MOST RECENT

Bola Panas Reservoir Lhokseumawe




Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat di Desa Pusong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe mengklaim tanah untuk pembangunan reservoir itu milik mereka.Namun kini, Pemerintah Lhokseumawe, mengklaim tanah itu milik Negara. Warga pun beraksi.

PANTAI seluas 7.976 meter persegi itu terlihat kosong. Diberi tanda dengan tali plastik, warna merah menyala. Masing-masing warga memiliki tanah 25 meter persegi. Tanah itu kini diakui Pemko Lhokseumawe sebagai tanah Negara, dibangun untuk pembangunan reservoir, sebagai solusi mengatasi banjir kawasan kota. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Cerita sengketa ini berawal pada tahun 1984 silam. Saat itu, Lhokseumawe masih tergabung dalam Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, dipimpin oleh Ali Basyah sebagai bupati.Sekda Aceh Utara saat itu, dijabat T Syahbuddin Harni.


Saat itu, tanah yang kini dimiliki 33 warga Dusun Rawa Jaya, Lorong III, Desa Pusong, Kecamatan Banda Sakti, itu ingin dibagikan pada 44 orang pejabat teras kala itu. Namun, masyarakat memprotes keras. Mereka mendatangi Sekda, T Syahbuddin Harni. Kemudian, konflik ini berakhir damai. Pemerintah Aceh Utara di bawah Sekda menyerahkan tanah itu untuk dikelola dan ditempati masyarakat Pusong. Kemudian, sebagian dari masyarakat mengurus sertifikat tanah. Namun, sebagian tidak mengurus sertifikat tanah. Kendalanya, adalah biaya. Masyarakat Pusong, yang dominan bekerja sebagai nelayan tidak memiliki uang untuk mengurus sertifikat tanah. “Waktu itu, sudah jelas-jelas, Pemerintah Aceh Utara, memberikan tanah pada kami. Jadi, kenapa sekarang di bangun reservoir kembali,” kata salah seorang pemilik tanah, M Daud, kepada Kontras, awal pekan lalu.


Masih teringat jelas diingatan Daud dia mendapatkan tanah itu. Saat itu, bahkan Sekda Aceh Utara, T Syahbuddin Harni, datang ke meunasah Desa Pusong. Duduk bersama seluruh perangkat gampoeng. Perjanjian saat itu, Pemerintah Aceh Utara, memberikan tanah, berupa rawa-rawa kepada masyarakat Pusong sepanjang 50 meter dari daratan di belakang Vihara (lokasi sembahyang umat Cina). Kemudian, masyarakat membagi dua, yaitu masing-masing 25 meter. Luasnya saat itu lebih dari 4.000 meter persegi. Di depan tanah tersebut terdapat hutan bakau, milik Alm Cot Habib. Surat untuk hutan bakau ini bahkan dikantungi keluarga Habib dari Pemerintah Belanda, kini hutan ini dilimpahkan pada cucu Cot Habib.


Masyarakat pun aman sejenak. Mereka menempati tanah itu. Sebagian diantaranya membiarkannya kosong. Hanya digunakan sebagai lahan untuk mencari tiram. Masyarakat lainnya memanfaatkan lahan itu untuk menangkar ikan. Tidak ada lagi ketegangan antar masyarakat versus pemerintah. Ini terjadi sampai tahun 2001 silam.


Tahun 2001, resmi sudah Pemerintah Kota Lhokseumawe memisahkan diri dari Aceh Utara. Nah, paskatsunami 2004 silam, masalah mulai muncul. Pemerintah Kota Lhokseumawe, saat itu dipimpin Pj Walikota, Marzuki Muhammad Amin, mengeluarkan surat keterangan menguasai tanah Negara. Kejadian ini terjadi tahun 2006, dua tahun usai tsunami. Tujuannya tak lain, agar korban tsunami di Desa Pusong Lama itu juga menerima bantuan rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh. Ini, khusus untuk masyarakat yang belum memiliki surat keterangan menguasai tanah Negara, atau sertifikat tanah. Kemudian, tahun 2008, Pemerintah Lhokseumawe dibawah kepemimpinan Munir Usman merancang pembangunan reservoir. Luasnya mencapai 40 hektare. Termasuk pembangunan jalan lingkar dan jembatan kabeling. Ini megaproyek selama Munir memimpin Lhokseumawe.


Protes Keras
Sebagaimana layaknya pejabat ketika ingin membangun sebuah proyek, maka pernyataan proyek itu pun diekspose ke media massa. Munir Usman mengatakan tanah untuk reservoir itu milik Negara, jadi, tak perlu ada ganti-rugi. Membaca kabar ini, sontak pemilik tanah di Pusong merasa panas-dingin. Kemarahan mereka sampai ke ubun-ubun. Mereka pun mendatangi Walikota, Munir Usman. “Kami protes pada Februari 2009, Saya lupa tanggal persisnya. Kami ingin mengetahui kebijakan apa yang akan diambil Walikota, Lhokseumawe, tentang tanah kami. Waktu itu, tidak ada jawaban yang memuaskan,” kata jurubicara warga pemilik tanah, Mahdi.


Kemudian, 3 Juli 2009, seluruh pemilik tanah diundang oleh Camat Banda Sakti Lhokseumawe, M Irsyadi untuk membahas persoalan tanah tersebut. Hasilnya, dua solusi yang ditawarkan warga, yaitu memindahkan jalur reservoir itu ke tengah laut, atawa menggantikan tanah milik warga. Direlokasi ke tempat lainnya.


“Kami tidak minta ganti-rugi uang. Tapi, kami minta dipindahkan jalur itu ke tengah laut. Jika dipindahkan, diambil tanah kami sepuluh meter juga tak masalah. Solusi kedua, tawaran kita agar seluruh pemilik tanah diganti dengan tanah juga. Dipindahkan ke tempat lain, tentu tetap di pinggiran pantai,” kata Mahdi. Namun, usulan itu mentok.

Tumpang Tindih Kebijakan
Masyarakat pemilik tanah pun mengherankan kebijakan yang diambil oleh Pemko Lhokseumawe terkait masalah ini. Di satu hari, April 2009, Sekretaris Daerah Kota Lhokseuamwe (Sekdako) Safwan, sepakat agar memindahkan jalur reservoir yang terkena tanah warga. Jadi, jalur reservoir itu akan dibangun di atas tanah milik Negara. “Waktu itu, Sekdako, Safwan sudah setuju. Ketika berkunjung kemari, beliau bilang bahwa sudah setuju untuk memindahkan jalur reservoir ke atas lahan milik Negara. Jadi, tidak ada yang dirugikan masyarakat,” ungkap Mahdi. Namun, anehnya lagi, pada 28 April 2009 Arifin Abdullah, kini menjabat asisten III, Pemko Lhokseumawe mengeluarkan surat dan ditujukan kepada Camat Banda Sakti, dan Keuchik Pusong. Isinya, menerangkan bahwa bahwa apabila ada tanah masyarakat yang terkena pembangunan reservoir maka akan dilakukan pembayaran pada tahun 2010 mendatang. Dualisme kebijakan ini semakin membingungkan pemilik tanah. Terakhir, dua bulan lalu, Mahdi kembali berupaya menemui Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, terkait kejelasan nasib tanah mereka. “Waktu itu, dari asistennya Pak Walikota, Munir Usman, mengatakan bahwa soal tanah itu dikembalikan lagi pada Camat. Ini artinya, proses yang kami tempuh mundur. Tak ada kemajuan,” kata Mahdi diamini oleh beberapa pemilik tanah lainnya.

Blokir Lokasi

Jengkel tuntutan mereka dibolak-balik, dilempar sana-sini, warga pun memblokir jalan reservoir itu. Mereka menutup jalan dengan kayu-kayu kecil. 8 September 2009 lalu, terjadi ketegangan antara pekerja kontraktor dengan pemilik tanah. Saat itu, pekerja ingin mulai mengeruk pinggiran laut itu. Di situ, akan dibangun jalur reservoir.

Menenanam pipa utama, untuk disalurkan ke lokasi penampungan akhir.
Masyarakat bersikeras, bila pekerja berani mengeruk pinggiran laut yang diklaim milik warga itu maka akan berhadapan secara fisik dengan warga. Beruntung, pekerja mengalah. Mereka terlihat duduk-duduk saja di atas mobil becho, tanpa melakukan kegiatan hingga sore hari. “Kami siap menjaga tanah kami. Kami akan larang siapa pun, yang masuk kemari untuk mengeruk tanah kami. Ini belum selesai. Jika sudah selesai, kami ikhlaskan tanah ini untuk pemerintah,” kata Mahdi.


Harapan serupa datang dari Keuchik Pusong Lama, Muslim Abdullah. Dia menyebutkan, persoalan tanah itu memang belum rampung. Beberapa kali Walikota Lhokseuamawe, Munir Usman, sempat mengajak tokoh desa duduk. Keputusan yang diambil pun masih bersifat lisan. Tidak ada keputusan secara tertulis yang bisa dipegang oleh masyarakat. “Saya harap, agar Walikota mengambil kebijakan yang pro rakyat. Jika tidak, saya khawatir, masyarakat akan mengambil langkah sendiri. Jika sudah begini, hal yang tak diinginkan akan terjadi,” harap Muslim. Desa Pusong sekilas terlihat santai, dan tenang. Dikelilingi oleh laut. Dihembus angin saban waktu. Namun, di sudut kampung itu, setiap hari masyarakat berjaga-jaga, agar becho tak masuk ke lahan yang diklaim milik mereka. Ya, menjaga harta benda. Inikah kebijakan yang pro rakyat, solusi harus segera diambil Pak Wali. Alamak. [masriadi]

BUCHARI [KABAG PEMERINTAHAN PEMKO LHOKSEUAMAWE]
“Akan Dibahas Kembali Setelah Lebaran”


Kepala Bagian Pemerintah, Pemko Lhokseumawe, Buchari, mengakui persoalan tanah warga di Desa Pusong itu memang terbilang rumit. Pasalnya, sebagian tanah itu berstatus hak penggunaan lahan (HPL), sebagian lagi telah memiliki sertifikat. “Tanah di Pusong itu, dari jaman dulu sebagian sudah punya sertifikat tanah. Jadi, persoalan tanah ini memang terbilang rumit. Kita akan pikirkan kebijakan tentang persoalan itu, dan duduk kembali dengan panita pembangunan reservoir,” kata Buchari.


Dia menyebutkan, Pemko Lhokseumawe berupaya semaksimal mungkin untuk memberi kebijakan terbaik untuk masyarakat. Namun, kebijakan itu akan dikaji kembali secara rinci, antara Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, Sekdako, Safwan, dan tim panitia pembangunan. “Nanti, setelah di bahas, maka akan diambil kebijakan yang diupayakan menguntungkan masyarakat. Namun, setelah lebaran ini baru bisa dilakukan. Saya akan bawa ke Sekdako kembali persoalan ini, untuk dipecahkan masalahnya,” kata Bachtiar. Bachtiar tahu persis persoalan tanah di Desa Pusong. Pasalnya, dia pernah menjabat sebagai Camat di Kecamatan Banda Sakti.


“Kita lihat nanti setelah lebaran. Kalau sekarang, saya tidak tahu solusi apa. Tidak ada solusi, meskipun bidang ini termasuk bidang kerja saya,” pungkas Bachtiar singkat ketika dihubungi per telepon. [masriadi]

02.11 | Posted in , | Read More »

Pembangunan Cet Langet di Lhokseumawe




Pembangunan di Lhokseumawe terkesan cet langet. Pemerintah sibuk membangun, namun tidak menempati gedung yang telah membangun. Inilah kisah pembangunan centang perenang di kota migas itu.

TIGA masyarakat tengah duduk santai di bangunan Pasar Kuliner di Desa Pusong, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Matahari menyengat bumi. Panas. Tiga masyarakat itu melepas lelah. Duduk di atas pinggiran bangunan. Sebanyak delapan unit bangunan pasar kuliner telah rampung sejak Januari lalu. Namun, hingga kini bangunan itu belum difungsikan. Bangunan di disain khas undak-undak Hindu, terbagi kotak-kotak kecil. Menghadap ke laut lepas. Masing-masing kotak berukuran 2,5 x 2,5 meter. Di depan bangunan itu, terlihat empat kotak yang sedang dibangu namun belum rampung. Anehnya, meski belum ditempati, bangunan itu telah bocor. Tampak jelas, bekas air hujan menetes di asbes bangunan. Bercaknya menguning.

Selain itu, bangunan itu juga terlihat jorok. Penuh sampah pada bagian dalam kotak-kotak kecil bangunan itu. Itu baru cerita buruk bagian satu pembangunan pasar di kota yang dulu dikenal dengan sebutan petro dollar. Cerita paling aneh berada di balik pembangunan gedung Pasar Buah di Jalan Pase, Desa Keudee Aceh, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Bangunan yang menelan dana Rp 3,5 miliyar itu dibangun sejak dua tahun lalu oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Lhokseumawe. Papan pintu ratusan kios ini sudah hancur. Sebagiannya kabarnya telah hilang dicuri. Bagian atap rusak karena angin. Cat gedung itu juga telah muram, tulisan pasar buah juga telah berjatuhan. Bangunan ini terbagi dua. Keduanya dalam kondisi memprihatinkan.


Pembangunan kedua pasar itu tujuannya untuk menata kota agar lebih indah. Program ini diwacanakan, oleh Walikota Lhokseumawe, Munir Usman. Sayangnya, niat Sang Walikota untuk menata kota, tak kunjung tiba. Dinas di bawahnya tak mampu menafsirkan keinginan walikota. Bahkan, Pasar Buah sudah terlantar sejak dua tahun lalu. Pasar ini khusus ditujukan untuk pedagang buah yang selama ini berjualan di Terminal Lama. Juga untuk para pedagang sayur dan buah di Pasar Pusong. Jika dua tempat ini dipindahkan, paling tidak semrawut kota akan berkurang. Sedangkan Pasar Kuliner yang dibangun di pinggiran pantai itu dikhususkan untuk pedagang makanan di Jalan Perniagaan Kota Lhokseumawe. Pemko Lhokseumawe dua tahun lalu, awalnya ingin membangun pasar kuliner juga di kawasan Desa Mon Geudong. Namun, hingga saat ini bangunan itu belum ada sama sekali.


Akibatnya, masyarakat pun bertanya-tanya. Salah seorang masyarakat di Jalan Pase, Munirwansyah, juga sangat heran mengapa gedung itu tidak dipungsikan, Padahal bangunan itu telah rampung. Munirwansyah yang juga pedagang buah berharap gedung di depannya bisa segera ditempati. “Bahkan, kabarnya pembagian untuk pedagang juga belum dilakukan. Mungkin,gedung itu hanya untuk gudang hantu saja,” kata Munirwansyah.


Pedagang lainnya, Noni Irsati, menyebutkan sangat khawatir ada permainan terhadap bangunan pasar tersebut. Dia mengatakan, seharusnya pasar itu sudah bisa ditempati. Bahkan, sebagian masyarakat kabarnya sudah mendaftar pada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Lhokseumawe. “Saya binggung, tidak jelas kapan akan ditempati. Padahal kita sudah daftar. Untungnya, orang yang mendaftar belum menyerahkan uang. Kalau sudah menyerahkan uang, lebih parah lagi,” kata Noni. Namun, persoalan yang besar bukan pada merugikan masyarakat, namun, bangunan itu juga berasal dari dana APBK tahun 2006. Dana public yang dibangun untuk public namun tidak digunakan.

Tak Kunjung Ditempati
Gedung pasar buah ini pun tak kunjung ditempati. Tahun lalu, Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, dan Sekda Kota Lhokseumawe, Safwan, beberapa kali menyebutkan pada wartawan bahwa gedung itu akan segera ditempati. Saat itu, dia berdalih gedung itu hanya kendala listrik. “Listriknya belum di pasang. Tapi, itu akan segera ditempati,” kata Walikota Lhokseumawe, Munir Usman. Masyarakat menduga, bahwa karena gedung itu dibangun oleh Dispenda, bukan oleh Disperindagkop, makanya gedung itu terlantar. Selain itu, target untuk memperindah kota jelas sudah gagal. Target untuk membangun pusat kuliner di Lhokseumawe juga gagal. Informasi yang dihimpun Kontras, disebut-sebut Pemko melalui Disperindakop tidak memiliki pondasi dana yang kuat untuk membangun pasar kuliner. Sehingga, pasar kuliner ini hanya menjadi program wacana cet langet (mengecat langit) saja. Bisa dikatakan, program ini hanya menjual isu. Agar kesannya ada pembangunan di kota itu. [masriadi]

MUHAMMAD RIDHA [KADIS PERINDAGKOP LHOKSEUMAWE]
“SETELAH LEBARAN AKAN DITEMPATI”


Kepala Disperindagkop Lhokseumawe, Muhammad Ridha membantah bahwa gedung itu terbengkalai. Dia menyebutkan pihaknya akan segera memfungsikan gedung Pasar Buah itu. “Begini, gedung itu dibangun Dispenda. Pertama itu belum diserahkan kepada kita. Tapi, dalam waktu dekat ini akan diserahkan. Gedung ini akan kita serahkan ke masyarakat setelah lebaran nanti,” kata Cek Mad, panggilan akrab Muhammad Ridha, Selasa (8/9).


Saat disinggung tentang gedung yang sudah rusak,papan pintu yang sudah tidak ada, Cek Mad menyebutkan kerusakan itu akan dibebankan pada pembeli dan penyewa gedung. Teknisnya akan dibicarakan kemudian hari dengan calon pemilik kios. “Masalah lainnya mulai teratasi. Air sudah ada. Listrik sudah masuk. Tinggal lagi, meterannya saja yang belum di pasang oleh pihak PLN (Perusahaan Listrik Negara –red). Saya pikir, setelah lebaran sudah selesai dan sudah bisa ditempati,” kata Cek Mad.


Saat disinggung mengapa Pasar Kuliner juga belum difungsikan, Cek Mad berdalih bahwa tungku untuk memasak para masyarakat belum rampung. “Kalau gedung yang sudah di bangun ada sembilan buah itu dari BRR. Gedung itu sudah diserakan ke kita. Angka rupiahnya saya tidak tau. Orang BRR yang tau,” kata Cek Mad. Lebih jauh dia menyebutkan, kondisi gedung Pasar Kuliner yang telah bocor bukan menjadi tanggungjawab Disperindagkop Lhokseumawe. Namun, menjadi tanggungjawab BRR. “Gedung pasar kuliner itu belum siap dapurnya. Setalah siap dapurnya, segera akan kita tempati pedagang itu,” kata Cek Mad. Dapur yang dibangun dengan dana APBK Lhokseumawe 2008 itu menghabiskan dana sebesar Rp 200 juta. Ukurannya sekitar 6 x 10 meter. Diperkirakan akan menampung sembilan atau sepuluh pedagang. Sedangkan pengunjung akan duduk secara terbuka di pinggir laut kawasan Desa Pusong itu.


“Ini juga setelah lebaran akan kita tempati. Untuk tahun depan, kita sudah usulkan dana otsus. Sehingga, pasar kuliner bisa menjadi lebih baik. Lebih indah,” pungkas Cek Mad. [masriadi]

21.50 | Posted in , | Read More »

Enaknya Jadi Pengemis




Terjadi sejak puluhan tahun lalu. Beragam usia pengemis ada di Lhokseumawe, apa motivasi mereka mengemis, sekadar hobi atau malah pekerjaan?

SIANG itu, 31 Agustus 2009. Pria paruh baya itu duduk di atas lantai, tepat di depan gerbang Gedun DPRK Aceh Utara. Saat itu, sedang terjadi prosesi akbar, pelantikan anggota DPRK yang baru. Pria itu tersenyum-senyum. Harapannya jelas, menarik simpati dari orang-orang yang berkunjung. Sesekali dia mengangkat kantung plastic kusam, kepada orang-orang yang melintas di depannya. Ada yang memberi uang ribuan. Ada pula uang recehan. Setiap kali menerima sedekah, dia selalu mengucapkan Alhamdulillah.
“Saya ini orang miskin. Saya hanya hidup dari belas kasihan orang lain,” kata pria yang tak bersedia menyebutkan namanya itu. Tak lama kemudian, dibelakang pria ini datang tiga pengemis lainnya. Ketiganya wanita, namun, ketika melihat Kontras, membidikkan jepretan kamera, ketiga wanita ini langsung kabur. Sambil menutup wajah dengan jilbab.
Sekilas pria ini masih terlihat sehat. Dia mengaku, tulang kaki kirinya nyeri. Sangat sulit digerakkan. Jika bergerak, ngilu membalut seluruh sendi kakinya. Tak ada solusi lain untuk bertahan hidup. Ya, terpaksa mengemis.
Pengemis memang menjadi cata mencari uang yang paling praktis. Cukup dengan modal menengadahkan tangan. Penelusuran Kontras, pengemis di Kota Lhokseumawe datang dari berbagai daerah, ada yang mengaku berasal dari Kecamatan Tanah Jambo Aye, Nisam, Matang Kuli dan sejumlah kecamatan lainnya di Aceh Utara. Sebagian berasal dari Kabupaten Bireuen dan Aceh Timur. Soal klaim mengklaim pengemis ini pun hingga kini belum rampung. Pemerintah Kota Lhokseumawe bersikeras bahwa jumlah pengemis di kota itu sangat sedikit. Sangat banyak yang berasal dari Aceh Utara. Sedangkan, Pemerintah Aceh Utara mengatakan sama saja angka pengemis Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Untuk memastikan kebijakan yang akan diambil untuk menanggulangi pengemis, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe kembali melakukan pendataan ulang angka pengemis. Saat ini, Dinas Sosial sedang menurunkan tim pendataan. “Mereka yang didata itu adalah pengemis yang memiliki KTP Lhokseumawe. Jika tidak, tidak masuk dalam wilayah pendataan kita. Jadi, sekarang kami tidak memiliki data yang pasti,” kata Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe, Zakaria, M Si.
Tahun 2008 lalu, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe, saat itu masih dipimpin M Yusuf, merilis sebanyak 100 orang pengemis berkeliaran di Lhokseumawe setiap hari. Angka ini termasuk pengemis yang datang dari Kabupaten Bireuen, dan Aceh Utara yang melakukan aktfiitas di Lhokseumawe.

Bongkar Pasang Kebijakan

Kebijakan penangangan pengemis di Lhokseuamawe selalu berubah, seiring dengan perubahan pimpinan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Ketika M Yusuf menjabat, dia menggelontorkan ide untuk membangun rumah sejahtera untuk seluruh pengemis dan gelandangan di Kota Lhokseuamawe. Rumah sejahtera ini pun hampir mendapat persetujuan anggaran dari DPRK Lhokseumawe. Pengemis akan menginap pada rumah itu, makan dan diberikan pekerjaan yang mereka inginkan di rumah sejahtera tersebut. Lalu, entah bagaimana, Yusuf pun tidak menjabat pada dinas itu lagi. Lalu, ketika Zakaria menjabat, ide yang diusung untuk memecahkan masalah pengemis adalah memberikan pendidikan dan modal usaha yang memadai. “Solusi jangka panjang kita adalah memberikan pendidikan yang memadai untuk mereka, lalu memberikan modal usaha yang cukup. Sehingga, persoalan pengemis bisa teratasi dengan baik dan cepat. Kalau tidak diberi modal usaha yang cukup, ini akan sulit juga. Mereka akan kembali mengemis,” kata Zakia.
Dia menyebutkan, pendataan yang sedang dilakukan diperlukan untuk memastikan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang apa yang akan ditempuh. Sementara itu, Kepala Bidang Rehabilitasi Pengemis Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe, Rosnawati tidak ingin mengaku bahwa ada pengemis di kota itu. Dia mengklaim, serta-merta bahwa pengemis di Lhokseumawe semua berasal dari Aceh Utara. Padahal, penelusuran Kontras, sebagian besar pengemis memang warga Lhokseumawe, tersebar di Desa Pusong, Mon Geudong, dan Cunda, Kota Lhokseumawe.
“Sampai sekarang belum ada kebijakan dari bidang saya. Kami tidak punya uang. Setahun saya, kami hanya ada kegiatan pendataan untuk tahun ini,’ kata Rosnawati.
Rosnawati bahkan menyebutkan pihaknya tidak memiliki data tentang pengemis. Padahal, tahun lalu, dinas yang sama telah merilis data pengemis pada sejumlah media. Artinya, kebijakan tidak berkelanjutan terjadi pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja.

Mengapa mengemis?

Umumnya pengemis yang beroperasi di Lhokseumawe dan Aceh Utara sehat jasmani dan rohani. Sangat sedikit yang cacat fisik, sehingga tidak bisa bekerja lagi. Masih banyak mereka yang bisa bekerja. Daerah operandi umumnya adalah di Simpang Lestari (depan Pendopo Bupati Aceh Utara), Pantai Ujong Blang, dan sejumlah SPBU di jantung kota. Informasi yang dihimpun, rata-rata per hari penghasilan pengemis ini berkisar Rp 50.000-150.000 per hari. Angka ini terbilang pantastis. Ini pula membuat para pengemis ini enggan mengais rezeki dengan cara yang layak. Mereka lebih memilih meminta-minta.

Perlu Qanun
Penanganan pengemis di kota-kota besar di Indonesia sudah lebih baik ketimbang di Aceh. Lihatlah Medan, Sumatera Utara. Pemprov Sumut mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) dilarang mengemis di seluruh jantung kota. Pengemis dan si pemberi sedekah akan dikenakan hukuman. Hukuman terkecil berupa dibina oleh Polisi Pamong Praja, terberat dihukum satu tahun penjara. Tujuannya tak lain, agar pengemis kota itu tidak ada lagi. Perda ini mulai berlaku di Medan, sejak 2008 silam. Akibatnya, tidak terlihat lagi pengemis dengan menengadahkan kantung plastik. Kini, pola mengemis di Medan, sudah berubah. Para pengemis berdagang kerupuk, dijual Rp 500 per bungkus kecil. Ini tentu lebih mulia. Karena berdagang, bukan meminta-minta.
Namun, untuk Aceh, belum ada kebijakan khusus untuk pengemis ini. Perlu pengesahan qanun segera, agar pengemis bisa tertampung dengan baik, dan kota terlihat lebih indah. [masriadi]

21.46 | Posted in , | Read More »

Depag Aceh Bungakan Uang Guru?

Guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Ungkapan itu tampaknya, telak mengena untuk guru agama di Aceh. Hingga kini, dana tunjangan profesi belum juga turun. Kabarnya, Depag Aceh membungakan uang ratusan miliyar tersebut, benarkah?

GURU yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh sudah merasa lega, dan menikmati Ramadhan dengan kusyuk. Pasalnya, mereka telah menerima dana sertifikasi untuk guru. Namun, untuk guru yang berada di bawah Departemen Agama, sejak tahun 2007 lalu, hingga kini dana itu belum juga turun. Ada saja dalil yang digunakan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Aceh untuk tidak membayarkan dana tersebut.
Di Lhokseumawe misalnya, untuk tahun 2007-2008 lalu tercatat 115 orang yang telah dinyatakan lolos sertifikasi dengan rincian 21 orang non PNS, dan sebanyak 94 orang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan di Aceh Utara, tercatat 200 guru sudah sertifikasi. Untuk tahun 2009 ini, kantor Departemen Agama Lhokseumawe, telah mengusulkan sebanyak 150 orang agar disertifikasi. Di Aceh Utara, jumlahnya mencapai 200 orang lebih. Jumlah ini semua tingkatan, dari madrasah ibtidaiyah, sampai madrasah aliyah.
Salah seorang guru, madrasah aliyah di Lhokseuamawe megaku telah lulus sertifikasi sejak Desember 2007 silam. Dia sudah bosan berkali-kali mendatangi kantor Departemen Agama (Depag) Lhokseumawe, untuk menanyakan kapan uang itu akan dicairkan. “Saya sudah berkali-kali datang ke Depag Lhokseumawe. Tapi, mereka juga tak bisa menjawab dengan pasti kapan uang itu dicairkan,” kata guru yang tak ingin disebutkan namanya ini, awal pekan lalu. Kontras menemui sejumlah guru lainnya. Ucapan mereka umumnya sama, kesal dan curiga dana untuk gayi itu telah digunakan pada program lain. Semua guru yang telah lolos sertifikasi ini tidak ingin namanya ditulis. “Kami harap, harus ada kepastian. Sudah sejak tahun 2007 sampai sekarang kami belum dibayar juga uang sertifikasi itu,” kata sumber ini.
Penyaluran uang sertifikasi ini tergantung besaran gaji dan golongan sang guru. Katakanlah si guru ini bergaji Rp 1 Juta. Jika dia lulus sertifikasi tahun 2007, hingga saat ini, artinya sudah 18 bulan gaji sertifikasi ini belum dibayar. Artinya, 18 bulan dikalikan Rp 1 juta, jumlahnya Rp 18 juta per orang. Ini baru satu orang guru. Jika dikalikan, ribuan guru di seluruh Aceh maka angkanya akan puluhan miliyar atau bahkan mencapai triliunan.
Informasi yang dihimpun, total seluruh guru di Aceh yang telah tersertifikasi hingga akhir Juli 2009 mencapai 4.245 guru. Jumlah ini jika dikalikan dengan gaji guru yang Rp 1 juta saja, bisa mencapai triliunan rupiah. Lakon ini terjadi di seluruh Provinsi Aceh. Padahal, Provinsi Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menyalurkan dana tunjangan sertifikasi itu. Bahkan, Dinas Pendidikan di Aceh juga telah menyalurkan bantuan tersebut. Padahal, amanah Peraturan Presiden (PP) No 41/2009 tentang pencairan tunjangan guru dan dosen, pencairan dana itu harus segera dilakukan.

Koalisi Guru Kecam Depag
Sementara itu, Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar GB) Aceh Utara, mengecam segala bentuk ketidakadilan yang terjadi pada guru yang bernaung di bawah Depag itu. Kobar GB berupaya akan mengadvokasi kasus tersebut. “Kami akan advokasi kasus ini. Seluruh upaya akan kami lakukan, bila perlu kita akan lakukan demonstrasi terkait hal ini,” kata Ketua Kobar GB Aceh Utara, Yursal.
Yursal juga mengkritik aturan tentang sertifikasi yang tidak baku. “Dulu tidak dipermasalahkan tentang jam mengajar. Sekarang kabarnya, telah dipermasalahkan lagi. Harus ada 24 jam mengajar per minggu. Jika tidak, maka dananya tak bisa dicairkan,” kata Yursal. Dia menilai, aturan yang plin-plan itu merepotkan guru. “Disatu sisi, pemerintah ingin meningkatkan mutu guru, dengan jalur serifikasi. Di sisi lain, lembaga teknis seperti Depag tidak siap. Aturannya berubah-rubah,” kata Yursal. Dia meminta agar Depag segera mencairkan dana tersebut. “Janganlah uang itu di depositokan dulu. Harus segera dicairkan. Kabar yang beredar, uang itu di depositokan oleh Depag Aceh,” kata Yursal. Informasi yang dihimpun Kontras, menyebutkan dari sejumlah guru di Aceh Utara dan Lhokseuamwe juga menyebutkan hal yang sama. Kabar yang beredar, Depag mendepositkan uang itu pada salah satu bank di Banda Aceh. Namun, tidak diketahui pasti, nama bank yang digunakan untuk membungakan uang tersebut. “Kalau tidak, mengapa mesti ditahan-tahan uang kami,” kata sumber tadi.

Aturan Sertifikasi Kacau

Sementara itu, Kepala Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama (Mapenda) Kantor Departemen Agama Lhokseumawe, Salman, M Ag, membenarkan bahwa guru sudah berpuluh kali mendatangi kantornya. “Bahkan ada guru yang curiga uang itu udah saya gunakan. Padahal tidak. Saya juga berkali-kali menelpon Kanwil Depag Aceh menanyakan hal ini,” kata Salman.
Salman membenarkan bahwa aturan sertifikasi memang berubah-rubah. Dia meminta agar aturan ditetapkan yang baku. “Kalau soal aturan itu memang benar berubah. Misalnya, soal jam mengajar. Dulu ini tidak ada, sekarang ada. Sayangnya, uang yang belum dicairkan, aturan baru sudah datang lagi. Akibatnya, dana tak bisa dicairkan, karena berbenturan dengan aturan,”kata Salman. Dia menerima banyak kritikan dari para pengajar. Namun, Salman mengaku tak bisa berbuat banyak. Kebijakan pencairan itu ada di tangan Kanwil Depag Provinsi Aceh. “Kami di kabupaten terus sampaikan tentang keluhan-keluhan ini ke provinsi.Prinsipnya,kami hanya pendataan saja,” kata Salman.
Depag Membantah
Kepala Kantor Wilayah Depag Aceh, A Rahman TB, yang dihubungi per telepon, Depag mengaku tidak bisa melayani konfirmasi Kontras. Dia mengaku sedang berada di Bandara Blang Bintang, Aceh Besar, hendak menuju Jakarta. “Saya di bandara, mau ke Jakarta. Ada rapat, tidak bisa menerima konfirmasi Anda, kata A Rahman TB per telepon.
Lalu, Kepala Seksi Madrasah dan Pendidikan Agama (Mapenda) Kanwil Depag Aceh, Tatang Laksana dihubungi per telepon membantah tudingan para guru bahwa Depag telah mendepositkan uang itu. Pasalnya, uang itu seharusnya telah disalurkan sejak awal 2008 lalu. “Tidak benar itu. Kami tidak membungakan uang itu dalam bentuk deposito. Itu uang DIPA 2009. Jadi, masih ada pada rekening DIPA. Bukan rekening kita kita,” kata Tatang Laksana.
Dia berkali-kali mengulangi bahwa Depag tidak membungakan uang jatah guru tersebut. Tatang juga membantah bahwa kelambatan kinerja itu karena Kasi Mapenda Aceh, hanya dikerjakan oleh Tatang Laksana selaku kepala seksi. “Tidak benar itu.Dapat kabar darimana.Kita kerja tim,” jawab Tatang per telepon.
Dia menyebutkan, dari 2007 hingga saat ini sebanyak 4.245 guru telah disertifikasi. Namun, hingga kini belum ada satu orang pun yang dibayarkan. Dia mengatakan, Kabupaten Aceh Barat, sebanyak 200-300 orang belum diverifikasi berkas sertifikasinya. Tatang berjanji akan bisa dicairkan pada Agustus 2009 ini.
“Kita sedang upayakan penyelesaiannya. Soal aturan jam mengajar, sudah ada jalan keluarnya. Agustus ini diupayakan bisa dicairkan,” kata Tatang. Ucapan Tatang patut diacungkan jempol. Meski kemungkinan terealisasi masih jauh pangang daripada api.Maklum, ketika berita ini diturunkan bulan Agustus akan segera berakhir. Untuk menghindari buruk sangka, lebih baik, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, memanggil Depag Aceh. Agar dana untuk guru yang jumlahnya ratusan miliyaran itu bisa dinikmati menjelang Idul Fitri nanti oleh para cek gu. Ayo Bung Irwandi, tunjukkan aksi penting kali ini. Ya, untuk membahagiakan guru sebelum hari yang fitrah itu tiba. [masriadi]

22.51 | Posted in | Read More »

Memaknai Perjuangan Mantan GAM




MEMBACA Novel “Teuntra Atom” ditulis oleh Thayeb Loh Angen kali ini begitu mengejutkan. Thayeb merevisi naskah asli yang sebelumnya pada tahun 2005 diberi judul “Retina” ini. Novel ini bahkan menuliskan beberapa nama dengan jelas, dan kegiatan politik mereka di tahun 2009. Ya, bisa disebut novel ini kesaksian sejarah Aceh yang pernah dibalur konflik dan duka yang berkepanjangan. Tokoh utama, yang dilakonkan dengan cara bercerita orang pertama tunggal, “Aku alias Irfan” ini mencoba mengajak pembaca menikmati suasana konflik. Thayeb menulis tentang aktifitas politik Zulkifli, alias Doli, guru bahasa Inggris tokoh Irfan yang kini lolos menjadi anggota DPR Aceh dari partai yang didirikan mantan kombatan, Partai Aceh.

Ketegangan dan ketakutan seluruh masyarakat sipil di aceh. Meski kurang detail, namun, novel ini merupakan saksi sejarah konflik. Kurang detail terlihat bagaimana drama ketakutan demi ketakutan masyarakat waktu itu kurang berhasil digambarkan sang penulis dalam bukunya. Jelas, ketika konflik masih terjadi di Aceh, masyarakat sipil seperti boh limeung diateuh bate neupeh (belimbing di atas gilingan). Masyarakat sipil selalu saja menjadi sasaran kedua pihak yang bertikai. Bisa disebutkan, keluar rumah salah, tidak keluar, juga dicurigai sebagai bagian dari komplotan pemberontak. Terlepas benar atau tidak warga sipil itu sebagai pemberontak. Menarik memang, karena buku ini ditulis oleh orang yang terlibat konflik di Aceh.
Saya menyebut, novel ini mencoba memaknai arti gerakan dan pejuang. Memaknai arti pemimpin dan pejabat. Dimana, dalam novel ini disebutkan bahwa ada pula pejabat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kurang peka terhadap nasib bawahannya. Ada yang mengeruk harta, atas nama perjuangan. Ini yang disebut oleh Prof Taufik Abdullah, sebagai perbedaan kata antara pemimpin dan pejuang. Pemimpin memiliki rakyat yang dipimpinnya. Memiliki rakyat atau bawahan yang patut disejahterakan. Karena itu adalah tugas utama yang harus dipikirkan oleh pemimpin. Ada hubungan patron-klien jika mengunakan kata pemimpin. Pemimpin menjadi patron, sedangkan rakyat dan masyarakat sipil menjadi klien.

Sedangkan pejabat, ditabalkan samadengan elit politik. Artinya, pejabat hanya jabatan politis, dan tidak serta merta akan memperjuangkan nasib rakyat, mengentaskan kemiskinan, dan mencerdaskan generasi penerus bangsa. Semua itu terekam dalam tulisan setebal 362 dari tangan Thayeb. Namun, sedikit menganggu ketika Thayeb terlalu lamban menceritakan bagian awal novel ini. Dia memulai cerita dengan letak topografi Desa Loh Angen, lalu pada bagian berikutnya bercerita tentang ketertarikannya pada seorang wanita kampung, cantik dan sangat menawan. Tokoh peragu Irfan ini digambarkan sangat takut. Masuk dalam perjuangan GAM, yang ketika itu dicap separatis juga bukan karena keinginan yang kuat. Irfan hanya ingin membuktikan, bahwa dia bisa berbuat dalam perjuangan. Terlepas tujuan perjuangan itu apa? Lamban ini jika boleh jujur, akan mengurangi selera pembaca untuk melanjutkan bab berikutnya yang jauh lebih menarik.

Saya sebutkan, jika boleh jujur, kita tidak akan menikmati sajian khas, kental dengan setting masa perjuangan pada bagian awal. Justu cerita novel ini menarik pada bagian tengah novel ini. Dimana, Irfan mulai masuk dalam gerilyawan, dengan segala keterbatasan yang ada. Bahkan, baju seragam para pejuang pun tak pernah selesai dijahit. Selalu saja mengenakan pakaian alakadar. Mengenakan satu jaket, berbagi dengan teman-teman kaum pejuang yang lain.

Pada bab berikutnya, kejujuran Thayeb dalam buku ini patut diacungkan jempol. Jika buku ini, dibaca oleh penduduk Aceh dan atau oleh orang yang pernah menetap di Aceh, akan sangat terasa bagaimana kalangan pejuang GAM, sangat hormat pada senior atau pimpinan mereka. Meski ada satu atau dua orang yang disebut Thayeb sebagai pimpinan korup. Namun, contoh yang diambil Thayeb adalah pimpinan sipil GAM yang cendrung menetap di desa ketika konflik menyalak. Namun, pada barisan militer, tidak ada keraguan akan gerakan. Bagi kalangan militer GAM, perjuangan dan kata merdeka, adalah perintah yang patut diperjuangkan, plus cap perjuangan adalah mulia. Cap mulia ini disebut-sebut oleh Thayeb adalah perjuangan mulia dan dipegang penuh oleh militer, baik itu polisi dan tentera GAM kala itu.

Penggambaran sosok Irfan yang tidak betah di hutan, lalu menjadi tukang masak di salah satu pesantren di Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe mencerminkan judul cerita ini. Ya, “Tentera Atom” adalah sebutan Thayeb untuk sosok Irfan. Dia secara tidak langsung, menyebutkan bahwa “Tentera Atom” adalah pejuang GAM yang tidak berani, kecut jika senjata menyalak, dan tak tahan menahan lapar. Jenis ini ketika konflik memang tidak pernah bersembunyi di hutan belantara. Hanya mengendap-ngendap di kampung-kampung. Ini yang dimaksud dengan Tentera Atom. Sebutan bagi pejuang garis bawah, tidak memanggul senjata, dan hanya bermodalkan sebuah handy talky. Realitas ini berani diungkapkan oleh Thayeb, yang dulu ketika konflik masih menyalak, sangat tabu mengungkapkan realitas-realitas yang disebutkan dalam buku ini. Inilah cara mengukir realitas, dan menertawakan perjuangan si penulis dulu. Apa pun cerita, ketika perjanjian damai di Aceh telah disepakati antara pemerintah RI-Gerakan Aceh Merdeka, di Helsinki, medio 2005 silam, banyak perubahan telah terjadi. Buku ini mencoba mengingatkan semua orang akan perih dan getirnya konflik. Konflik hanya menyisakan kesengsaraan masyarakat. Bukan cerita menang dan kalah yang ingin diungkapkan buku ini. Namun, sejarah duka yang berkepanjangan masyarakat Aceh.
Kini, tak ada masyarakat yang ingin luka lama kembali bernanah. Kini, semua masyarakat ingin damai terus berlanjut. Empat tahun sudah proses tarnformasi dari konflik ke damai terjadi di negeri syariah ini, masih banyak persoalan post concflik yang belum terselesaikan. Dari persoalan realisasi bantuan korban konflik yang tidak merata, sampai persoalan janda korban konflik yang belum tersentuh sama sekali.

Bahkan, sampai tugas dan elit Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang dinilai masih lamban dalam proses penyaluran bantuan. Ingat, Thayeb telah mengingatkan pil pahit konflik dalam bukunya. Jangan sampai, ketika senjata tak lagi menyalak di Aceh, konflik sosial menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Untuk itu, perlu upaya serius menangani persoalan-persoalan pascakonflik di Aceh secepat mungkin. Jangan sampai muncul kelompok sipil yang kecewa pada proses konflik dan melahirkan konflik baru. Jika konflik kembali terjadi, maka tidak akan ada pembangunan yang berjalan. Geliat ekonomi masyarakat yang hilang dan hanya kemiskinan yang membekap seluruh Aceh. Selain itu, ekses konflik adalah tingginya angka kriminalitas. Untuk menghindari semua itu, eksekutif, legislatif, yudikatif dan mantan-mantan orang yang berkonflik harus peka pada seluruh kerikil dalam sepatu perdamaian ini.

Semua pihak harus memikirkan keberlanjutan Aceh damai. Aceh damai, rakyat makmur, dan seluruh pembangunan berjalan sebagaimana mestinya. Ini yang diharapkan masyarakat Aceh. Dan, buku ini adalah rekam sejarah dibalut sastra, mengingatkan semua orang akan konflik. Sekecil apa pun makna perjuangan dalam buku ini, haruslah dilihat dari sisi histori. Bukankah bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah. Dan, Thayeb menulis sejarah Aceh dengan caranya sendiri. Buku ini patut dibaca. Dengan harapan, pada cetakan berikutnya, penulis kembali merevisi beberapa ejaan yang kurang tepat, salah ketik dan lain sebagainya. Salut buat Thayeb yang kini “menceburkan” diri pada profesi jurnalis di sebuah harian lokal di Aceh. [masriadi]

Judul : Teuntra Atom, Kesaksian Seorang Kombatan
Penulis : Thayeb Loh Angen
Penerbit : Center for Aceh Justice and Peace (CAJP) Banda Aceh, 2009
Tebal : 362 Lembar

22.46 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added