MOST RECENT

Usai Perang





HARI ini, genap lima tahun, perang berhenti menyalak. Dentuman meriam, dan desingan mesiu tak terdengar lagi. Lima tahun, sudah kehidupan berjalan normal. Tak perlu takut jika keluar rumah malam hari.

Dulu, lima tahun lalu, setiap malam, derap kaki serdadu melewati depan rumah. Sesekali sandal usang gerilyawan menyapa kami. Meminta sesuap nasi, atau sejumlah uang. Bahkan, ada pula yang meminta ayam, untuk di bawa ke hutan. Ya, persediaan makanan, jika serdadu mengepung rimba Tuhan.

Sesekali perang tak bisa dielakkan. Kerap kali, serdadu menyapu gerilyawan. Darah berceceran. Gerilyawan tunggang-langgang ke seluruh penjuru mata angin. Memasang perangkap, agar serdadu tewas dalam jebakan. Trik perang memang unik. Semuanya sah, demi sebuah kata menang.

Seluruh fasilitas umum di bumihanguskan. Sekolah dibakar, jembatan dipotong, Puskesmas dibom. Semua menjadi debu. Anak-anak tak bisa sekolah dengan baik. Guru-guru ketakutan saban waktu. Nyawa diujung tanduk. Semua orang bisa mati dalam hitungan detik. Gelombang pengungsi pun tak bisa dihindarkan. Penduduk angkat koper untuk menuju kota. Merantau. Tak sanggup hidup diantara bau mesiu.

Namun, sejak kedua belah pihak sepakat berdamai, tak ada lagi ketakutan. Semuanya berjalan normal. Petani bisa ke ladang, menanam padi, tomat, kangkung, cabai dan lainnya. Nelayan tiap malam bisa ke laut, menangkap berbagai jenis ikan. Pedagang tak perlu risau berjualan hingga larut malam.

Semua itu sungguh nikmat. Bagi rakyat, itu sebuah anugerah dari Allah. Perang berakhir, senyum mengembang. Namun, kini muncul elit-elit baru. Masyarakat menyebutnya, orang kaya mendadak (OKM).

OKM ini hidup berlimpah. Bahkan, mulai menunjukkan arogansi pada orang kampung. Memonopoli harga karet dan coklat. Mereka membeli dengan harga rendah. Jika ingin selamat, ya silahkan menjual ke OKM ini. Jika tidak, maka urusan jadi panjang. Nyawa menjadi taruhannya.

Lakon itu terjadi menyeluruh. Mereka mengklaim kekayaan alam ini milik negara, dan mereka adalah mantan pejuang negara. Dulu, mereka berusasah-susah di hutan, kini, saatnya menikmati. Prinsip itu yang melekat di kepala mereka.

Tidak ada ruang diskusi dengan kalangan OKM ini. Pendapatan mereka seperti fatwa dari ulama, yang jika dibantah akan “berdosa”. Jika dijalankan akan mendapatkan pahala. Ini yang aneh.

Kesombongan kalangan OKM semakin “menggila” ketika mereka memenangkan pemilihan umum di negeri ini. Mereka menang di sejumlah kabupaten, dan kota. Menang mutlak.

Sejak saat itu, mulai lah mereka menguasai negeri ini. Menjalankan pemerintahan. Tahun pertama tak ada masalah. Tahun kedua, satu persatu masalah muncul. Ada yang terjerat konflik internal antara bupati dengan wakil bupati. Konflik antar wali kota dengan wakil wali kota.

Ada pula yang meminta, agar uang operasionalnya tidak diaudit oleh aparat hukum negara. Permintaannya aneh-aneh. Mereka ingin hidup ekslusif, menghabiskan uang negara.

Salah satu bupati, bahkan terjerat kasus dugaan korupsi. Mulai diperiksa oleh aparat hukum negeri ini. Tidak ada yang berjalan mulus. Mereka terkesan orang yang tak faham pada pemerintahannya.

Tak faham keinginan rakyatnya. Merancang pembangunan, seperti merancang istana di atas pasir. Pasti akan rubuh. Tidak memiliki fondasi yang kuat. Konsep pembangunan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Saban Sabtu dan Minggu, kelompok OKM ini keluar negeri. Menghabiskan uang di negeri tetangga. Sehingga, uang yang beredar di negeri ini hanya sekali. Tidak pernah berputar tiga kali. Selebihnya beredar di negeri tetangga.

Ini pula membuat masyarakat miskin, termasuk di kampungku. Nyak Cut salah seorang kelompok pejuang bahkan tidak mendapatkan bantuan apa pun. Ayahnya, Mertuanya, Suaminya dan Nyak Cut sendiri adalah kaum pejuang. Mereka tidak diperdulikan oleh OKM.

Sehari-hari Nyak Cut hanya bisa mengurut dada. Teman seangkatan telah memiliki rumah bertingkat, mobil keluaran terbaru dan uang melimpah. Sedangkan Nyak Cut masih bertahan di bawah pohon waru. Gubuk reot dan tanpa lampu listrik.

Cut Nyak tak sendiri. Ratusan orang mengalami nasib yang sama. Pilu, sedih, dan tak ada yang perduli. Sehari-hari mereka hanya bekerja sebagai petani biasa. Tak ada pemberian modal usaha.

Padahal, ketika perang, mereka adalah pasukan terdepan. Maju menggempur musuh. Memasang perangkap dan menghadang gempuran lawan. Mereka umpan senapan.

Kini mereka terlupakan dalam kemiskinan. Sesekali mereka berkumpul. Berkeluh kesah. Apa yang akan dilakukan. Dulu, perjuangan dimaknai untuk melepaskan diri dari negeri induk. Kini, perjuangan dimaknai untuk melanjutkan hidup. Mencari sesuap nasi saban hari. Untuk bertahan hidup. Tak lebih dari itu.

Namun, Cut Nyak sadar benar, bahwa itu bukan pilihan. Satu hari di bulan Juli, dia pun mengumpulkan temannya. Lalu, bersepakat kembali bergerak dengan cara mereka sendiri. Mengembangkan usaha untuk saling berbagi. Tujuan mulia, mensejahterakan sesama.

Lain lagi cerita Apa Don. Dulu, ketika perang menyalak, dia salah satu korban. Kakinya terpaksa diamputasi. Saat itu dia memasang bom mobil di simpang tiga salah satu desa pedalaman. Celaka, bom itu terlalu cepat meledak. Dia menjadi korban, sedangkan serdadu belum lewat. Serdadu mengalihkan perjalanan. Namun, bom terlanjur meledak. Ya, dia korban perang.

Kini, dia tak bisa berjalan normal. Hanya menggunakan satu tongkat tua, yang dibuat dari pohon jati oleh mertuanya. Sesekali mertuanya mencibir, bahwa dia pejuang yang tak pernah diopen. Dilupakan oleh sesama pejuang, terlebih oleh pemimpin yang kini hidup sejahtera, harta melimpah plus mobil mewah.

Apa Don tak sendiri. Ratusan rakyat negeri ini mengalami nasib yang sama. Dia pun berpikir, hidup terus berlanjut. Doktrin perjuangan masih melekat. Namun, apalah gunanya doktrin usang sebuah perjuangan. Sedangkan, hasil dari perjuangan itu sendiri tak bisa dinikmati.

Apa Don pun mulai mengumpulkan bekas pasukannya. Sesekali mereka duduk minum secangkir kopi. Tidak bisa bayar tunai, terpaksa mengutang dan melunasi uang kopi itu sebulan kemudian.

Apa Don pun mulai mengumpulkan kekuatan. Tujuannya melawan penindasan dan keangkuan teman-temannya. Siapa pun itu, baik mantan pimpinannya sendiri. Apa Don dan kelompoknya kembali mengumpulkan baja, membubut dan merakit senjata.

“Ini tujuan mulia. Kita harus tindak tegas siapa pun yang menyakiti hati rakyat, termasuk mantan pemimpin kita,” kata Apa Don pada sejumlah pasukannya. Mereka pun mendeklarasikan diri. Kelompok kecil yang lahir usai perang. [Cerpen >Masriadi Sambo]


Lhokseumawe, 15 Agustus 2010

22.14 | Posted in , | Read More »

Tuan M




Tuan M, sore itu terlihat begitu segar. Dengan Puan C disamping. Bocah kecil di depan. Ya, senyum sumringah yang kau berikan pada semua orang-orang yang melintas di depanmu. Peci mengkilap di atas kepala. Sekilas, kehidupan Tuan M, tak ada yang salah. Semua berjalan normal. Mengalir seperti air mengikuti dataran yang lebih rendah. Rezeki pun mengalir. Istri memiliki pekerjaan yang mapan. Sedangkan Tuan M, memiliki gaji yang melimpah. Saban akhir pekan menikmati liburan ke berbagai daerah di negeri ini. Ya, tak ada yang kurang sama sekali. Semua mengalir begitu saja.

Tuan M, sering bercerita pada orang-orang, dulu ketika dia menimba ilmu di perguruan tinggi. Dia pernah bekerja sebagai bilal di meunasah (surau) dekat kampusnya. Orang tuanya, tak memiliki pondasi dana yang memadai untuk membiayai anak ke enamnya itu. Tuan M pun tak meminta banyak. Dia hanya pasrah pada takdir hidupnya. Niatnya bulat. Berangkat meninggalkan kampung untuk belajar dan bisa menikmati hidup yang lebih baik di jantung Kota Lhokseumawe.

Dia juga sering bercerita, ketika dia kuliah dulu, saban Senin – Kamis selalu menunaikan puasa sunat. Bukan karena ikhlas ingin beribadah. Namun, karena beras memang tidak ada. Untuk menghemat, harus puasa dua hari dalam sepekan. Kisah hidup Tuan M, ini pun diceritakan setiap hari, setiap kali ketemu dengan orang-orang.

Selain menjadi bilal dan puasa, dia juga terpaksa harus menjadi kernet angkot. Semuanya dilakukan untuk menyelesaikan sarjana hukumnya. Dia pun mulai aktif berorganisasi. Dari sini, namanya mulai popular di pusat kota. Dia pun mulai dikenal.

Usai menamatkan pendidikan, dia pun menjadi pengajar di salah satu kampus ternama di pusat kota. Dia mulai jarang pulang kampung. Dalihnya, konflik yang berkepanjangan dan kontak senjata saban hari, antara pemberontak dan aparat keamanan, membuatnya mengurungkan niat pulang kampung. Sampai pada akhirnya, dia meninggalkan Indonesia, menempuh pendidikan paskasarjana di negeri tetangga. Ya, Malaysia, menjadi impian Tuan M.

Dua tahun dia hanya bisa berkomunikasi per telepon dengan ibunya. Wanita ringkih yang selama ini selalu berusaha untuk memberikan biaya pendidikan pada putranya itu. Ya, ibu tua itu selalu bekerja, menjadi buruh pada perkebunan, menjadi tukang kusung, menjadi dukun beranak, dan segudang pekerjaan lainnya.

Rupiah demi rupiah dia kirimkan untuk Tuan M. Jumlah itu tak seberapa, bila dibandingkan dengan biaya kuliah di perguruan tinggi. Meski begitu, ibu tua itu tetap semangat. Niatnya hanya satu, dia ingin, satu dari delapan anaknya bisa menjadi sarjana. Harapan lebih jauh adalah, Tuan M, bisa membantu adiknya. Bisa menanggung biaya pendidikan anaknya di perguruan tinggi. Bisa pula membantu merekomendasikan adiknya untuk bekerja. Itulah harapan wanita ringkih, dengan mata yang sudah rabun, dan kulit keriput. Ibu Tuan M, janda. Sudah lima tahun bercerai dengan ayahnya. Sehingga, dia harus bekerja sendiri. Bertahan dirumah gubuknya yang hampir roboh. Sedangkan Tuan M, kini sudah berada di luar negeri.

Usai menempuh pendidikan paskasarjana, Tuan M, pulang ke Lhokseumawe. Dia resmi menyandang gelar, LLM (law legal master). Namanya pun diagung-agungkan di kampung. Masyarakat kampung mulai termotivasi untuk menyuruh anaknya menimba ilmu ke perguruan tinggi. Tuan M, selalu dijadikan referensi keberhasilan.

Dia pun pulang ke kampung. Sekitar 45 kilometer arah timur Lhokseumawe. Jauh sekali dari pusat kota. Dia mengaku tidak memiliki uang. Lalu, dia bicara ingin membangun rumah gubuk ibunya. Secara kebetulan, adik Tuan M, sudah remaja. Dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Seluruh tabungannya dikuras untuk membangun rumah ibunya. Sedangkan, uang dari Tuan M, hanya sebagian saja.

Ibunya pun miris. Dalam hatinya, sang ibu menangis. Dia tau, adik Tuan M ini tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi, seluruh tabungannya dia kuras untuk membangun rumah. Sedangkan Tuan M, hanya memberikan sedikit uang. Padahal, ibunya tau, bahwa dia memiliki uang yang lumanyan besar. Karena, selain gaji, dia masih memiliki sisa beasiswanya untuk sekolah di paskasarjana.

Sang ibu hanya diam. Mengurut dada. Itu realitas hidup. Putra yang dia harapkan bisa membantu. Malah tak membantu. Malah putra yang dia pikir tak bisa membantu, ternyata membantu secara maksimal. Wanita tua ini pun memanjatkan do’a pada kedua putranya itu. Untuk Tuan M, dia berdo’a agar karakternya tidak kaku, memperhatikan orang tua, dan selalu mendapatkan rezeki yang mengalir. Sedangkan untuk putranya yang satu lagi, namanya Tuan Z, do’anya agar rezeki mengalir dan mendapatkan pekerjaan yang layak, kemudian, mendapatkan jodoh yang baik.

Lalu,enam bulan kemudian, Tuan M menikah dengan Puan C. Kejadian bukan lebih baik. Tuan M, semakin jarang menjenguk ibunya. Jika dulu, dia bisa menjenguk sebulan sekali. Kini, setahun sekali pun dia jarang menjenguk. Ketika lebaran, dia hanya pulang sekitar satu jam ke rumah ibunya. Jangankan memberikan uang, memberikan perhatian, menjenguk pun jarang. Ibunya hanya berharap diberi perhatian. Tidak lebih dari itu. Ibunya bercerita, hati orangtua pada anaknya, selalu rindu dan kangen.

Namun, laku Tuan M tak berubah. Kini, hidupnya jauh lebih baik. Dia sudah memiliki mobil sedang keluaran terbaru. Menempati rumah yang terbilang mewah di pusat kota. Ibunya semakin renta. Sering sakit. Mengidap komplikasi jantung, gula, reumatik, dan lain sebagainya.

Ibunya selalu berobat ke pusat kota. Menaiki angkot. Padahal, Tuan M memiliki mobil. Namun, tidak sempat menjemput ibunya. Alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan. Hari terakhir, tepat Kamis sore, ibunya ingin berobat. Dia meminta Tuan M mengantarkannya ke rumah sakit. Namun, sang putra ini mengaku sibuk. Dengan mata berlinang, sang ibu memilih pulang ke kampung. Tanpa berobat sama sekali.

Dia tidak ingin membebani putranya Tuan Z. Dia tau, Tuan Z, tidak memiliki mobil. Sedangkan jika menaiki kendaraan roda dua, punggung ngilu seperti disayat sembilu. Dia pun pulang kampung. Meratapi sikap Tuan M. Meminta pada Tuhan agar Tuan M berubah.

“Anakku seperti bukan anakku. Anakku telah hilang. Tuan M, telah tiada,” ujarnya dalam lelap panjang saat adzan magrib berkumandang. [Cerpen > Masriadi Sambo]

22.07 | Posted in , | Read More »

Harapan dari Ujung Dewantara



Masriadi Sambo - KONTRAS

Korban konflik masih menyisakan duka. Kenangan buruk, saat senjata menyalak, tak hilang begitu saja. Trauma berkepanjangan. Mungkinkah bisa disembuhkan?

SEJUMLAH kaum perempuan duduk melingkar, di kantor Komunitas Korban Hak Azasi Manusia Aceh Utara (K2HAU) di Desa Keude Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, pekan lalu. Komunitas ini adalah lembaga yang mendampingi sejumlah korban hak azasi manusia di Aceh Utara, seperti korban kasus Simpang KKA, tragedi Gedung KNPI, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya. Saban pekan, sejumlah korban konflik datang ke kantor dengan gaya minimalis itu. Mereka duduk, berdiskusi. Mengenang masa lalu, dan mencoba meraih masa depan yang lebih baik.

Ketua K2HAU, Murthala, kemarin, menyebutkan pihaknya mengadakan program konseling pemulihan trauma untuk korban konflik. Bagi korban HAM, dan korban konflik yang berdekatan dengan kantor, program konseling diselenggarakan di kantor tersebut. Mendatangkan psikolog dan menyegarkan pikirkan para korban konflik itu. Jika tidak maka pengurus K2HAU sendiri yang datang ke sejumlah desa yang pernah terjadi pelanggaran HAM di Aceh Utara. “Kami datang sendiri ke kampung-kampung,” ujarnya ditemui di kantor K2HAU. Kantor itu terdiri dari empat kamar. Dulunya, bangunan itu salah satu rumah mewah dengan gaya minimalis di Krueng Geukuh. Kini, K2HAU menyewa, sebagai lokasi beraktifitas.

Dia menyebutkan, sejauh ini, K2HAU menaungi ratusan anggota di Aceh Tengah, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Utara dan Lhokseumawe. “Kita mau buat pertemuan Minggu depan, ya sekaligus dalam rangka buka puasa bersama. Kita tetap komit mendesak agar KKR bisa segera ada di Aceh,” sebut Murthala. Pria berkumis itu menyebutkan, sejauhini kondisi keuangan masyarakat korban konflik dan pelanggaran HAM belum membaik. Mereka terpaksa menjadi buruh harian di lokasi pembuatan batu bata. Ada pula yang memilih menjadi nelayan. Penghasilan tak menentu. “Kami mengadakan pelatihan life skill. Mereka kita ajarkan untuk membuat kerajinan tangan, dengan bahan kayu-kayu bekas. Lalu, hasilnya kita jual. Ini yang lumanyan bagus. Namun, dana kami juga sangat terbatas,” sebut Murthala.

Harapan Korban
Kampanye terus dilakukan agar KKR dan pemenuhan hak ekonomi korban konflik dan HAM bisa terpenuhi. Korban HAM sendiri hingga kini masih melarat. Lihatlah Samsul Ubet (25). Dia salah satu korban pelanggaran HAM yang terjadi di Simpang KKA sepuluh tahun silam.

Kakinya cidera terkena peluru tajam. Dia berjalan tertatih-tatih. Namun, dia terpaksa melanjutkan perjalanan hidup. Ketika peristiwa berdarah itu terjadi, Samsul Ubet berusia 15 tahun. Dia tak mengerti politik. Namun, dia hanya sedang melintas bersama rekan-rekannya di Simpang KKA tersebut. Tak Ayal, peluru menyalak, dan dia pun salah satu korban insiden berdarah tersebut.

Kini, dia hanya bisa menjadi nelayan di Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. “Saya harus bekerja di Pulo (Pulo Aceh-red). Di sini, menjadi nelayan sulit. Ikan sudah tidak banyak lagi, kalau di Pulo, ikannya masih mudah ditangkap dan sangat banyak jumlahnya,” sebut Samsul. Selama Ramadan, dia memilih menetap di rumah ibunya. Usai lebaran, dia berencana kembali ke Pulo Aceh. Menantang ombak demi segepok rupiah. “Saya harap damai ini berlanjut. Soal kaki saya yang cedera, tak masalah, namun apa ini yang namanya keadilan? Pengadilan HAM harus ada, siapa pun yang melakukan kesalahan harus bertanggung jawab,” ujar pria lajang itu.

Dia berharap agar Pengadilan HAM dan KKR segera ada di Aceh. Tidak hanya sebatas wacana semata, namun langsung terlihat nyata. Nasib Rahmi (27) lebih baik. Ibu muda ini, kini menjadi guru honorer di salah satu taman kanak-kanak Kecamatan Dewantara. Dia juga salah satu korban insiden simpang KKA. “Meski tubuh saya cedera, namun saya tetap semangat menuntut keadilan. Kami ini orang kecil, kami hanya perlu keadilan. Kalau luka, sudah kering tak perlu diobati lagi oleh pemerintah,” harap Rahmi. Dia mengaku terkadang geram dan sesekali putus asa. Setiap memperingati perjanjian damai Aceh, setiap tanggal 15 Agustus, dia selalu berharap bahwa pengadilan HAM bisa lahir pada tanggal 16 Agustus, satu hari kemudian.

Namun, harapan itu telah dipendamnya lima tahun terakhir. Hingga kini, belum ada titik temu soal pengadilan HAM dan KKR di bumi Serambi Mekkah. Entah Sampai kapan Rahmi harus menunggu, keadilan untuk cacat yang fisik yang dideranya?

Kondisi masyarakat

Salah satu kecamatan yang diklaim sebagai daerah rawan pascaperjanjian damai adalah Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Beberapa kali insiden kekerasan terjadi di sana. Sebut saja perampokan mobil Cardi, penolakan lembaga ICRC, dan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kaum hawa di daerah itu tak bisa mengenakan celana panjang, diwajibkan mengenakan rok oleh “kelompok garis keras” di daerah itu.

Kini, perlahan namun pasti, semua itu sirna. Kelompok garis keras, yang menamakan diri Pasukan Peudeung telah tiada. Telah membaur ke dalam masyarakat. Tak lagi menenteng parang dan menghadang siapa pun yang datang seperti era 2006 silam. Tokoh Masyarakat Sawang, Basri A Gani, kepada Kontras, beberapa waktu lalu menyebutkan, saat ini masyarakat sudah bisa keluar-masuk Sawang setiap saat abahkan pada dini hari. “Tidak perlu takut lagi. Semua sudah sangat aman. Orang bisa keluar-masuk sawang pukul 2.00 WIB dinihari,” sebut Basri.

Dia menyebutkan, cap hitam untuk Kecamatan Sawang memang sangat kental terasa. Tahun 2007, lembaga donor enggan membiayai pendampingan masyarakat di Desa Sawang. Para donor ini menyerah. Khawatir, mereka juga menjadi tumbal kekerasan, seperti apa yang dialami donor sebelumnya Cardi dan ICRC. “Saya mendirikan LSM lokal sudah lama. Saya tawarkan program ke sejumlah lembaga donor, namun, tak ada yang mau membiayai saat itu,” terang Basri.

Lalu, tahun berikutnya, dia pun kembali berusaha menyakinkan lembaga donor. Kali ini, dia mengincar USAID-lembaga donor asal Amerika Serikat. Basri dan lembaganya mendapatkan donor untuk program penguatan perdamaian di dareah itu. Program itu dijalankan di Desa Paya Gaboh, Gle Dagang, Gampoeng Teungoh, Lancok, Krueng Baro, Babah Krueng, Blang Tarakan, dan Desa Gunci. “Kami bahkan menyebutkan, bahwa sumber dana kegiatan ini dari USAID. Sebuah lembaga donor asal Amerika. Sampai sekarang, berjalan lancar. Dari sini, saya dan teman-teman merubah image Sawang di depan mata donor. Bahwa Sawang tidak mengerikan lagi,” kata Basri.

Sejak saat itu, sejumlah lembaga donor mulai melakukan kegiatan kembali di Sawang. Kini, lembaga donor, IRD, Serasi dan sejumlah lembaga lainnya, masih melakukan penguatan perdamaian di Kecamatan Sawang dan Matang Kuli. Harapannya jelas, masyarakat tak teringat perang, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, plus meningkatkan taraf hidup. Inilah harapan dari zona kelam, Sawang. (*)

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 555 | Tahun XII 19 - 25 Agustus 2010

21.55 | Posted in , | Read More »

SK Ajaib Pelabuhan Krueng Geukuh



Masriadi Sambo - KONTRAS
Surat Keputusan Gubernur Aceh tentang tim pengembangan perdagangan melalui pelabuhan Krueng Geukuh sebagai pelabuhan ekspor dan impor, penuh kontroversi. SK ini dinilai juga ajaib. Ada apa sebenarnya?

KEGIATAN Pelabuhan Krueng Geukuh, di Desa Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, sepi. Tidak ada geliat signifikan sebagai sebuah pelabuhan yang katanya berkategori internasional. Jangan pernah membayangkan pelabuhan ini sama seperti pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, Semarang, Surabaya, Batam dan kota lainnya yang penuh dengan kapal.

Di situ, hanya satu atau dua kapal yang bersandar. Itu pun kapal regular, seperti milik PT Arun NGL, PT Pupuk Iskandar Muda atau PT Semen Lafarge. Sekali waktu, kapal pengangkut beras milik Badan Urusan Logistik (Bulog) yang membongkar barang di pelabuhan itu.

Kini, sejak Juni 2010 lalu, mulai masuk kapal pengangkut komoditi ekspor, yaitu kapal milik PT MCL Permata Malaysia. Kapal itu pengangkut barang komoditi ekspor dari Aceh ke Malaysia.

Hajatan ekspor barang ke Malaysia merupakan semangat pemerintah kabupaten/kota di Aceh untuk bisa menjual barang ke luar negeri. Ini untuk memutuskan ketergantungan dengan para pengusaha di Medan, Sumatera Utara. Plus, menyejahterakan petani di Aceh. Payung hukumnya, Undang-Undang Pemerintah Aceh.

Setelah perang selama 30 tahun lebih di Aceh, semua orang bersepakat Aceh lebih maju. Mengejar ketertinggalan akibat perang. Namun, mampukah itu dilakukan?

Kontras mencoba menelusuri perjalanan rencana ekspor ini. Awalnya, akhir tahun 2008, Pemerintah Aceh Utara mendirikan tim percepatan ekspor Aceh, diketuai oleh Syahruddin Hamzah. Dari sini, berbagai upaya dilakukan untuk menggerakkan Pelabuhan Krueng Geukuh. Hasilnya tak seberapa. Gagasan pun muncul, mengajak kabupaten lainnya bergabung untuk mengekspor barang via Krueng Geukuh. Dibutuhkan tim untuk bekerja menggerakkan ekspor itu. Sejak Februari 2010, rapat semakin intens dilakukan. Sepuluh kabupaten menyatakan sepakat untuk ekspor lewat pelabuhan nomor dua di Aceh itu. Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen. Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie dan Pidie Jaya, siap bergabung.

Untuk mempercepat rencana ekspor, diperlukan tim yang solid. Maka disepakatilah, formatur untuk menyusun tim itu. Sumber Kontras, menyebutkan orang yang duduk sebagai formatur yaitu Syahruddin Hamzah, Teuku Moni Alwi, Junaidi Arsyen, dan Asril Ibrahim. Formatur bertugas menentukan ketua tim, dan melengkapi struktur tim penggerak ekspor itu.

Rekomendasi formatur saat itu, adalah Syahruddin Hamzah atau Asril Ibrahim yang menjadi ketua tim. Rekomendasi ini dibawa ke Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk dikeluarkan surat keputusan (SK). Sehingga, ada kekuatan hukum yang menjadi landasan tim ini bekerja.

“Waktu itu, pemilihan formatur setelah rapat di Gedung Bank Indonesia sekitar bulan Februari. Lalu, formatur mengusulkan nama ke Gubernur Aceh,” kata sumber yang meminta namanya tidak disebutkan. Maka pada 9 April 2010, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf resmi menandatangani surat keputusan nomor 515/131/2010 tentang pembentukan tim pengembangan perdagangan melalui Pelabuhan Krueng Geukuh sebagai pelabuhan ekspor dan impor (TP3KG). Di dalam SK itu keluar nama ketua umum HT Zulkiram Hanafiah. Padahal, informasi yang diterima Kontras, nama Zulkiram belakangn masuk dalam tim.

Anehnya, meski telah ada nama yang diusulkan, tim ini masih gamang. Tidak memiliki rencana aksi dan konsep yang matang untuk menggerakkan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Modalnya, hanya semangat untuk ekspor. Soal cara, mekanisme, dan rencana aksi, dipikirkan ‘kapan-kapan’.

Informasi lain yang diterima Kontras, belakangan setelah Gubernur Irwandi Yusuf meneken SK tim tersebut, bulan April 2010 sejumlah anggota tim menemui Direktur Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial, Halidi MM. Pertemuan itu meminta agar Halidi membantu konsep rencana aksi kegiatan tim.

Rapat pertama antara Halidi dan tim ini digelar di Lantai Tiga, Dhapu Kupi Jalan Merdeka Timur, Lhokseumawe. Di sini, kelihatan, setelah SK keluar, tim belum memiliki konsep apa pun. Ketika dikonfirmasi, Halidi membenarkan bahwa tim tersebut memang menemuinya, dan meminta membuatkan rencana aksi. “Benar, saya ditemui. Waktu itu, saya bersedia membuatkan rencana aksi, karena lembaga yang saya pimpin memang bergerak dibidang pendampingan perusahaan, atau tim yang bergerak di bidang usaha. Saya pikir, ini sesuai bidang saya,” sebut Halidi.

Bahkan, waktu itu, Yunaidi Arsyen, Syahruddin Hamzah dan lain sebagainya mengajak Halidi bahkan sebagai konsultan untuk tim tersebut. Namun, tidak ada perjanjian tertulis antara Halidi dan tim ini. Hanya pembicaraan lisan.

Pada Juni 2010 rencana aksi telah disiapkan. Bahkan, tim mengadakan rapat pleno di Gedung PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Krueng Geukuh untuk menyetujui rencana aksi itu. Sampai di sini, seakan tidak ada masalah apa pun di dalam tim tersebut. Hanya persoalan tidak ada kesiapan rencana aksi.

Namun, lihatlah SK tentang tim ini. SK itu membawahi sepuluh kabupaten/kota. Sebuah SK yang memiliki kekuasaan yang begitu luas. Sejumlah bupati dan walikota duduk sebagai penasehat. Kepala dinas perindustrian, perdagangan, koperasi, dan usaha kecil menengah, dari sepuluh kabupaten/kota itu juga masuk di dalam tim. Sejumlah nama pengusaha juga masuk di dalam anggota. Pertanyaannya, bagaimana membedakan kepentingan bisnis dengan kepentingan ekspor?

Selain itu, SK tersebut tidak memiliki batas waktu tertentu. Misalnya, SK itu hanya berlaku satu atau dua tahun. Bisa disimpulkan, SK ini berlaku sepanjang usia bumi. Sebuah SK yang sangat panjang masa berlakunya. “Ini SK ajaib,” kata seorang pengamat.

Soal pendanaan, SK ini menyebutkan, pendanaan bersumber dari APBA Provinsi Aceh, dimungkinkan pula kabupaten/kota menyumbang pendanaan untuk mempercepat kegiatan ekspor itu.

Artinya, jika semua kabupaten/kota menyetorkan dananya, maka tim ini akan mengelola dana melimpah. Namun, memasuki bulan Agustus 2010 ini, belum diketahui pasti berapa alokasi dana yang telah diserap oleh tim tersebut.

Informasi yang dihimpun dari kalangan pelaku bisnis di Aceh Utara dan Lhokseumawe, menyebutkan tim itu telah merogoh kas APBA sebesar Rp 1 miliar. Padahal, kinerja tim baru satu bulan. Uang itu digunakan untuk operasional tim.

Direktur KKB Finansial, Halidi MM menyebutkan tim tersebut tampaknya belum menjalankan rencana aksi yang telah disepakati bersama. Buktinya, hingga saat ini, belum ada kegiatan regular untuk ekspor ke luar negeri.

“Saya yakin tim ini memiliki kemampuan. Namun, masyarakatlah yang menilai, apakah tim ini kinerjanya bagus atau tidak. Saran saya, ya, ikuti rencana aksi yang telah dibuat. Karena, direncanakan aksi semua masalah ada tawaran solusinya, dan ada alat ukurnya,” sebut Halidi.

Dia menyebutkan, manajemen di internal tim itu yang patut dibenahi. Misalnya, bagaimana berkoordinasi antar sesama pengurus tim. Pasalnya, anggota tim terpencar di sejumlah kabupaten/kota. Tidak terkonsentrasi di Lhokseumawe atau Aceh Utara. Bahkan, sampai saat ini, tidak ada kantor tim itu di Lhokseumawe atau Aceh Utara.

Sumber Kontras, menganimi memang koordinasi antar tim selama ini agak tidak bagus. “Pemerintah sudah keluarkan SK. Tinggal lagi sejauhmana kemauan tim untuk bergerak. Misalnya, bagaimana menghimpun pengumpul barang, menjembatani permodalan, lalu bagaimana pula soal hambatan aturan hukum. Termasuk soal pendanaan yang dibutuhkan tim,” kata sumber ini.

Dia menyebutkan, sejauh ini, hanya PT Almajaro, perusahaan asal Italia, yang melakukan ekspor kakao melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Komuditi lainnya nihil. “Tim kurang agresif. Misalnya, soal biaya pajak 5 persen yang diwajibkan menteri perdagangan. Tim tidak berupaya meminta keringanan kepada menteri, atau melobi DPR RI untuk mendesak menteri meringankan pajak Pelabuhan Krueng Geukuh. Kita ini pelabuhan baru. Jangan disamakanlah dengan pelabuhan lainnya di Indonesia,” sebut sumber ini yang juga salah satu anggota tim.

Sejumlah persoalan melilit internal tim itu sendiri. Hingga kini, kapal yang dijadwalkan masuk regular per 15 hari sekali juga belum tercapai. Saat ini, PT MCL Permata, masuk sesuai dengan ada atau tidak adanya barang di Aceh. Jika tidak, mereka tidak masuk. Ini pula yang membuat enggan pelaku ekspor dari Aceh, enggan mengirim barang lewat Krueng Geukuh. Tidak ada kepastian rute dan jadwal kapal.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 554 | Tahun XII 12 - 18 Agustus 2010

21.43 | Posted in , | Read More »

Kegelisahan Seorang Gerilyawan



Masriadi Sambo - KONTRAS
Para pejuang tampak garang. Tidak takut menghadang lawan, meski diserang ribuan butir amunisi. Meski begitu, pejuang manusia biasa. Bukan robot tak bernurani. Pejuang memiliki kegelisahannya tersendiri.



KALIMAT itu cocok untuk menggambarkan kisah yang diberi judul “Kabut Perang”. Sebuah novel karya Ayi Jufridar, seorang jurnalis, kini menetap di Lhokseumawe. Gaya bertutur Ayi, dalam novel ini mirip dengan gaya bertuturnya pada novel pertama “Aloen Buluek” yang diterbitkan oleh Grasindo Jakarta.

Ayi tidak bisa lepas dari gaya bertuturnya sehari-hari. Gaya bicara Ayi terekam benar dari kalimat-kalimat dalam novel ini. Gaya penulisan jenis ini sangat membantu orang memahami makna kalimat yang disajikan. Bagi orang yang mengenal Ayi, tentu sangat bisa memahami gaya penulisan Ayi. Santai, penuh deskripsi dengan detail di sana-sini kalimat. Namun, gaya bahasa ini, belum tentu bisa dinikmati oleh masyarakat umum di seluruh penjuru negeri ini.

Bagi saya, membaca novel ini sama dengan mendengarkan cerita dari penulisnya. Sedikit panjang, namun detail. Saat ini, berkembang gaya penulisan bertutur ala Majalah Tempo. Menggunakan kalimat pendek, penuh makna, dikolaborasi dengan detail-detail cerita di seluruh bagian paragraf. Ini yang belum terlihat.

Dari sisi gagasan, cerita ini memuat pesan bahwa perang tak pernah menguntungkan masyarakat sipil. Di negeri mana pun, perang selalu menghadirkan kesengsaraan. Menyisakan duka mendalam, dan merenggut ratusan nyawa ummat manusia. Perang hanya bagian ambisi kekuasaan.

Pesan itu pula menjadi latarbelakang cerita novel ini. Selain itu, para gerilyawan selalu mengatakan mereka pantang mundur, berani menghadapi musuh. Meski senjata hanya satu atau dua orang saja yang memanggulnya. Itu pun tidak boleh melepaskan tembakan sembarangan. Harus menghemat peluruh. Selebihnya, para gerilyawan itu hanya memiliki senjata tajam, sejenis rencong, parang, pedang dan lain sebagainya.

Cerita lain yang diungkapkan Ayi, bahwa ada pula pejuang yang galau, takut, gemetar. Tidak mengerti makna perjuangan sesungguhnya. Apa yang ingin diraih, kata “merdeka” atau sekadar balas dendam semata.

Tasrif sebagai tokoh utama dalam novel ini terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah, berawal ketika bom mobil meledak di depan rumahnya. Dia masuk dalam gerakan anti pemerintah, karena usai bom meledak, seisi kampung dibumi hanguskan. Tak satu pun tersisa. Ini pula yang membuat Tasrif geram.

Lalu, dia ditugaskan untuk merekrut pasukan baru. Mencari orang-orang yang benci pada sikap dan kebijakan pemerintah. Khususnya, orang yang mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan negara. Dan, dia pun gagal. Kegagalan Tasrif bukan tidak beralasan. Dia galau, tak tau arah gerakan. Sekali waktu dia merenung, mencari apa makna dari perjuangan yang dia lakukaan saat ini. Wajar saja, saat itu, Tasrif belum genap berusia 20 tahun. Dia mengantungi kartu tanda penduduk (KTP) dengan status pelajar. Tentu, aparat negara tidak pernah curiga, pelajar masuk dalam gerakan melawan pemerintah.

Lalu, dia pun mendapat tugas berat. Membeli senjata di luar kota. Ini yang membuat hatinya semakin binggung. Menggunakan senjata, tentu digunakan untuk menembak lawan. Belum tentu, lawan yang dibunuh itu bersalah. Dalam hukum Islam, membunuh orang bagian dari dosa besar. Hati Tasrif risau.

Dia mencoba merenung. Bertanya pada teman-temannya. Bertanya pada langit dan alam semesta. Jawabannya variatif. Ada yang membenarkan membunuh atasnama perjuangan. Ada pula yang enggan berkomentar. Semua menyampaikan kebenaran versi masing-masing. Tasrif binggung, baginya kebenaran adalah hukum Allah. Tidak boleh ditafsirkan sesuka hari.

Lalu, latar belakang para pemberontak ini pun bervariasi. Ada yang menghindari dari kejaran hutang-piutang. Ada pula karena semangat balas dendam, temannya yang lain karena kecewa ditinggal sang kekasih. Semuanya memiliki pandangan yang berbeda. Lalu, tujuan perang ini sendiri apa?

Sementara itu, korban harta dan nyawa terus berjatuhan. Perang terus menyalak. Suara desing mesiu dan bom terdengar saban waktu. Tak ada ruang ekspresi. Hidup di daerah perang dibekap ketakutan mendalam. Takut akan Izrail menjemput. Takut pula bila dibunuh atau mati koyol bila peluru nyasar tersangkut dijantung.

Suasana semakin kacau. Pasukan negara terus bertambah. Lalu lalang kendaraan pengakut senjata dan bahan makanan pasukan negara terus datang ke seluruh pelosok kampung. Kontak senjata tak terelakan. Sekali kontak senjata, maka satu kampung sirna. Ludes dilalap sang jago merah. Tasrif masih bertahan. Kini, tugasnya sebagai mata-mata. Mencari tau dimana pasukan negara. Mengabarkan ke para gerilyawan. Dia bebas bergerak. Keluar-masuk kota. tanpa ada yang curiga. Dia benar-benar menjadi intel sejati.

Dia pula mengantarkan bahan makanan pada pasukan di dalam hutan. Setiap kali melewati pos aparat negara, dia berakting seolah masyarakat sipil biasa. Bukan berasal dari kelompok gerilyawan. Sepandai-pandai tupai melompat, sesekali jatuh juga. Pepatah klasik itu dialami Tasrif. Dia pun tertangkap. Temannya, yang dulu bergabung dalam kelompok gerilyawan menunjukkan dirinya. Dia ditangkap. Dikunci dalam ruang pengab.

Cerita itu direkam Ayi. Saya menyebutkan cerita ini tidak hanya mengandung fakta, namun juga fiksi yang dalam. Bisa ditamsilkan, 50:50. Artinya, 50 persen fakta, sisanya fiksi. Tidak mudah menggambarkan ketakutan ketika perang masih menyalak.Namun, Ayi menggambarkan dengan apik. Tidak menghakimi siapa benar, dan siapa salah. Tidak pula dengan gamblang menyebutkan kelompok pemberontak bersalah, dan aparat negara yang benar. Dia berada ditengah-tengah. Meski untuk lebih detail, tak ada masalah menunjukkan siapa yang dimaksud sebagai kelompok separatis, dan siapa pula aparat negara. Mungkin, Ayi agak hati-hati.

Dia paham benar masyarakat di daerah bekas perang sangat sensitif dengan isu-isu perang. Mudah salah tafsir. Mudah pula menghakimi karya orang sebagai upaya pencemaran nama baik. Nampaknya Ayi memilih jalur aman. Tidak memilih nama tempat yang ada di salah satu daerah, dan nama institusi tertentu.

Ya, inilah realitas perang. Ayi merekam dalam tulisan sastra. Tujuannya, mengingatkan semua kita, bahwa perang pasti dibarengi dengan penderitaan. Ya, penderitaan masyarakat sipil, yang tidak ikut dalam salah satu kelompok yang bertikai. Buku ini layak dibaca oleh seluruh masyarakat sipil di Aceh dan Indonesia. Agar kita sadar, bahwa damai adalah pilihan yang tepat. Menjaga demokrasi seutuhnya dan menjaga damai di negeri ini selamanya.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 554 | Tahun XII 12 - 18 Agustus 2010

03.11 | Posted in , | Read More »

Memburu Kadi Liar di Aceh




Masriadi Sambo - KONTRAS

Jejak kadi liar (muhakkam fasiq) sangat merugikan masyarakat. Hukum nasional tidak mengakui nikah di bawah tangan itu. Lalu, mengapa masih banyak orang yang meminta jasa tengku kadi liar ini?

WAJAH dua remaja itu terlihat tegang, gelisah. Sesekali matanya nanar menatap ke jalan Merdeka Timur di Lhokseumawe. Mereka duduk di salah satu pojok warung kopi di Desa Lancang Garam. Keduanya Is (19) dan Bet (19), warga Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe. Is sibuk memencet telepon selularnya. Dia menghubungi orang-orang yang mengenal kadi liar. Kedua umat manusia beda jenis kelamin itu memang ingin menikah sesegera mungkin.

Sedangkan si perempuan terlihat lesu, tak bersemangat. Wajahnya pucat, matanya sembab, seakan baru saja menangis. “Kami khilaf. Kami sudah melakukan hubungan terlarang. Sekarang kami mau menikah di kadi liar saja. Karena kedua orang tua tidak setuju,” sebut Is kepada Kontras, Sabtu lalu. Lalu, tiba-tiba Is tersentak. Dia ingin melarikan diri ke Medan, Sumatera Utara. Sang wanita pun setuju.

“Kita ke Medan saja. Kalau lama-lama di sini, nanti ditangkap Ayah. Mati kita ‘dibunuh’,” ujar Bet. Tak lama, orang yang dihubungi pun datang. Pria berjenggot itu mengetahui dimana bisa mendapatkan jasa kadi liar.

Untung saja, Is sudah menyiapkan uang untuk memperoleh “SIM” versi kadi liar. Jika saja tak ada uang ekstra, entah bagaimana cara Is mendatangkan jasa sang kadi. ‘Bisik-bisik’ dengan Kontras berhenti ketika pria berjenggot itu merangkul Is meninggalkan warung kopi di sudut desa itu.

Umumnya, kadi liar ini beroperasi di daerah pedalaman Aceh Utara. Informasi yang dihimpun Kontras, bagi masyarakat pedalaman, menikah dengan menggunakan jasa kadi liar adalah sah sesuai hukum Islam dan hukum negara. Salah seorang kadi liar yang ditemui di Kecamatan Baktia, Aceh Utara, menyebutkan, dirinya tidak pernah berniat untuk berprofesi sebagai kadi liar. Dia mengaku hanya kasihan pada orang-orang yang tidak disetujui hubungannya oleh kedua keluarga. “Banyak kasus, berawal dari kedua orang tua tidak setuju. Jadi, kalau nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi sangat sulit,” terang si kadi liar yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Biaya pernikahan di kadi liar jauh lebih mahal dibanding nikah di KUA. Umumnya, untuk Lhokseumawe, biaya nikah berkisar antara Rp 200.000 - Rp 400.000. Itu pun jika akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita. Jika akad nikah di kantor KUA, jauh lebih murah, hanya Rp 75.000. Sedangkan di Kabupaten Pidie dan Bireuen sekitar Rp 350.000.

Sementara biaya nikah di kadi liar paling murah Rp 500.000. Jumlah itu dibagikan kepada dua orang saksi, dan sang kadi sendiri. Bahkan, terkadang jumlah yang diterima sang kadi jauh lebih sedikit. Pasalnya, untuk mencari saksi sangat susah. Terkadang, saksi harus disediakan oleh orang yang ingin menikah. Ini tipe kadi liar pertama. Tipe kedua, kadi liar profesional. Sang kadi menyediakan semua saksi, tempat, dan jadwal pernikahan. Biayanya mencapai jutaan rupiah.

Saat disinggung tentang lokasi pernikahan, sang kadi menyebutkan lokasi pernikahan tergantung kesepakatan dengan orang yang ingin menikah. Bisa di rumah kadi, atau di lokasi yang aman. “Daripada mereka berzina, kan lebih baik dinikahkan,” ujar sang kadi singkat. Cerita kadi liar ini bukanlah monopoli Aceh Utara atau Lhokseumawe. Di Pidie, diprediksi puluhan kadi liar sudah lama beroperasi.

Muslim, warga Kecamatan Mutiara, Pidie, menyebutkan, dirinya baru saja menikah dengan seorang perempuan di Kecamatan Kembang Tanjong. Karena tanpa persetujuan orang tua, mereka memilih kadi liar. “Kami menikah di kawasan Unue,” katanya. Benarkah di daerah itu ada kadi liar? Tidak ada yang tahu persis. Soalnya, sang kadi pasti beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Mereka juga punya jaringan di kantor-kantor Urusan Agama di kecamatan. Pendek kata, jika memungkinkan, surat nikah bahkan bisa didapatkan dengan harga tertentu. Pernikahan yang sejatinya peristiwa sakral tentu saja menjadi kurang bernilai dengan cara seperti ini.

Ulama menentang
Sementara itu, kalangan ulama di Aceh Utara dan Lhokseumawe sejak lama menentang keberadaan kadi liar tersebut. Pasalnya, kadi liar sangat merugikan masyarakat. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara, Tengku Mustafa Ahmad, akrab disapa Abu Paloh Gadeng, menyebutkan, selama ini kadi liar banyak yang berpaktik di Aceh Utara. “Praktiknya sangat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Sebab, nikah yang dilakukan kadi liar itu tidak sah,” sebut Abu Paloh Gadeng.

Lebih jauh disebutkan, keberadaan kadi liar telah membuka peluang terjadinya zina secara terus-menerus. Pasalnya, para kadi liar ini sangat mudah menikahkan seseorang tanpa adanya wali dan saksi. Ulama di Aceh Utara telah beberapa kali melakukan muzakarah terkait kadi liar tersebut. Dalam rekomendasinya, forum ulama mengusulkan agar kadi liar yang berhasil ditemukan di Aceh dihukum kurungan maksimal dua tahun penjara atau sekurang-kurangnya dua bulan penjara.

Hukuman lain yang ditawarkan adalah sang kadi liar membayar denda. “Kita harap pemerintah menertibkan praktik kadi liar ini,” harap Abu Paloh Gadeng. Namun, rekomendasi boleh saja keluar, pemerintah boleh saja mengeluh, praktek pernikahan liar ini terus berlangsung

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 550 | Tahun XII 15 - 21 Juli 2010

01.11 | Posted in , , | Read More »

Antara Mutu dan Biaya Kuliah

Masriadi Sambo - KONTRAS

SEKITAR tahun 2007 beasiswa melimpah di Aceh. Sejumlah lembaga donor yang membantu pemulihan ekonomi Aceh memang banyak menawarkan beasiswa. Tujuannya, agar anak Aceh pintar, dan mendapatkan pendidikan secara gratis. Kini, seiring berakhirnya masa tugas berbagai lembaga donor di Aceh, beasiswa pun semakin sedikit.

Di sisi lain, lembaga pendidikan tinggi di Aceh terus mengikuti rekan-rekannya di Nusantara, yakni meningkatkan jumlah 'pungutan' tiap tahun.

Meski jumlah uang yang dikeluarkan tinggi, tidak lantas ada jaminan peningkatan kualitas di perguruan tinggi yang bersangkutan. Pendiri Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial Aceh, Halidi MM di Lhokseumawe, menyebutkan, sejauh ini lulusan perguruan tinggi di Aceh tidak siap menghadapi dunia kerja. Mereka tidak memiliki kemampuan atau skill di bidang tertentu. Hanya menguasai teori, tanpa menguasai aplikasi secara praktis, sebagaimana yang diinginkan lapangan kerja.

"Saya amati, 90 persen lulusan itu tidak siap di dunia kerja. Mereka hanya berpikir, bagaimana menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ini yang sangat memprihatinkan," sebut Hadili.

Banyaknya sarjana di Aceh yang ingin menjadi pegawai negeri sipil, bukanlah isapan jempol. Setiap kali seleksi penerimaan CPNS dibuka, pelamarnya membludak, mencapai ratusan ribu orang. Mestinya, sarjana yang sudah punya kualifikasi tertentu siap berwiraswasta.

Tidak lantas menunggu lowongan kerja sebagai PNS setiap tahun. Lebih jauh dia menyebutkan, proses dalam sistem pendidikan di Aceh belum mengarah kepada kebutuhan pasar. "Kalau prosesnya tidak bagus, yakinlah hasilnya tidak bagus. Saya lihat, kampus belum mengarah ke proses yang bagus, bagaimana mendidik kemampuan tertentu pada mahasiswa," terang Hadili.

Dia membandingkan, lulusan Fakultas Hukum di berbagai kampus di Sumatera Utara sangat diburu kantor advokat, dan kantor lainnya yang membutuhkan sarjana hukum. "Kualitas mereka sangat diakui. Kalau kita minim pengakuan, karena rendahnya kualitas," tegas Halidi. Dia menyarankan, agar kurikulum yang sudah baku dari Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, harus disinkronkan dengan kebutuhan dunia kerja.

"Saatnya memberikan pengetahuan praktis, dan aplikatif. Tidak berkutat pada teori saja. Ini sangat dibutuhkan dunia kerja. Ini pula yang perlu dibenahi pendidikan tinggi di Aceh," terang Halidi.

Menyangkut biaya pendidikan, khusus untuk Aceh Utara, Halidi menyebutkan masih sangat terjangkau. Di daerah ini pun tersedia berbagai jenis beasiswa. Khusus untuk Aceh Utara, selain dari lembaga donor, beasiswa datang dari Pemda Aceh, PIM, PT Arun, Pemkab Aceh Utara, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Namun, kini beasiswa dari lembaga donor dan Pemkab Aceh Utara sudah tak ada lagi.

"Kini beasiswa dari Pemkab Aceh Utara sudah tak ada lagi. Jadi, otomatis sumber beasiswa berkurang. Dulu tahun 2008, bahkan ada beasiswa yang kita kembalikan, semua mahasiswa Politeknik Lhokseumawe gratis sekolah," sebut Humas Politeknik Negeri Lhokseumawe, Mukhtar, kepada Kontras, kemarin.

Dia menyebutkan, di Politeknik Lhokseumawe, biaya masuk bervariasi, dari Rp 175.000-Rp 225.000. "Kalau satu jurusan yang dipilih Rp 175.000, dua jurusan Rp 200.000, dan tiga jurusan plus bisa mendaftar ke Politeknik lainnya di Indonesia, Rp 225.000. Masih sangat terjangkau," sebut Mukhtar.

Dia menambahkan, untuk biaya sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) sejak tahun ini hanya Rp 650.000 per semester, sedangkan untuk D4 mencapai Rp 850.000 per semester.

Dibanding dengan Politeknik Medan yang SPP-nya mencapai Rp 1,2 juta per semester, di Aceh Utara jauh lebih murah. "Jadi, kita jauh lebih murah. Saat ini lulusan kita sudah sangat diterima di dunia kerja. 80 persen alumni sudah bekerja di berbagai bidang," sebut Mukhtar.

Sementara itu, di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, perkuliahan dibagi dua, yakni kelas reguler, dan kelas non-reguler. Non-reguler ini khusus untuk orang-orang yang telah bekerja. Hari kuliahnya Sabtu-Minggu.
"Biaya masuk kelas reguler di bawah Rp 400.000. Angka persisnya saya lupa," terang Humas Unimal, Husen MR. Biaya SPP untuk kelas reguler jurusan ilmu sosial Rp 300.000, dan untuk eksakta Rp 400.000 per semester.

Sedangkan untuk kelas non-reguler biaya pendaftaran Rp 2 juta. Sedangkan biaya SPP, khusus jurusan ilmu sosial Rp 1,2 juta, dan eksakta Rp 1,5 juta per semester.

"Kalau di kampus ini masih sangat terjangkau. Saya enggak tahu di kampus lainnya," sebut Husen.
Untuk meningkatkan kualitas lulusan, sebut Husen, Unimal berupaya meningkatkan kualitas dosen dan melengkapi alat praktik mahasiswa.

"Perlahan kita terus tingkatkan kualitas. Melengkapi laboratorium, kualitas dosen. Banyak dosen yang sedang kuliah S3 saat ini," ujarnya. Dia menyebutkan, 95 persen lulusan Unimal kini bekerja di berbagai lembaga swasta dan pemerintah.

Husen menambahkan, perlahan namun pasti, pihak kampus berupaya membuka akses ke dunia kerja untuk para alumninya. Itulah realitas pendidikan tinggi di Aceh Utara.

00.02 | Posted in , , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added