MOST RECENT

Kepiluan di Madrasah Tsnawiyah Tanah Pasir


PAGI itu, Rabu (13/7), sebanyak 11 pelajar kelas 1 MTs Swasta Tanah Pasir di Desa Kumbang, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, memasuki ruang kelas. Sekolah tersebut baru kali pertama menerima pelajar baru. Pelajar yang berasal dari keluarga tak mampu itu sebagian tak memakai sepatu.

“Kami membuka sekolah ini dengan semangat penegakan syariat Islam. Di Tanah Pasir, tak ada satu pun sekolah di bawah Kankemenag dan akhir tahun 2009 muncul aliran sesat salek buta. Kami mau anak-anak di Tanah Pasir kuat dasar agamanya, hingga tak terpengaruh aliran sesat,” ujar Kepala MTsS Tanah Pasir, Yusuf SPd, kepada Serambi, kemarin.

Ditambahkan, kini pihaknya merekrut enam guru untuk mengajar di sekolah itu. “Guru ini sukarela. Kami belum bicarakan gaji. Tapi, mereka sangat mendukung sekolah ini. Kami juga tak memungut biaya apa pun dari anak-anak di sekolah ini,” ujar Yusuf.

Meski tak memiliki fasilitas yang memadai seperti laboratorium dan perpustakaan, Yusuf dan guru bertekad sekolah itu tetap berjalan. Menurutnya, kepiluan di awal mulai tahun ajaran bisa dijadikan semangat untuk mendidik generasi masa depan bangsa. Amatan Serambi, sekolah itu hanya memiliki tiga ruang masing-masing dua ruang untuk kelas dan satu ruang untuk guru.(masriadi sambo)

pelajar mtss tanah pasir
-Yunita
- Ulfa Mahera
- Isnaini Saputra
- Elda Rahmi
- Gava Rizki
- Yusniar
- Maulana Rizal
- Romi A
- Fakhrurrazi
- Sulaiman
- Zulfikar

03.35 | Posted in , | Read More »

Berwisata ke Rumah Cut Meutia


SEJUMLAH remaja, anak-anak dan orang tua berkumpul di Rumah Cut Meutia di Desa Menasah Mesjid, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara, Minggu (17/7). Mereka datang dari dari Kota Lhokseumawe dan sebagian dari kecamatan setempat.

Ya, hari itu, rumah pahlawan nasional tersebut ramai dikunjungi warga. Tidak seperti hari biasanya, rumah itu dibekap sunyi. “Kalau hari Minggu, agak ramai. Sebagian besar yang datang orang dari Matangkuli dan Lhoksukon,” sebut Maryani (50), penjaga rumah itu didampingi anaknya, Muslem.

Pekarangan rumah itu terlihat bersih dan teduh. Sejumlah pohon besar dan bunga menghadirkan kesejukan tersendiri. Di rumah itu ada tiga lumbung padi, satu monumen perjuangan Cut Meutia, satu lesung penumbuk padi, satu balai pengajian, satu kolam kecil, serta satu rumah induk. Sedangkan dalam rumah, hanya ada beberapa foto kusam tentang perjuangan Cut Meutia tempo dulu.

“Kami tidak memungut biaya apa pun dari pengunjung. Jika mereka memberikan seikhlas hati, ya kami terima,” ujar Maryani. Wanita ringkih ini telah 15 tahun merawat dan membersihkan rumah srikandi Aceh itu.

Sementara seorang pengunjung, Yulia (25) warga Desa Bungong, Pirak Timu, Aceh Utara menyebutkan dia dan teman-temannya setiap akhir pekan mengunjungi rumah itu. Mereka memanggang ikan dan ayam di pekarangan rumah itu. “Di sini suasananya sejuk. Makanya, saya ajak teman-teman berwisata ke mari. Lagi pula tempat wisata lain di Aceh Utara banyak yang ditutup, karena alasan penegakan syariat Islam” ujar Yulia.

Menurutnya, ketika mengunjungi rumah itu ada semangat baru yang timbul. “Cut Meutia wanita yang gagah melewati seluruh penderitaan ketika melawan Belanda tempo dulu. Wanita Aceh sekarang ini juga harus kuat, harus bisa berguna bagi seluruh masyarakat. Kita harus bisa mencontoh Cut Meutia,” sebut Yulia.

Dia berharap, ke depan Pemkab Aceh Utara makin rajin mempromosikan situs sejarah itu. Sehingga makin banyak masyarakat Aceh yang datang berkunjung ke tempat itu.(masriadi sambo)

fasilitas rumah cut meutia
- Tiga lumbung padi, satu monumen perjuangan Cut Meutia, satu lesung penumbuk padi, satu balai pengajian, satu kolam kecil, serta satu rumah induk dan foto tentang perjuangan Cut Meutia tempo dulu
- Cut Meutia syahid 25 Oktober 1910 ditembak oleh tentara penjajah Belanda
- Makamnya di Pucok Krueng Keureutoe, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara

03.30 | Posted in , | Read More »

Duka Aceh dalam Sejarah





Dikutib dari Blog Resensi Buku

Judul: Lampuki
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Serambi
Terbit: Mei 2011
Halaman:433 halaman

KONFLIK
di Aceh menyisakan luka. Bukan hanya untuk warga Aceh, namun juga untuk mereka yang diterjunkan ke daerah konflik dengan dalih meredam pemberontakan. Dendam dan nafsu pembalasan seperti menjadi nafas bagi kubu yang saling bertikai. Kedamaian menguap, menyisakan amarah, kepal tangan serta kesumat. Hampir tidak ada jeda untuk memikirkan kemajuan-kemajuan riil di masa depan.


Kemajuan, kemerdekaaan serta kesejahteraan pun diterjemahkan secara berbeda-beda oleh pihak-pihak yang ekstrem berseberangan. Akhirnya, tidak ada pihak yang menang atau kalah. Keduanya mengalami kerugian yang sia-sia. Arafat Nur secara jelas mengungkapkan hal-hal itu dalam Lampuki. Di dalam novel ini ia mengisahkan segala problema, dinamika serta gejolak masyarakat Aceh, ketika para pemberontak Aceh dan serdadu pemerintah saling mengarahkan senjatanya.


Menariknya, Arafat Nur tidak mengetengahkan kesemuanya dengan amarah ataupun emosi keberpihakan. Sebaliknya, ia mengungkapkannya dengan satir, sindiran, sinisme, sampai olok-olok. Inilah yang membuat Lampuki terasa berbeda jika dibandingan dengan novel-novel lain dengan latar belakang konflik lokal lainnya. Lampuki tidak hadir untuk memihak, melainkan melakukan protes keras kepada semua pihak.

Ia ingin menelanjangi bahwa pihak-pihak yang bertikai hanyalah orang-orang yang justru menambah beban dan penderitaan rakyat biasa. Justru rakyat biasalah yang menanggung segala akibatnya. Oleh sebab itu, Arafat tidak segan untuk mengatakan bahwa orang yang mengaku pemimpin perjuangan rakyat Aceh--yang dalam novel ini diwakili oleh Ahmadi--adalah seorang pengecut.

Ketika kampungnya disatroni oleh serdadu misalnya, wajah Ahmadi digambarkan tiba-tiba menjadi kecut. Ia seperti raja malang yang kehilangan kuasa dan martabat. Sinar matanya meredup dan kumisnya terkulai tiada daya. Padahal Ahmadi mencitrakan dirinya sebagai sosok yang angker. Namun semua itu hanya kulit belaka. Sesungguhnya Ahmadi adalah orang tanpa perhitungan, tidak peduli kepada orang lain dan juga pengecut.

Arafat mendeskripsikan Ahmadi sebagai sosok yang membosankan, dengan kumis tebal yang memuakkan. Menghadapi fakta itu, tokoh "aku" dalam novel ini hanya bisa diam karena ia sendiri dalam posisi terintimidasi. Sementara itu, Arafat menjuluki serdadu, alias tentara yang ditugaskan untuk meredam kaum separatis, sebagai pasukan beringas yang sering melakukan pembantai dan kekejian terhadap rakyat kecil.

Selain itu, di sana-sini Arafat kerap melemparkan kisah-kisah jenaka dari tokoh-tokoh yang "berseliweran" di dalamnya. Ini bukan sekadar humor, melainkan sebuah komedi masyarakat yang di dalamnya hadir kritik maupun gugatan. Secara keseluruhan, tampak Arafat ingin mengajak pembaca melihat konflik Aceh dengan cara yang berbeda. Ia tidak ingin memerangkap pembacanya pada pengutuban "salah-benar" atau "Jakarta-Aceh".

Sebaliknya ia ingin pembaca melihat konflik dengan perspektif yang lebih luas. Di sini bukan hanya sisi politis yang diungkap, tetapi juga sisi sosiologis dan ekonomis masyarakat Aceh. Di sanalah persoalan-persoalan kemasyarakatan menggantung.***

03.23 | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added