MOST RECENT

Mengembangkan Dayah Tinggi Pertama di Aceh


KOMPLEKS Dayah Tinggi Islam Samudera Pasai, di Desa Alue Serdang, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, terlihat sepi. Tidak ada aktivitas di dayah tersebut. Dayah itu merupakan dayah tinggi pertama di provinsi Serambi Mekkah. Ide pendirian dayah ini berawal dari banyaknya alumni dayah di Aceh yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dayah ini lebih akrab disebut Insis (The Institute for Islamic Studies of Samudera Pase).

“Dayah ini sekaligus menampung alumnus dayah salafi dan modern untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Dayah ini sama dengan perguruan tinggi pada pendidikan formal. Kurikulumnya perpaduan dayah salafi dan kurikulum perguruan tinggi Islam di Timur Tengah,” sebut Direktur Insis, H Ajidar Matsyah Lc, MA, kepada Serambi, Sabtu (27/8).

Dayah itu didirikan 9 Januari 2007 silam kini memiliki tiga jurusan yaitu diploma Syariah Islamiah, diploma Ushuluddin dan diploma Qiraat wa ‘Ulumul Quran.

Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, kini dayah tersebut memiliki mahasantri sebanyak 120 orang, dan 12 ustaz sebagai tenaga pengajar. Secara keseluruhan, di Indonesia hanya terdapat 130 dayah tinggi. “Kementrian Agama RI, sedang menyusun peraturan kementrian tentang dayah tinggi ini. Setelah lebaran akan dikeluarkan tentang dayah tinggi ini, setelah tamat mahasantri mendapatkan gelar apa dan lain sebagainya,” sebut H Ajidar.

Dayah ini memiliki visi mewujudkan lembaga pendidikan dayah bertaraf internasional, melahirkan generasi Islam yang beriman dan bertakwa, berwawasan serta berdaya saing.

Untuk mencapai visi itu, dayah ini bekerja sama dengan Universitas Al Azhar, Mesir, Universitas Islam Tamiang, dan Ma‘had ‘Ali Li al-Dirasat al-Islamiyyah wal ‘Arabiyyah (MADIWA) Perak Malaysia.

Pengembangan terus dilakukan. Pengembangan terus dilakukan, sehingga, dayah tinggi ini bisa menjadi sentral pendidikan Islam modern yang bertaraf internasional di Aceh. Semoga.(masriadi sambo)

23.50 | Posted in , , | Read More »

Mencetak Dai yang Ahli Bahasa Asing


SUASANA sepi terlihat saat Serambi mengunjungi Dayah Terpadu Nurul Islam di Desa Rayeuk Kuta, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Tak ada petugas di pos penjagaan dayah itu. Hanya seorang santri laki-laki sedang menyapu halaman dayah. Sebagian besar santri sedang libur. Hanya sebagian kecil yang bertahan di dayah.

Dayah itu didirikan 26 Oktober 1988 oleh Drs Tgk H Amri Ahmad. Saat itu, dunia pendidikan di kecamatan itu belum memadai. Karena semua fasilitas pendidikan terkonsentrasi di Kota Lhokseumawe. Konsepnya, pendidikan terpadu yaitu menggabungkan kurikulum dayah salafi dan modern. Tujuannya, agar santri yang lulus dari dayah itu menjadi kader dakwah (dai) dan fasih berbahasa asing.


“Kami ingin lulusan dayah ini bisa menjadi pendakwah yang cerdas, menguasai bahasa asing baik Arab dan Inggris guna menyampaikan ajaran Islam ke seluruh pelosok negeri,” ujar Ketua Pengembangan Lembaga Bahasa Asing Ruhul Islam, Muhammad Adam SPd, didampingi pengasuh asrama dayah itu, Tgk Mahdi Idris, kemarin.


Untuk mencapai target tersebut, menurutnya, fasilitas dayah pun dilengkapi. Sekarang, dayah itu memiliki laboratorium bahasa Arab, bahasa Inggris, komputer, laboratorium IPA, perpustakaan, dan kerajinan menjahit. Santri yang kini berjumlah 362 orang diasuh 46 guru yang umumnya alumnus Kulliyatul Mu’allimin Al Islamiyah (KMI) Gontor Ponorogo (Jawa Timur), Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, dan sejumlah dayah salafi di Aceh.


Seluruh santri diwajibkan berbahasa Inggris dan Arab pada pagi hingga siang hari saat santri menimba ilmu di bangku SMP dan SMA di dayah itu. Setelah zuhur, mereka diwajibkan belajar bahasa asing. “Usai magrib sampai tengah malam, mereka belajar kitab kuning,” ujarnya. Ditambahkan, dayah itu terus berbenah dalam upaya mencetak pendakwah (dai) yang ahli bahasa asing. * masriadi sambo

08.52 | Posted in , , | Read More »

Ramadhan 2011



SELAMA RAMADHAN banyak jadwal yang berubah. Di hari biasa, umumnya mulai beraktifitas sejak pukul 09.00 WIB. Artinya, bangun tidur tepat ketika azan subuh. Lalu, tidur lagi, dan bangun lagi pukul 07.30 WIB. Baca koran, lalu mandi dan sarapan. Memasuki puasa, bangun sahur, subuh dan tidur lagi. Lalu, baru bangun tidur pukul 09.00 WIB. Mulai beraktifitas pukul 10.00 WIB.


Perubahan lainnya, selama ramadhan ini, insiden pun minim. Jarang sekali terjadi peristiwa yang luar biasa. Hanya sesekali terjadi kebakaran dan laka lantas, menewaskan sejumlah orang. Jika hari biasa, berbagai insiden terjadi saban hari. Dari pencurian sampai pemerkosaan. Seakan para bandit pun tiarap di bulan yang penuh berkah ini.

Selain itu, jadwal sore hari pun berubah. Sebelum puasa, saban sore selalu disibukkan di kantor atau di rumah. Pasti main game. Kini, saban sore disibukkan mencari minuman untuk berbuka puasa.


Jadwal lainnya yang berubah adalah bagaimana mengatur keuangan untuk mempersiapkan hari raya Idul Fitri. Sudah menjadi tradisi di negeri ini, Idul Fitri identik benda serba baru. Baju baru. Peci, kain sarung, pakaian koko, plus berbagi ke orang yang kurang mampu. Berbagi pada orang-orang yang berjasa dalam hidup ini. Orang-orang inilah yang melahirkan energi positif untuk menjalani hidup. Bahwa hidup dunia hanya sementara. Dunia hanya tempat/wadah numpang untuk berbagi, dan tertawa. Hidup tak perlu ribet. Tak muluk-muluk, harus raih ini dan itu. Mengalir seperti air.


Bahwa hidup adalah perjuangan, ya. Namun, definisi perjuangan tidak mesti terlalu berlebihan. Perjuangan untuk menjadi orang baik, dikenang oleh banyak orang. Perjuangan untuk memberikan yang terbaik buat keluarga. Membahagiakan orang yang selalu didekat kita.

Bahwa di dunia tak semua orang berprilaku baik, itu harus diamini. Namun, biarlah mereka dengan dunianya. Biarlah mereka dengan karakternya. Perangai manusia pasti berbeda. Ada baik dan buruk. Itu pula Allah menciptakan surga dan neraka.


Ramadhan ini menjadi waktu yang tepat untuk mengintrospeksi diri. Seberapa banyak kita menyakiti orang lain, dan seberapa pula kebaikan yang kita perbuat. Mari merenung.

[masriadi sambo]

08.44 | Posted in , | Read More »

Sastrawan yang Jago Kaligrafi


DALAM dunia sastra di Aceh, nama Mahdi Idris mulai dikenal sejak akhir tahun 2009. Sejak saat itu, cerita pendek (Cerpen) karya Mahdi mulai dimuat di sejumlah media di Aceh. Pria kelahiran Desa Keureutoe, Kecamatan Lapang, Aceh Utara, 3 Mei 1979 itu saat ini menjadi pengajar di Dayah Terpadu Ruhul Islam, Tanah Luas, Aceh Utara. Sejak tahun 2003, pria berkumis itu mengasuh mata pelajaran kaligrafi, bahasa Arab, dan sejumlah kitab kuning di dayah tersebut. Ketika remaja, Mahdi menimba ilmu di sejumlah dayah seperti Dayah Al Muslimun Lhoksukon, Dayah Nurul Huda Trieng Pantang Lhoksukon, Dayah Nurul Yaqin Al Aziziyah Utu Kabupaten Pidie, dan Dayah Raudhatul Ulum Alue Pisang, Aceh Barat Daya. Mahdi menyelesaikan pendidikan strata satu di Perguruan Tinggi Islam (PTI) Jamiatut Tarbiyah Lhoksukon tahun 2006.

“Saya hanya ingin berbagi pengalaman dengan anak-anak di dayah ini. Apa yang saya ketahui, itu yang saya sampaikan kepada santri. Saya ingin mereka bisa lebih hebat dari saya,” sebut Ustaz Mahdi,panggilan akrab Mahdi Idris.
Mahdi mengajarkan teknik penulisan cerpen dan kaligrafi secara serius di dayah tersebut. Hasilnya, dia pun diundang Kementerian Pendidikan Nasional sebagai peserta dalam acara Apresiasi Sastra Daerah (Apresda) di Bogor, Oktober 2010.

Mahdi telah menerbitkan buku kumpulan cerpennya, yaitu ‘Lelaki Bermata Kabut,’ diterbitkan PT Cipta Media, Jakarta, 2011, dan Nurhayat, Mata I Publishing, Banda Aceh, 2011.
Selain itu, cerpennya juga dimuat dalam buku antologi Kerdam Cinta Palestina, dan Munajat Sesayat Doa. Novel perdana ayah tiga anak itu dengan judul Menembus Kabut, masuk sepuluh besar naskah terbaik dalam lomba yang dilakukan Penerbit Media Yogyakarta. “Naskah Menembus Kabut sedang dalam proses penerbitan. Mungkin, setelah Idul Fitri nanti sudah beredar di pasar,” sebut suami Rosmiana ini. Dayah Ruhul Islam beruntung memiliki pengajar sekelas Ustaz Mahdi. 5 Mei 2011, dayah itu pun memberikan penghargaan untuk Ustaz Mahdi dalam kategori guru berprestasi.

Sementara, kemampuan Mahdi Idris dibidang kaligrafi juga tak perlu dikhawatirkan lagi. Sebagai bukti, Dia selalu diundang menjadi dewan juri kaligrafi pada Musbaqah Tilawatil Quran (MTQ) di Aceh Utara. * masriadi sambo

01.57 | Posted in , , | Read More »

Fadli Ingin Jadi Diplomat


FADLI ZAKIA (18) mulai sibuk mempersiapkan proposal permohonan beasiswa yang akan dikirimkan ke sejumlah universitas di Indonesia. Sebagai siswa kelas enam (setingkat kelas 3 SMA) di Dayah Terpadu Ruhul Islam, Desa Rayeuk Kuta, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara, Fadli kini mulai merancang rencana kuliah yang akan ditujunya. Tidak hanya itu, bahkan ia telah punya perencanaan untuk meraih cita-citanya menjadi diplomat atau duta besar. “Sebulan lalu saya ikut tes Paramadina Jakarta Fellowship 2011. Tahap satu lewat, ujian tahap dua saya gagal. Saya terus berusaha, semoga bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi,” sebut Fadli, kemarin. Anak bungsu dari delapan bersaudara, pasangan Alm Zakaria dan Hendon itu memang cerdas. Buktinya, dia langganan meraih juara satu di SMAS Ruhul Islam, dan di tingkat dayah. Selain itu, bahasa Inggris yang dikuasainya sangat baik. Dia meraih juara satu untuk cerdas-cermat dalam bahasa Inggris se-Aceh Utara dan Lhokseumawe, yang dilaksanakan Save The Children, tahun 2009 lalu. Selain itu, ia menjadi langganan juara satu pidato bahasa Inggris yang diselenggarakan untuk lingkungan santri di dayah tersebut setiap tahun. “Alhamdulillah, saya terus berupaya meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Dengan kemampuan anugerah Allah, saya ingin mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Jika menggunakan biaya sendiri, orangtua saya tidak mampu. Ibu saya hanya petani biasa, sedangkan ayah sudah meninggal dunia,” sebut Fadli. Pria yang lahir di Desa Buloh Beurghang, 23 Juli 1993 silam itu juga jago ceramah. Buktinya, tahun 2010 lalu, dia menyabet juara satu lomba khutbah Jumat tingkat Kecamatan Tanah Luas. Meski terlahir dari keluarga kurang mampu, Fadli tidak minder. Dia terus bekerja keras memperbaiki nasibnya. Memperdalam kemampuan bahasa inggris, dan pengetahuan umum lainnya. Dia berharap, satu hari nanti, dia bisa memberikan yang terbaik untuk ibunya. “Saya ingin, ke depan, bisa membahagiakan ibu saya. Bisa memberikan beliau kehidayan yang layak. Semoga Tuhan mendengar do’a saya,” pungkas Fadli. (masriadi sambo)

00.07 | Posted in , | Read More »

Dari Lhoksukon, Mencetak Cendekiawan Muslim


SUASANA sejuk langsung terasa begitu memasuki Dayah Terpadu Al Muslimun di Desa Meunje, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Halaman dayah itu dipenuhi pohon sawit nan rindang. Dayah ini didirikan 21 Desember 1984, namun aktivitas belajar-mengajarnya baru dimulai tahun 1991 silam.

“Saat itu, seorang pengusaha H Rusli Puteh, berinisiatif mendirikan dayah ini. Konsepnya dayah terpadu. Karena, di zaman itu, seluruh jenis pendidikan terpusat di Lhokseumawe. Maka, dayah inilah dayah pertama yang lahir di Kecamatan Lhoksukon,” ujar Pimpinan Dayah Al Muslimun, H Arif Rahmatillah Jafar Lc, kepada Serambi, kemarin.

Dibangun di atas lahan seluas 14 hektare, dayah itu memadukan kurikulum dayah salafi, kementrian agama, dan kurikulum dayah modern. Hasilnya, santri dituntut mampu membaca kitab kuning, dan melek teknologi informasi. Untuk itu dibangunlah madrasah tsanawiyah dan aliyah.

Fasilitas pun dilengkapi dengan laboratorium komputer, laboratorium bahasa, perpustakaan dengan 1.000 judul buku dan kitab, serta ruang belajar dan asrama yang refresentatif. “Kami bangun perlahan, Sumber dananya macam-macam, ada bantuan dari NGO Jepang, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Aceh Utara serta masyarakat yang ingin menyumbang ke dayah ini,” ujar Arif.

Pria berkacamata itu menuturkan, Al Muslimun ingin menciptakan cendekiawan muslim yang memiliki kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, dan keluasan ilmu melalui proses pendidikan yang integratif dan komprehensif. “Untuk mencapai itu, kami tingkatkan kuwalitas di pendidikan umum. Hasil UN, 100 persen lulun. Salah satu syarat naik kelas, santri harus hafal empat juz Quran, berakhlak baik, dan lain sebagainya,” ujar Arif.

Alumnus dayah itu kini mencapai 1000 orang. Tersebar ke seluruh pelosok Aceh. Bekerja di berbagai bidang. Sebagian mendirikan dayah di kampung halamannya. “Sebagian lainnya bekerja di kantor pemerintahan,” ujar Arif.

Proses belajar, siang hari, santri menimba ilmu di madrasah tsanawiyah dan aliyah. Sore hingga malam hari, para santri bergelut dengan kitab kuning dan menghafal ayat-ayat Alquran.

Saat ini, dayah itu memiliki 560 santri dengan 68 tenaga pengajar. Sebagian besar tenaga pengajar itu lulusan Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. “Kami terus berupaya mengembangkan pendidikan Islam di Lhoksukon ini. Saat ini, kami sedang menyusun persiapan pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Muslimun. Semoga bisa terealisasi segera,” ujar Arif.

Sebagai tangung jawab sosial, Al Muslimun juga menerima santri dari keluarga tidak mampu. “Untuk sementara kami khususkan untuk desa-desa yang ada di sekitar dayah, misalnya Desa Meunje, Meunasah Trieng, dan Desa Alue Buket. Kami minta ke kepala desanya, jika ada pelajar yang tidak mampu, silahkan sekolah dan belajar di dayah ini. Kami beri pendidikan gratis,” pungkas Arif.

Sore terus meranjak. Aktivitas dayah kini sepi. Seluruh santri pulang kampung ke seluruh pelosok Aceh. Menjadi dai Ramadhan utusan Al Muslimun.(masriadi sambo) data al muslimun
Didirikan 21 Desember 1984
Pendiri : H Rusli Puteh
Ketua Pembina : H Rayendra Alamsyah
Ketua Yayasan : H Ismail Johan
Pimpinan Dayah : H Arif Rahmatillah Jafar Lc

22.48 | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added