MOST RECENT

Saya, Hasan Tiro, dan Face Book

SATU hari, setelah meninggalnya Tengku Muhammad Hasan Di Tiro, seorang teman, Reza Idria, mengabari bahwa ada satu akun face book menghujat tokoh tertinggi di kalangan mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu. Saya kenal karakter Reza. Dia jarang marah. Bahkan, hampir tidak sama sekali. Namun, kali ini, dia begitu berapi-api.
“Ada satu pecundang dari seberang bernama Andriansyah Syihabuddin yang telah melecehkan berita duka meninggalnya wali Orang Aceh dan menghina makna wali bagi kita. Bereskan!” tulis Reza dalam status pribadinya.
Ada 11 orang menyukai status seniman Aceh ini. Lalu, 65 komentar bervariatif terhadap status Reza. Ada yang menghujat, ada pula yang nyeleneh. Intinya, semua mendukung argumen Reza Idria.

Saya tidak pernah mengenal Hasan Tiro sebelumnya. Saya mendengar cerita tentang Hasan Tiro, dari ibu kandung saya, yang asli dari Meureudu, Pidie Jaya. Bagi ibu saya, Hasan Tiro sosok yang misterius. Namun, sangat hebat dan fenomenal.

Ibu saya pun, mendeskripsikan Hasan Tiro sebagai pemuda yang kecil, tampan, berani, dan terbuka. Menurut ibu saya, beliau mendengar cerita tentang Hasan Tiro dari almarhum kakek saya.

Setelah meranjak dewasa, menimba ilmu di jurusan Ilmu Komunikasi, saya pun mulai mencari referensi tentang sang Wali Nanggroe (sebutan GAM untuk Hasan Tiro).

Dari sisi fisik, pria ini berbadan kecil. Namun, memiliki tatapan mata yang tajam. Pendiriannya jelas. Hanya kata-Merdeka- untuk Aceh.

Perjuangan melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditabuhkannya. Baginya, Indonesia, hanya sebuah Negara yang tidak pernah memikirkan provinsi dan kabupaten/kota. Daerah hanya sebuah “negara” bayangan. Hanya bisa dihayalkan. Namun, tidak dianggap dalam kehidupan nyata. Akibatnya, daerah selalu tertindas. Harta karun dari daerah dikeruk dan dibawa ke Jakarta, sebagai ibukota Negara. Ini pula yang membuat Sang Wali memberontak. Memanggul senjata. Mengumpulkan massa, dan menabuh genderang perang.

Bukan hanya itu, Hasan Tiro memiliki kemampuan mengolah isu, Menjustifikasi semua peristiwa alam, menjadi peristiwa politik. Ini pula yang dilakukan oleh kader mantan pejuang GAM.

Lihatlah ketika Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, April 2009 lalu. Satu hari, ada kejadian alam, di Pantai Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Ada lima ekor ikan hiu, mengantar satu ekor hiu lainnya ke daratan Pantai Lancok. Hiu itu terluka dan perlu pengobatan dari manusia.

Kemudian, beredar kabar, di kalangan mantan kombatan, bahwa satu ikan hiu yang terluka itu merupakan tafsiran dari Partai Aceh. “Enam ikan hiu, hanya satu yang diantar oleh teman-temannya di Aceh. Itulah Partai Aceh. Satu-satunya partai hasil MoU Helsinki,” begitu kabar yang beredar saat itu.

Kita tau, enam partai lokal lolos verifikasi dan berhak mengikuti Pemilu 2009 adalah, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Daulat Atjeh (PDA).

Klaim kejadian alam ini, merupakan trik kampanye yang luar biasa. Seolah-olah membenarkan bahwa hiu yang terluka itu adalah Partai Aceh, yang didominasi oleh mantan pejuang GAM, yang baru terintegrasi paskadamai di Aceh.

Kemudian, lihat pula spanduk yang dipasang oleh Partai Aceh. “Nyo keuh partai amanah MoU Helsinki (Inilah partai amanah MoU Helsinki),”. Bunyi spanduk itu seakan-akan, hanya partai Aceh sebagai amanah MoU Helsinki. Bagi masyarakat awam di Aceh, ini adalah sebuah fakta. Mereka tidak akan ambil pusing, bahwa amanah MoU Helsinki, adalah di Aceh diperbolehkan adanya partai lokal. Tentunya, bukan hanya Partai Aceh.

Dalam masa kampanye, tulisan spanduk itu, sangat wajar. Tujuannya, agar PA menang mutlak di Aceh. Hasil akhir, menunjukkan bahwa PA memang menang di sejumlah kabupaten/kota. Artinya, peristiwa alam,ditafsikran menjadi peristiwa politik sebagai kampanye efektif.

Mesin kampanye ini tentu tidak datang dengan sendirinya. Elit mantan GAM tentu mendisain pola kampanye apa yang digunakan untuk memenangkan Pemilu. Elit GAM, tentu langsung berkomunikasi dengan Sang Wali, untuk menentukan format kampanye itu. Hal ini, yang tidak saya lihat bisa diproduksi oleh partai lokal lainnya di Aceh.

Dengan segala kelebihan yang dimiliki Hasan Tiro, tentu banyak pemikir Aceh yang sangat marah, bila ada orang yang menghina sosok yang sangat fenomenal itu. Kemarahan itu, adalah sebuah kerinduan, akan hadirnya sosok baru sekelas Hasan Tiro. Sosok yang bisa menyatukan seluruh elemen di Aceh, untuk sebuah kata pembangunan berkelanjutan. Mengakhiri perang yang berkepanjangan, dan meneruskan damai untuk generasi masa depan.

Saat ini, masa depan damai Aceh tergantung bagaimana mantan GAM memposisikan diri. Merangkul mantan GAM yang masih menderita dan mengalami keterpurukan ekonomi. Jika tidak, saya khawatir, akan muncul barisan sakit hati. Jika ini terjadi, maka, damai Aceh berada diujung tanduk.

Bagaimana pula, parlemen Aceh yang didominasi kader PA, bisa membuat trobosan baru dalam lima tahun masa jabatannya. Membuat program pro rakyat. Mengenyampingkan kepentingan pribadi.

Pertanyaannya, mampukah kader PA menahan “nafsu” pribadi setelah duduk di kursi empuk parlemen? Hanya waktu yang bisa menjawab itu.

21.46 | Posted in , | Read More »

Menertibkan Pengemplang PAD

Masriadi Sambo & Jafaruddin - KONTRAS


ARENA parkir memang menjadi lahan basah. Bayangkan saja, penelusuran Kontras, petugas parkir ini banyak yang tidak memberikan tiket resmi kepada pengguna jasa parkir. Terkadang mereka menerima uang parkir sebesar Rp 500 per kendaraan roda dua, dan Rp 1.000 untuk kendaraan roda empat. Terkadang, Rp 1.000 untuk kendaraan roda dua, dan Rp 5.000 kendaraan roda empat. Petugas parkir tidak mematok dengan angka pasti. Sebaliknya, pemilik kendaraan pun memberi dengan jumlah yang tidak terbatas. Padahal, pungutan yang diwajibkan adalah Rp 500 untuk roda dua, Rp 1.000 roda tiga, Rp 2.000 roda empat. Lebih celaka lagi, tidak ada tiket yang diberikan. Otomatis tidak tercatat pula dalam penerimaan pendapatan asli daerah (PAD).

Kepala Bidang Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Khadijah, menyebutkan, semua target penerimaan sektor parkir dan retribusi terminal itu ditentukan oleh Dinas Perhubungan Aceh Utara. Hal yang sama dilakukan di Lhokseumawe.

Khadijah menyebutkan, pihaknya hanya mencatat apa yang ditargetkan oleh dinas pengelola kegiatan pungutan PAD. “Misalnya, mereka buat target sekian, kita lihat, kalau kita nilai tidak rasional kita suruh buat lagi. Nanti tambah sedikit,” kata Khadijah. Saat disinggung tentang sektor apa saja yang rawan kebocoran, Khadijah enggan berkomentar.

Data dari DPKKD Aceh Utara, untuk sektor parkir pinggir jalan, sesuai qanun No 6/1999 tahun lalu, Aceh Utara hanya bisa mencatat pendapatan sebesar Rp 50.372.000. Sedangkan untuk retribusi terminal sesuai dengan qanun No 39/2005 yaitu Terminal Lhoksukon dan Pantonlabu, tahun lalu hanya Rp 192.000.000.

Lalu, bagaimana tahun 2010? Untuk tahun ini, PAD yang ditargetkan dari sektor parkir hanya Rp 52.380.000, sedangkan retribusi terminal 240.000.000. Sedangkan untuk Lhokseumawe, PAD sektor parkir hanya Rp 25 juta. Sementara itu, Ketua Komisi A, DPRK Aceh Utara, Amiruddin B, menyebutkan sektor pendapatan di Aceh Utara memang kacau balau.

Dia menyontohkan, total PAD yang ditargetkan pihak eksekutif tahun ini hanya sebesar Rp 38 miliar. “Itu sudah masuk semua sektor. Dari angka itu saja sudah tidak masuk akal. Semua orang di dunia ini akan terkejut mendengar PAD Aceh Utara yang ditargetkan hanya Rp 38 miliar,” kata Amiruddin B.

Lebih jauh dia menyebutkan, saat ini pihaknya sudah memprioritaskan meninjau ulang kembali semua qanun yang bisa menghasilkan PAD. “Nantinya, kita akan tinjau semua qanun itu. Dan, ada satu qanun kita buat khusus untuk mendongkrak PAD. Ini harus segera diselamatkan,” terang Amiruddin.

Dia mengatakan, DPRK Aceh Utara, Mei mendatang akan memulai pembahasan untuk rencana qanun PAD tersebut. “Tahun ini, kita hanya fokuskan pada empat qanun, qanun PAD, tataruang, balai pengajian dan migas,” kata Amiruddin.

Lebih jauh dia menyebutkan, jika qanun ini sudah disahkan, maka harus dilakukan pengawasan yang ketat. “Harus kita tertibkan orang-orang yang mengemplang parkir dengan aturan yang lebih ketat,” ungkap Amiruddin.

Di tengah kondisi Aceh Utara yang mengalami krisis keuangan mahadahsyat, seharusnya eksekutif bekerja maksimal untuk mendapatkan PAD. Jika tidak, keuangan Aceh Utara semakin terpuruk dan tidak bisa melakukan pembangunan dengan maksimal.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Aceh Utara, F Badli menyebutkan, biaya retribusi seluruh terminal di Aceh Utara tahun lalu mencapai Rp 92 juta. Tahun ini, pihaknya menargetkan mampu memungut biaya retribusi terminal sebesar Rp 120 juta. Sedangkan biaya parkir pinggir jalan hanya mencapai Rp 52 juta lebih. Angka ini terbilang sedikit. Pasalnya, lokasi pemungutan biaya parkir pinggir jalan ini mencapai lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lhoksukon, Krueng Mane, Krueng Geukuh, Panton Labu dan Geudong. Namun, Badli membantah bahwa pungutan parkir pinggir jalan itu sedikit. “Tidak sedikit itu. Itu sudah sangat besar. Karena, kecamatan yang ada tidak begitu banyak mobil dan kendaraan yang parkir,” terang Badli.

Meski begitu, lanjut Badli, pihaknya berusaha meningkatkan pendapatan daerah dari retribusi parkir terminal dan parkir pinggir jalan tahun ini. “Tahun ini kita upayakan peningkatan. Kalau kecamatan lainnya belum kita pungut biaya parkir pinggir jalan, karena masih sangat sedikit kendaraan yang parkir seperti Kecamatan Matang Kuli dan lain sebagainya yang ada di pedalaman Aceh Utara,” kata Badli.

Di tempat terpisah, Kadis Perhubungan, Pariwisata, dan Kebudayaan Pemko Lhokseumawe, Miswar Ibrahim, menyebutkan, tahun ini pihaknya diberi target agar menyetor PAD dari sektor parkir sebesar Rp 800 juta. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding tahun lalu hanya Rp 25 juta. Miswar yang baru dua pekan menjabat Kadis Perhubungan menyebutkan saat ini pihaknya sedang melakukan pendataan dimana kebocoran-kebocoran sehingga menyebabkan PAD sektor itu sangat kecil.

“Kita sedang data semua persoalannya. Nanti kita cari solusinya. Saat ini kita yang jelas akan membuka arena parkir baru,” tegas Miswar. Dia menyebutkan, sejauh ini pihaknya optimis mampu mencapai target Rp 800 juta tersebut. Dia menyebutkan, pengelolaan parkir dikelola pihak ketiga, seperti dikelola aparatur gampong.

Anggota Komisi B, bidang ekonomi dan keuangan, DPRK Lhokseumawe, Amir Gani, menyebutkan, sejauh ini sektor parkir memang masih lemah. Untuk itu, tahun ini DPRK Lhokseumawe juga akan mengesahkan qanun retribusi terminal dan parkir yang baru dan merevisi qanun yang lama. “Sangat aneh kalau parkir itu angkanya kecil. Orang parkir dalam sehari bisa tiga sampai empat kali. Kan lucu saja kalau sangat kecil,” kata Amir Gani diamini anggota komisi B lainnya, Junaidi Yahya. Mereka mendesak agar target yang baru ini mampu dicapai oleh Dinas Perhubungan Lhokseumawe. Kini DPRK Aceh Utara dan Lhokseumawe berupaya untuk menertibkan PAD sektor parkir. Ya, mengemplang pelaku yang membocorkan PAD sektor ini. Kita tunggu saja aksinya.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 537 | Tahun XI 15 - 21 April 2010

21.45 | Posted in , | Read More »

Kebocoran PAD di Sektor Parkir

Masriadi Sambo & Jafaruddin - KONTRAS


RETRIBUSI dari parkir di Kota Lhokseumawe belum sepenuhnya masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diduga masih ada kebocoran di sana-sini. Banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari keringat para tukang parkir. Ini juga menandakan masih lemahnya pengawasan dinas berkompeten untuk menatanya dengan baik.

Para tukang parkir masih menjerit nyaring dengan kondisi yang sudah puluhan tahun dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak, sebab luput perhatian dari dinas terkait. Beberapa tukang parkir mengaku belum bisa menikmati hasil keringat mereka dengan mengumpulkan duit recehan dari para pemakai roda dua dan roda empat. “Setiap sore pihak dinas hanya mau tahu iuran dari kami. Mereka tidak memperhatikan kondisi di arena parkir dengan berbagai persoalan,” kata seorang tukang parkir yang mengaku berasal dari Kota Lhokseumawe. Selain harus menyetor kepada pihak dinas setiap sorenya, mereka juga mengaku harus menyetor kepada pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik lokasi parkir. Dari jumlah hasil pengumpulan recehan di arena yang berdebu dan diterpa sinar matahari itu, hanya satu bagian untuk mereka. Sisanya atau dua bagian lain, konon, untuk PAD dan pihak yang tak bertanggung jawab.

Bukan hanya itu, bagi mereka yang memiliki arena parkir padat pengunjung seperti di depan mini market dan toko penjualan spare part, bisa mengumpulkan uang mencapai 250 ribu lebih per hari. Sedangkan yang disetor ke Dinas Perhubungan hanya sekitar Rp 30 ribu per hari. Di lokasi yang sepi pengunjung juga mereka harus menyetor dalam jumlah yang sama. Padahal, mereka hanya bisa mengumpulkan per hari sekitar maksimal 60 ribu.

Karena lokasi parkir diklaim ada pihak yang memilikinya, sehingga mereka dengan mudah menjual ke pihak lain. Hal ini juga luput dari perhatian dinas yang berkompeten. Bau busuk ini sudah lama tercium, tapi masih terkesan dibiarkan. “Kemarin satu lokasi tukang parkir dijual dua kali, sehingga kini terjadi keributan,” kata tukang parkir yang tidak ingin disebut namanya.

Banyak ragam persoalan jika mau menyelisik dunia perparkiran. Lokasi itu selama ini menjadi sarana empuk yang diberi fasilitas baju parkir oleh pihak yang bertanggung jawab. Seharusnya kondisi ini bisa dimanfaatkan pihak dinas sebagai salah satu pemasukan untuk menambah PAD dan menambah kesejahteraan bagi mereka. Mereka selama ini hanya mengumpulkan recehan untuk menambah PAD, sedangkan mereka hanya menikmati sisa saja duit recehan.

Kondisi ini harus segera dicari jalan keluar. Untuk menjaga kebocoran PAD yang terus menerus, pihak berkompeten diminta bertindak. “Seharusnya pihak dinas dibagi merata tiap harinya supaya semua bisa menikmati, karena ini tidak butuh keahlian, selain itu supaya tidak terjadi kesenjangan,” katanya lagi.

Kini, menurutnya, semakin banyak orang mengejar lokasi parkir, karena berpotensi untuk mengeruk keuntungan pribadi. Dari sejumlah tukang parkir yang diwawancara Kontras, kemarin, mereka meminta supaya pihak dinas tidak membiarkan hal ini terjadi lagi. Pihak dinas diminta mendata sejumlah lokasi tukang parkir, membagikan ratakan per hari jatah lokasi parkir, supaya hasil tersebut selain untuk PAD juga bisa dimanfaatkan merata, tidak hanya oleh orang itu-itu saja.

“Di lokasi yang sepi pengunjung kadang ketika hujan, kami terpaksa menggunakan uang sendiri menutup iuran, sedangkan lokasi yang maju pengunjung, mereka tetap bisa mendapatkan ratusan ribu,” kata tukang parkir yang juga tidak ingin disebut namanya.

Lokasi parkir ilegal
Disinyalir hingga lokasi parkir ilegal masih menjamur di kota Lhokseumawe. Mereka hanya mencari keuntungan pribadi. Padahal, jika semua diperhatikan dengan data yang baik, akan sangat berpotensi menambah penghasilan Pendapatan Lhokseumawe untuk menunjang pembangunan dan tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak. Tapi ini tidak, yang terjadi selama ini mereka hanya memanfaatkan itu tanpa iuran kepada pemko. Berawal dengan memakai kostum parkir sehingga terkesan mereka juga ikut membantu iauran untuk PAD, padahal tidak. Mereka mendapatkan baju dari pihak yang bertanggung jawab.

“Setahu saya di kawasan kota Lhokseumawe, mereka mendapatkan baju parkir dari petugas, tapi di lokasi lain saya tidak tahu persis, saya dengar ada, “ kata tukang parkir. Di setiap depan toko yang ramai dikunjungi pengunjung, ada saja pengutip iuran Rp 1.000. Namun, tidak diketahui apakah iuran tersebut juga disetor ke pihak dinas.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 537 | Tahun XI 15 - 21 April 2010

21.43 | Posted in , | Read More »

Membongkar Jaringan PSK di Lhokseumawe

Masriadi Sambo - KONTRAS

SEKILAS Lhokseumawe tampak seperti kota lainnya di Aceh. Masyarakat umumnya berjilbab. Bergaya muslim dan muslimah. Namun, siapa sangka, kota yang dulu dijuluki Petro Dolar itu, juga memiliki pekerja seks komersial (PSK). Mencegangkan memang, karena sebagian pelaku tergolong pelajar pula.

Siang itu, Senin, 19 April 2010. Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Kontras. Isinya menyebutkan, bahwa di Lhokseumawe sudah banyak wanita tuna susila (WTS). Membaca pesan singkat itu, Kontras lalu coba menelusuri kebenarannya.

Ada beberapa tempat persinggahan dan pertemuan antara sang penjaja seks dengan penggunanya. Misalnya di sebuah cafe di bilangan Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Cafe di daerah ini disebut-sebut sebagai daerah transitnya para pekerja seks komersial itu.

Umurnya bervariatif. Antara 16- 45 tahun. Transaksi dilakukan secara sangat rahasia. Seorang PSK yang ditemui menyebutkan, dirinya sangat memilih konsumen. Takut ketahuan dan ditangkap. Wanita ini bersekolah di salah satu sekolah menengah atas (SMA) di Lhokseumawe. Sebut saja namanya Arini (bukan nama sebenarnya).

Sore itu dia mengenakan celana jeans ketat, khas remaja. Baju berwarna biru dipadu dengan jilbab berwarna ungu. Senyumnya sumringah. Dia terlihat santai. Rileks. Tidak mengesankan dia wanita nakal.

Gaya bahasanya khas anak SMK. Dia datang bersama temannya. Awalnya dia sempat enggan berbicara. Lalu, perlahan, dia mulai bercerita. Dia menyebutkan, selama ini, umumnya konsumen yang membookingnya tidak pernah dalam waktu lama.

“Biasanya, sekali main sudah cukup,” katanya sambil tersenyum malu-malu. Lalu, dia menyebutkan, umumnya pelanggan yang menentukan tempat mereka bercinta. Biasanya, lokasi yang dijadikan tempat adalah rumah-rumah yang kamarnya bisa disewa. Dia menyebutkan, rumah jenis ini sangat banyak di Lhokseumawe. Tinggal lagi, mencari jaringan agar bisa masuk ke rumah itu.

“Biasanya, kalau sudah kenal baru dikasih. Kalau tidak, ya tidak dikasih. Atau yang memboking menentukan tempat sendiri. Dimana saja terserah, misalnya di dalam mobil,” beber wanita yang sampai saat ini masih kelas 1 SMA itu.

Untuk sekali main, sebut wanita dengan bibir agak tebal ini, dia memasang tarif sebesar Rp 300.000. Jika membooking kamar tertentu di rumah warga, harga kamar untuk sekali main sebesar Rp 80.000.

Pernah dibooking sepanjang malam? “Tidak. Paling lama dari jam 8 malam sampai 12 malam. Itu aku dibayar Rp 1 juta. Tiga kali main,” ungkap wanita ini tanpa beban. Jika dibooking sepanjang malam, wanita ini bersedia, asal dibayar Rp 4 juta. Sebuah harga yang terbilang mahal untuk ukuran negeri yang baru lepas dari konflik ini.

Lebih jauh dia menyebutkan, selama ini pekerjaan itu dilakukan selepas pulang sekolah. Dia berdalih menggunakan uang itu untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah. Selama ini, tidak sekali pun dia absen ke sekolah. Dia berupaya menerima pelanggan dalam selepas pulang sekolah dan pulang ke rumah sebelum pukul 22.00 WIB.

“Namun, kalau ada konsumen sampai tengah malam, tinggal bilang saja ke orang tua, kalau ada kegiatan belajar kelompok di rumah teman,” jelas Arini. Dia menyebutkan, menekuni pekerjaan itu sejak masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Awalnya, ada seorang temannya yang mengajak Arini untuk mencoba. Lalu, lama kelamaan dia juga membutuhkan uang dalam jumlah besar. Dia mengaku suka berbelanja. Jika berharap dari orang tua, hanya diberikan uang jajan saja. Tidak bisa berbelanja barang-barang mewah sesuai kebutuhannya.

Artinya, sudah empat tahun dia menekuni pekerjaan terlarang itu. Khulida Lain Arini, lain pula Yarisi (bukan nama sebenarnya). Wanita berbadan kecil ini, tidak mau melakukan hubungan badan dengan pelanggannya. Dia menyebutkan, seks yang dia anut hanya Khulida (khusus wilayah dada-red).

Saat ditanya alasannya untuk hanya Khulida, Yarisi tersenyum. “Takut nanti kalau hamil. Dan, tidak perawan lagi. Takut enggak ada yang mau nikah dengan aku nanti,” kata Yarisi.

Lebih jauh dia menyebutkan, dia hanya iseng saja melakukan seks Khulida. Dia mengatakan, pelanggan khusus Khulida ini hanya satu atau dua orang saja. Bahkan, terkadang dalam sepekan bisa kosong, tidak ada pelanggan sama sekali. Dia mematok harga, untuk seks Khulida ini hanya Rp 150.000 per jam.

Sejauh ini, dia tidak enggan sedikit pun melakukan hubungan seks jenis ini. Tidak ada risiko. “Aku masih virgin,” ujarnya bangga. Sejauh ini, praktik jaringan PSK ini memang sangat rahasia. Sekilas terlihat biasa saja. Tidak ada yang mencurigakan. Transaksi dilakukan berjaringan. Misalnya Arini, dia juga menawarkan teman-temannya untuk para pelanggan.

Dari proses ini dia mendapatkan sedikit uang. Tergantung berapa yang akan diberikan temannya. Paling besar diberikan besar Rp 100.000 untuk komisi agen.

Dia menyebutkan paling senang dengan orang yang masih muda. “Jadi, bisa lebih menikmati dibanding dengan orang yang sudah tua,” terang Arini. Informasi yang dihimpun, PSK lainnya berusia di atas 35-40 tahun. Jika siang, mereka bekerja di sejumlah perusahaan swasta dan sebagian bekerja sebagai pegawai honorer di sejumlah dinas Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Jika malam hari, ini baru memasuki jam kerja tambahan. Menerima pesanan via handphone selular. Biasanya, nomor handphone diperoleh dari pelanggan yang sudah dikenal kupu-kupu malam ini. Ini kelas elit. Permainan mereka dilakukan biasanya di luar kota. “Biasanya pergi ke luar kota. Misalnya, ke Medan. Ini sejenis perselingkuhan yang menghasilkan uang,” sebut sumber Kontras.

Dia menyebutkan, biasanya dibuat dulu janji, kapan pergi ke Medan. Lalu, masing-masing mencari alasan kepada istri dan suami, agar bisa pergi ke luar kota. Sumber ini menyebutkan, jumlah WTS jenis ini sekitar 50-an orang. Sedangkan WTS di kalangan remaja jumlahnya sekitar 30-an orang. Dia mengatakan, faktor penyebab menjadi WTS bermacam-macam, misalnya hubungan seksual rumah tangga yang tidak maksimal, dan sudah tidak perawan lagi. Sangat sedikit karena faktor ekonomi.

Di sisi lain, data dari Komite Penanggulangan Aid Daerah (KPAD) Aceh Utara tercatat sampai saat ini, empat orang di Aceh Utara dinyatakan positif mengidap virus mematikan itu. Sedangkan di Lhokseumawe, tercatat sebanyak tiga orang dinyatakan positif.

Ketua KPAD Aceh Utara, dr Machrozal, menyebutkan virus ini hingga kini belum ditemukan obat yang menyembuhkan. Penyebaran virus bukan semata-mata akibat berhubungan seks.

Namun, bisa karena tersentuh darah oleh orang yang mengidap virus positif HIV. “Misalnya, ada orang yang tabrakan di depan mata kita. Dia berdarah. Dia positif HIV. Itu jika kita tidak melapisi tangan kita dengan plastik, maka kita bisa tertular. Ini solusinya, harus dilapisi plastik,” kata Machrozal.

Dia menyebutkan, pihaknya terus berupaya untuk menyosialisasikan kepada masyarakat tentang bahaya virus HIV yang bisa menghancurkan sistem kekebalan tubuh ini. “Target kita, agar masyarakat jangan menggunakan narkoba. Karena, sebagian besar pengidap HIV itu tertular dari jarum suntik akibat menggunakan sabu,” kata Machrozal. Dia menambahkan, usia pengidap HIV paling banyak antara 17-35 tahun.

Lebih jauh dia mengatakan, HIV memiliki efek turunan. “Satu orang yang terkena HIV, berarti besar kemungkinan 100 orang akan tertular. Ini puncak gunung es,” terang Mahcrozal.

Inilah realitas buram kehidupan dunia malam di Lhokseumawe. Maka sudah sepatutnya orang tua lebih berhati-hati menjaga anaknya, agar tidak terjerumus menjadi kupu-kupu malam. Pemerintah pun harus lebih agresif mencegah penyakit sosial yang sudah berumur sangat tua ini dengan berbagai cara.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 538 | Tahun XI 22 - 28 April 2010

21.41 | Posted in , | Read More »

Kredit Fiktif BPR Sabe Meusampe


Masriadi Sambo - KONTRAS

Banyak kredit PER yang disalurkan BPR Sabe Meusampe berkategori fiktif. Ini salah satu kebobrokan lagi dalam pengelolaan angaran milik publik di Aceh Utara.

SEORANG satuan pengamanan (Satpam) tampak siaga di depan pintu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe, di Jalan Merdeka, Lhokseumawe. Sejumlah karyawan lainnya duduk santai di kursi masing-masing.

Bank ini salah satu unit usaha yang dimiliki Pemerintah Aceh Utara. Niatnya, hadirnya bank ini bisa memberikan jaminan finansial pada masyarakat miskin yang tidak “dilayani” oleh bank konvensional di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Ingin untung, malah buntung.

Cerita buntung ini berawal tahun 2007 lalu, saat Pemerintah Aceh Utara, mengucurkan dana untuk penguatan ekonomi rakyat (PER) sebesar Rp 20 miliar melalui BPR Sabe Meusampe. Plus uang segar penyertaan modal sebesar Rp 3 miliar.

Saat itu, wacana yang muncul di tengah masyarakat, dana itu adalah dana hibah. Padahal, dana itu berupa kredit alias harus dibayarkan kembali menggunakan sistem revolving fun (dana bergulir).

Ini merupakan program paling bergengsi untuk rakyat miskin di Aceh Utara kala itu. Secara teknis, syarat yang diwajibkan BPR untuk mendapatkan kredit itu yakni membentuk kelompok. Satu kelompok minimal sepuluh orang. Lalu, melampirkan kartu tanda penduduk (KTP) anggota kelompok, surat keterangan dari keuchik, dan camat. Plus, melampirkan agunan.

Belakangan muncul persoalan. Ternyata, verifikasi di internal BPR tak valid. Buktinya, Tiga kelompok di Desa Ceumeucet, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara, yang tercantum sebagai kelompok penerima kredit, namun pada kenyataannya, anggota kelompok itu malah tidak menerima uang kredit. Tiga kelompok itu yakni kelompok Peusaho Rakan, Makmu Beusare, dan kelompok Kita Bina.

Jangankan menerima uang, mengajukan permohonan pun tidak pernah. Hal itu diungkapkan salah seorang anggota kelompok Saifuddin kepada Kontras. Dia tercatat namanya dalam kelompok Peusaho Rakan.

“Kami sangat terkejut ketika ada surat tagihan kredit dari bank yang ditujukan ke kami. Setelah kami tanya-tanya di kampung, ternyata dari 30 nama yang masuk dalam tiga kelompok itu, hanya ada tujuh orang masyarakat Desa Ceumeucet. Selebihnya, tidak ada nama itu di desa kami. Ketujuh orang itu pun tidak pernah menerima uang tersebut,” ungkap Saifuddin didampingi teman-temannya.

Dia menyebutkan, seluruh masyarakat yang menerima tagihan itu sangat khawatir. “Kami sangat takut. Karena tidak pernah menerima uang itu, malah kami diminta membayar kredit. Ini sangat aneh,” kata Saifuddin. Disebutkan, untuk Kelompok Pesaho Rakan dan Makmu Beusare, tunggakan pokok masing-masing mencapai Rp 36.666.666, bunga Rp 2.933.333 dan denda Rp 2.666.666. Sedangkan untuk kelompok Kita Bina, tunggakan pokok mencapai Rp 31.500.000, bunga Rp 2.250.000 dan denda Rp 2.280.000.

Masyarakat menduga, seluruh KTP itu dipalsukan oleh salah seorang nama yang masuk dalam kelompok itu. Artinya, ada orang yang mengatasnamakan kelompok, namun meraup kepentingan untuk pribadi. Sayangnya, Saifuddin dan teman-temannya tidak bisa mengetahui siapa dalang intelektual itu.

Bahkan, ketika mereka meminta slip penarikan uang, untuk mengetahui siapa pelaku yang menarik uang mereka, pihak BPR tak bisa memberikan. Dengan dalih, masih tahap penyelidikan di pihak kepolisian.

Rizal, temannya Saifuddin, juga mengaku sangat terkejut. “Aneh saja, mengapa ini bisa terjadi. Keluarga ribut, karena ditagih uang puluhan juta. Padahal, suami tidak mengambil uang itu,” kata Rizal. Saifuddin dan kawan-kawannya menduga, surat camat dan keuchik dipalsukan oleh orang yang menjadi dalang aktivitas penipuan itu.

Evaluasi
Sementara itu, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak DPRK Aceh Utara agar segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe. Desakan ini terkait, penyaluran bantuan penguatan ekonomi rakyat (PER) bersumber APBK Aceh Utara 2007 sebesar Rp 20 miliar yang diduga penyalurannya banyak fiktif.

“Kita desak agar DPRK Aceh Utara turun tangan terkait masalah yang ada di BPR Sabe Meusampe. Perlu dievaluasi bagaimana aset dan pola penyaluran kredit itu. Ini sangat penting,” kata Koordinator MaTA, Alfian.

Dia menyebutkan, penyaluran kredit yang tidak tepat sasaran itu juga terjadi beberapa tahun lalu di BPR Sabe Meusampe. “Kita mempertanyakan, sejauhmana komitmen DPRK untuk melakukan evaluasi. Bagaimana pula efektifitas penyertaan modal tahun 2007 sebesar Rp 3 miliar,” tanya Alfian.

Praktik penyaluran bantuan tidak tepat sasaran, menurut Alfian, bukanlah hal aneh lagi di BPR. Dia menyebutkan, bertahun-tahun penyaluran bantuan melalui lembaga itu, selalu sarat masalah. “Kalau DPRK tidak mau mengevaluasi seluruh kinerja BPR, perlu dipertanyakan ada apa dengan DPRK?” kata Alfian.

Sementara itu, Ketua Panitia Aset dan Anggaran, DPRK Aceh Utara, Khaidir Abdurahman, menyebutkan beberapa waktu lalu, pihaknya sudah duduk bersama untuk membicarakan persoalan yang ada di tubuh BPR Sabe Meusampe.

“Beberapa waktu lalu, DPRK sudah duduk dengan BPR, Sekda sebagai komisaris BPR, Bank Indonesia, untuk membicarakan persoalan yang dihadapi BPR. Intinya, DPRK mendukung langkah BPR untuk menagih kredit yang telah disalurkan,” kata Khaidir.

Dia menyebutkan, pihaknya juga sudah mendapat kabar, bahwa ada oknum masyarakat yang mengatasnamakan kelompok, namun mengambil uang kredit untuk keperluan pribadi dari BPR tersebut.

“Kalau ada oknum yang mengambil kredit untuk kepentingan pribadi, silakan diproses melalui jalur hukum. Kita sedang memikirkan langkah yang terbaik untuk penyelamatan BPR Sabe Meusampe. Karena, bank itu terancam dilikuidasi Juli mendatang, bila tidak memiliki kecukupan modal,” kata Khaidir.

Dia menyebutkan, sejauh ini, pihak DPRK Aceh Utara belum mengetahui soal aset yang dimiliki bank yang sahamnya dimiliki Pemerintah Aceh Utara itu. “Kalau asetnya saya belum tau. Kita terus mengevaluasi nasib BPR,” ujar politisi Partai Aceh itu.

Pidana
Sementara itu, salah seorang pengacara di Lhokseumawe, Ahmad Munir, menyebutkan, bagi masyarakat yang merasa dirugikan terhadap tindakan BPR Sabe Meusampe, bisa mempidanakan pihak-pihak terkait.

“Orang yang merasa tidak menerima kredit, namun ditagih oleh BPR Sabe Meusampe, bisa mempidanakan BPR dan sejumlah pihak terkait lainnya. Bisa melaporkan ke polisi. Itu sudah masuk pencemaran nama baik. Silakan nanti polisi yang mengusut,” kata Ahmad Munir.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 544 | Tahun XI 3 - 9 Juni 2010

21.36 | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added