MOST RECENT

Aceh Utara Terlilit Masalah Kas Terbobol, Uang Dipinjam




Masriadi - KONTRAS
Pascabobolnya kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar di Bank Mandiri Jelambar, kini Aceh Utara sulit mendanai pembangunannya. Daerah itu pun berencana mengutang ke perbankan. Elemen sipil dan mahasiswa mulai mengancam menurunkan massa untuk menolak utang.


Jika melihat dari luar, seolah Aceh Utara masih memiliki kemampuan yang cukup kuat membangun daerah yang pernah dijuluki kabupaten kedua terkaya di Indonesia, setelah Kutai Kertanegara itu. Namun, lihatlah alokasi anggaran daerah tersebut. Kini, Aceh Utara tinggal tong kosong. Pondasi dana yang dulu diagung-agungkan telah sirna. Berharap pada pendapatan asli daerah (PAD) suatu hal yang mustahil. Pasalnya, daerah yang memiliki 27 kecamatan itu hanya mampu menargetkan PAD sebesar Rp 38,2 miliar untuk tahun ini. Sedangkan tahun sebelumnya, PAD Aceh Utara hanya sebesar Rp 78 miliar.

Angka itu tentu tidak cukup untuk menutupi pembangunan satu kecamatan pun. Sedangkan sumber dari dana perimbangan sebesar Rp 618, 8 miliar serta pendapaan lainnya yang sah sebesar Rp 13,7 miliar. APBK Aceh Utara tahun ini diperkirakan sebesar Rp 763, 8 miliar. Hal itu terlihat dari kebijakan umum anggaran (KUA) dan plafon prioritas anggaran sementara (PPAS) tahun 2010 yang kini sedang dibahas di DPRK setempat. Untuk menutupi kekurangan belanja pembangunan itu, Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, meminta izin pada DPRK agar meminjam uang sebesar Rp 126 M pada perbankan. Tujuannya untuk menjalankan roda pembangunan. Usulan ini telah dimasukkan eksekutif ke legislatif, 6 Januari lalu. Dewan belum mengamini usulan bupati tersebut.

Untuk melakukan penghematan, sejumlah DPRK dan Bupati pun mulai memikirkan cara lain. Solusi yang diambil adalah merampingkan dinas, kantor dan badan di Aceh Utara. Sebelumnya, tercatat sebanyak 34 dinas, kantor dan badan di pemerintahan itu. Usulan itu disetujui oleh DPRK Aceh Utara. Pada 2 Februari lalu, DPRK setempat mengesahkan qanun satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK). Kini, hanya ada 29 SKPK, dengan rincian 16 dinas, dan 13 kantor dan badan yang dimiliki Aceh Utara.

Adapun ke 16 dinas itu yaitu dinas syariat Islam, dinas pendidikan, pemuda dan olahraga, dinas pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah, dinas kependudukan dan catatan sipil, dinas kesehatan, dinas binamarga, dinas cipta karya, dinas perindustrian dan perdagangan, dinas koperasi dan usaha kecil dan menengah, dinas pertanian dan peternakan, dinas perikanan dan kelautan, dinas pasar, kebersihan dan pertamanan, dinas sosial tenaga kerja dan mobilitas penduduk, dinas kehutanan dan perkebunan, dan dinas perhubungan, pariwisata dan kebudayaan.

Sedangkan 13 kantor dan badan, yaitu badan perencanaan daerah (Bapeda), badan pemberdayaan masyarakat, badan kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat, badan penanggulangan bencana daerah, badan ketahanan pangan dan penyuluhan, Inspektorat, rumah sakit umum daerah, kantor pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga sejahtera, kantor perpustakaan daerah, kantor wilayatul hisbah dan satuan pamong praja, kantor lingkungan hidup, kantor pelayanan perizinan terpadu satu pintu.

Sejumlah SKPK digabungkan ke dalam SKPK lainnya seperti Dinas Sumber Daya Mineral digabungkan ke dinas pengairan sehingga namanya menjadi Dinas Pengairan dan ESM. Sedangkan dinas pemuda, olahraga, kebudayaan dan pariwisata dipecahkan ke dalam dua dinas, yaitu bagian pemuda dan olahraga digabungkan ke dalam dinas pendidikan sehingga berganti nama menjadi dinas pendidikan, pemuda dan olahraga. Sedangkan bagian pariwisata dan kebudayaan digabungkan ke dalam dinas perhubungan, sehingga berganti nama menjadi dinas perhubungan, kebudayaan dan pariwisata.

Dinas pertanian, tanaman pangan serta dinas peternakan dan kesehatan hewan digabungkan menjadi satu dinas, yaitu dinas pertanian dan peternakan. Sedangkan badan pendidikan, pelatihan dan pengembangan aparatur dilebur ke dalam badan kepegawaian daerah (BKD), sehingga namanya berubah menjadi badan kepegawaian, pelatihan dan pengembangan aparatur. Selain itu, badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak diturunkan statusnya menjadi kantor pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Selain itu, seksi pemberdayaan perempuan, pemuda dan olahraga yang ada di kantor camat juga dihapuskan. Perampingan yang dilakukan ini dinilai banyak kalangan tidak mampu menghemat anggaran. Pasalnya, sangat sedikit kantor dan dinas yang dirampingkan, hanya sekitar lima kantor dan dinas saja. Diperkirakan, jika penciutan begitu, hanya bisa menghemat anggaran sebesar Rp 5 miliar.

“Saya pikir, kalau begitu diciutkan paling hemat Rp 5 miliar saja,” kata Ketua Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, kepada Kontras, baru-baru ini. Lajang aktivis antikorupsi ini menilai, seharusnya bisa ditinggalkan menjadi 25 dinas dan kantor saja, mengingat kemampuan Pemkab kini yang sangat terbatas. Solusi yang paling mumpuni adalah mengambil dana yang dijadikan barang bukti bobol kas Aceh Utara sebesar Rp 177 miliar di Polda Metro Jaya. Namun, tampaknya ini bukan menjadi pilihan Bupati Ilyas A Hamid.

Bupati Aceh Utara menyebutkan dirinya tidak akan mengambil dana barang bukti itu. “Berapa kali saya bilang, saya tidak akan mengambil uang itu. Karena, itu kesalahan perbankan. Uang itu harus dikembalikan utuh. Saya tidak akan ambil uang itu,” ujarnya kepada sejumlah wartawan di Gedung DPRK Aceh Utara, baru-baru ini.

Dia menyebutkan jika tidak meminjam uang ke perbankan, maka tidak bisa membangun Aceh Utara secara maksimal. Namun, saat ditanya ke bank mana akan dipinjam, Ilyas tidak menjawab. “Banknya belum kita tentukan. Baru pada taraf angka. Ini kan baru kita ajukan ke legislatif. Kalau tidak kita pinjam, maka kita tidak bisa bangun Aceh Utara ini,” terang bupati.

Ilyas tetap optimis, kasus bobol kas Aceh Utara itu merupakan kejahatan perbankan. Dia yakin, uang Aceh Utara akan kembali utuh sebesar Rp 220 miliar seperti ketika uang itu didepositokan. Di tubuh DPRK Aceh Utara sendiri tidak satu suara terkait rencana peminjaman itu. Anggota panitia anggaran, Zulfadli A Thaleb, terang-terangan menolak rencana peminjaman uang itu. Dia menyebutkan, dirinya akan menolak rencana peminjaman itu karena Aceh Utara akan dipusingkan dengan beban bunga yang dihasilkan dari pinjaman tersebut.

“Aneh sekali, kita masih punya uang di Jakarta. Mengapa mesti pinjam? Saya jelas akan menolak rencana itu. Kita akan dibebani dengan bunga lagi. Sudah tidak ada uang, ditambah beban bunga, akan pening nanti semua kita di Aceh Utara ini,” kata politisi muda itu. Informasi yang dihimpun, besaran bunga bank bervariasi antara 12-14 persen per tahun. Angka ini tentu sangat besar yang harus dibayarkan.

Sementara itu, dihubungi per telepon, Ketua DPRK Aceh Utara, Jamaluddil Jalil, yang akrab disapa Mualim Jamal, menyebutkan, pihaknya akan mempertimbangkan rencana peminjaman itu. Dia membantah kabar bahwa DPRK telah menyetujui rencana peminjaman itu. “Belum setuju. Kita analisis dulu. Bila memang sangat memerlukan, maka kita akan setuju. Angkanya pun belum kita setujui, berapa besar yang akan dipinjam,” kata Mualim Jamal. Dia menyebutkan, pihaknya akan menganalisis sejauhmana urgensi rencana peminjaman tersebut. “Kita lihat nanti. Pokoknya kita analisis dulu secara detail,” pungkas Mualim Jamal.

Ancaman elemen sipil
DPRK Aceh Utara berencana mengesahkan anggaran APBK 2010 akhir Februari 2010 ini. Salah satu poin yang ditunggu rakyat Aceh Utara, apakah DPRK akan mengamini rencana peminjaman uang sebesar Rp 126 miliar untuk mendanai pembangunan tahun ini? Saatnya menunggu aksi wakil rakyat, dan elemen sipil sudah siap dengan kuda-kuda.

Kalangan elemen sipil Aceh Utara kini sedang bersiap-siap untuk menentang rencana peminjaman itu. Pintu terakhir adalah DPRK Aceh Utara. Bila DPRK setuju, maka muluslah peminjaman uang tersebut. Koordinator MaTA Aceh, Alfian menyebutkan, kini kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Lhokseumawe dan Aceh Utara sedang menyusun kekuatan untuk melakukan demonstrasi akbar. Isunya, khusus menolak rencana peminjaman itu.

Kalangan LSM, sebut Alfian, tetap mendesak agar Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, menarik barang bukti yang kini berada di Polda Metro Jaya. Syarat untuk peminjaman barang bukti itu pun terbilang mudah. Cukup dengan surat bupati dan DPRK. Plus, sisakan sedikit sebagai barang bukti. Jadi, dana sebesar Rp 177 miliar itu bisa disisakan Rp 1 juta saja sebagai barang bukti. Sisanya bisa digunakan untuk pembangunan Aceh Utara. “Kita sedang menyusun kekuatan. Teman-teman LSM akan menggelar demonstrasi bila DPRK menyetujui peminjaman itu,” kata Alfian. Sementara itu, kalangan mahasiswa di Aceh Utara kembali menyuarakan teriakan lantang. Sudah lama memang tidak terdengar aksi yang menyentak dari aktivis kampus di daerah itu. Jika pun ada demonstrasi, hanya segelintir mahasiswa dengan variasi isu yang sangat beragam.

Kini, mereka mulai merencanakan aksi bersama. Hal itu diungkapkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Zulfikar. Dia menyebutkan, mereka kini sedang mensinergikan kekuatan berbagai kampus di daerah itu. Saat ini, ada tujuh kampus swasta, dan tiga kampus negeri yang sedang bersinergi terkait isu tersebut.

“Kita sedang satukan pandangan, satu kan niat khusus untuk menolak rencana peminjaman uang itu. Terpenting, uang barang bukti mau diambil balik oleh bupati Aceh Utara. Uang itu harus bisa digunakan untuk pembangunan daerah ini, bukan terpajang sebagai barang bukti,” kata Zulfikar. Dia menilai, sikap diam bupati untuk tidak mengambil uang itu akan merugikan Aceh Utara. Zulfikar menyebutkan, mahasiswa akan mengepung Lhokseumawe dalam waktu dekat ini. Saat disinggung kapan pastinya demonstrasi itu digelar, Zulfikar enggan menyebutkan.

Dia mengatakan, mereka akan menurunkan masa sekitar 2.000 orang. Dengan masa sebegitu besar, maka dipastikan akan memenuhi seluruh jalan protokol di Lhokseumawe. Dalam sejarah gerakan mahasiswa di Lhokseumawe, gerakan yang begitu besar menghadirkan massa terjadi dua tahun lalu, ketika mahasiswa menolak rencana DPRK Aceh Utara untuk memiliki tanah Reklamasi Pusong, Lhokseumawe. Demonstrasi itu pula yang menyurutkan niat dewan untuk menguasai tanah itu. Kini, di atas tanah itu dibangun sekolah dasar. Akankah gerakan serupa membuat dewan kali ini tidak menyetujui rencana peminjaman uang ke perbankan? Entahlah!

00.08 | Posted in | Read More »

Banyak Rintangan Menghadang Ekspor




Masriadi - KONTRAS
Tak mudah menggeliatkan pelabuhan-pelabuhan di Aceh untuk mengekspor aneka barang. Belum apa-apa, pengusaha di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sudah pasang kuda-kuda: Membeli hasil kebun Aceh dengan harga tinggi, sehingga petani lebih tertarik menjualnya ke Belawan ketimbang diekspor melalui Krueng Geukuh. Taktik sementara pengusaha Belawan?


MATAHARI menyengat kulit bumi Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Beberapa tenaga kerja, aparat bea cukai dan lain sebagainya tampak duduk di arena bibir Pelabuhan Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara. Pelabuhan itu kini berstatus internasional. Masyarakat Aceh berharap, pelabuhan ini bisa difungsikan untuk pelabuhan barang dan pelabuhan umum. Sehingga, ekonomi Aceh bisa terbuka. Pasalnya, selama ini, pengusaha Aceh membeli barang-barang dari Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara. Akibatnya, harga barang di Aceh terlalu tinggi. Masyarakat pun mengeluh.

Sebelumnya, frekuensi bongkar-muat yang dilansir PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Krueng Geukuh, di Pelabuhan Krueng Geukuh sangat minim. Tahun 2006, aktivitas bongkar di pelabuhan hanya sebanyak 252.362 ton, sedangkan untuk muat hanya sebesar 152.326 ton. Sedangkan untuk kapal penumpang nol persen dalam kurun waktu 2003-2006. Ketika konflik, pelabuhan ini sering digunakan oleh pasukan kemananan. Bahkan distribusi personel dan logistik tempur juga dilakukan dari pelabuhan ini.

Pascaperang dan tsunami, Pemerintah Aceh Utara, tahun lalu membentuk tim pemberdayaan ekspor komuditi Aceh (PEKA). Surat keputusan pembentukan tim ini dikeluarkan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, tahun lalu. Tugas tim ini bekerja mendatangkan kapal dan para importir ke Aceh Utara, sehingga geliat pelabuhan semakin terasa

“Komoditi kita cukup untuk kita jual ke luar Aceh langsung dari Krueng Geukuh. Saya contohkan, misalnya pinang. Rata-rata dua hari sekali, 700 ton pinang per dua hari. Meski ini pada kondisi musim panen. Kalau kondisi tidak musim panen, 200 ton per dua hari ada barang,” kata Ketua PEKA, Syahruddin Hamzah, baru-baru ini.

Dia menyebutkan, tahun 2007 pihaknya telah berusaha untuk mendatangkan kapal-kapal agar masuk ke pelabuhan. Namun, hasilnya nihil. Meski begitu, mereka terus berupaya untuk menggerakkan pelabuhan. Mendatangkan importir, dan menghimpun kekeuatan eksportir di Aceh Utara. Informasi yang dihimpun Kontras, gerakan rencana ekspor dari Aceh ini mendapat “perlawanan” dari sejumlah pengusaha di Medan, Sumatera Utara. Pasalnya, jika pelabuhan di Aceh melakukan aktivitas ekspor, maka komuditas yang diekspor dari Medan akan menurun drastis. Strategi yang dimainkan adalah dengan menaikkan harga beli di Medan, sehingga pedagang Aceh menjual barang ke Medan melalui jalur darat.

Persoalan lainnya adalah minimnya dukungan perbankan pada kalangan pengusaha ekspor di Aceh. Syahruddin Hamzah menyebutkan, dirinya sudah berkali-kali mendatangi seluruh bank di Lhokseumawe untuk meminta agar diberi kredit pada pengusaha ekspor. Tentu dengan jaminan yang memadai. Namun, perbankan meminta agar pengusaha harus berpengalaman di bidangnya (ekspor-impor) minimal dua tahun. Jika tidak, tidak akan mendapatkan dana segar dari perbankan.

Anehnya lagi, Bank BPD Aceh yang notabene sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota juga tidak mau memberikan kredit. Untuk itu, Syahruddin Hamzah meminta agar Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengintervensi Bank BPD Aceh. “Jika tidak, maka rencana ekspor hanya sebatas wacana,” kata pria berkacamata itu.

Jika mendengar kabar bahwa pelabuhan di Aceh akan memulai ekspor, maka harga komoditas di Medan, Sumatera Utara, langsung meroket. Ini pula yang membuat pedagang pengumpul komoditas tak sanggup menahan godaan harga mahal itu. Solusi mengatasi persoalan ini adalah komitmen Pemerintah Aceh untuk menggerakkan ekspor dan membuka jaringan sekuat mungkin dengan negara tetangga. Sehingga, persaingan antara Medan dan Aceh ini bisa diakhiri.

Dari persaingan harga antara Medan dan Aceh ini menunjukkan kondisi iklim bisnis yang kurang sehat. Semakin memilukan, Keputusan Menteri Perdagangan No 56/2008 tentang lima jenis barang impor tidak memasukkan pelabuhan Aceh di dalamnya. Lima jenis barang impor itu adalah tekstil, makanan, mainan anak-anak, alas kaki, dan elektronik. Tidak satu pun pelabuhan di Aceh yang boleh melakukan impor lima jenis barang itu. Artinya, untuk Aceh, harus melalui Medan.

Persoalan ini tentu membutuhkan energi ekstra dari Gubernur Aceh. Gubernur harus meminta kekhususan Aceh di bidang perdagangan. Misalnya, dengan meminta Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, memasukkan salah satu pelabuhan Aceh dalam daftar pelabuhan yang bisa menerima lima jenis barang impor tersebut.

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh Utara, Teuku Moni Alwi, menyebutkan, jumlah eksportir di Aceh Utara terbilang kecil. “Hanya dua puluhan orang. Namun, ini karena pelabuhan tidak dibuka. Makanya, tidak banyak pengusaha yang bekerja di bidang ekspor. Selain itu, faktor konflik panjang juga mempengaruhi iklim bisnis ekspor ini,” terang Moni.

Dia menyebutkan, Kadin komit mendorong pelaku usaha untuk melakukan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. “Saya sudah menyebutkan ke semua asosiasi pengusaha, maupun personal, agar melakukan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Saya pikir, dalam waktu dekat ini, akan semakin baik iklim bisnis di Aceh,” kata Moni.

Dia berharap, pihak pelabuhan mempermudah para eksportir dari segi administrasi. Sehingga, para eksportir ini bersemangat melakukan kegiatan bisnis. “Jangan sampai nanti, pelabuhan dibuka. Namun, pengusaha dipersulit dengan hal-hal administrasi yang berbelit-belit. Ini tidak bagus. Saya minta, agar Pelindo mempermudah nantinya, ya tentu dalam koridor hukum,” terang Moni.

Lebih jauh dia menyebutkan, pihaknya telah sepakat dengan Pelindo untuk mempermudah pengusaha ekspor di Aceh Utara. Di tempat terpisah, Kepala Bagian Humas, PT Pelindo, Krueng Geukuh, Sempat Manik, menyebutkan fasilitas pelabuhan sudah sangat memadai untuk masuknya kapal. Secara administrasi Pelindo dan instansi pelabuhan seperti bea cukai, adpel dan lain sebagainya sudah sepakat untuk menggerakkan pelabuhan. Caranya, mempermudah para pengusaha, namun sebatas itu tidak melanggar hukum dan ketentuan yang berlaku.

“Kalau fasilitas kita sudah cukup. Sudah sangat memadai. Crain, gudang, dan lain sebagainya sudah sangat memadai. Tinggal lagi, komitmen bersama untuk menggerakkan pelabuhan ini. Kita sudah siap, gudang sudah siap dan lain sebagainya,” kata Sempat Manik. Dia berharap, komitmen bersama semua pihak bisa membuat pelabuhan bergerak, dan para pelaku usaha bisa mudah mengimpor atau mengekspor barang ke luar negeri.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Djakarta Lloyd bidang transportasi laut menyebutkan pihaknya komit membuka rute ke Aceh. Namun, pihaknya juga sangat berhati-hati. Karena khawatir ketiadaan barang dari Jakarta untuk diangkut ke Aceh. Kapasitas kapal yang dimiliki oleh perusahaan negara itu mencapai 200 kontainer untuk sekali jalan.

Untuk tahap awal, akan dibuka jalur transportasi pengangkutan barang Jakarta-Batam-Medan-Krueng Geukuh-Banda Aceh. Jalur ini merupakan jalur terbaru yang dibuka perusahaan milik negara itu. Bahkan, enam kontainer barang telah disiagakan di Krueng Geukuh dan 30 kontainer lainnya telah disiagakan di Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh. Pelabuhan sudah siap, tinggal lagi, bagaimana komitmen perbankan dan semua pihak untuk memotong harga di Medan, Sumatera Utara, sehingga pelabuhan Aceh bisa berjasa, seperti masa Iskandar Muda tempo dulu.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 525 | Tahun XI 21 - 27 Januari 2010

02.31 | Posted in | Read More »

Orang-Orang Gila di Aceh



Masriadi - KONTRAS

Pascaperang dan tsunami di Aceh, pengidap gangguan jiwa mencapai ribuan orang. Inilah layanan kesehatan yang tidak memadai di provinsi kaya uang. Kontras menelusuri apa yang dialami warga yang kurang beruntung itu.

Ramli Yusuf (45 Tahun), tak pernah bermimpi dalam sejarah hidupnya mengidap gangguan jiwa. Ketika usianya meranjak dewasa, pria ini adalah striker sepak bola. Tatapan matanya tajam. Bola mata itu berputar ke kiri-kanan. Layaknya ingin membagi bola pada teman, dan membidik kelemahan penjaga gawang lawan dan mencetak gol. Dia bermain untuk klub Kijang Putra Kecamatan Paya Bakong. Klub itu satu di antara sekian banyak klub kecamatan yang “sangar” dan kerap memboyong piala.

Bahkan karena kelihaiannya dalam memainkan si kulit bundar tak jarang ia menjadi pemain bayaran dalam berbagai even turnamen bola kaki. Namun, itu semua hanya tinggal kenangan manis yang takkan mungkin kembali. Semua cita-cita anak kedua dari empat bersaudara untuk menjadi pemain tim nasional Indonesia pupus sudah.

Itulah nasib pria warga Desa Tanjong Beurunyong, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Dia tak pernah bermain bola lagi. Saban hari hanya bisa mengembuskan gumpalan asap kretek sembari meratapi nasibnya. Pria tampan ini telah dipasung oleh keluarganya 21 tahun silam. Menurut Erni, adik kandung Ramli, menceritakan kepada Kontras meski mengalami gangguan jiwa, naluri lelaki abang kandungnya itu berjalan normal.

“Suatu hari beberapa teman saya datang berkunjung ke rumah. Saat itu abang saya hanya memandangi dari balik jendela tempatnya di pasung. Matanya tertarik pada teman-teman saya yang menurut Bang Ramli sangat cantik,” kisah Erni. Lalu, ketika teman-temannya pulang, Ramli langsung memanggil Erni dan menanyakan pertanyaan konyol dan menggelikan.

“Dek, ngen kah item meucewek ngon lon han (Dek, teman kamu mau ngak pacaran sama abang?)” tutur Erni menirukan ucapan abangnya kala itu. Gubuk tempat Ramli dipasung hanya berukuran 3 x 4 meter. Udaranya pengab. Tidak ada udara yang mencukupi. Rambut pria itu mulai gondrong. Kumisnya tidak teratur.

Cerita lainnya diutarakan M Husen, abang kandung Ramli. Beberapa tahun lalu ia pernah dilepas dari pasungannya dan itu belangsung lebih dari empat tahun. Namun, terpaksa dipasung kembali karena selain merugikan keluarga, ia juga mengganggu ketentraman banyak orang.

“Saat bebas, kerjanya hanya nongkrong ngebon di warung kopi hingga tagihannya mencapai Rp 400 - 500 ribu per bulannya, belum lagi ulahnya yang suka mengusili warga,” ungkap M Husen pilu. Lanjut Husen, pernah ia menyuruh salah seorang pemuda yang melintas untuk berhenti hanya dengan maksud mengambil paksa jam tangan yang melingkar di tangannya. “Jelas pemuda itu tidak memberi, alhasil bogem mentah mendarat empuk di wajah lelaki tak berdosa itu. Akibatnya, keluarga terpaksa meminta maaf dan menempuh jalur damai,” kenangnya sambil menggelengkan kepalanya.

Sambil menerawang menatap ke atas langit-langit rumah orang tuanya, Husen mencoba berkisah, dulunya sekitar tahun 1980-an, Ramli adalah tipikal pemuda tampan dengan wajah rupawan yang digemari kaum hawa.

Bahkan tak jarang banyak wanita yang menyebut wajahnya menyerupai David Beckam, playmaker (pemain gelandang) asal Inggris. Dengan hanya menyandang ijazah SD, ia termasuk pekerja keras sebagai salah seorang buruh di PTP V Krueng Pase- sekitar 10 kilometer dari tempat tinggal Ramli. Namun, semuanya sirna pada 1989, karena dari situlah semua bencana itu bermula.

Menurut Husen, saat masih menjadi pemain bayaran, Ramli pernah mendapat honor sebesar Rp 10 ribu, namun uang itu hilang. Akhirnya, ia rela mencari uang hasil jerih payahnya itu berhari-hari hingga jatuh sakit. “Pihak kantor mengetahui bahwa Ramli merupakan salah seorang striker handal di Club Kijang Putra Paya Bakong, dan mereka (pihak PTP V) memberi angin surga dengan menawari adik saya untuk bergabung di club mereka. Tawaran itu membuat adik saya berangan tinggi terbang ke awan, namun pada kenyataannya impian tak seindah fakta yang ada. Pihak PTP V membatalkan tawaran itu secara sepihak, akibatnya adik saya menjadi uring - uringan dan ia mencoba menenangkan pikirannya dengan mengonsumsi narkoba jenis ganja,” ungkap Husen.

Kondisi itu terus berlangsung lama hingga Ramli berhenti bekerja dan menghabiskan waktunya hanya dengan melamun dan terjerumus untuk menghisap ganja. Tak lama berselang, ia mulai berbicara sendiri dan sesekali tertawa bahkan menangis. “Itulah awal mula kehancuran hidupnya dan itu terjadi sebelum ia sempat membina rumah tangga,” ujar Husen. Karena suka mengamuk dan mengambil harta benda milik orang lain, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk memasungnya dan itu berlangsung dari 1989 hingga akhir 2002. Tepat tanggal 1 Januari 2003, Ramli dibawa ke RSJ Banda Aceh untuk menjalani perawatan intensif hingga 1 Juni 2004. “Pihak RSJ mengizinkan kami untuk membawanya pulang karena sesuai hasil pemeriksaan, kondisi kejiwaan adik saya lumayan stabil,” ungkap Husen.

Sepulang menjalani perawatan di RSJ, pihak keluarga memutuskan untuk melepaskan pasungannya dan ia pun bebas pergi seperti warga lainnya selama beberapa tahun. Namun, itu hanya berlangsung sekejab karena setelah itu ia kembali mengamuk dan mengganggu warga. Atas pertimbangan ketentraman warga desa, pihak keluarga memutuskan kembali memasungnya pada 1 Juni 2009 lalu.

Sehari-hari di gubung tempat pemasungan, Ramli ditemani ibu kandungnya, Hamidah (80 Tahun). Wanita renta inilah yang setia menemani Ramli berbicara. Mengajak Ramli berdiskusi tentang banyak hal. Hamidah berharap putranya pulih kembali. Sesekali kesadarannya pulih. Ramli meminta dibelikan tabloid olahraga. Maklum, dia mantan striker. Sebenarnya, ia sendiri tidak paham dengan isi yang tertera di koran, namun ia hanya suka melihat-lihat sambil mengoceh tak tentu.

Dalam gubuk itu, ia hanya duduk berdiam diri dengan sebelah kaki yang terpasung kayu sepanjang 60 centimeter, sehelai tikar kumal dan bantal lusuh menjadi teman setia. Saat ini pihak keluarga hanya bisa berpasrah karena telah kehabisan dana untuk membawa Ramli berobat. Keluarga tidak memiliki lagi uang untuk berobat. Bantuan pemerintah pun tak kunjung tiba. Padahal, UU 23/2002 tentang Pokok-pokok kesehatan mengamanahkan bahwa orang yang mengidap gangguan jiwa tidak boleh dipasung. Bahkan diharamkan. Pemasungan bukan solusi penyembuhan. Pemasungan hanya membuat penderita semakin menderita, tenggelam dan larut dalam pikirannya yang semakin kacau. Untuk Aceh Utara, informasi yang dihimpun Kontras, sebanyak 20 masyarakat yang di pasung di berbagai kecamatan dalam kabupaten itu. Penyebabnya pun variatif, ada yang mengidap gangguan jiwa karena kecanduan narkoba, ada pula karena himpitan ekonomi, putus cinta dan ditinggal mati keluarga ketika tsunami terjadi di Aceh, 2004 silam. Sebanyak 120 penderita gangguan jiwa di seluruh kabupaten/kota saat ini dipasung oleh keluarganya di Aceh. Angka yang sangat memprihatinkan.

Kalangan DPRK Aceh Utara, mendesak Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk membuat program mendirikan rumah sakit jiwa. Jika melihat luar areal Aceh, idealnya Aceh membutuhkan dua rumah sakit jiwa lagi, yaitu di berada di Lhokseumawe untuk kawasan timur, dan barat-selatan idealnya berada di Meulaboh, Aceh Barat.

“Aneh sekali, Aceh hanya memiliki rumah sakit jiwa satu. Provinsi lain, rumah sakit jiwa sampai lima seperti di Jawa Tengah. Kita masih kurang memperhatikan soal kesehatan,” kata anggota DPRK Aceh Utara, Muhammad HR. Hal senada disebutkan oleh anggota DPRK Lhokseumawe, Amir Gani. Politisi Partai Demokrat Lhokseumawe ini menyebutkan, seharusnya rumah sakit jiwa memang diberdirikan di Aceh. Ini untuk menangani masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga cerita mirisnya dipasung tidak terdengar lagi di seluruh provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu.

Penanganan masyarakat yang mengidap gangguan jiwa pun belum maksimal. Hanya ada rumah sakit umum ditambah satu atau dua orang dokter spesialis syaraf di semua daerah. Di RSUD Cut Mutia, hanya ada satu dokter spesialis syaraf. Tentu, tidak mungkin melayani ribuan orang yang mengidap gangguan jiwa.

Ditambah lagi angka gangguan jiwa di Aceh Utara mencapai 2.212 orang. Angka ini dihimpun Dinas Kesehatan Aceh Utara sejak akhir Desember 2009-Januari 2010. “Selain perlu RSJ. Kita harus menyediakan dokter spesialis syaraf di rumah sakit daerah. Ini untuk memberi pelayanan yang baik,” kata Muhammad.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara, Muhammad Hasan, membantah bahwa layanan untuk pasien gangguan jiwa tidak maksimal. Dia menyebutkan, pihaknya telah memberikan pendidikan khusus bagi satu orang dokter umum, dan dua tenaga medis di 27 Puskesmas di Aceh Utara. “Orang mengalami gangguan jiwa memang harus ditangani khusus. Makanya, kami didik dokter umum dan tenega medis, teknik dasar penanganan pasien gangguan jiwa,” kata Hasan.

Lebih jauh dia menyebutkan, pihaknya juga mengunjungi pasien yang dipasung. Memberikan obat per satu minggu sekali. Plus, melatih keluarga pasien cara meramu obat dan meminum obat yang tepat. Hasan mengakui, dinas yang dipimpinnya tidak memiliki psiater untuk melayani masyarakat gangguan jiwa. Namun, kata Hasan, pihaknya bekerjasama dengan ExxonMobil menyediakan psiater dari Medan, Sumatera Utara. Psiater itu datang ke Aceh Utara per bulan. Lalu, bagaimana biaya pengobatan? “Untuk pasien gangguan jiwa, semuanya gratis. Tapi, masalahnya, masyarakat kita tidak mau melaporkan ke dinas, kalau ada saudaranya yang mengidap gangguan jiwa. Alasannya malu. Ini sangat menyulitkan kami,” kata Hasan. Ini pula menjadi penyebab, sehingga data orang yang dipasung pada Dinkes Aceh Utara hanya sebanyak tiga orang. Padahal, sumber Kontras menyebutkan jumlahnya mencapai 20 orang.

Hasan menambahkan, pihaknya tidak mengirimkan ke RSJ Banda Aceh, karena kapasitas rumah sakit itu sudah tidak mampu menampung pasien baru. Sehingga, penanganan terpaksa dilakukan ditingkat kabupaten. Saat ini, RSJ Banda Aceh, berkapasitas maksimal 350 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat sudah melebihi kapasitas.

Selain itu, Hasan menyebutkan perlu keterlibatan lintas sektor untuk menekan angka gangguan jiwa di Aceh. “Misalnya, perlu turun Disperindagkop, setelah pasien sembuh. Harusnya diberikan modal usaha, sehingga mereka tidak lagi mengalami tekanan ekonomi,” pungkas Hasan. Untuk seluruh Aceh, data dari RSJ Banda Aceh, jumlah penderita mencapai 46.000 orang. Kontras, menghimpun data penderita gangguan jiwa dari berbagai kabupaten/kota di Aceh.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 527 | Tahun XI 4 - 10 Februari 2010

02.27 | Posted in | Read More »

Wartawan Serambi Indonesia Raih Anugerah Seni



15 Februari 2010, 08:52 | Lhokseumawe
LHOKSEUMAWE - Wartawan Serambi Indonesia Biro Lhokseumawe, Masriadi Sambo, meraih anugerah seni dan budaya untuk kategori penulis muda kreatif yang diselenggarakan Dewan Kesenian Aceh (DKA) Lhokseumawe, Sabtu (13/2) malam di Hotel Lido Graha, Lhokseumawe. DKA Lhokseumawe menilai, sejauh ini Masriadi sudah banyak menulis karya sastra seperti cerita pendek, cerita bersambung, dan puisi di sejumlah media. Dia juga dinilai berjasa untuk mengkritisi perkembangan seni dan budaya di Aceh melalui tulisan-tulisannya. Selain itu, selama ini Masriadi telah memenangkan sejumlah lomba penulisan cerpen dan essay budaya tingkat lokal dan nasional.

Ketua DKA Lhokseumawe, TM Zuhri menyebutkan penilaian dilakukan secara independen oleh panitia seleksi. “Kita menilai dari karya, atau penghargaan yang diterima sebelumnya. Ini penilaian sangat fair. Pemberian anugerah seni dan budaya ini baru pertama kali diberikan untuk seniman dan kritikus seni di Lhokseumawe. Ke depan, agenda akbar ini akan dibenahi lagi. Dijadwal per empat tahun, sehingga para seniman bisa mendapat perhatian khusus,” kata TM Zuhri.

Pemberian penganugerahan untuk semua kategori diberikan oleh Walikota Lhokseumawe, Munir Usman. Dalam sambutannya, Munir menyebutkan, perkembangan seni di Lhokseumawe harus dibenahi dari waktu ke waktu. Sehingga, Lhokseumawe menjadi salah satu tujuan wisatwan dunia. “Saya berharap, kehidupan berkesenian di Lhokseumawe bisa menjadi lebih baik. Orang dunia harus kenal Lhokseumawe, karena seni dan budaya yang sangat luar biasa. Ini yang akan kita lakukan ke depan,” kata Munir. Selain Masriadi, turut diberikan pula anugerah fotografer seni untuk Rahmat, sesepuh seniman Usmani Kandang, Ali Akbar, Ali Asyimi, dan sejumlah seniman lainnya.

Selain itu, diberikan pula anugerah untuk pembina seni yaitu Dandim 0103 Taufan Akridal, Kapolres Lhokseumawe, AKBP Zulkifli, dan pemecah rekor Muri 2009, Muda Balia. Acara penganugerahan ini berlangsung hingga tengah malam dan diisi oleh berbagai tarian, musik etnik dan musik kontemporer.

SUMBER > http://www.serambinews.com/news/view/24170/wartawan-serambi-indonesia-raih-anugerah-seni

01.48 | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added