MOST RECENT

Syariat Setengah Saja



Masriadi Sambo - KONTRAS


Syariat Islam setengah saja, tidak penuh. Ungkapan itu yang tampaknya menggambarkan perilaku sehari-hari warga Lhokseumawe dan Aceh Utara.


PENERAPAN Syariat Islam di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe jauh dari kata sempurna. Buktinya, cerita tentang warga menggerebek pelaku mesum masih saja terdengar nyaring di dua kabupaten/kota itu. Persoalan syariat kini terkesan hanya menjadi tanggung jawab personel Wilayatul Hisbah (WH). Padahal, WH sendiri memiliki segudang keterbatasan. Lihatlah Aceh Utara. Sebanyak 27 kecamatan di kabupaten itu terpaksa diawasi oleh 80 personel WH. Jumlah itu tentu saja tidak memadai.

Wakil Komandan WH, Wilayah Tengah Aceh Utara, M Jamil, kepada Kontras, kemarin menyebutkan, pihaknya tidak memiliki pondasi dana yang cukup untuk melakukan razia secara rutin setiap hari. Dalam sekali razia, mereka butuh dana Rp 200.000. Uang itu digunakan untuk uang minum personel. “Kalau gaji kami sudah ada lah. Uang minum saja untuk razia, kami tidak ada,” terang M Jamil. Dia menyebutkan, idealnya razia dilakukan setiap hari. Namun, karena keterbatasan dana, maka razia saat ini hanya dilakukan berdasarkan permintaan masyarakat. “Misalnya masyarakat minta kita razia di kawasan Pantai Lapang, Aceh Utara, maka kita razia. Itu pun atas inisiatif personel yang di pos. Tidak ada uang minum segala,” kata M Jamil. Dia menyebutkan, WH Aceh Utara memiliki tiga pos, yaitu di Simpang Mulieng, Krueng Geukuh, dan Alue Puteh. Masing-masing pos diisi oleh 20 personel.

Lebih jauh dia menyebutkan, WH saat ini hanya bertugas melakukan pembinaan. Misalnya, ditangkap pelaku pelanggaran syariat, lalu di bina selama seminggu di pos WH setempat. Setelah itu kembali dilepaskan. Kalau untuk wanita tidak ditahan. “Wanita kita beri izin pulang, tapi setiap pagi sampai sore hari dia harus ke pos untuk dibina,” kata Jamil

Dia menilai, pendekatan kemanusiaan cenderung efektif. Terbukti kasus pelanggaran semakin kecil. Dulu, tahun 2008, dalam sepekan mereka bisa menangkap tiga pasang untuk khalwat. Umumnya, pelanggaran yang terjadi adalah khalwat. Kini, sepekan belum tentu ada satu kasus. “Kalau soal intensitas razia, dari dulu sampai sekarang sama sajalah. Kasus meningkat. Tapi rekapitulasi kasusnya saya tidak ingat betul,” terang Jamil.

Dia menilai, saat ini penyidikan kasus khalwat dan penuntutannya sampai ke pengadilan Mahkamah Syariyyah memang terkesan lamban. Buktinya, pelaksanaan hukum cambuk sejauh ini hanya satu kali di Aceh Utara. Hal yang sama terjadi di Lhokseumawe. Untuk itu M Jamil menyarankan agar aparat gampong membuat kesepakatan lokal di semua gampong di Aceh Utara. Misalnya, kalau menangkap pelaku khalwat hukumannya apa. “Nah, ini dibuat kesepakatan saja di tingkat lokal. Agar semua orang menghargai hukum yang disepakati. Terpenting, hukum adat ini tidak bertentangan dengan Alquran, hadist, dan hukum nasional,” saran Jamil.

Sementara itu, psikolog dari Universitas Malikussaleh, Safwan M Psi, menyebutkan, perubahan perilaku masyarakat juga mendorong tidak efektifnya penerapan syariat Islam. Masyarakat mengaku sudah Islam, mengetahui hukum, namun enggan menjalankannya. Ditambah lagi perkembangan teknologi informasi yang semakin menggila. Maka, jadilah syariat setengah saja. Tataran kulit luar. Namun, tidak menyentuh esensi hukum Islam. “Rasa kesadaran masyarakat untuk menjalankan syariat Islam itu yang lemah. Ini yang harus dibenahi dulu. Misalnya, orangtua membenahi akidah anaknya dan akidah dirinya sendiri. Lalu, lingkungan juga harus mengacu ke syariat, dan terakhir intervensi pemerintah yang kuat untuk sektor syariat. Selama ini, rasa kesadaran itu yang tidak ada,” terang Safwan.

Dia menyebutkan, Pemerintah Aceh juga harus mencari model penerapan syariat Islam yang ideal. Misalnya, seperti model Negara Sudan, atau Arab Saudi. Sayangnya, syariat di Aceh saat ini tidak ada model yang baku. “Makanya, penerapannya hanya kulit luarnya saja,” kata Safwan. Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat, DPRK Lhokseumawe, Amir Gani, menyebutkan, perlu perhatian khusus untuk menegakkan syariat secara kaffah. Caranya, Pemerintah Kota Lhokseumawe, dan pemerintah lainnya, memberikan alokasi dana yang cukup untuk satuan WH.

Masalah lainnya, penggabungan Satuan Pamong Praja dan WH dalam satu dinas di semua kabupaten/kota perlu ditinjau ulang. “Kalau pun tidak dipisahkan dinasnya, maka dicari solusi, misalnya kantornya dipisah. Meskipun mereka berada di bawah satu dinas. Ini untuk menjaga citra WH itu sendiri,” kata Amir.

Fraksi Demokrat dan Fraksi Koalisi DPRK Lhokseumawe, telah mendesak Walikota Munir Usman untuk memisahkan gedung WH dan Satpol PP. “Saat itu walikota sudah bilang setuju. Kita tunggu saja aksi walikota,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Kini, syariat belum berjalan maksimal. Sore hari, remaja, ibu-ibu masih bebas berjalan-jalan di pusat keramaian tanpa mengenakan jilbab. Bukan hanya itu, juga mengenakan celana ketat. Kaum adam, masih menggunakan celana pendek dan memperlihatkan lututnya. Tentu itu tidak sesuai dengan Islam. Syariat setengah saja. Tidak penuh. Inilah realita penerapan syariat Islam di Lhokseumawe dan Aceh Utara. (*)

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 536 | Tahun XI 8 - 14 April 201

02.32 | Posted in , | Read More »

Setoran Lemah, Pungutan Lancar




PENDAPATAN Asli Daerah (PAD) dari retribusi parkir untuk Aceh Utara hanya sekitar 52 juta per tahun. Padahal, pengutipan parkir di seluruh kawasan Aceh Utara berjalan lancar. Disinyalir selama ini ada pihak yang memanfaatkan sarana parkir sebagai pendapatan pribadi, sehingga setorannya tidak sampai menjadi pendapatan daerah. Lokasi ini tersebar, antara lain, di kawasan Kecamatan Tanah Jambo Aye, dan juga kawasan Lhoksukon, Aceh Utara. Kedua lokasi kecamatan ini berpotensi mendatangkan PAD, apalagi Kota Lhoksukon, Ibu kota Aceh Utara, saban hari ramai dikunjungi semua elemen masyarakat sebagai lokasi pasar.

Begitu juga di kawasan Pantonlabu, bukan hanya warga dari Aceh Utara yang hanya berbelanja ke kawasan itu. Warga Aceh Timur juga banyak berdatangan, karena lokasi sentral bagi Kecamatan Langkahan. Seunuddon, Baktya dan juga Madat, serta sebagian Pante Bidari, Aceh Timur. Warga selalu memadati kawasan itu untuk berbagai keperluan. Tentunya ini menjadi rezeki nomplok bagi penjaga parkir.

“Setahu saya ada beberapa lokasi parkir di kawasan Pantonlabu, yang diubah menjadi arena pedagang kaki lima. Namun, iurannya dimanfaatkan pihak yang berkompeten di kawasan tersebut. Ya, iurannya masuk ke kantong dia lah,” kata seorang sumber yang tidak ingin namanya diekspose.

Diungkapkannya, kondisi ini sudah menjadi rahasia umum dan sudah lazim. Namun, warga tidak berani memprotesnya karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka lebih memilih diam saja meski kondisi tersebut merugikan mereka, karena khawatir akan membawa malapetakan bagi usahanya. Konon lagi yang menerima setoran tersebut bukan elemen masyarakat sipil, seperti yang terjadi di jalan Perdagangan, jalan Tgk Chik Ditunong, dan juga Jalan Tgk Chik Ditiro. Sebagaiman diketahui, di kawasan tersebut sudah ada tim yang melakukan penertiban kota, tapi hal ini terkesan tertutup dengan tim gabungan tersebut.

Seorang penjahit sepatu di kawasan Pantonlabu mengaku, lapaknya kini telah digeser oleh pedagang lain, karena pedagang tersebut mampu menyetor iuran sesuai dengan yang diminta. Padahal, sudah puluhan tahun dia mencari rezeki di lokasi itu. Namun, tiba-tiba dia diharuskan pindah, karena tidak mampu menyetor dalam jumlah yang banyak ke pihak tersebut. Sementara pedagang penggantinya mampu membayarnya dalam bentuk iuran tiap bulan sesuai permintaan.

Kini ia mengaku pendapatannya semakin berkurang, karena harus menumpang lokasi di lorong belakang pedagang tersebut. Ia mengaku tidak berani memprotesnya, karena pihak tersebut bukan warga ‘biasa’. “Awalnya saya sudah mencoba memprotesnya, tapi pedagang tersebut bersikeras dan membawa pihak yang menerima iuran, sehingga saya lebih memilih mengalah saja,” ungkapnya mengeluh. Karena jika terus memprotesnya akan membawa ke hal-hal yang tidak baik bagi usahanya kelak. Bisa-bisa protes darinya akan dibalas dengan teror. Bukan hanya itu. Pihak yang ‘berkuasa’ di Kecamatan tersebut juga memiliki sarana parkir lain yang tidak masuk dalam retribusi PAD.

Di Lhoksukon
Lain halnya yang terjadi di Lhoksukon. Selain penataan kota yang semakin semraut, tukang parkir kini semakin menjamur di setiap sudut kota. Ditenggarai mereka juga mengumpulkan uang per sepedamotor Rp 1.000 untuk kebutuhan pribadi tanpa ada retribusi ke dinas. Padahal, kawasan tersebut juga sangat berpotensi untuk retribusi.

Seorang pemilik warung kopi di Lhoksukon epada Kontras menyebutkan, ia mengaku tidak tahu persis apakah mereka memiliki izin mengutip uang dari tukang parkir. Namun, semakin hari jumlah yang mengutip parkir di kota Lhoksukon semakin bertambah. “Kemarin ada seorang yang mengutip parkir di depan warung kopi saya, tapi saya larang, karena warga menjadi enggan minum kopi,” katanya.

Layanan lemah

Baik di Lhoksukon dan di Pantonlabu, arena parkir masih sama sekali belum tertib. Kondisi ini semakin menambah kesemrautan kedua kota yang termasuk pusat perbelanjaan warga di kawasan Aceh Utara bagian Timur. Ada kemungkinan kondisi ini terjadi lantaran masih rendahnya kesadaran masyarakat. Bisa juga lantaran perhatian dan pengawasan pihak dinas yang masih lemah. Jika kondisi ini didata dengan baik, selain menunjang bagi pendapatan daerah, juga akan memperindah suasana dan ketertiban kota.

Namun, ini belum ada, belum sama sekali, sehingga kondisi kawasan jalan menuju Lapang saban hari semakin semrawut. Bukan hanya kemacetan, tapi juga rawan kecelakaan. Padahal, Lhoksukon sebagai pusat kabupaten Aceh Utara seharusnya menjadi contoh bagi kecamatan yang lain. Apalagi Pemda sudah melakukan program pemindahan kantor ke kawasan tersebut. (Masriadi/Jafaruddin)

02.29 | Posted in , | Read More »

Kebocoran PAD di Sektor Parkir




Masriadi Sambo & Jafaruddin - KONTRAS


RETRIBUSI dari parkir di Kota Lhokseumawe belum sepenuhnya masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diduga masih ada kebocoran di sana-sini. Banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari keringat para tukang parkir. Ini juga menandakan masih lemahnya pengawasan dinas berkompeten untuk menatanya dengan baik.

Para tukang parkir masih menjerit nyaring dengan kondisi yang sudah puluhan tahun dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak, sebab luput perhatian dari dinas terkait. Beberapa tukang parkir mengaku belum bisa menikmati hasil keringat mereka dengan mengumpulkan duit recehan dari para pemakai roda dua dan roda empat. “Setiap sore pihak dinas hanya mau tahu iuran dari kami. Mereka tidak memperhatikan kondisi di arena parkir dengan berbagai persoalan,” kata seorang tukang parkir yang mengaku berasal dari Kota Lhokseumawe. Selain harus menyetor kepada pihak dinas setiap sorenya, mereka juga mengaku harus menyetor kepada pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik lokasi parkir. Dari jumlah hasil pengumpulan recehan di arena yang berdebu dan diterpa sinar matahari itu, hanya satu bagian untuk mereka. Sisanya atau dua bagian lain, konon, untuk PAD dan pihak yang tak bertanggung jawab.

Bukan hanya itu, bagi mereka yang memiliki arena parkir padat pengunjung seperti di depan mini market dan toko penjualan spare part, bisa mengumpulkan uang mencapai 250 ribu lebih per hari. Sedangkan yang disetor ke Dinas Perhubungan hanya sekitar Rp 30 ribu per hari. Di lokasi yang sepi pengunjung juga mereka harus menyetor dalam jumlah yang sama. Padahal, mereka hanya bisa mengumpulkan per hari sekitar maksimal 60 ribu.

Karena lokasi parkir diklaim ada pihak yang memilikinya, sehingga mereka dengan mudah menjual ke pihak lain. Hal ini juga luput dari perhatian dinas yang berkompeten. Bau busuk ini sudah lama tercium, tapi masih terkesan dibiarkan. “Kemarin satu lokasi tukang parkir dijual dua kali, sehingga kini terjadi keributan,” kata tukang parkir yang tidak ingin disebut namanya.

Banyak ragam persoalan jika mau menyelisik dunia perparkiran. Lokasi itu selama ini menjadi sarana empuk yang diberi fasilitas baju parkir oleh pihak yang bertanggung jawab. Seharusnya kondisi ini bisa dimanfaatkan pihak dinas sebagai salah satu pemasukan untuk menambah PAD dan menambah kesejahteraan bagi mereka. Mereka selama ini hanya mengumpulkan recehan untuk menambah PAD, sedangkan mereka hanya menikmati sisa saja duit recehan.

Kondisi ini harus segera dicari jalan keluar. Untuk menjaga kebocoran PAD yang terus menerus, pihak berkompeten diminta bertindak. “Seharusnya pihak dinas dibagi merata tiap harinya supaya semua bisa menikmati, karena ini tidak butuh keahlian, selain itu supaya tidak terjadi kesenjangan,” katanya lagi.

Kini, menurutnya, semakin banyak orang mengejar lokasi parkir, karena berpotensi untuk mengeruk keuntungan pribadi. Dari sejumlah tukang parkir yang diwawancara Kontras, kemarin, mereka meminta supaya pihak dinas tidak membiarkan hal ini terjadi lagi. Pihak dinas diminta mendata sejumlah lokasi tukang parkir, membagikan ratakan per hari jatah lokasi parkir, supaya hasil tersebut selain untuk PAD juga bisa dimanfaatkan merata, tidak hanya oleh orang itu-itu saja.

“Di lokasi yang sepi pengunjung kadang ketika hujan, kami terpaksa menggunakan uang sendiri menutup iuran, sedangkan lokasi yang maju pengunjung, mereka tetap bisa mendapatkan ratusan ribu,” kata tukang parkir yang juga tidak ingin disebut namanya.

Lokasi parkir ilegal

Disinyalir hingga lokasi parkir ilegal masih menjamur di kota Lhokseumawe. Mereka hanya mencari keuntungan pribadi. Padahal, jika semua diperhatikan dengan data yang baik, akan sangat berpotensi menambah penghasilan Pendapatan Lhokseumawe untuk menunjang pembangunan dan tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak. Tapi ini tidak, yang terjadi selama ini mereka hanya memanfaatkan itu tanpa iuran kepada pemko. Berawal dengan memakai kostum parkir sehingga terkesan mereka juga ikut membantu iauran untuk PAD, padahal tidak. Mereka mendapatkan baju dari pihak yang bertanggung jawab.

“Setahu saya di kawasan kota Lhokseumawe, mereka mendapatkan baju parkir dari petugas, tapi di lokasi lain saya tidak tahu persis, saya dengar ada, “ kata tukang parkir. Di setiap depan toko yang ramai dikunjungi pengunjung, ada saja pengutip iuran Rp 1.000. Namun, tidak diketahui apakah iuran tersebut juga disetor ke pihak dinas.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 537 | Tahun XI 15 - 21 April 2010

02.27 | Posted in , | Read More »

Menertibkan Pengemplang PAD



Masriadi Sambo & Jafaruddin - KONTRAS


ARENA parkir memang menjadi lahan basah. Bayangkan saja, penelusuran Kontras, petugas parkir ini banyak yang tidak memberikan tiket resmi kepada pengguna jasa parkir. Terkadang mereka menerima uang parkir sebesar Rp 500 per kendaraan roda dua, dan Rp 1.000 untuk kendaraan roda empat. Terkadang, Rp 1.000 untuk kendaraan roda dua, dan Rp 5.000 kendaraan roda empat. Petugas parkir tidak mematok dengan angka pasti. Sebaliknya, pemilik kendaraan pun memberi dengan jumlah yang tidak terbatas. Padahal, pungutan yang diwajibkan adalah Rp 500 untuk roda dua, Rp 1.000 roda tiga, Rp 2.000 roda empat. Lebih celaka lagi, tidak ada tiket yang diberikan. Otomatis tidak tercatat pula dalam penerimaan pendapatan asli daerah (PAD).

Kepala Bidang Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Khadijah, menyebutkan, semua target penerimaan sektor parkir dan retribusi terminal itu ditentukan oleh Dinas Perhubungan Aceh Utara. Hal yang sama dilakukan di Lhokseumawe.

Khadijah menyebutkan, pihaknya hanya mencatat apa yang ditargetkan oleh dinas pengelola kegiatan pungutan PAD. “Misalnya, mereka buat target sekian, kita lihat, kalau kita nilai tidak rasional kita suruh buat lagi. Nanti tambah sedikit,” kata Khadijah. Saat disinggung tentang sektor apa saja yang rawan kebocoran, Khadijah enggan berkomentar.

Data dari DPKKD Aceh Utara, untuk sektor parkir pinggir jalan, sesuai qanun No 6/1999 tahun lalu, Aceh Utara hanya bisa mencatat pendapatan sebesar Rp 50.372.000. Sedangkan untuk retribusi terminal sesuai dengan qanun No 39/2005 yaitu Terminal Lhoksukon dan Pantonlabu, tahun lalu hanya Rp 192.000.000.

Lalu, bagaimana tahun 2010? Untuk tahun ini, PAD yang ditargetkan dari sektor parkir hanya Rp 52.380.000, sedangkan retribusi terminal 240.000.000. Sedangkan untuk Lhokseumawe, PAD sektor parkir hanya Rp 25 juta. Sementara itu, Ketua Komisi A, DPRK Aceh Utara, Amiruddin B, menyebutkan sektor pendapatan di Aceh Utara memang kacau balau.

Dia menyontohkan, total PAD yang ditargetkan pihak eksekutif tahun ini hanya sebesar Rp 38 miliar. “Itu sudah masuk semua sektor. Dari angka itu saja sudah tidak masuk akal. Semua orang di dunia ini akan terkejut mendengar PAD Aceh Utara yang ditargetkan hanya Rp 38 miliar,” kata Amiruddin B.

Lebih jauh dia menyebutkan, saat ini pihaknya sudah memprioritaskan meninjau ulang kembali semua qanun yang bisa menghasilkan PAD. “Nantinya, kita akan tinjau semua qanun itu. Dan, ada satu qanun kita buat khusus untuk mendongkrak PAD. Ini harus segera diselamatkan,” terang Amiruddin.

Dia mengatakan, DPRK Aceh Utara, Mei mendatang akan memulai pembahasan untuk rencana qanun PAD tersebut. “Tahun ini, kita hanya fokuskan pada empat qanun, qanun PAD, tataruang, balai pengajian dan migas,” kata Amiruddin.

Lebih jauh dia menyebutkan, jika qanun ini sudah disahkan, maka harus dilakukan pengawasan yang ketat. “Harus kita tertibkan orang-orang yang mengemplang parkir dengan aturan yang lebih ketat,” ungkap Amiruddin.

Di tengah kondisi Aceh Utara yang mengalami krisis keuangan mahadahsyat, seharusnya eksekutif bekerja maksimal untuk mendapatkan PAD. Jika tidak, keuangan Aceh Utara semakin terpuruk dan tidak bisa melakukan pembangunan dengan maksimal.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Aceh Utara, F Badli menyebutkan, biaya retribusi seluruh terminal di Aceh Utara tahun lalu mencapai Rp 92 juta. Tahun ini, pihaknya menargetkan mampu memungut biaya retribusi terminal sebesar Rp 120 juta. Sedangkan biaya parkir pinggir jalan hanya mencapai Rp 52 juta lebih. Angka ini terbilang sedikit. Pasalnya, lokasi pemungutan biaya parkir pinggir jalan ini mencapai lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lhoksukon, Krueng Mane, Krueng Geukuh, Panton Labu dan Geudong. Namun, Badli membantah bahwa pungutan parkir pinggir jalan itu sedikit. “Tidak sedikit itu. Itu sudah sangat besar. Karena, kecamatan yang ada tidak begitu banyak mobil dan kendaraan yang parkir,” terang Badli.

Meski begitu, lanjut Badli, pihaknya berusaha meningkatkan pendapatan daerah dari retribusi parkir terminal dan parkir pinggir jalan tahun ini. “Tahun ini kita upayakan peningkatan. Kalau kecamatan lainnya belum kita pungut biaya parkir pinggir jalan, karena masih sangat sedikit kendaraan yang parkir seperti Kecamatan Matang Kuli dan lain sebagainya yang ada di pedalaman Aceh Utara,” kata Badli.

Di tempat terpisah, Kadis Perhubungan, Pariwisata, dan Kebudayaan Pemko Lhokseumawe, Miswar Ibrahim, menyebutkan, tahun ini pihaknya diberi target agar menyetor PAD dari sektor parkir sebesar Rp 800 juta. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding tahun lalu hanya Rp 25 juta. Miswar yang baru dua pekan menjabat Kadis Perhubungan menyebutkan saat ini pihaknya sedang melakukan pendataan dimana kebocoran-kebocoran sehingga menyebabkan PAD sektor itu sangat kecil.

“Kita sedang data semua persoalannya. Nanti kita cari solusinya. Saat ini kita yang jelas akan membuka arena parkir baru,” tegas Miswar. Dia menyebutkan, sejauh ini pihaknya optimis mampu mencapai target Rp 800 juta tersebut. Dia menyebutkan, pengelolaan parkir dikelola pihak ketiga, seperti dikelola aparatur gampong.

Anggota Komisi B, bidang ekonomi dan keuangan, DPRK Lhokseumawe, Amir Gani, menyebutkan, sejauh ini sektor parkir memang masih lemah. Untuk itu, tahun ini DPRK Lhokseumawe juga akan mengesahkan qanun retribusi terminal dan parkir yang baru dan merevisi qanun yang lama. “Sangat aneh kalau parkir itu angkanya kecil. Orang parkir dalam sehari bisa tiga sampai empat kali. Kan lucu saja kalau sangat kecil,” kata Amir Gani diamini anggota komisi B lainnya, Junaidi Yahya. Mereka mendesak agar target yang baru ini mampu dicapai oleh Dinas Perhubungan Lhokseumawe. Kini DPRK Aceh Utara dan Lhokseumawe berupaya untuk menertibkan PAD sektor parkir. Ya, mengemplang pelaku yang membocorkan PAD sektor ini. Kita tunggu saja aksinya.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 537 | Tahun XI 15 - 21 April 2010

02.23 | Posted in , | Read More »

Konspirasi Kepentingan di APBA 2010



Masriadi Sambo - KONTRAS

PENGESAHAN APBA 2010 di Gedung DPRA Aceh disinyalir penuh konspirasi kepentingan. Pasalnya, pengesahan buku uang pembangunan Aceh itu molor dari jadwal yang ditentukan. Idealnya, pengesahan APBA dilakukan pada Januari 2010. Namun, kalangan legislatif dan eksekutif tampaknya memiliki kepentingan masing-masing. Hingga datang warning dari pemerintah pusat, bila APBA tidak disahkan pada 22 Maret 2010, maka akan dikenakan sanksi pinalti. Ini pula yang membuat legislatif kebakaran jenggot dan mempercepat pengesahan. Hasilnya, potret buruk pengesahan anggaran kembali terjadi.

“Saya melihat sarat kepentingan. Di satu sisi, kalangan DPRA memperjuangkan dana aspirasi dewan, di sisi lain eksekutif memperjuangkan dana JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), dan dana perjalanan dinas gubernur dan wakil gubernur. Ini yang membuat lama pengesahan APBA,” terang Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, kepada Kontras, kemarin.

Dia menyebutkan, ada tiga poin besar yang harus dipertanyakan dalam pengesahan APBA, yaitu dana perjalanan dinas gubernur dan wakil gubernur yang mencapai Rp 60 miliar. Kemudian dana untuk program JKA sebesar Rp 350 miliar. Dana aspirasi 69 anggota DPRA sebesar Rp 345 miliar.

“Tiga mata anggaran ini yang membuat lama pengesahan. Selain itu, tiga mata anggaran ini pula yang membuat defisit APBA. APBA kali ini terlalu dipaksakan,” kritik Alfian tajam.

Awalnya, APBA direncanakan sebesar Rp 6,5 triliun. Namun, pengesahannya Rp 7,6 triliun. Ini mengakibatkan APBA mengalami defisit sebesar Rp 1,3 triliun.

Alfian mengeritik tajam program JKA. Menurutnya, program itu belum memiliki mekanisme yang jelas. Pasalnya, program yang hampir serupa telah diberlakukan secara nasional, yaitu program Jamkesmas.

“JKA itu bagaimana mekanismenya. Siapa saja yang berhak menerima uang premi sebesar Rp 16.000 per orang untuk pengobatan itu. Ini yang patut kita pertanyakan, karena Jamkesmas juga sudah diberlakukan secara nasional,” terang Alfian.

Lebih jauh dia menyebutkan, sejauh ini, belum ada mekanisme apa pun untuk JKA. Dia menduga, program itu akan menjadi program cet langet, tidak menyentuh masyarakat banyak.

Selain itu, khusus untuk Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar, Alfian menyesalkan mengapa dana perjalanan dinas begitu besar. Dia mengakui sangat paham akan keluhan gubernur yang dilansir di beberapa media lokal, tentang banyaknya masyarakat yang datang ke rumahnya. “Kita paham keluhan gubernur. Tapi, harusnya bisa digunakan secara efektif dan efisien. Jadi, sisa dana itu bisa digunakan untuk membangun Aceh,” tegas Alfian.

Pada tahun 2009, sebut Alfian, dana perjalanan gubernur dan wakilnya mencapai Rp 70 miliar. Padahal, revisi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, uang perjalanan dinas hanya bisa digunakan sebesar Rp 22 miliar. Namun, kenyataannya tetap digunakan sebesar Rp 70 miliar.

“Artinya, kejadian tahun lalu terulang kembali tahun ini. Ini berpotensi terjerat masalah hukum,” urai aktivis lajang ini. Alfian menyebutkan, idealnya, dalam APBA tertampung program yang pro-rakyat. Program pro-rakyat adalah membangun dan melengkapi fasilitas kesehatan di seluruh Aceh. Saat ini, rumah sakit di semua daerah masih mengalami kekurangan fasilitas. Rumah sakit yang memadai hanya terletak di ibukota provinsi di Banda Aceh. Sedangkan di daerah, cerita pasien miskin telantar, hanya karena tidak ada uang dan tidak didukung peralatan medis yang memadai masih saja terdengar nyaring di seluruh Aceh.

Selain itu, program memperkuat ekonomi masyarakat juga dikritiknya. Sejauh ini, konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat perlu segera dirancang. Sebelumnya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mencanangkan Kredit Pemakmu Nanggroe (KPN). Kini, kredit ini sudah dihentikan. Seharusnya, dicari formula lain sebagai pengganti program ini, yang lebih efektif dan efisien untuk mendongkrak ekonomi masyarakat di Aceh.

Program lainnya yang tak kunjung membaik adalah pembangunan infrastruktur jalan yang memadai di seluruh Aceh. Sejauh ini, daerah barat-selatan masih sangat terisolir. Jalan berkubang menjadi pemandangan sehari-hari di daerah itu. Ini juga belum tersentuh dengan baik dalam APBA.

Dana Otsus
Selain itu, Alfian juga mengeritik mengapa sampai saat ini Pemerintah Aceh belum mengubah aturan menggunakan dana otonomi khusus. Keistimewaan dan kekhususan Aceh untuk menggunakan dana Otsus ada di provinsi. Akibatnya, daerah selalu ketiban masalah. Daerah tidak memiliki hak untuk mengelola dana Otsus. Efek dari itu, sejak tahun 2007 sampai saat ini, proyek yang didanai dengan dana Otsus selalu tidak rampung alias telantar.

Daerah yang paling dirugikan tahun lalu oleh provinsi adalah Aceh Utara. Pasalnya, sebesar Rp 32 miliar dana Otsus untuk bidang pendidikan tidak bisa dicairkan, hanya karena keterlambatan provinsi menyiapkan sket gambar bangunan. “Aceh Utara salah satu daerah yang paling dirugikan. Seharusnya, dana Otsus bisa dikelola di daerah. Caranya, ubah dulu qanun yang ada,” kata Alfian.

Dia menyesalkan sikap Pemerintah Aceh dan DPRA yang tidak peka terhadap persoalan dana Otsus ini. Sebelumnya, Forum Kabupaten Kota (FKK) bahkan telah mendesak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk melimpahkan dana Otsus ke daerah. Sehingga, pengawasan mudah dilakukan. Tujuannya jelas, mengoptimalkan pembangunan yang berkualitas di Aceh.

“Ada kesan, kalau dikelola daerah, maka provinsi tidak memiliki uang lagi. Ini yang aneh. Padahal, tujuan pembangunan adalah membuat bangunan yang berkualitas untuk dinikmati rakyat,” kata Alfian. Namun, dia menilai, belum ada itikad baik untuk mengubah aturan terkait dana Otsus. “Tidak ada pengawalan proyek dana Otsu sselama ini. Siapa yang mengawal, oke katakanlah gubernur. Buktinya, proyek bermasalah. Uang ditarik, proyek telantar. Kan itu realitas yang tak bisa kita pungkiri selama ini,” pungkas Alfian.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 534 | Tahun XI 25 - 31 Maret 2010

02.59 | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added