendapat bahan ajar yang memadai. Al hasil, ketika UN digelar, kekhawatiran memuncak. Takut, anak didik tak bisa melewati ujian standar nasional itu.

Baharuddin, guru pada MTs N Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, menolak UN. Dia mengatakan, fasilitas sekolah tidak sama diseluruh Indoensia. “Hapuskan saja UN. Tidak mungkin bisa disamakan fasilitas dan mutu antara Jakarta, Aceh dan provinsi lainnya,” ujarnya kesal.

Dia menyebutkan siswa yang cerdas pun bisa tidak lulus pada ujian nasional itu. Bahkan, siswa yang bandel, dan tidak cerdas bisa lulus. “Mengapa yang cerdas tak bisa lulus. Ada siswa yang bodoh bahkan bisa lulus. Ini karena kecurangan pada UN. Banyak soal yang bocor sebelum sampai ke sekolah,” kata Baharuddin.

Dia menyarakan system ujian kembali pada masa lampau. Dinilai oleh guru. “Soal boleh dibuat Jakarta. Tapi, penilaian silahkan di provinsi. Tim penilai tentu harus obyektif dan bersih. Jangan main sogok dan bocorkan soal,” katanya.

Karena mutu pendidikan setiap provinsi berbeda, maka soal patut dibedakan pula. “Standarisasi harus dibedakan. Tak mungkin disamakan. Nah, untuk dewan yang baru nanti, harap serius menolak UN ini. Bisa tak bermoral semua alumnus sekolah, kalau UN terus diberlangsungkan. Karena, mereka lulus dari bocoran soal. Bocornya kunci jawaban dan lain sebagainya. Mereka lulus bukan karena kemampuan. Namun, karena bocoran kunci jawaban. Baharuddin berrpendat, kunci jawaban pasti bisa bocor. Karena, sebagian siswa adalah anak dari pejabat daerah. “Tolak UN,” tegas Baharuddin.

Penolakan terhadap UN telah berlangsung sejak dua tahun lalu. Masyarakat sipil menilai UN bukan system yang tepat untuk memberlakukan standarisasi pendidikan. UN boleh dilakukan, bila semua sekolah di Indonesia memiliki kuwalitas guru, fasilitas sekolah, dan mutu yang sama. Jika tidak, UN tetap menjadi monster pendidikan, ditakuti murid, orangtua, dan guru. [dimas/igadeng]

Baca Tabloid Peuneugah Aceh, Edisi 4/2009

22.38 | Posted in , , , | Read More »

Ketua MAA : Pakaian Adat Identitas Aceh



Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman menyarankan agar pelantikan anggota dewan yang baru mengenakan pakaian adat Aceh. Menurutnya, pakaian itu, khas dan mencerminkan ke-Aceh-an

“Zaman kerajaan dulu, sultan menerima para tamu dari berbagai negara dengan berbagai macam pakaian pula. Nah, kemudian ketika melihat ada pakaian-pakaian yang menarik maka diadopsinya model pakaian tersebut,”ujar Badruzzaman.

Baju Aceh itu memang indah. Manusia kodratnya menyukai keindahan. Hadih maja ta takot keu angkatan, ta malee keu pakaian (rakyat takut kepada angkatan atau penguasa yang mempunyai angkatan perang tetapi kita malu kepada pakaian yang kita kenakan). “Artinya pakaian adalah menunjukkan strata atau harga diri orang Aceh,”jelasnya.

Maka pakaian pun diatur oleh manusia. Jika ke sawah, cukup pakaian seadanya, karena pasti akan terkena lumpur. Begitu juga dengan acara resmi kebesaran, ditentukan acara apa yang memakai kupiah Meukeutop, kapan pakai Siwah, kapan memakai motif pucok rambong. ”Pakaian khas tidak boleh dipakai sembarangan, bukan karena alasan berdosa, tetapi dalam rangka memelihara adat. Sesuaikan dengan tempat, nilai dan aturan. Saya setuju, agar anggota dewan baru mengenakan kembali baju adat pada acara resmi,”terangnya panjang lebar. Memakai pakaian adat menguatkan identitas dan kebanggaan sebagai orang Aceh.“Kami secara institusi terus mendorong penerapan kembali nilai-nilai budaya dalam setiap kesempatan,”katanya.

Mantan gubernur Aceh, Ibrahim Hasan pernah mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) mengenakan pakaian batik Aceh khusus hari Jumat. Lalu, dia juga mengintruksikan agar kantor bupati di Aceh menyerupakai rumah adat Aceh. Lalu, mengapa semua tradisi itu dihilangkan. Badruzzaman menghimbau agar parlemen baru nanti, mau merubah tata tertib pelantikan anggota dewan. Mengganti jas, dengan baju adat khas Aceh, lengkap dengan kupiah meukeutop. Saatnya melestarikan tradisi di gedung wakil rakyat. [nizar]

Baca Tabloid Peuneugah Aceh, Edisi 4, 2009

22.34 | Posted in , | Read More »

Mungkihkah Kupiah Meukeutop di Gedung Dewan?



Kupiah meukeutop menjadi kebanggan masyarakat Aceh. Akahkah anggota parlemen baru menggenakan kupiah itu ketika dilantik menjadi anggota parlemen?

TAHUN 2006, pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh identik mengenakan pakaian adat Aceh. Pertama kali dilakukan oleh pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang kini menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh. Pakar komunikasi politik menyebutkan, kampanye Irwandi-Nazar efektif, karena satu-satunya pasangan yang mengenakan baju Aceh. Lalu, Pemilu 9 April 2009, banyak caleg meniru langkah ini. Tidak semua berhasil. Ada yang terpilih, ada pula yang tidak. Lalu, mungkinkah anggota dewan yang baru terpilih pada Pemilu lalu, dilantik dengan menggunakan pakaian adat Aceh?

Calon anggota DPRA dari Partai Daulat Aceh (PDA) Nasrul Sufi, menyebutkan setuju dengan wacana mengenakan pakaian adat Aceh ketika pelantikan dewan.

“Tidak masalah. Saya bersedia mengenakannya. Ini jika diperbolehkan dalam aturan dan tata tertib pelantikan dewan,” ujar anggota dewan yang dipastikan lolos ke gedung parlemen Aceh itu.

Nasrul antusias. Wajahnya terlihat gembira. “Ini menarik, ada fenomena baru dalam acara formal dimana setiap kegiatan memakai baju khas Aceh,”sambungnya.

Senada dengan Nasrul, anggota DPRA Aceh, Sulaiman Abda sangat setuju dengan pakaian baru yang akan dikenakan pada pelantikan anggota dewan ini. Politisi dari Partai Golkar itu disebut-sebut juga terpilih kembali menjadi anggota DPRA periode lima tahun mendatang.

“Apa saja boleh dipakai tergantung pada kesepakatan resmi, tidak ada masalah bahkan memakai pakaian putih saja saya juga mau,”tegas Sulaiman. Dia menyebutkan, selama ini pelantikan anggota DPRA selalu menggunakan jas plus dasi. Dia setuju dengan gaya itu. Sulaiman juga tak keberatan bila diganti dengan kupiah meukeutop plus rencong di pinggang.

“Pihak sekretariat dewan yang akan mengatur lebih lanjut mengenai tata tertib pelantikan, Coba tanya mereka, dia lebih mengerti tentang aturan pelantikan. Terpenting, kita semua sepakat mengenakan pakaian adat saat pelantikan. Jadi, lebih seragam dan sangat ke-Aceh-an,”ujarnya.

Sulaiman dan Nasrul Sufi juga menyetujui bilang langkah itu akan diikuti oleh anggota DPRK kabupaten/kota di Aceh “Semua kembali kepada agreement (perjanjian) bersama anggota dewan,”ujarnya singkat.



Terbetur Tata Tertib
Sementara itu, Sekretaris DPRA, Hasan Basri A Thalib menyebutkan pelantikan DPRA dan DPRK diperkirakan hasil Pemilu 2009 tetap menggunakan jas dan dasi. Hal itu sesuai dengan tata tertib DPRA No 1/DPRD/2007 pasal 1 point a yang berbunyi, pakaian sipil lengkap dipakai untuk setiap kegiatan rapat paripurna atau paripurna khusus.

“Pelantikan anggota baru DPRA termasuk dalam sidang paripurna khusus atau istimewa. Artinya anggota dewan yang akan dilantik dilantik memakai pakaian sipil lengkap yang berupa jas lengan panjang,”rincinya. Namun dia tidak menutup kemungkinan kedepan pakaian adat Aceh itu bisa pada sidang paripurna. Syaratnya, tata tertib yang ada harus dirubah oleh anggota parlemen.

“Saya secara pribadi senang-senang saja melihat pakaian adat dipakai dalam sidang. Namun, kalau sekarang tidak bisa.Apabila anggota dewan yang baru mau merubah tata tertib, ke depan baju itu sudah bisa dikenakan pada sidang resmi,”ujarnya tersenyum.

Hasan menyebutkan, bila anggota dewan yang baru nanti ingin mengenakan pakaian adat Aceh, artinya melanggar tata tertib.

Dalam Peraturan Pemerintah No 24/ 2004 tentang Kedudukan Protokoler Anggota DPR masing-masing anggota dewan mendapat pakaian resmi atau safari dan baju pelantikan satu stel per tahun. Ditambah pakaian sipil harian (PSH) dua stel per tahun. Biaya yang dikeluarkan pun terbilang besar, untuk pakaian PSH diberikan biaya sebesar Rp 3 juta per stel. Sedangkan pakaian pelantikan sebesar Rp 3,9 juta .

Informasi yang dihimpun Peuneugah, pakaian adat Aceh hanya dijual Rp 2 juta, lengkap dengan segala aksesorisnya. Namun, Hasan berpendat lain. Dia menilai biaya untuk pakaian adat Aceh lebih mahal. “Butuh Siwah (sejenis rencong-red), kupiah meukeutop juga, assesories lain, yang pastinya lebih mahal dari jas,”ungkap Hasan.

“Tidak ada biaya pelantikan khusus yang dianggarkan untuk pelantikan. Hanya diambil dari biaya rutin sekretariat dewan saja,” pungkas Hasan menutup perbincangan. [nizar]

Lihat teks asli pada Tabloid Peuneugah Aceh, Edisi 4, 2009.

22.31 | Posted in , | Read More »

Kamu




Kamu…
Bagian dari jiwa yang terbelah
Kamu…
Bagian sebuah ingatan yang kembali

Sebuah awal kenangan
Berawal dari satu menit
Dalam dunia maya
Dalam hubungan yang baru

Kamu…
Sebuah harapan masa depan
Sebuah niat akan cita-cita mapan
Sebuah bayang semu
Tentang keindahan kota mu
Tentang pasir putih dan telur puyuh
Tetang mengejar matahari
Tentang berburu cahaya di dekat kuburan cina

Kamu…
Sebuah harapan yang tak nyata

[Peuneugah Aceh, 2009]

04.34 | Posted in | Read More »

M u n a f i k


Cerpen Masriadi Sambo

SETAHUN lalu kantor ini begitu ricuh dengan gelak-tawa. Saban sore, ruang kantor selalu padat. Ada yang sibuk dengan kamera SLR (Single Lens Refleks), ada pula yang sibuk membuat naskah. Untuk dicetak esok pagi. Menyebarkan informasi kepada rakyat negeri. Agar rakyat tak ditipu, agar keadilan ditegakkan. Agar para pejabat tak korup. Dan, dari ruang kecil ini, semua bermula.

Deadline tak lagi menjadi momok yang menakutkan. Bahkan sambil tertawa dengan iringan suara tuts komputer, deadline itu terlewatkan saban hari. Ya, dari situlah semua berkembang. Perlahan dan pasti, media ini semakin besar. Semua masyarakat sudah mengenalinya. Semua pejabat mulai menakutinya. Pejabat korup, selalu menghindar dari para pekerja media ini. Dibangun dari idealisme kru yang luar biasa. Sangat solid dan tangguh.

Tapi, semua itu entah mengapa sirna. Aku tak merasakan gelak-tawa semua kru. Kami menyebutkan diri buruh. Ya, pekerja media juga buruh. Para buruh ini masuk kantor dengan wajah pucat. Ada pula dengan wajah cemberut. Wajah lainnya tak kalah kecut.
Semua berubah. Entah mengapa ini terjadi.

”Ah, sepertinya kita sudah bisa bungkus baju dari kantor. Sudah tak nyaman lagi aku bang,” kata Dede, mengawali perbincangan di warung kopi tempat kami nongkrong saban pagi.

”Ah, yakin kamu. Jangan asal mengeluh. Kalau aku masih lajang. Tak masalah. Siap dengan segala resiko. Aku nggak punya istri sepertimu De,” aku menimpali. Aku ragu benar omongan Dede, temanku itu.

”Ya. Sekarang kalau kamu sudah tak betah di kantor. Ya, kamu keluar. Jangan mengeluh, kalau memang mau bertahan. Sepakat sajalah bagaimana baiknya,” kata Opa sambil minum kopi pahit kesukaannya. Opa orang paling senior diantara kami. Usianya diatas 50 Tahun.

”Aku ikut apa kata teman-teman saja. Kalau sepakat nggak betah di kantor, ya barengan. Kalau sepakat betah, ya senasib lah kita di kantor,” kata Siraj.
”Ah, begini sajalah. Kita bungkus saja semua barang-barang kita. Jadi, sudah tak tahan lagi aku,” kata Dede lagi.

”Setuju,” serempak keempat karyawan kantor itu menjawab. Mereka pun mengajukan pengunduran diri. Pengunduran diri sangat santun, dan lazim dilakukan oleh para karyawan.

Semua teman-teman sibuk mencari tempat bekerja lain. Ada yang bekerja di media regional. Ada pula yang bekerja di media nasional. Ada pula yang memilih konsen jadi politisi. Semua berpencar. Meski begitu, semua masih silaturahmi. Saban pagi, masih minum kopi di tempat biasa. Mengingat kembali kenangan yang setahun lebih telah berjalan.

***
Waktu terus berpacu. Aku sibuk menyelesaikan kuliahku. Selama bekerja, aku kurang perhatian terhadap pendidikan. Kini, kupikir, saatnya serius. Mengakhiri masa panjang studi, dan mempersembahkan gelar sarjana pada ibuku di kampung. Ya, itu yang dia minta. Dia ingin agar putra bungsunya ini menjadi orang kantoran. Memiliki pekerjaan tetap. Keinginan yang mulia.

Kuliahku pun berakhir. Siang ini, aku baru saja mendaftarkan diri sebagai peserta wisuda. Ya, sebentar lagi, aku resmi menyandang gelar sarjana sosial. Dalam perjalanan pulang dari kampus, handphoneku berdering.
“Dimana? Ada baca koran hari ini?” tanya Opa.
“Ah, tidak. Udah lama aku tak baca koran. Paling situs online. Ada apa dengan koran hari ini?” tanyaku heran.
”Dede masuk lagi. Padahal dia yang bilang kalau harus bungkus baju dari kantor. Entah bagaimana anak itu. Cobalah kau tanya?” kata Opa. Dan pembicaraan pun terputus.

Akal sehatku susah menerima itu. Aku heran, temanku yang satu itu. Dia yang paling semangat untuk meninggalkan kantor. Dia pula yang setiap pagi mengatakan kalau sudah tak sanggup dengan iklim di kantor. Mengapa dia pula yang mengawali kembali ke kantor. Aku urungkan niat untuk menelponnya. Kupikir, hidup adalah pilihan. Mungkin dia memilih lain.

Hanphoneku kembali berdering. ”Udah tau informasi yang beredar? Aku dikatakan sebagai biang keluarnya kita dari kantor?” kali ini Siraj yang menelpon.

”Wah, aku belum tahu. Aku pikir, masalahnya sudah berakhir. Aku sibuk menyelesaikan kuliahku. Dan, kamu sebagai calon anggota legislatif (caleg). Jadi, kok bisa begitu,” tanyaku heran.

”Entahlah. Padahal Dede yang semangat waktu itu. Kok malah kita yang kena hal yang tak enak. Biarkanlah dia. Pusing aku,” ujar Siraj lagi.

”Ah, sudahlah. Tak usah ngomong sana-sini. Diam saja. Apa pun kejadiannya, kita pernah bekerja di kantor itu. Tak usah memburukkan. Hidup pilihan Bos. Jadi, tak usah saling menjelek-jelekkan. Saling mengganteng-gantengkan diri saja,” kataku sambil terbahak.

Aku kembali berpikir. Mengapa masalah ini tak ada habisnya. Ah, sudahlah. Semua manusia memiliki jalan hidup yang telah ditakdirkan. Jika suatu waktu aku juga kembali ke kantor itu. Aku pikir itu juga takdir. Aku pikir Dede sudah puas dengan pilihannya. Dan, menggelabui semua kami. Munafik. Ya, itulah karakter manusia. Jika sama, maka tak akan ada perang di negeri ini. Tak akan ada pula koruptor. Tak akan ada pula ulama sebagai penceramah. Tak akan ada pula sosok munafik. Hidup memang aneh. Dan, keanehan itu harus dijalani.

”Siraj, Opa. Kalau semua pikiran manusia sama. Maka tak akan perang Aceh ini. Aman selalu. Dan, tak diperlakukan aparat penjaga keamanan. Karena semua orang baik. Karena semua manusia tak perlu diawasi. Semuanya alim. Patuh pada norma. Jika Dede, sudah memfitnah kalian. Tenanglah. Itulah karakter manusia yang berbeda,” tulisku dalam layar sms. Agar Siraj dan Opa tenang. Tak emosi. Dan Tak menaruh dendam.

Markas Biru, 7 April 2009

04.05 | Posted in | Read More »

Love is Cinta



Untuk 9 April

Ketika aku tak memiliki apa pun kau mulai mendekat
Sepenggal pesan singkat, di saat aku ditabalkan mahasiswa teladan dua tahun lalu
Saat itu
Aku kehilangan arah
Bimbang membawa hati yang gersang
Bimbang pula ke mana harus berlabuh

Saat itu, tak ada yang istimewa
Tempat tidur di bawah tenda kumuh
Dan, kamu membenahinya
Merapikan semua buku yang berserakan
Membantu semua kegiatanku
Ah, kamu bilang, inilah resiko jadi pacar seorang aktifis

Dan, disaat waktumu melelah
Kamu masih sempatkan diri untuk melihat lokasi kumuh itu
Kembali merapikan buku yang berserakan
Ya, di sekretariat organisasi

Itu dua tahun lalu
Waktu terus berjalan
Perlahan kubenahi hidup dengan rizki dari Nya
Dengan do’amu tentunya
Dengan semua orang yang mendoakan langkahku

Disaat itu pula semua membaik
Menghabiskan waktu setiap akhir pekan
Menatap bulan di Jasbret
Menghitung bintang yang bersinar
Dan, kamu bilang itu yang terindah
Saat kita menghabiskan ratusan ribu hanya untuk sepiring nasi
Ah, jika ini dibelikan beras, dan disumbangkan anak yatim, rasanya lebih berharga
Kamu bilang, inilah masa indah
Kan tak selamanya begini
Hanya sekali
Esok pagi, kita kan kembali berbakti untuk negeri
Bekerja yang baik untuk perusahaan
Meski sedikit tak dimaknai
Tapi sudahlah, kamu kata itulah nasib buruh

Kini,
Ketika aku rapuh kembali
Kamu masih ada di sini
Ya, menatap bulan di Jasbret
Duduk, termangu, berpikir untuk hari depan yang cerah
Berpikir untuk membatalkan jadwal menuju rumah impian
Dan, aku salut
Kamu masih di sini
Di tempat ini
Dan, ketika ku berpaling
Kamu setia menemani
Menggelut rambutku yang ikal, sedikit acak-acakan
Kamu bilang
Dua bulan lagi, sebuah harapan baru kan tiba
Sebuah wujud dari cita-cita
Sebuah impian untuk lebih baik
Membangun diri
Membangun martabat
Ya, demi Aceh bermartabat

Dan, ketegaranmu, membuatku semakin yakin
Hidup adalah perjuangan
Hidup adalah pilihan
Dan, hidup adalah sesuatu yang nyata untuk berbuat seadanya
Selamat ulang tahun cinta


Markas Biru, 7 April 2009

*masriadi sambo*

23.26 | Posted in | Read More »

K A K U


KAKU

Sistem membuatku muak
Terlalu kaku
Memaksakan kehendak, dan selera
Inikah ukuran profesionalitas

Ah, kupikir, di negeri mana pun
Profesional tak dimaknai sedingin itu
Seperti pori pada wajah
Yang tak bisa dibersihkan
Walau pun ditumpahkan segudang anti komedo

Kaku
Itulah kamu
Kupikir, itu akan membelenggumu
Dan, kamu terpakar disatu senja kan tiba
Disaat yang lain sudah tertawa lepas
Kamu masih berkutat dengan muka pucat
Raut kusam
Dan, jiwamu kan hilang
Ditelan oleh gelap zaman yang menghantam

Kaku
Itulah kamu
Nasibmu seburuk kakumu

kamar sepi, akhir maret 2009

masriadi sambo

03.05 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added