MOST RECENT

Kayu, Mafia dan Si Papa


SATU hari, di bulan Juni 2011, beredar kabar bahwa puluhan kaum ibu di Desa Alue Ubay, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, menghadang tim reserse mobil (Resmob) Polres Aceh Utara. Puluhan warga itu menghadang tim Resmob yang ingin mengambil satu ton kayu yang diletakkan di pinggir jalan desa tersebut. Sempat terjadi cek-cok antara polisi dan warga. Belakangan, polisi pun pulang dengan tangan hampa. Tidak diketahui siapa pemilik kayu itu sebenarnya. Ketika saya mendatangi lokasi, masyarakat diam seribu bahasa. Tak mau berbicara.

Kasus hampir serupa, pernah terjadi Juli 2010 lalu. Saat itu, dua personel pengamanan hutan (Pamhut) Aceh Utara disekap oleh masyarakat di desa tersebut. Awalnya, dua Pamhut itu menangkap empat ton kayu tak bertuan di desa itu. Saat menunggu mobil yang akan mengangkut kayu dari desa itu ke kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara di Lhokseumawe, seratusan masyarakat datang mengepung mereka. Jika kayu itu tidak dilepaskan, maka mereka akan disekap dan diancam bunuh. Kisah akhir drama penyanderaan tersebut, Pamhut memutuskan untuk melepaskan kayu itu.

Pertanyaan berikutnya adalah, benarkah aksi warga itu semata-mata karena mempertahankan kayu yang telah mereka cari susah-payah di hutan? Atau jangan-jangan ada mafia kayu berkantong tebal yang menjadi aktor intelektual aksi itu?

Rasanya tidak logis, bila masyarakat melawan aparat penegak hukum dengan kemauan sendiri? Umumnya, karakter masyarakat Indonesia, takut pada aparat penegak hukum. Takut dipenjara bila berurusan dengan polisi. Lalu, mengapa masyarakat Paya Bakong tidak takut pada polisi atau Pamhut?

Seluruh desa di kawasan pinggiran hutan seperti Kecamatan Paya Bakong, Pirak Timu, Kuta Makmur, Langkahan, dan Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara berada di bawah garis kemiskinan. Semua desa di kecamatan tersebut dimasukkan dalam program penanggulangan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) Aceh Utara. Artinya, mereka tertinggal dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sampai pembangunan ekonomi. Kemiskinan pula yang membuat masyarakat pinggiran hutan (saya menyebutkan Si Papa) mahu bekerja untuk sejumlah mafia kayu ilegal. Si Papa bertindak sebagai penebang kayu, pengangkut kayu dari hutan ke desa. Proses berikutnya, kayu diangkut dari desa ke kota dengan menggunakan becak atau truk. Mereka hanya pekerja lapangan. Menerima gaji dari para mafia kayu ilegal. Gaji tak seberapa. Hanya cukup untuk makan, dan sedikit untuk membeli pakaian.

Tak ada pilihan lain bagi masyarakat di sana. Menanam cabai, harga anjlok setiap kali musim panen tiba. Hendak menanam padi, namun tak ada irigasi. Semua serba miris. Ini pula yang membuat masyarakat berpikir, lebih baik bekerja dengan para mafia kayu, daripada bercocok tanam seperti petani umumnya. Ditambah lagi, para mafia ini menjanjikan bahwa mereka punya teman di kepolisian sehingga tak perlu takut bila ditangkap polisi. Ini pula yang menyebabkan masyarakat Paya Bakong berani melawan aparat hukum. Mereka yakin, mafia ini bisa membebaskan mereka dari jeratan hukum. Padahal, pernyataan para mafia itu tidak seluruhnya benar. Buktinya, para pengangkut kayu yang ditangkap polisi tetap meringkuk di jeruji besi. Sedangkan sang mafia lari entah kemana.

Sayangnya, selama ini, polisi hanya berhasil menangkap Si Papa yang bekerja pada sang mafia. Sedangkan berita tentang ditangkapnya sang mafia kayu, belum terdengar hingga detik ini. Ini bukti bahwa, sangat sulit menangkap dalang intelektual penebangan liar di negeri ini. Mereka bukan pekerja lapangan. Mereka bos mafia, memiliki jaringan luas dengan oknum militer dan oknum pejabat negeri ini. Mereka duduk di belakang meja mengkilap, kursi empuk dan mengontrol bisnisnya lewat telepon selular.

Masalah lainnya, dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan pelaku ilegal loging ialah mereka dengan sengaja penebangan, membawa, menguasai, dan mengangkut kayu tanpa izin-izin yang sah. Jika definisi ini yang digunakan, maka Si Papa lah yang paling banyak mendekam di hotel prodeo. Sedangkan si mafia, sampai negeri ini berakhir, tak akan pernah berhasil ditangkap oleh polisi. Instrumen hukum kita perlu dibenahi.

Pembenahan Ekonomi
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, 6 Juni 2007 lalu mencanangkan jeda tebang hutan di Aceh. Dia pula gubernur pertama yang mengeluarkan Instruksi Gubernur No 5/2007, tentang jeda tebang hutan alam (moratorium logging) di Aceh. Kebijakan ini bertujuan untuk menyelamatkan hutan Aceh. Jika kebijakan ini berjalan selama 20 tahun ke depan, saya yakin, Aceh akan sama dengan Provinsi Riau. Aceh bisa menjadi eksportir kayu dan air ke luar negeri, seperti Riau yang menjual air ke Singapura. Ini mimpi yang belum tercapai. Buktinya, sampai saat ini, berita tentang maraknya ilegal loging masih terjadi di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Sayangnya, sampai tiga tahun, moratorium loging diberlakukan, belum ada tindakan kongkret dari Pemerintah Aceh untuk membenahi ekonomi masyarakat pinggiran hutan. Perlu dibuat konsep pembangunan ekonomi berkeadilan untuk masyarakat pinggiran hutan. Caranya, bisa dengan cara membuatkan mereka koperasi pertanian. Namun, hasilnya harus dijamin oleh pemerintah. Pemerintah wajib menyediakan pasar, sehingga ketika panen tiba, petani mendapat untung besar. Jika ini dijalankan, maka mustahil, masyarakat mau menebang kayu dengan gaji tak seberapa dan resiko penjara.

Evaluasi Pamhut

Untuk mendukung moratorium logging, Pemerintah Aceh pun merekruit pasukan pengaman hutan (Pamhut). Di sejumlah daerah dibangun kantor pos penjagaan hutan. Anehnya, letak kantor tersebut cendrung tidak strategis. Misalnya, kantor pengamanan hutan di jalan Medan-Banda Aceh, di Desa Bayu, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Kecamatan Syamtalira Bayu bahkan tidak memiliki kawasan hutan. Idealnya, kantor ini berada di kawasan pinggiran hutan. Sehingga, begitu masyarakat membawa kayu ilegal, Pamhut bisa langsung menangkap kayu tersebut. Jika pos pengamanan di tengah kota, apa yang mau diawasi dan ditangkap? Ini perlu dievaluasi kembali.

Selain itu, akhir-akhir ini, para mafia kayu menggunakan modus baru untuk membawa kayu ke Medan, Sumatera Utara. Mereka menggunakan surat keterangan asal usul (SKAU) kayu palsu. Jika ada SKAU, polisi terpaksa membuktikan ke lapangan apakah benar kayu itu berada di kawasan hutan atau diluar kawasan hutan. Ini membuat tugas polisi semakin berat. Trik ini tampaknya berhasil digunakan oleh para mafia. Blanko SKAU itu dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh. Banyak sekali SKAU palsu yang beredar di masyarakat saat ini. Bahkan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Aceh Utara, Edy Sofyan, mengakui adanya SKAU palsu tersebut. Bahkan, dia menduga, ada oknum Pamhut atau Polhut yang bermain untuk mengeluarkan SKAU itu. Dugaan adanya permainan oknum Pamhut atau Polhut mengeluarkan SKAU itu dikarenakan, blanko SKAU hanya dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Aceh. Jika ada kayu yang berada diluar kawasan hutan, barulah keuchik meminta SKAU itu pada dinas kabupaten/kota. Lalu, dinas kabupaten/kota meminta SKAU itu pada provinsi. Jika tidak ada yang bermain, tak mungkin SKAU asli tapi palsu itu beredar luar di masyarakat. Tampaknya, kasus ini menjadi pekerjaan rumah bagi Dinas Kehutanan dan Perkebunan di seluruh kabupaten/kota plus provinsi untuk membersihkan oknum Pamhut atau Polhut yang nakal ini.

Akhirnya, untuk mewujudkan hutan Aceh yang hijau, bebas dari penebangan liar, maka mari bersama membenahi perekonomian masyarakat pinggiran hutan, membenahi sistem hukum yang ada, serta memberangus aparat penegak hukum yang bermain dan mengambil manfaat dalam bisnis kayu ilegal. Jika ini berjalan dengan baik, maka tak ada pernah lagi terdengar banjir bandang melanda sejumlah daerah di Aceh. Tak akan pula terdengar kabar tentang penebangan liar. Mari selamatkan alam, selamatkan hutan untuk masa depan Aceh. Masa depan anak cucu kita. []

21.07 | Posted in | Read More »

Warga Serahkan Granat Aktif ke Polres


LHOKSUKON - Warga Desa Kota Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, Sabtu (25/6) pagi, menyerahkan dua granat manggis aktif ke Mapolres Aceh Utara. Polisi merahasiakan identitas warga yang menyerahkan granat tersebut. Kapolres Aceh Utara AKBP Farid BE, didampingi Kasat Reskrim AKP Suwalto, dan Kasat Intel Ipda I Ketut Supriyatna, dalam konferensi pers, di Mapolres Aceh Utara, kemarin, menyebutkan, pemicu granat tersebut telah dibungkus dengan lakban warna hitam.

“Kami merahasiakan nama warga yang menyerahkan granat ini, sesuai permintannya. Kami berikan apresiasi pada masyarakat yang mau menyerahkan senjata api atau pun bahan peledak sisa konflik kepada polisi,” sebut AKBP Farid BE. Ditambahkan, sebelumnya, pihaknya telah menerima satu pucuk senjata AK 56, dan 28 butir peluru dari masyarakat. “Kami harap, ke depan, masyarakat mau menyerahkan senjata api atau bahan peledak pada polisi. Bagi yang menyerahkan, tidak akan dihukum. Namun, bagi masyarakat yang memiliki, menyimpan, dan menggunakan senjata api, atau bahan peledak, tapi tidak menyerahkan ke polisi, maka akan kita tindak sesuai hukum yang berlaku,” tegas Kapolres. Kapolres menyebutkan, granat itu akan diserahkan ke tim penjinak bom (Jibom) Brimob Kompi 4, Jeulikat, Lhokseumawe, untuk diledakkan. (c46)

21.00 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added