Merasakan Perbedaan Antarbudaya
RESENSI > MASRIADI SAMBO
Judul : Beda itu Berkah
Penulis : DR Leila Mona Ganiem
Tebal : 194 Lembar
Penerbit : Akmed Publishing, Jakarta , 2009
Harga Jual : Rp 23.000
SEBUAH pesan singkat masuk ke telepon selular saya, Kamis, 7 Januari 2009. Mengejutkan, Dr Leila Mona Ganiem, seorang ibu muda yang kini mulai menekuni komunikasi antar budaya member kabar bahwa buku perdananya tentang antar budaya sudah terbit. Tidak lama kemudian, saya mendapatkan buku itu.
Lama tidak berkomunikasi dengan teman yang satu ini membuat saya terkejut. Beberapa bulan lalu, dia hanya bercerita sedang menyiapkan buku tema religi dan budaya. Mengejutkan, perjalanan panjangnya sembari menyelami dunia tulis-menulis, dan mengajar di beberapa kampus terkemuka di Jakarta, menghasilkan buku yang menurut saya masih sangat langka ditelaah oleh pemikir negeri ini.
Buku yang diberi judul Beda itu Berkah ini menjadi akhir sebuah perjalanan panjang Mona-panggilan saya buat Dr Leila Mona Ganiem. Buku ini, layaknya sebuah tulisan feature dalam dunia jurnalistik. Ditulis dengan gaya bertutur, dengan perpaduan unsur ilmiah di dalamnya. Sehingga, pembaca tidak akan muak membaca 40 bagian cerita yang ditulis dalam buku setebal 194 halaman.
Ide awal buku ini adalah merekam bagaimana potret komunikasi antar budaya di Indonesia. Seperti kita ketahui, Indonesia memiliki ribuan suku dan bahasa daerah. Tentu, ragam budaya suku bangsa itu pun berbeda. Satu-sama lainnya, memiliki karakter khusus. Juga bahasa, terkadang kata yang sama memiliki arti yang berbeda, pada suku yang berbeda pula. Sebut saja misalnya, kata “Apa” dalam bahasa Indonesia berarti sebagai kata tanya, sedangkan “Apa” dalam bahasa Aceh berarti paman, atau adik laki-laki dari ibu. Hal-hal seperti ini lah yang direkam oleh Mona dalam buku yang mengejutkan kalangan praktisi dan akademisi Ilmu Komunikasi di Indonesia itu.
Terkadang, perbedaan kata itu memang menghadirkan kelucuan tersendiri. Namun, tak jarang pula menghadirkan “perang” bila memahaminya secara sempit dan tanpa memiliki keterbukaan pemikiran. Nah, Mona menyebutkan ini menjadi manusia antarbudaya sebenarnya. Selain itu, lihatlah bagaimana ibu berambut pendek ini menguraikan perbedaan raut muka dalam tataran praktis dan teoritis. Dia menceritakan pengalamannya ketika masih menjadi mahasiswa dan mempertanyakan soal apakah ekspresi wajah seseorang budaya atau memang keturunan semata? Pertanyaan ini dilemparkan pada sang dosen. Mendengar pertanyaan, banya argumen yang keluar dari teman-teman Mona. Ada yang seenaknya menjawab bawaan lahir, ada pula yang sepakat dengan kata bahwa ekspresi wajah memiliki cirri khas seseorang dari suku tertentu. Artinya, tergolong dalam budaya.
Mona pun merangkum ekspresi wajah itu menjadi tiga versi. Pertama, umumnya orang percaya bahwa perasaan bahagia, sedih, marah memiliki kesamaan pada banyak orang dimanapun. Pernah ada riset antara kelompok tuna netra dan kelompok yang berpenglihatan normal seperti apa kata David Matsumoto.
Ternyata gerakan otot muka kedua kelompok ini relatif sama dan membentuk ekspresi yang serupa. Jadi disimpulkan bahwa sifat genetik yang mengatur sumber ekspresi emosi dan ekspresi wajah, tidak ditentukan dari hasil pengamatan, karena orang yang berpenglihatan normal maupun penyandang tuna netra, mengatur ekspresi wajah dengan cara yang sama. Pakar lainnya, Darwin (1872) juga mempercayai adanya kesamaan dalam ekspresi pada budaya berbeda. Menurutnya ini adalah karakter bawaan lahir pada semua manusia.
Kedua, versi dari beberapa ilmuwan yang menyangkal pemikiran Darwin dan keyakinan banyak orang tadi. LaBarre (1947), misalnya, dia percaya bahwa ekspresi emosi dipengaruhi budaya. Birdwhistell (1963) menyampaikan hipotesis bahwa tidak ada ekspresi yang memiliki arti universal. Semua gerakan itu adalah produk budaya, bukan diturunkan secara biologis.
Ketiga, adalah Ekman (1972) yang merangkum dua pemikiran ini. Menurut Ekman, keduanya benar. Ekspresi emosi wajah adalah diturunkan, tapi bagaimana mengekspresikannya, merupakan produk budaya. Jika dibandingkan orang dibudaya individualis dan kolektifis, dapat terlihat perbedaan yang cukup penting. Orang kolektifis seperti Indonesia , Jepang , Korea , cenderung menjaga keharmonisan, kerjasama dan kepaduan kelompok daripada orang individualis. Orang individualis seperti USA atau Inggris, ketika menyatakan perasaannya, mereka cenderung menyampaikan secara vulgar dalam ekspresi wajah, suara dan kata. Bagi orang individualis, kekurangsetujuan orang lain tidak menjadi penting. Sementara orang Jawa yang kolektifis, jika tidak suka akan suatu tindakan paman atau bibi, belum tentu akan menyampaikannya pada mereka secara langsung, maupun menampakkannya dalam ekspresi wajah. Mereka khawatir akan menimbulkan keretakan hubungan.
Beberapa riset menyebutkan, suku Jepang dan Cina paling pintar menyembunyikan rasa amarahnya. Ketika ada orang lain, mereka akan berusaha untuk tersenyum. Tentu, akan berbeda reaksinya ketika mereka menahan amarah dalam kondisi berada di kamar dan sedang sendiri. Luapan emosi Paling fenomenal, Mona mengambil contoh senyuman almarhum Amrozi, salah satu tersangka, teroris yang kini telah meninggal dunia karena hukuman tembak. Senyum Amrozi ketika ditangkap, menimbukan kemarahan besar pada orang Australia . Amrozi memang ramah, ketika diinterogasi pun, dia kerap senyum. Orang Jawa umumnya dikenal suka tersenyum Orang Jawa bahkan masih dapat tersenyum saat sedang membicarakan kematian salah seorang anggota keluarganya. Padahal, senyum itu tak selalu dimaksud untuk menunjukkan kegembiraan tetapi untuk menenangkan diri. Bagi orang bukan Jawa, senyum dikala itu dirasa ganjil
Ada ketegangan bilateral ketika Amrozi tersenyum sewaktu bertemu dengan Kapolri Dai’ Bachtiar. Berita pertemuan tersebut yang menghiasi media massa asing saat itu, mendapat protes keras dari Alexander Downer, Menlu Australia (Kompas, 14/11/2002). Negara ini menanggung 66 korban meninggal dari sekitar 180 korban peledakan bom Bali. Bagi mereka, apapun alasan senyuman itu, dinilai sebagai hal yang tidak lumrah oleh pers internasional.
Lalu, budaya mana yang paling tidak mudah mengontrol ekspresi wajah? Dalam suatu riset, dilakukan dengan cara role play, beberapa orang USA diberi kejutan, lalu reaksi orang tersebut diperlihatkan pada orang Australia dan New Guinea. Dalam riset tersebut ditemukan bahwa orang Australia yang menilai ekspresi orang Amerika cenderung lebih akurat daripada orang New Guinea dalam menilai orang Amerika. Artinya, orang budaya yang sama cenderung menganalisa ekspresi emosi dengan persepsi sama, daripada orang budaya lain.
Buku ini semakin menarik, karena Mona menggunakan pola bertutur orang pertama tunggal. Dia menggunakan kata “Saya” untuk memulai tulisannya. Ini kiat bercerita yang baik dan terkesan tidak menggurui. Ini salah satu cara pula, agar membahas budaya itu tidak membosankan. Budaya dan sejarah memang dua ilmu yang berat dan susah untuk diceritakan dengan mudah. Mona telah melewatinya.
Namun, sayangnya, buku ini tidak mencantumkan tanggal kejadian yang dicerita Mona. Idealnya, tanggal harus dicantumkan. Sehingga, terkesan buku ini memang dari sebuah kisah nyata, yang kemudian dianalisis secara ilmiah dalam konteks Ilmu Komunikasi antar Budaya. Pada cetakan berikutnya, saya pikir perlu memasukkan tanggal pasti kejadian yang diulas dalam cerita ini. Meski begitu, buku ini patut dan layak untuk dibaca oleh praktisi pers, konsultan SDM, dan seluruh kalangan yang gemar mengkaji komunikasi secara utuh. Ditambah lagi, pengantar Prof Dedy Mulyana, semakin melengkapi buku ini menjadi sangat nikmat untuk dibaca, dan sangat penting.
Tabloid KONTRAS Nomor : 523 | Tahun XI 14 - 20 Januari 2010