MOST RECENT

SOSOK [2]


Calon Dokter Atlet

SOSOK mungil, tidak membuat orang yakin bahwa dara yang satu ini jago mengayunkan raket. Lincah berlari kedepan, kebelakang. Mata tajam menatap bola. Melakukan smash tepat pada titik yang “mematikan” lawan. Itulah, Siti Ardila Ringusti. Sulung dari dua bersaudara ini, sejak kecil menggemari olahraga bulu tangkis. Dia tak bisa melihat raket tergantung. Pasti langsung beraksi. Mengayunkan raket ke kiri dan kanan. Lalu tersenyum puas.

“Saya ini belum ada apa-apanya. Saya masih banyak belajar,” ujar Ringusti, panggilan akrab Siti Ardila Ringusti, Sabtu (27/12). Dara yang memiliki lesung pipit ini menyebutkan, orangtuanya sangat mendukung aktifitasnya dibidang olah raga. “Kan olahraga bisa meminimalkan kenalakan remaja, begitu kata orang tua ha ha,” katanya terbahak.

Bakatnya dibidang bulu tangkis terlihat sejak kecil. Dia juga tercatat sebagai atlet bulu tangkis Aceh Utara sejak tahun 2001. Satu tahun kemudian, dia mengikuti turnamen bulu tangkis usia dini se-Aceh. Dia menggondol medali perunggu. Prestasi ini juga membuatnya menerima beasiswa Sampoerna Fondation. ”Saya belum puas. Saya terus berlatih,” ujar Ringusti.

Siswa SMA Negeri 1 Tanah Jambo Aye, giat berlatih. Tak hanya itu, penggemar Susi Susanti ini sering memperhatikan gaya bertanding atlet bulu tangkis internasional. Liliana Natsir, menjadi salah satu pemain Indonesia favortinya. Tahun 2004,

Ketika duduk dibangku SMP, tahun 2004 silam, dia kembali turun dalam turnamen. Ya, turnamen bulu tangkis putri se-Aceh. Ringusti belum beruntung, dia hanya mampu menduduki juara tiga saat itu. Kesal akan prestasinya yang tak meningkat, dia semakin giat berlatih. Hasilnya, tahun 2005, Ringusti meriah juara satu turnamen bulu tangkis putri se-Aceh.

Ringusti kembali mengejutkan pecinta olahraga bulu tangkis di Aceh. Pekan Olahraga Pelajar (Popda) X di Bireuen baru-baru ini dia mampu meraih juara satu. ”Saya tak pernah turun ganda. Saya selalu tunggal. Lebih leluasa,” ungkap Ringusti.

Lagi-lagi, prestasi ini membuatnya mendapat beasiswa dari Sampoerna Fondation. Ditahun yang sama, Popwil se-Sumatera yang digelar di Batam baru-baru ini, dia diturunkan. Namun, nasib belum berpihak. Ringusti kalah dan tak bisa mempersembahkan medali untuk Aceh Utara.

Lalu, bagaimana pandangan Ringusti terhadap minat pelajar Aceh terhadap bulu tangkis? ”Wah banyak faktor kenapa pelajar kurang suka bulu tangkis. Sarana dan tempat latihan tak ada. Jadi, bagaimana mau latihan. Perhatian pemerintah terhadap atlet berprestasi juga rendah sekali. Ini mungkin, yang membuat teman-teman pelajar lain enggan terjun bidang olahraga,”katanya diplomatis.

Ringusti berharap agar Pemerintah Aceh dan Pemerintah Aceh Utara memberikan perhatian serius terhadap atlet berprestasi. Selain itu, juga diberikan pembinaan yang mapan. Sehingga, siap ketika bertanding dan membawa medali untuk Aceh Utara.

Meski begitu, dara yang bercita-cita menjadi dokter ini berharap bisa eksis pada cabang bulu tangkis. ”Ini bukan saja hobi. Bagi saya, bulu tangkis sudah mendarah daging. Nikmati sekali olahraga ini,” katanya.

Jadi, ingin jadi dokter? ”Kalau jadi dokter, nanti para atlet olahraga apa pun jenisnya, di-discont biaya berobatnya hehehe,” kata Ringusti terbahak. Sukses ya, pantang mundur, dan tetap semangat. [masriadi sambo]

23.31 | Posted in | Read More »

SOSOK [1]

Calon Orator Tangguh

KACAMATA minus membuat gadis ini tampak lebih berwibawa. Tatapan matanya tajam. Gaya bicaranya lugas. Singkat, tepat, dan tidak suka basa-basi. Itulah Husniati (16 Tahun). Putri dari pasangan Ibrahim , dan Fadhilah, ini sejak kecil gemar berbicara tegas. Bahkan, ketika duduk dibangku sekolah dasar (SD) kelas satu dia telah bisa membaca. Usai membaca, dia mengulangnya. Mengikuti gaya da’i kondang di televisi.

“Saya hanya suka saja. Terus, saya coba ulangi kembali apa yang saya baca. Agar lebih mengingat saja,” terang Husniati, kepada Independen, Kamis (18/12) . Gadis ini juga meraih juara umum selama sekolah di SD 16 Lhoksukon. Juara umum juga diraih selama meudagang (modok di dayah) Jeumala Amal, Lueng Putu, Pidie. Dia juga sekolah di MTs S Jeumala Amal.

Karena kecerdasannya dia juga didaulat menjadi Miss Jeumala Amal 2004-2005. Bersama teman-temannya di dayah populer di Aceh itu, dia juga menjuarai lomba cerdas cermat, nasyid, dan lomba shalawat yang disenggarakan di kompleks dayah saban tahun. ”Keluarga mensyaratkan SMP itu harus di dayah. Ini berlaku bagi semua saudara saya. Jadi, bekal sebelum remaja,” ungkap Husniati terbahak.

Puas dengan itu? Tidak. Dara penggemar warna hijau ini mengatakan, hingga saat ini dia merasa belum memberi yang terbaik bagi orang tuanya. Targetnya, membahagiakan orang tua belum tercapai. Dia ingin, orang tuanya bangga pada prestasi yang diraih. Kini dia menimba ilmu di SMA 3 Putra Bangsa, Lhoksukon, Aceh Utara. Dari sini, dia melaju ketingkat kabupaten. Dia menjuarai specch contest, pidato bahasa inggris di Politeknik Lhokseumawe baru-baru ini. Selain itu, dia juga merebut juara II, penilaian remaja putri berprestasi tiga kabupaten (Aceh Utara, Bireuen, dan Kota Lhokseumawe). Gadis ini berapi-api ketika menyampaikan pidato. Dia bak orator ulung Indonesia, dan Presiden RI pertama, Soekarno. Lengkap dengan tatapan mata, dan bahasa tubuh yang sesuai. Pesan, tatapan mata, bahasa tubuh, semuanya disesuaikan. Ini kelebihan utama gadis ini.

“Saya merasa belum ada apa-apanya. Saya ingin berbuat lebih baik, untuk sekolah, untuk masyarakat, dan khusus untuk orang tua,” sebutnya merendah.

Apa kiat sukses Husniati? Dia tersenyum. Gadis ini menyebutkan, dia tidak ingin menang sendiri dan egois pada kehidupan nyata. ”Saya tidak ingin menang sendiri. Jangan pernah mempunyai sifat itu. Jika sifat ini ada, kita tak akan bisa mendengarkan keluhan orang lain,” kata Husniati menutup perbincangan. [masriadi sambo]


23.24 | Posted in | Read More »

Jalan Panjang Tak Berujung


Undang-Undang Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) telah disahkan pemerintah 10 Desember lalu. BHP dinilai sebagai undang-undang yang tepat untuk melahirkan kampus yang mandiri dan otonom. Mengembangkan bidang ilmu dan pembangunan kampus, sesuai daerah masing-masing. Selain itu, BHP dinilai sebagai undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, yang mensyaratkan seluruh rakyat berhak menerima pendidikan yang layak.

Melalui pintu BHP, kampus-kampus negeri menjadi setengah swasta. Kampus bisa mengeluarkan kebijakan menaikkan biaya administrasi, dan sejumlah rentetan biaya lainnya. Ini yang dinilai sejumlah mahasiswa memberatkan rakyat. Toh, rakyat negeri ini belum kaya dan mampu menimba ilmu dengan biaya tinggi.

Paska disahkannya BHP, seluruh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh melakukan demontrasi. Menolak BHP, dan meminta mencabutnya.

Namun, sosiolog Universitas Syah Kuala (Unsyah) DR Saleh Syafi’i memiliki pandangan lain. Dia menyebutkan BHP sebagai dasar hukum untuk mewujudkan kampus mandiri. ”Jangan terlalu takut dengan BHP. Baca lagi konsiderannya. Disebutkan memang kampus sebagai lembaga nirlaba. Tidak mencari keuntungan,” kata Saleh.

Dia mengatakan, dengan BHP kampus menjadi lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan. Seluruh kebijakan kampus untuk menambah pondasi keuangan kampus, juga digunakan untuk kemapanan kampus. Masalahnya, siapkah orang-orang dalam kampus menjadi ”manusia setengah dewa”. Benar-benar tidak mencari keuntungan?

”Ini yang menjadi masalah. Seluruh Indonesia belum ada yang siap benar seperti itu. Namun, semuanya harus dimulai. Jadi, dimulai pelan-pelan, misalnya, tahun ini 20 persen saja BHP, tahun depan ditingkatkan lagi,” katanya.

Saleh sepakat dengan BHP. Dia menilai, jika orang kampus bersih dan menjalankan sesuai amanah BHP, maka kampus negeri akan semakin maju dan berkembang. Sebaliknya, pengamat sosial nasional asal Aceh, Al Chaidar memiliki pendapat lain. Al Chaidar menyebutkan BHP merupakan jalan panjang pemerintah untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap pendidikan. Pasalnya, pemerintah merasa berat untuk memenuhi biaya pendidikan sebesar 20 persen dari alokasi APBN. Sehingga BHP menjadi tindakan jelas untuk meringankan beban pemerintah. Padahal di Kanada, alokasi untuk biaya pendidikan mencapai 30 persen dari belanja rutin negara itu.

”BHP itu jelas-jelas membuktikan pemerintah melepaskan tanggungjawabnya dibidang pendidikan tinggi. Ini tidak baik, dan seharusnya dicabut saja BHP itu,” kata Al Chaidar kepada Independen, Kamis (25/12).

Dia menyebutkan, jika pemerintah tidak bisa mencerdaskan rakyatnya, artinya pemerintah sudah tidak berguna lagi. Sehingga, masyarakat harus merogoh kocek setebal-tebalnya untuk masuk ke perguruan tinggi.

Penulis buku tentang Aceh ini menilai, jika BHP dilaksanakan, maka kampus akan sama dengan lembaga pemerintahan lainnya. ”Di kampus akan ada mafia proyek. Tidak ada BHP saja, kampus sudah sangat sombong. BHP akan membuat kampus semakin sombong. Tidak ada yang bisa menjamin, pengelolaan kampus akan bersih nirlaba, tanpa mengambil keuntungan,” ketus Al Chaidar.

Dia menyebutkan, pemerintah perlu mencabut BHP tersebut untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Jika BHP tidak dicabut, maka kaum miskin tidak akan bisa menimba ilmu di kampus. Pasalnya, biaya sekolah yang sangat tinggi. Tidak akan ada pula orang yang berani menjamin, bahwa keuntungan dari pengelolaan kampus akan diberikan pada kaum miskin yang cerdas dan ingin sekolah. Jika pun ada, pertanyaannya berapa persen uang keuntungan kampus diberikan untuk kaum miskin, dan berapa persen dikeruk masuk kedalam rekening pribadi? Entahlah, ini jalan panjang tak berujung pendidikan tinggi di negeri ini. [masriadi sambo]

23.22 | Posted in | Read More »

Empat Tahun Tsunami, Penantian Masih Panjang


DERETAN rumah tipe 36 itu dicat kuning tua. Atapnya dicat warna coklat. Mengkilap diterpa sinar matahari. Rumah yang terletak di Desa Blang Crum, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe itu ditempati oleh 163 kepala keluarga (KK) korban tsunami asal Desa Pusong, Keudai Aceh, dan Desa Pusong Baru, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe.

3 Maret 2008 lalu, mereka mulai menempati rumah itu. Sebelumnya, mereka bertahan di barak pengungsian Desa Mon Geudong, Lhokseumawe. Sepanjang jalan menuju komplek perumahan korban tsunami itu, rusak parah. Jalan berlumpur. Harus berhati-hati mengendarai kendaraan melewati jalan itu.

Memasuki komplek, tampak anak-anak sibuk bermain. Sebagian masyarakat ikut dalam pembangunan parit di kompleks itu. Empat tahun tsunami, pembangunan infrastruktur masih banyak yang belum rampung. Lihat saja, mushala, masih dalam pengerjaan. Belum bisa difungsikan untuk tempat ibadah. Selain itu, rumah yang telah dibangun itu belum memiliki fasilitas sanitasi. ”Sebagian besar penutup toilet, tidak ada. Terbuka begitu saja. Pipa pembuangan toilet juga tidak ada. BRR mengatakan akan diberikan, entah kapan?” kata mantan koordinator pengungsi korban tsunami Mon Geudong, Faisal Za, kepada Independen, Kamis (25/12).

Faisal kini menetap disalah satu rumah korban tsunami itu. Selain itu, asbes rumah juga banyak yang bocor. Faisal menunjukkan asbes yang bocor dirumahnya. Jika hujan, Faisal, terpaksa meletakkan ember dibawah asbes yang bocor tersebut. ”Itu lumayan. Rumah lainnya, ada yang lebih parah asbesnya bocor,” terangnya.

Namun, persoalan lain muncul. Sebanyak 40 kepala keluarga (KK) korban tsunami masih menetap dirumah saudaranya di komplek itu. Hingga kini mereka belum mendapatkan rumah bantuan. BRR hanya membangun 163 rumah. Sebanyak 151 diantaranya telah ditempati. 12 rumah lagi, hingga kini belum jelas pemiliknya siapa?

Sebelumnya, BRR telah memberikan 12 rumah itu kepada korban tsunami. Lalu, dicabut kembali, dengan dalih mereka tidak berhak menerima bantuan. ”Kalau kita pikir, mana ada korban tsunami yang terlalu parah di Lhokseumawe. Semuanya sama, namun BRR mencabut hak korban tsunami itu. Sehingga, mereka menetap di Pusong,” kata Faisal.

Untuk 40 kepala keluarga yang belum mendapatkan rumah bantuan itu telah ditanggulangi Save The Children. 20 unit rumah panggung telah dibangun di Desa Mayang, Kecamatan Blang Mangat. Dalam waktu dekat, segera ditempati oleh korban tsunami di daerah itu. Sedangkan 20 unit rumah lagi, terletak di Desa Blang Crum. Rumah ini belum dibangun sama sekali. Lahan telah dibersihkan, pembangunan belum terlihat.

Artinya, 20 KK korban tsunami masih harus menunggu pembangunan itu rampung.

Terkait penarikan rumah yang dilakukan oleh BRR, Kepala Layanan Umum dan Informasi BRR Regional II Lhokseumawe, Yuli Asbar, baru-baru ini menyebutkan itu sesuai dengan aturan penertiban rumah. ”Tim penertiban rumah melihat siapa saja yang berhak dan tak berhak mendapatkan rumah. Makanya, ditarik kembali,” katanya. Yuli menyebutkan, rumah itu akan diberikan pada yang berhak. Soal sanitasi, juga akan dibangun kembali setelah tim penertiban turun dalam waktu dekat ini.

Sementara itu, Kantor Regional II Lhokseumawe telah ditutup secara resmi oleh Kepala Badan Pelaksana BRR, Kuntoro Mangkusubroto, 22 Desember lalu. Informasi yang dihimpun Independen, bagian perumahan kantor itu masih bekerja untuk melakukan penertiban rumah, mengkroscek permasalahan rumah di Aceh Utara dan Lhokseumawe hingga April 2009 mendatang. Sedangkan bagian lainnya, telah berhenti beroperasi di Kantor Regional II BRR Lhokseumawe.

Sementara itu, di Kecamatan Seuneuddon, sebanyak 33 KK korban tsunami tidak menempati rumah bantuan. Di Kecamatan Lapang, 12 KK korban tsunami hingga kini belum mendapatkan rumah bantuan. Empat KK diantaranya, hingga kini masih bertahan dibawah kolong meunasah Desa Kuala Cangkoi, Kecamatan Lapang, Aceh Utara.

Sudah empat tahun aloen buluek (tsunami) usai, namun hingga kini masyarakat korban tsunami masih menunggu di bawah kolong meunasah. Menunggu dirumah sanak famili. Sedangkan BRR resmi ditutup April 2009 mendatang. Setelah itu, korban tsunami harus sabar menunggu, pembangunan rumah usai. Entah sampai kapan mereka sabar menunggu? Entahlah. [masriadi sambo]

23.21 | Posted in | Read More »

Wisata Cet Langet

[Catatan Akhir Tahun 2008]
Oleh Masriadi Sambo

Ketua Komunitas Markas Biru di Lhokseumawe

TAHUN 2008 ditetapkan sebagai tahun investasi dan kunjungan wisata di Aceh. Hal ini ditandai dengan digelarnya pesta rakyat “Diwana Cakradonya” 12-14 April 2008 silam. Di situ, diundang sejumlah tokoh seni, budaya, dari dalam dan luar Aceh. Tak tanggung-tanggung, sejumlah pertunjukan seni, dan budaya juga dipentaskan. Di kaji pula, sejauhmana peran mukim, sebagai lembaga pemerintahan yang telah lama ada di Aceh.


Diwana Cakrodonya, sekaligus mendukung program Visit Indonesia Year 2008 yang dicanangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jero Wacik. Visit Indonesia juga ditetapkan sebagai tahun kunjungan wisata diseluruh Indonesia. Pemerintah mensyaratkan seluruh daerah, harus membenahi obyek wisata, menarik wisatawan asing untuk berkunjung, sehingga dengan sendirinya pendapatan asli daerah (PAD) sektor ini bisa digenjot.


Namun, apa yang terjadi di Aceh. Usai pagelaran Diwana Cakradonya, tidak semua daerah mampu mengembangkan sektor wisatanya. Sebut saja, misalnya Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Dua daerah ini, belum terlihat bisa menunjukkan sesuatu yang baru pada obyek wisata di daerah tersebut. Lihat pula Pantai Ujong Blang dan Pulo Seumadu, sebagai obyek wisata yang jorok, kumuh dan tidak tertata. Padahal, setiap akhir pekan, masyarakat dari Lhokseumawe dan Aceh Utara memadati obyek wisata itu. Jika melihat sisi keindahan, tak ada yang menarik di dua lokasi obyek wisata itu. Namun, masyarakat tak memiliki pilihan lain. Hanya obyek wisata itu yang tersedia.


Di Aceh Utara, ada air terjun Blang Kolam. Lokasi ini jauh ke pedalaman. Ketika konflik belum menyalak, lokasi ini menjadi tujuan utama para wisatawan lokal. Konflik membuat obyek wisata ini mati, tak ada yang berani mengunjungi. Saat ini, umumnya yang mengunjungi lokasi wisata itu, hanya para jurnalis yang meliput, dan mengabadikan air jatuh itu dengan kamera. Masyarakat sipil, enggan ke sana. Dinas Pariwisata, Aceh Utara mencanangkan akan membangun kembali obyek wisata ini. Namun, hingga akhir tahun belum terlihat upaya konkrit untuk mengembalikan ruh obyek wisata itu.


Jika menurut program Gubernur Irwandi Yusuf dengan Diwana Cakradonya, serta program Visit Indonesia Year, Jero Wacik, merupakan program yang baik, bijak, dan sangat fantastis. Indonesia dan Aceh, memiliki alam yang indah dan memiliki potensi wisata yang luar biasa. Rasakanlah kesejukan air terjun Blang Kolam. Ditambah dengan suara burung yang berkicau, keindahan alam yang masih ”perawan” merupakan modal awal untuk menarik wisatawan. Namun, hal itu belum dimanfaatkan. Kabarnya, dinas terkait kesulitan dana untuk melakukan itu. Untuk Lhokseumawe, tahun 2008, dana bidang wisata hanya Rp 140 juta. Kabarnya, tahun 2009 malah semakin menciut menjadi Rp 75 juta.


Dengan anggaran yang diplotkan itu, tentu program kunjungan wisata merupakan program cet langet . Dalam bahasa Aceh, cet langet (mengecat langit). Tidak akan mungkin bisa mengecat langit. Dan, tak akan mungkin pula bisa merubah wajah wisata di Lhokseuamawe dengan alokasi dana hanya Rp 75 juta per tahun.

Untuk menata para penjual rujak di Pantai Ujong Blang saja, uang itu pasti tidak cukup. Belum lagi membangun sarana ibadah, toilet dan fasilitas pendukung lainnya. Mustahil bisa dilakukan. Aceh Utara juga mengalami kurang lebih sama dengan Lhokseumawe. Sejumlah obyek wisata sejarah, seperti Makam Ratu Nahrisyah, Makam Sultan Malikussaleh, belum menjadi pusat perhatian para wisatawan.


Local Wisdom

Kearifan lokal (local wisdom) merupakan kunci utama menarik perhatian wisatawan mancanegara. Bali dikenal didunia, karena pendekatan budaya lokal yang disajikan pada para pengunjung. Begitu juga dengan Brastagi, Sumatera Utara dan daerah wisata lainnya. Namun, Aceh tampaknya belum memperhatikan kearifan lokal ini sebagai potensi yang bisa dijual. Lihatlah, wisata-wisata di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Kabupaten Bener Meriah. Ketenaran Danau Laut Tawar, Wih Pesam, Wih Kulus, dan lain sebagianya tidak mencerminkan kearifan lokal di sana. Tidak ada pula tarian saman gayo di daerah wisata itu setiap akhir pekan. Souvenir gayo juga tidak terlihat. Mengapa tidak menggali


Ini juga terlihat di Aceh Selatan, ketika berkunjung ke sana, saya tidak menemukan sovenir khas Aceh Selatan, dengan cerita dan legenda Tuan Tapa yang tersohor itu. Putri Bungsu, dan air terjun tujuh tingkatnya. Hanya ada cerita-cerita yang kita dengar dari masyarakat sekitar obyek wisata.


Untuk memajukan pariwisata di Aceh, tampaknya pemerintah di kabupaten/kota harus memperhatikan soal identitas lokal. Ini memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu, berikanlah alokasi anggaran yang lumanyan besar untuk mendesain obyek wisata lebih indah dan bagus.


Promosi wisata selama ini sangat kurang dilakukan. Ketika berkunjung ke obyek wisata Sultan Malikussaleh, hanya deretan makam yang ada di sana. Tidak ada museum kecil yang menyimpan catatan sejarah. Tidak ada pula buku sejarah tentang kerajaan islam pertama di Indonesia itu yang bisa dibeli di kompleks makam. Promosi wisata ke masyarakat luar Aceh juga belum dilakukan. Sehingga, banyak orang yang yang tidak mengetahui dimana letak kompleks makam Kerajaan Malikussaleh itu.


Akhirnya, tahun 2008 tidak menjadi tahun kunjungan wisata di Aceh. Tahun yang dicanangkan sebagai tahun wisata ini berlalu begitu saja. Saya pikir, harus ada langkah baru di tahun baru mendatang. Langkah nyata, untuk pariwisata Aceh. Semoga.

23.12 | Posted in | Read More »

Liputan Kutacane [3]


SEPULUH unit mobil L300 berjalan pelan, beriringan, dari Kutacane menuju Lhokseumawe, Sabtu (29/11). Dari Kutacane hingga Kecamatan Lawe Pakam, perbatasan dengan Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mobil berjalan mulus.





Tak berhenti. Lalu, seluruh penumpang diperiksa pos polisi di perbatasan itu. Razia ini rutin dilakukan. Karena, terkadang ada penumpang yang membawa ganja, untuk dijual ke luar kabupaten dengan sembonyan Sepakat Segenep itu.


Memasuki Kabupaten Karo, jalanan rusak parah. Mobil berjalan pelan. Hujan deras mengguyur perjalanan. Sesekali mobil berhenti, sopir berlari, tergesa-gesa menuju pos di pinggir jalan. ”Biasa bang, setoran tak resmi. Pungutan liar,” ujar Nasrullah, sopir mobil L300. Pria asal Kabupaten Pidie, itu menyebutkan banyak pos pungutan liar yang harus diberikan uang. Jumlahnya bervariasi, dari Rp 3.000 sampai Rp 15.000.


”Tergantung posnya juga. Ada yang terpaksa kita kasih Rp 15.000. Kita malas berurusan,” katanya. Anehnya, ada pula pos masyarakat. Kata Nasrul, pos jaga masyarakat di sepanjang jalan Kutacane – Medan, ini merupakan pos preman. Mobil terus berjalan. Sekitar 15 menit kemudian, dua orang remaja berdiri, di pinggir jalan. ”Ka lom, sepi Pak. Besok ya... Penumpang lagi sepi,” teriak Nasrul sambil melanjutkan perjalanan. Di belakang, tampak dua remaja itu mengumpat. Kalimat kasar keluar serabutan.


”Sepi Pak” dua kata yang terkadang terpaksa dikeluarkan oleh Nasrul. Maklum, malam itu, hanya empat orang penumpang yang menuju Kota Lhokseumawe. Padahal kapasitas penumpang mobil itu sepuluh orang. ”Ya, kadang-kadang harus berani. Bayangkan, untuk bensin saja, kami kewalahan. Masak dimintai lagi,” keluhnya. Praktik pungutan liar ini telah berlangsung lama. Para sopir ini sering dipalak. Jika tidak memberikan uang, maka mereka akan berurusan dengan oknum petugas polisi di sepanjang jalan itu. Motifnya, terkadang pura-pura melakukan razia. Ada-ada saja yang diperiksa.


Mulai dari tas, badan, hingga barang bawaan penumpang. Surat-surat kendaraan seperti STNK, dan SIM menjadi salah satu alasan. ”Beginilah nasib kami. Padahal, kalau cepat kita salamkan uang, langsung disilahkan jalan. Mereka hanya mau uang, pemeriksaan itu alasan saja,” kata Nasrul. Selain pungutan liar, bahaya lain yang menunggu adalah perampok. Mobil angkutan umum dari dan menuju Kutacane umumnya tak berani saling mendahului. Tujuannya, menghindarkan diri dari aksi perampokan.


”Kami kompak, untuk saling tunggu. Kalau dari Kutacane, kami berkumpul di perbatasan, di Lawe Sigala. Kalau dari Banda Aceh kemari, kami berkumpul dan berangkat bersama dari Titi Bobrok, Medan,” terang Nasrul. Praktik pungutan liar ini juga terjadi di sepanjang Jalan Medan-Banda Aceh. Namun, hanya razia saja yang disodorkan uang. Relatif sedikit. ”Kalau ada razia, kita berikan juga uang.


Terkadang, ya terpaksa bilang, sepi pak, besok ya,” kata Nasrul tertawa. Soal pungutan liar juga menjadi bahasan hangat pada musyawarah daerah Organisasi Angkutan Darat (Organda) ke IX di Banda Aceh, 11 November lalu. Sejumlah ketua Organda kabupaten mengeluhkan masih adanya praktik pungutan liar. Menanggapi itu, Sekretaris Jendral DPP Organda, Jend (Purn) Syarnubi Hasyim di Banda Aceh menyesalkan praktik pungutan liar itu. ”Itu ’kan ujung-ujungnya duit. Kita sesalkan ini,” ujar Syarnubi.


Menurutnya, Dinas Pehubungan, aparat keamanan dan seluruh instansi terkait agar memantau kinerja aparat kemanan di daerah. Karena, pungutan liar sangat berdampak pada geliat perekonomian di Aceh. ”Kalau angkutan darat di palak terus, ini akan berdampak pada perkembangan ekonomi. Ini merugikan Aceh,” sebut Syarnubi Hasyim. [masriadi sambo]

20.55 | Posted in | Read More »

Pembuktian Bang Yan Dalam Berkarya


CACAT bukan alasan untuk berhenti berusaha. Semangat menjadi modal utama. Tekad itu menjadi modal awal bagi Alfian M Basyir (60 Tahun). Warga Desa Blang, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara itu, mulai merintis bisnis furnitur. Meski kecil-kecilan, Bang Yan, panggilan akrab Alfian M Basyir, tetap semangat. Dia yakin, selagi matahari terbit, semua orang bisa berusaha. Tergantung tekad dan kemauan.
Dia juga yakin, manusia diciptakan memiliki ide dan gagasan untuk berkembang. Tatapan mata pria ini tajam. Dia tak malu memiliki kekurangan. Kakinya kecil, tidak seperti masyarakat lainnya. Namun, itu pula yang memicu semangatnya.
”Saya yakin, selagi matahari bersinar, saya masih bisa berusaha. Saya percaya, semua orang diberikan rezeki. Tinggal, cara mencarinya saja yang berbeda,” ujarnya di lokasi usaha miliknya di Desa Blang, Selasa (2/12) lalu.
Lelaki ini sebelumnya membuka usaha di Lamnyong, Banda Aceh. Kemampuan mengolah kayu, mengukir, dan menjadikannya perabot rumah tangga, didapat dari Balai Latihan Kerja (BLK) Banda Aceh, 1997 silam.
Usai pelatihan, dengan modal seadanya, dia memantapkan diri untuk membuka usaha. Dia terampil membuat lemari, meja makan, meja rias, dan seluruh perabotan rumah tangga. Usaha itu terus berkembang.
Dia bahkan optimis mampu mengalahkan pelaku bisnis yang sama di Banda Aceh. Jajaran kepolisian dari Polda NAD juga memesan perabotan hasil buatan Bang Yan. Maklum, dia sangat menjaga kualitas produknya.
Saat itu, dia menetap di Pasar Lamnyong. Istrinya menetap di Desa Blang, Tanah Pasir, Aceh Utara. Seminggu sekali, dia pulang menjenguk istri tercinta. Kebahagiaan dan puncak bisnisnya sirna, tepat 26 Desember 2004 silam.
Musibah ie beuna (tsunami) menghancurkan seluruh lokasi usahanya. Tak ada yang tersisa. Barang kesayangannya pun, gambar-gambar ukiran dari berbagai sumber, hilang disapu air bah mahadahsyat itu.
”Tak ada yang tersisa,” kenangnya melambung ke tragedi empat tahun silam. Matanya nanar menatap sebuah lemari yang sedang dikerjakannya. Usai tsunami, Bang Yan, masih bertahan di Banda Aceh. Sepeda motor butut miliknya yang tertimpa pohon ketika tsunami, kembali dia gunakan. Namun, Banda Aceh telah berubah.
Seluruhnya rata dengan tanah. Dia berpikir, tak mungkin bisa memulai bisnis kembali di ibukota Provinsi Aceh itu. Selain itu, Rubiah, istrinya selalu memesannya. Agar pulang ke kampung.
Dia juga rindu pada pelukan tiga orang anaknya. ”Saya putuskan pulang. Tapi, saya tetap membuka usaha, dengan uang seadanya, sisa bisnis di Banda Aceh,” kisahnya. Pria yang bercita-cita menjadi Sarjana Elektro itu, sesekali mengelap peluh yang membasahi keningnya. Meski kini hidup pas-pasan, dia tak pernah menyerah. Dia tak ingin mengais rezeki di jalanan. Dia tak ingin menjadi pengemis. ”Saya akan terus berusaha. Meski kaki saya, tidak normal, seperi kaki orang lain,” sebutnya.
Bang Yan mengatakan, peristiwa yang tak bisa dilupakan sepanjang hidupnya itu terjadi ketika dia kecil. Saat itu, dia demam. Panas badannya sangat tinggi. Saat itu, tidak ada bidan di kampungnya. Ibu Bang Yan, memutuskan membawanya berobat ke mantri kesehatan terdekat dengan desa tersebut. Malang tak bisa dihindarkan, mantri itu menyuntiknya dengan obat. Obat ini pula yang membuatnya kehilangan kaki yang kokoh. Kakinya hanya dibalut tulang. Sangat kecil. Kondisi panas tinggi, seharusnya tidak disuntik.
Namun, cukup diberikan obat saja. ”Saya baru sadar itu ketika remaja. Dulu, mana tahu. Suntik, ya suntik. Kaki saya jadi begini setelah disuntik. Sebelumnya normal,” ungkap Bang Yan. Meski begitu, Bang Yan tetap tabah. Menerima takdir yang terjadi. Kini, masa kejayaan bisnisnya telah sirna. Dia tak mempunyai fondasi modal usaha yang kuat untuk mengembangkan bisnis furnitur itu. ”Saya butuh sekitar Rp 20 juta untuk pengembangan bisnis ini,” katanya. Jangan khawatir memesan furnitur dari Bang Yan.
Meski terbatas kemampuan fisiknya, dia sangat teliti. Hasil buatannya halus dan padat. Pengecatannya pun mengkilap. Sangat rapi. ”Kalau ada orang yang mau memberi modal, saya pasti sangat senang,” harap Bang Yan. Siang itu dia terus bekerja. Mesin bor, martil, dan lain sebagainya berserakan di lokasi kerjanya. Harapannya menyala, menyongsong matahari terbit. Untuk kehidupan lebih layak. [masriadi sambo]

23.03 | Posted in | Read More »

Liputan Kutacane [2]

Berharap Rezeki di Kumbang Indah

TANGAN kecil itu terlihat gesit mengangkat cangkul, mematok parit di Komplek Perusahan Kumbang Indah, di Desa Kumbang Indah, Kecamatan Badar, Aceh Tenggara. Badan cekingnya dibalut peluh. Mengkilap diterpa sinar matahari. Itulah, Agusni (16 tahun).

Sudah empat minggu dia di kota itu. Bekerja sebagai buruh pembuatan parit di kompleks perumahan itu. Pria ini warga Desa Tanjong Dalam, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Bersama enam warga desanya, dia merantau ke Kutacane. Tujuannya tak lain, mencari rezeki. ”Ya, berharap bisa mencukupi kebutuhan uang Idul Adha nanti,” kata Agusni, Ahad (30/11) lalu. Pria ini tak pernah bermimpi menjadi kuli bangunan.

Namun, kesulitan ekonomi membuatnya berhenti sekolah. Dia hanya menamatkan pendidikan SMP Negeri 1 Langkahan. Orang tuanya, tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sewaktu kecil, dia pernah bercita-cita menjadi Tentara Negara Indonesia (TNI) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, nasib berkata lain. Di kampungnya, dia tak memiliki pekerjaan tetap. Sesekali dia bekerja sebagai kuli bangunan.

Dilain waktu dia bekerja sebagai pembajak sawah milik masyarakat desanya. ”Beginilah. Saya hanya berpikir, bagaimana mengumpulkan uang sekarang. Biar bisa buka usaha nanti, entah kapan!” keluhnya. Di Kutacane, dia bersama enam temannya mengontrak rumah ukuran 4 x 8 meter dengan biaya patungan. Biaya sewa rumah Rp 200.000 per bulan.

Gaji Agusni per hari hanya sebesar Rp 60.000. Gaji itu diambil per minggu. Dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 18.000 per hari untuk biaya makan. Ditambah biaya rokok, dan kebutuhan sehari-hari. ”Paling bisa disimpan Rp 20.000,” terang Agusni. ”Sekarang saya boleh begini. Tapi, saya berharap, bisa lebih baik nanti. Ya, ka lon lage nyo, aneuk lon teuman bek le (sudah saya begini, anak saya nanti jangan lagi),” katanya.

Cita-cita Agus melambung. Dia tak lagi berharap menjadi TNI, memegang senapan, dan berseragam loreng. Dia juga tak ingin menjadi orang kantoran. Maklum, ijazah tak ada.

Menurutnya, Indonesia, negara yang mengandalkan ijazah. ”Bagi kami yang tak sekolah ini. Ya, hanya bisa diam saja,” keluhnya. Kini, dia bercita-cita menjadi pengusaha. Memulai bisnis di kampungnya. Namun, untuk mencapai impian itu, dia harus kerja keras. Mengumpulkan uang. Filosofi hidupnya, kumpul sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit.

”Saya bekerja kemari juga karena ingin lebih baik. Di kampung saja tak punya kerjaan. Bangun tidur saja entah jam berapa. Saya tak mau seperti itu. Makanya, ketika ada tawaran bekerja, ya saya terima. Meski pun menjadi buruh ha ha ha...,” katanya terbahak.

Jam telah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Terik matahari begitu menyengat. Memanggang bumi. Agus tak perduli. Dia mengambil cangkul, berjalan santai sambil bersiul. Menuju galian parit tak jauh dari rumah kontrak mereka. Satu waktu, dia menginginkan nasib berubah. Agus potrem buram pendidikan Aceh Utara.

Masih banyak anak di kabupaten itu yang mengalami putus sekolah. Data dari Dinas Pendidikan Aceh Utara, sebanyak 16.705 orang mengalami nasib yang sama seperti Agus, di bangku SMP. [masriadi sambo]

20.42 | Posted in | Read More »

UKM Sulit Susun Laporan Keuangan

Independen Lhoksukon

Usaha kecil dan menengah (UKM) di Aceh Utara kesulitan menyusun laporan keuangan, karena umumnya tidak dibekali dengan pengetahuan menyusun laporan pemasukan, pengeluaran dan tak paham membuat laporan rugi-laba. Hal itu terungkap dalam survey terhadap 30 UKM di Aceh Utara, Rabu (3/12). “Banyak UK M yang tak paham membuat laporan keuangan,” ungkap Manajer Pusat Informasi dan Pengembangan Bisnis (Pinbis) Kota Lhokseumawe, Sutan Febriansyah.

Dia menyebutkan, seharusnya pemerintah memberikan pengetahuan yang cukup tentang penyusunan keuangan pada para UK M di kabupaten itu. “Penyusunan keuangan itu penting. Untuk mengetahui sejauh mana kemajuan usaha itu,” kata Sutan. Arus cash flow (jalur kas masuk dan keluar) juga tak mampu disusun dengan baik. Umumnya, pelaku UKM masih menghitung pemasukan, pengeluaran dan biaya bahan baku dengan cara manual. Tanpa pencatatan jelas.

Hal itu diakui Fauzi, pemilik UKM Peci Aceh, di Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Dia mengatakan sejauh ini, dia tidak pernah mencatat dengan rapi jalur kas masuk dan keluar usahanya. Padahal, usaha itu telah berkembang dan mengirimkan peci Aceh ke berbagai daerah di Indonesia. ”Belum. Kami masih menghitung dengan ingatan saja.

Tak membuat laporan keuangan,” kata Fauzi. Untuk meningkatkan kemampuan UKM dalam membuat laporan keuangan sesuai format akuntansi, Pinbis Lhokseumawe, dalam waktu dekat ini akan mengadakan pelatihan terhadap 30 UKM yang telah disurvei. ”Kita akan bantu agar mereka bisa menyusun laporan keuangan dengan baik. Kita bantu berikan pelatihan book keeping (pelatihan keuangan) dalam waktu dekat ini,” sebut Sutan. [masriadi sambo]

22.54 | Posted in | Read More »

Liputan Kutacane [1]

Harap-Harap Cemas di Kali Alas

TIGA orang pria sibuk membentengi kali Alas di Desa Kutarih, Kecamatan Babussalam, Aceh Tenggara. Peluh terlihat membasahi tubuh pria itu. Sesekali mereka diam. Lalu melanjutkan pekerjaan. Ada yang mengangkat bongkahan batu. Memotong kawat. Mereka sedang mengikat bronjong. Untuk membentengi desa itu dari abrasi sungai terpanjang di Aceh tersebut.


Itu bukan kali pertama dilakukan. Sebelumnya, mereka juga telah mengerjakan hal yang sama di beberapa desa di pinggiran kali Alas. Sungai itu, saban tahun meluap. Menghancurkan seluruh perkampungan yang terletak di pinggiran sungai tersebut.


“Beginilah, kami ini hanya pekerja saja. Mencoba mengikat batu, untuk menahan deras arus sungai,” kata Satuman, salah seorang pekerja, beberapa waktu lalu. Arus sungai ini sangat deras. Bahkan, sungai ini dijadikan pusat kegiatan olahraga arung jeram. Sering kali, para pencinta arung jeram datang dari berbagai kota di Pulau Sumatera untuk menguji ketajaman arus sungai. Ini hikmah sungai Alas. Namun, di sisi lain, sungai ini kerap mengundang maut.


Seperti yang diucapkan, Rabumin, warga Desa Kutarih. Dia membangun rumah tepat di pinggiran sungai itu, empat tahun silam. Dia pula membuka warung kopi. Niat hati meraup untung. Namun, takdir tak bisa dihindarkan. Tahun 2006 lalu, rumah dan warungnya amblas dihantam abrasi sungai tersebut.


”Mau bagaimana lagi. Udah begini, ya, untung kami semua selamat,” terang Rabumin. Rabumin, satu di antara lima orang warga yang menerima luapan air kali Alas. Abrasi diduga karena penebangan liar yang marak di kawasan kaki Gunung Leuser, Aceh Tenggara. Efeknya dirasakan oleh semua desa yang berada di pinggiran kali tersebut. Amatan Independen tampak jelas kekhawatiran dari benak masyarakat di desa itu. Mereka umumnya tidak menyimpan surat-surat berharga di rumah.


”Kami menyimpan di rumah saudara. Takut ketika banjir datang, kami lupa menyelamatkannya,” terang Rabumin. Pria gaek ini bekerja sebagai petani. Kebun seluas dua hektare juga ludes dihantam abrasi. Tak ada tanaman cokelat, pinang dan pohon pisang yang ditanaminya empat tahun lalu. ”Saya biasanya ke kebun.


Kalau ke kebun tinggal menyeberang sungai. Tak dalam kalau tidak banjir. Kalau banjir, luar biasa, dalam sekali dan deras,” jelasnya. Bukan hanya rumah dan perkebunan milik warga yang terancam akibat abrasi. Fasilitas umum pun tak luput dari amukan air bah. Biasanya banjir bandang rentan terjadi memasuki November dan Desember saban tahun.


Salah satu fasilitas umum yang terancam, yaitu terminal terpadu Kutacane. Terminal untuk angkutan antarkota dan provinsi itu, kini hanya dua meter dari bibir sungai. Diperkirakan, jika banjir bandang terjadi tahun ini, maka terminal ini alamat tak bisa diselamatkan. Namun, anehnya, belum terlihat upaya serius dari pemerintah setempat untuk mengatasi abrasi itu. Selama ini, setiap tahun, pemerintah hanya membangun bronjongan. Memasang batu di pinggiran sungai. Tidak ada upaya untuk mengalihkan arus sungai atau pengerukan kembali sungai di beberapa daerah yang rawan.


”Saya pikir, pemerintah seharusnya mengalihkan arus sungai. Misalnya, dialihkan jauh dari pemukiman. Lalu dilakukan pengerukan kembali, agar sungai tak dangkal. Ini tampaknya lebih bagus, kalau dibanding dengan pembuatan bronjongan,” terang Rabumin. Di Desa Kutarih, sepanjang 100 meter jalan umum juga amblas ke sungai tersebut. Dulunya, jalan di daerah itu dibangun dua jalur. Pasalnya, jalan ini menuju terminal terpadu.


Namun, kini hanya satu jalur yang tersisa. Kini, masyarakat saban hari berdoa. Agar banjir tak melanda desa mereka. Berharap dibalut kecemasan yang luar biasa. Ya, semoga banjir tak menyapa daerah itu. ”Semoga saja, banjir tak datang,” harap Rabumin. [masriadi sambo]

22.46 | Posted in | Read More »

Hasan Tiro dan Nasionalisme Suku



Masriadi Sambo
Ketua Komunitas Markas Biru di Lhokseumawe

PERTEMUAN deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Tengku Muhammad Hasan Di Tiro dengan Wakil Presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla sebuah langkah baru untuk proses kehidupan politik di Aceh. Kalla dikenal sebagai orang pertama yang diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengakhiri konflik di Aceh secara damai dan bermartabat. Ya, lewat diplomasi dan perundingan. Bukan senjata dan perang.
Selama kunjungannya ke Aceh, Hasan Tiro, tak henti-hentinya, mengatakan komitmennya mendukung damai. Ini pernyataan luar biasa, dan tentu menyulut semangat menjaga perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Lalu, muncul pernyataan juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) bahwa mantan kombatan juga nasionalisme. Artinya memiliki kecintaan nasional dalam tubuh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Tampaknya, nasionalisme di negeri ini memang menjadi perdebatan hangat. Di forum-forum ilmiah, warung debat mahasiswa nasional dan forum akademisi di Indonesia, nasionalisme juga menjadi isu sentral. Maklum, banyak faktor yang menyebabkan lunturnya rasa nasionalisme masyarakat terhadap bangsanya sendiri. Kemiskinan masuk dalam ranah utama penyebab lunturnya nasionalisme itu sendiri. Tak adil, jika memvonis, masyarakat miskin lalu membuat rasa nasionalisme mereka luntur. Indikator kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga patut dipertanyakan.
Pasalnya, kategori miskin menurut BPS adalah orang-orang yang memiliki penghasilan dibawah Rp 189.000 per orang per bulan. Sehingga, hingga saat ini tercatat lebih dari 40 juta penduduk Indonesia tergolong miskin. Untuk Aceh tercatat 23 persen dari 4, 032 juta jiwa total jumlah penduduk Aceh masih tergolong miskin. Kriteria kemiskinan jenis ini terbilang sulit dipercaya. Perkembangan global dan meningkatnya harga jual di negeri ini tentu tidak memungkinkan masyarakat Indonesia bisa bertahan hidup bila hanya mengantongi penghasilan sebesar Rp 189.000 per bulan. Angka ini patut ditinjau ulang oleh BPS untuk melihat angka rill kemiskinan itu sendiri. Sehingga, bisa disebutkan bukan kemiskinan menjadi faktor utama rendahnya rasa nasionalisme masyarakat terhadap Indonesia. Namun, faktor lain seperti ketidakadilan menjadi pemantik rendahnya nasionalisme masyarakat di negara ini.
Menurut kebelakang, munculnya pergolakan politik di Indonesia tak lebih dari salah urus elit politik negeri ini dalam menjalankan roda pemerintahan. Kita tahu, bahwa sebelum Indonesia merdeka, seluruh pulau memiliki konsep masyarakat adat. Dalam antropologi sosial dapat juga disebut masyarakat suku (tibal society). Pemberontakan di Ambon, Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Aceh sebelumnya juga dikarenakan, pemerintah pusat terlalu memaksakan kehendak untuk meleburkan masyarakat suku kedalam rasa nasionalisme yang heroik. Rasa bersatu dan tidak boleh berkata lain, selain Indonesia. Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, tatanan sosial, sistem pemerintahan, adat, budaya dan agama telah berkembangan di kalangan masyarakat suku di sejumlah daerah. Bahkan, ketika awal Indonesia merdeka, mereka (suku-suku di Indonesia) telah berikrar menyatakan dukungan untuk Indonesia. Bersatu dalam kata merdeka dan semangat keadilan dan kemajuan seluruh Indonesia.
Aceh bisa diambil sebagai contoh kekuatan suku di Indonesia tempo dulu. Jalur diplomasi yang dibangunan Sultan Iskandar Muda, dengan negara Turki dan negara lainnya merupakan bentuk sistem pemerintahan yang mapan.
Lalu, ketika bergabung kedalam tubuh Indonesia, elit politik negeri ini tampaknya tidak memikirkan masyarakat suku tadi. Bahkan, masyarakat suku merasa dizalimi dan ditipu oleh pemerintah pusat kala itu.
Kini, zaman sudah berbeda. Tampaknya, elit politik Indonesia lebih baik mempertimbangkan masyarakat suku secara arif dan bijaksana. Sehingga tak muncul ketidakadilan, ketertinggalan dan kesenjangan sosial di berbagai daerah termasuk Aceh.
Soal nasionalisme masyarakat negeri ini, Indra Jaya Piliang, menamsilkan dengan istilah shadow tribal state (negara suku yang dibayangkan atau negara suku yang terbayang). 16 Oktober lalu saya bertemu dengan Indra, pengamat sosial dan poltik nasional di Surabaya. Saat itu, Indra menjadi pemateri dalam acara dialog kebangsaan yang diselenggarakan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Konsep shadow tribal state berarti komunitas suku bangsa yang terbayangkan hidup sejajar dalam wadah keindonesiaan, tetapi tidak dianggap sebagai sesuatu yang layak dimusuhi oleh paham nasionalisme. Artinya, selama ini pemerintah dan elit politik nasional memang membayangkan komunitas suku di Indonesia termasuk Aceh itu benar-benar nyata. Namun, mereka tidak mempertimbangkan komunitas suku itu ketika mengambil kebijakan yang bersingunggan dengan suku tersebut (Aceh).
Konsep yang dipikirkan Indra klop dengan merunut sejarah Aceh tempo dulu. Kita ingat, bahwa Aceh pernah menyumbangkan dua pesawat yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia untuk Presiden Soekarno. Ini wujud nasionalisme suku Aceh, terhadap nasionalisme Indonesia yang kala itu masih digembar-gemborkan sebagai nasionalisme heroik.
Dalam konteks kekinian, rasa nasionalisme suku Aceh dapat dilihat dari ucapan-ucapan sang deklarator GAM. Dimana, Hasan Tiro, dalam kunjungan saweu gampong ke berbagai kabupaten/kota di Aceh selalu berpesan agar merawat dan mempertahankan perdamaian yang telah ditandatangani dengan Republik Indonesia medio Agustus 2005 silam. Ini saya pikir wujud nasionalisme suku yang dilemparkan Hasan Tiro pada Pemerintah Republik Indonesia. Keinginan berdamai antara pimpinan GAM dan RI, medio Agustus 2005 silam di Helsinki, merupakan langkah tepat setelah ribuan masyarakat meninggal dunia akibat bencara tsunami. Prihatin akan nasib Aceh, maka Hasan Tiro berpikir untuk mengakhir konflik berkepanjangan itu.
Semangat menjaga perdamaian itu tentu perlu didukung semua elemen negeri ini. Dari masyarakat awam hinga elit politik di Jakarta. Dukungan itu paling tidak diwujudkan dalam bentuk realisasi butir-butir MoU Helsinki. Jika butir ini tidak direalisasikan secara mapan dan bermartabat, maka Aceh dan suku lainnya di Indonesia akan menjadi shadow tribal state dalam arti sebenarnya. Tentu dalam ranah demokratis dan semangat menjaga perdamaian rasa ini perlu dibuang jauh-jauh. Perlu bukti nyata, dan merangkum Aceh dan daerah lainnya di Indonesia bukan sebagai masyarakat suku bayangan. Namun, menjadi masyarakat suku nyata dan dipertimbangkan keberadaannya ketika mengambil kebijakan. Jangan ada penzaliman terhadap suku-suku bangsa yang ada di negeri ini. Sehingga, konflik tak terjadi dan perang tak menyalak saban hari. Ini untuk mewujudkan nasionalisme suku yang berbaur kedalam nasionalisme Indonesia baru. Nasionalisme Indonesia baru, seperti saya singgung diatas, adalah nasionalisme yang merangkum kesukuan, menganggap mereka nyata. Bukan nasionalisme yang kaku, dan mengeyampingkan suku yang ada.
Diakhir tulisan ini, saya ingin menyebutkan, nasionalisme suku Aceh telah terbukti. Bukan hanya imajinasi dari para ahli sejarah. Bukti nyata telah dirasakan Indonesia atas nasionalisme suku ini. Nah, saatnya, menyatukan persepsi antara Aceh dan pemerintah pusat untuk mewujudkan Aceh damai, bermatabat hingga akhir usia bumi. Semoga.

01.58 | Posted in | Read More »

ROSE


Cerpen. Masriadi Sambo
Ketua Komunitas Markas Biru di Lhokseumawe

”Aneh, mengapa dia seperti itu. Seakan tak mengenal aku sama sekali. Apa karena aku ini kere?” aku berujar. Aku tak habis pikir mengapa wanita selembut dia bisa berbuat seperti itu. Siang itu, awal masuk kuliah.

Hari pertama aku mengenal kampus Universitas Malikussaleh ini, aku ingin semua hal serba baru. Ya, mengenal teman-teman yang baru. Terpenting, mengenal orang yang selama ini, aku cintai. Selama ini, selalu kubanggakan. Selama ini pula, aku selalu membayangkan wajahnya. Aku ingat benar senyumnya. Ya, dengan rambut terburai. Dengan latar biru muda. Dengan senyum merekah dan tatapan mata yang mempesona. Aku pikir, semua pria juga setuju dengan rangkumanku tentang dia.

Masih jelas, betapa wajahnya kusam saat melihat wajahku. Ya, aku yang kurus. Aku yang tak memiliki apa-apa. Aku yang mengenakan pakaian super besar, celana bekas peninggalan orang tuaku. Ya, semua itu, mungkin membuatnya gengsi bertemu dan berkenalan dengan pria yang miskin.

”Ya, nasib Mas. Terima sajalah,” ujar Albert, teman kosku. Aku baru kenal dia, dua hari lalu. Dia berkulit putih. Mirip bulek jika dari jarak jauh. Jika dekat, ya dia mengidap penyakit albino. Namanya Okti, kami lebih akrab memanggilnya Albert, karena putihnya itu.

Jam berdentang tiga kali. Dini hari. Aku belum bisa memejamkan mata. Aku tak habis pikir mengapa dia sekejam itu. Dulu, ketika aku masih menetap di Kutacane, Aceh Tenggara, dia selalu menghubungiku. Bercerita tentang kotanya yang kaya minyak bumi dan gas. Bercerita tentang laut dan air terjun. Bercerita tentang keindahan dan kemegahan kotanya.

Masih jelas diingatanku, ketika aku menelponnya dari wartel terdekat dari Kutacane. ”Kapan kemari? Aku kangen kamu. Segeralah pindah dan melanjutkan kuliah di sini. Aku juga mungkin kuliah di sini,” ujar Rose. Tawanya renyah. Aku dengar kalimat lamat-lamat, merdu dan indah itu.

Kalimat itu membuatku memacu studiku. Harapanku cuman satu, menyelesaikan SMA dan segera pindah ke kotanya. Melanjutkan kuliah di sana.

”Sayang, di sini aku baik. Kamu bagaimana di sana? Aku harap, kamu baik saja. Aku ingin katakan, aku sayang kamu. Aku tunggu kamu di kota ini,” kalimat dalam surat itu semakin membuatku memacu semangat. Membuyarkan rasa sakit di lengan kananku.

Rasanya pusing dan ngilu di sekujur tubuhku hilang seketika. Dua hari lalu, aku mengalami kecelakaan. Motorku ditabrak mobil yang pengendaranya ternyata seorang polisi dalam keadaan mabuk.

Kupaksakan diri mengambil kertas. Tapi tak bisa. Kakakku kusuruh menuliskan kalimatku. Tanganku masih diperban. Wajah, kaki dan leherku juga masih diperban. Aku tak bisa bergerak. Jika terlalu banyak bergerak, efeknya aku harus mengerang kesakitan. Urat leherku tegang. Seakan ditarik ke atas, seperti orang yang mahu meninggal dunia. Lalu, dokter pasti lari tergopoh-gopoh memberikan obat penenang. Sudah tiga kali aku mengalami itu. Sakitnya luar biasa. Benturan keras dikepalaku membuatku tak bisa banyak bicara. Dokter mengatakan, tulang kepalaku retak. Itu yang membuat aku tak bisa berpikir.

Dalam suratku, kukaakan bahwa aku baik saja. Aku sehat, tak kurang apa pun. Masih seperti dulu, kurus dan hitam. Lalu, aku sebutkan juga, aku sangat kangen. Ingin bertemu secepat mungkin. Tak satu pun, kata yang menceritakan aku sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Kutacane. Aku tak mau dia khawatir.

***
Waktu bergulir begitu cepat. Aku melanjutkan studi di Kota Lhokseumawe. Kota yang selama ini kuimpikan. Ya, mimpi bertemu gadis tercantik itu. Menjalin hubungan, memasang target hidup, dengan tawa kecil si mungil.

Kulalui begitu saja. Aku kehilangan kontak dengan gadisku. Aku mencoba mencari dimana alamatnya. Ah, aku tak bertemu. Waktu terus melaju. Didepan kampus biru, aku bertemu dengannya. Apakah aku tidak salah? Benarkah dia Iros? Mengapa terlalu dingin?.
”Rose. Kamu benar Iros kan?”
”Iya.”
”Kamu masih ingat aku?”
”Ingat.”

Dingin sekali. Kalimat itu menggodam jantungku. Kuhentikan langkah dan membiarkannya berlalu. Beralalu dari hidupku. Berlalu dari semua ingatan. Hanya sepenggal kenangan yang menyayat luka. Menoreh dunia ini dengan tinta tiada makna. Hilang semua hayalan tentang masa depan, dan tawa simungil. Aku menguburkanmu dalam sudut hati. Untuk sebuah kenangan. Ini yang membuatku terluka. Alpa pada wanita disekelilingku. Hingga kini.
***
Anehnya, empat tahun telah berlalu. Kamu datang untuk mengusikku. Mengusik tentang cinta dan kesetiaan. Mengubah kata maaf melalui ponselmu.

”Dim, maafkan semua kesalahanku ya. Masih ingat sama aku?” itu kalimat pesan singkat yang masuk ke handphoneku. Aku pikir, ini wanita gila mana, yang tiba-tiba minta maaf, di siang hari. Ditengah kesibukan menyergapku.
”Ah, biasa saja. Kamu siapa. Maaf aku lupa. Perasaan tak ada yang perlu dimaafkan. Itu semua permainan bumi,” kujawab sekenanya.

”Aku Iros. Wajarlah, kalau Dim lupakan aku. Aku sudah banyak berbuat salah?” Wah semakin menggila wanita ini. Aku memiliki banyak teman wanita bernama Iros.
Namun, pesanku tak dibalas. Aku menghubunginya. Ah, ternyata dia Iros. Wanita yang pernah menoreh luka. Jujur, aku belum bisa melupakan duka itu. Namun, hatiku berontak tuk tidak mengatakan aku masih ingat dia. Aku masih sayang padanya.

Kini dia tak sendiri, dia memiliki tambatan hati. Aku merasa, ini sebuah kenangan buruk. Dulu, dia pergi tanpa pesan. Kini kembali, membawa sebuah kabar duka. Dia memiliki tambatan hati. Apakah aku harus menyalahkan waktu, mempertemukanmu diwaktu yang tidak pernah tepat? Haruskan aku menyalahkan takdir? Tidak. Aku harus mengubur diri, dalam relung duka, dalam relung harapan untuk sebuah kehidupan. Ada atau tidak adanya kamu. Selamat jalan Iros.

01.20 | Posted in | Read More »

Sayap Patah

[Buat Saudara Tuaku, Cang Sarinah]

Secepat itu, waktu bergulir
Kemarin, aku masih mendengar jeritmu
Nada nafas yang melemah

Secepat itu, waktu berputar
Menghabiskan semua ingatan
Membekapmu dalam gelap malam
Menenggelamkan tawamu yang terbahak

Secepat itu, cahaya melintas
Kemarin, aku masih dengar kata maaf
Kata maafmu untuk ibu
Kemarin, aku masih tergiang, semua wejangan
Kemarin, semua masih biasa saja

Tapi, pagi ini
Kabar itu, bagai godam panas didada
Kamu telah tiada
Pergi untuk-Nya

Maafkan aku tak bisa berkata
Berbuat banyak
Sayapku telah patah
Aku tak bisa terbang
Aku tak bisa mengelilingi dunia
Membawa tulisan untuk bacaanmu

Maafkan aku belum bisa lakukan itu
Moga engkau tentram di dunia yang baru
Kemarin, aku masih merindukan tawamu ...

Lhokseumawe, 26 November 2008

01.04 | Posted in | Read More »

Menghargai Sineas Aceh


PASKATSUNAMI film Aceh sedikit menggeliat. Industri film ini memang masih terseok dan miskin dari makna, sajian lokalitas, dan lupa pada pesan moral yang ingin disampaikan. Terlalu panjang, dan sedikit berbelit. Ini lakon film kita (Aceh) saat ini. Lihat saja, ”empang breueh” film yang disebut-sebut paling fenomenal dalam dua tahun terakhir di provinsi ini. Dari sisi pencahayaan dan pengambilan gambar, film ini memang lebih unggul ketimbang film lainnya.

Namun, dari sisi lokalitas, tampaknya film ini tak mempertimbangkannya. Lihat saja, logat Nur Hasidah (Yusniar), aktris utama film itu ketika melafalkan kalimat dalam bahasa Aceh. Sangat kaku, seakan tak memahami bahasa ibu orang Aceh. Film ini membidik humoris sebagai sajian utama. Namun, terbilang terlalu panjang. Kabarnya film ini akan berakhir pada volume ke enam. Ini sebuah durasi film serial yang sangat panjang untuk ukuran Aceh. Dari volume satu ke volume berikutnya, saya tidak melihat satu gagasan cerita yang baru, dan sedikit berbeda dibanding volume sebelumnya. Bagi saya film ini sangat datar. Sajiannya tak terlepas dari konflik Bang Joni dan Haji Umar, untuk mendapatkan Yusniar.

Tidak lebih dari itu. Pesan sosial yang disampaikan film ini juga kabur. Kabur karena film ini disajikan dalam bentuk volume. Alasan pemilihan volume ini mungkin karena pangsa pasar. Jika melihat efektifitas, film ini bisa diringkas dalam dua keping video compact disc (VCD). Artinya hanya dua atau tiga jam tayang saja. Namun, produser memilih sisi bisnis, bukan sisi makna. Sisi bisnis, semakin banyak volume yang dikeluarkan, maka semakin banyak rupiah mengalir. Sedangkan sisi makna, cendrung menghemat durasi, dan fokus pada penyampaian pesan. Inilah lakon film kita saat ini.

Tapi, hadirnya empang breueh paling tidak membuat segmen film Aceh sedikit terangkat. Saat ini, masyarakat Aceh mulai gemar membeli film Aceh. Remaja, kaum tua, dan anak-anak juga menyenanginya dari sisi nilai humoris. Bukan sisi makna dan pesan moral dalam film itu. Anehnya, genre cerita yang hampir sama ditunjukkan dalam film ”Zainab”. Saya tidak ingin menyebutkan ini budaya ikut-ikutan. Hanya ada kemiripan alur dan plot cerita saja.

Apresiasi Film

Jika di Jakarta, terjadi perdebatan siapa yang layak diberi apresiasi dalam sebuah film, di Aceh malah tidak ada apresiasi film sama sekali. Insan seni yang bergelut dalam pembuatan film tampaknya semakin terpinggirkan. Hidup mereka hanya bergantung pada penjualan kaset dan seberapa banyak kaset yang dihasilkan. Syukur bila sang seniman ini memiliki pekerjaan lain, sehingga dia bisa eksis mempertahankan kualitas, dibanding mengejar kuantitas.

Dari segi apresiasi, belum ada satu lembaga pun yang konsen untuk memberi award (penghargaan) pada pegiat film di Aceh. Pemerintah Aceh juga alpa melakukannya. Saat ini, setau saya, hanya ada apresiasi untuk seni kategori puisi dengan Piala Maja saban tahun. Untuk film, masih miskin makna. Miskin memaknai cara kerja pekerja film kita. Lupa pula memperhatikan nasib mereka.

Seorang teman aktor film lokal Aceh menceritakan, mereka masih bergantung pada angka penjualan kaset VCD. Jika, penjualan seret, berdampak pada honor pekerja film. Syukur, jika penjualan lancar. Gaji pun ikutan lancar. Dia mengaku, tidak ada sistem royalti. Hanya sistem, per VCD. Ini merugikan aktor film tentunya. Jika kaset membludak, gaji mereka tetap. Bedanya, langsung dibayarkan. Jika tidak membludak, maka gaji tertahan, dibayar dengan cicilan. Miris memang melihat nasib aktor dan pegiat film di Aceh. Namun, inilah realitas. Industri film kita belum begitu mendapat tempat yang layak dihati penonton. Hanya film-film tertentu saja yang laris manis di pasaran. Selebihnya, masih diantara laku dan tidak.

Untuk mendapat tempat, saya pikir perlu dibuat film yang original. Mengandung ide, konsep , dan tema cerita yang berbeda dengan film-film sebelumnya. Jangan melulu cerita humor dan cerita cinta semata. Toh, film jenis ini telah digarap oleh film-film sebelumnya. Mengapa tidak, mencoba membuat film dengan latar belakang budaya Aceh yang kental. Ingat Film Cut Nyak Dhien, yang digarap Garin Nugroho. Film budaya ini bahkan mampu menghentakkan jagat perfilman Indonesia. Mengapa kita, sebagai orang Aceh tidak melakukannya. Mungkin, faktor minim sponsor menjadi kendala. Untuk tahap awal, alangkah baiknya, Pemerintah Aceh, mau menjadi sponsor pembuatan film jenis ini.

Selain dijual secara komersil, film ini juga menjaga kelestarian budaya dan cerita-cerita klasik di Aceh. Masih banyak kisah pejuang, raja, ratu dan sejarah Aceh lainnya yang belum ditayangkan secara audio visual. Paskatsunami, kita semakin kehilangan ragam budaya. Masyarakat lupa pada cerita-cerita klasik kerajaannya. Sangat sedikit pula remaja yang faham tentang cerita Cut Nyak Mutia, Malahayati, dan cerita srikandi Aceh lainnya. Ini patut menjadi perhatian kita.

Untuk menggeliatkan industri film di Aceh, tampaknya perlu memberikan penghargaan khusus. Sejenis award yang diselenggarakan tahunan. Tentu ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam penilaiaan award itu, yaitu faktor pasar, pribadi, dan prestasi (Arswendo. Kompas, 16 November 2008). Award yang diberikan tidak hanya melihat sejauhmana film itu diterima dipasaran, namun juga melihat bagaimana pribadi (orang dibelakang layar) yang mensukseskan film tersebut. Seringkali yang mendapat penghargaan dalam pesta-pesta pemberian award hanya aktris dan aktor saja. Sedangkan, orang seperti kru film, producer, kameramen dan lain sebagianya lupa. Sederetan ucapan terima kasih didepan panggung kehormatan tak cukup untuk memberikan apresiasi pada orang dibelakang layar ini. Mereka juga memiliki kehidupan dan anak-bini. Jadi, nasib mereka perlu dihargai, sebagaimana mereka memberikan penghargaan pada penonton lewat seni dan keahliannya.

Disisi lain, perlu juga memberikan penghargaan pada prestasi. Ini tentu terkait kualitas film. Kualitas film yang bagus, tentu layak dinilai dewan juri. Dewan juri haruslah orang yang mengerti film, bukan hanya orang yang duduk dilembaga kebudayaan yang berasal dari kalangan birokrat dengan pengetahuan nol tentang film dan budaya.

Namun, entah kapan penghargaan akan diberikan kepada sineas film di Aceh. Kita tau, dibeberapa kota seperti Surabaya, Jakarta, Bali, dan lainnya telah mengagendakan kegiatan tahunan untuk para pembuat film. Kita berharap, ini juga akan terjadi di Aceh. Dengan pemberian makna pada penghargaan (award) saban tahun, saya pikir akan memotivasi seluruh sineas untuk melahirkan film berkualitas. Film yang diterima semua khalayak, kental dengan kearifan lokal (Aceh) dan memiliki unsur seni yang menakjubkan. Saya pikir, Pemerintah Aceh patut menjadi hero dalam ajang yang satu ini. Jangan lupa, rekontruksi budaya, paskakonflik dan bencana, perlu mendapatkan perhatian serius, jika kita tidak ingin masyarakat Aceh menjadi pelupa. Ya, lupa pada sejarahnya sendiri. Dan, tenggelam dalam budaya kosmo yang membumi saat ini. Semoga, ini bisa diperhatikan Pemerintah Aceh. Semoga, film Aceh semakin kaya makna. Makna untuk penonton, dan makna untuk keberlangsungan budaya.[MASRIADI SAMBO]

22.29 | Posted in | Read More »

MENERUSKAN TRADISI ENDATU

TRADISI memang unik. Namun, tradisi terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ya, tradisi pula yang membuat terus berkarya. Mengikuti jejak endatu (nenek moyang). Lakon itu terlihat di Desa Pande, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara.

Seperti namanya, kampung ini dihuni oleh masyarakat yang ahli mengolah potongan besi, menjadi alat-alat pertanian. Ya, pandai besi dalam bahasa Aceh, disebut seumande (mengolah besi menjadi alat pertanian).

Informasi yang dihimpun Independen, di desa itu menyebutkan, asal nama Kampung Pande diambil dari nama Kampung Pande,Kabupaten Aceh Besar. Puluhan tahun lalu, seorang warga asal Kampung Pande, Aceh Besar datang ke desa itu.

Tidak diketahui pasti, siapa namanya. Namun, kabarnya, dialah orang pertama yang mengajarkan masyarakat untuk membuat parang, cangkul, pisau, rencong dan lain sebagainya di Desa Pande, Aceh Utara.

Kini, usaha itu sudah merakyat di Aceh Utara. Jika ingin membeli parang, dan alat pertanian lainnya dalam jumlah besar, di Aceh Utara, Desa Pande tempatnya. Di sana, seluruh masyarakat membuka usaha itu.

Suara palu menggodam besi terdengar jelas dari belakang, dan samping rumah warga. Ketang, ketang……. Suara palu itu terdengar begitu keras.

Pelakunya bukan hanya kaum tua. Sejumlah anak remaja, menghabiskan paruh waktu, usai pulang sekolah, memegang palu. Memipih besi menjadi barang jadi. “Bukan hanya mencari uang. Tapi, ini sudah membumi. Saya senang bisa bekerja dan meneruskan keahlian orang tua,” kata Irfan Sasusi (18 tahun), Ahad (23/11).

Irfan belajar membuat sekop dari ayahnya. Uniknya, di desa itu masing-masing pengrajin memiliki produk yang berbeda. Ini cara menjaga persaingan bisnis, agar tetap lancar, dan tidak saling tiru.

Aziz, pemandai besi lainnya menyebutkan tradisi pandai besi memang tak pandang bulu di desa itu. Tak hanya kaum papa saja yang mengolah besi. Kaum kaya, juga melakukan hal yang sama. “Bagi masyarakat, pandai besi menjadi tradisi. Lihat saja, orang kaya juga masih membuka usaha ini,” kata Aziz.

Aziz khusus membuat skop. Dia membuka usaha itu, empat tahun lalu. Meski terbilang kecil, dibanding usaha pande besi lainnya, Aziz tetap optimis dengan pangsa pasarnya. Saat ini, dia tak hanya memasok kebutuhan skop untuk pasar Aceh Utara dan Lhokseumawe. Namun, dia juga memasok untuk kebutuhan, Meulaboh, Aceh Besar.

“Alhamdulillah, tidak pernah sepi orderan,” ungkap Aziz sumringah. Dia dibantu dua orang tenaga kerja. Puncak penjualan pandai besi di desa itu terjadi, tahun 2005-2007 silam. Banyak pesanan datang dari sejumlah kontraktor yang terlibat pembangunan fisik pascatsunami di Aceh. Aziz, bahkan kewalahan menerima orderan.

Saat itu, dia memasok 1.000 skop per satu orang kontraktor. Kini, pesanan mulai berkurang. Tidak ada lagi pesanan dalam jumlah besar. Dan, tak ada pula si pemesan harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan skop made in Aziz.

Awalnya, Aziz bekerja pada milik pemandai besi lainnya. Namun,terakhir dia memutuskan membuka usaha sendiri. Modalnya, hanya dua palu berat lima kilogram. Hasilnya, lumayan. Kini, dia bisa bertahan dan eksis pada bisnis mikro itu.

Aziz merincikan, untuk membuat skop membutuhkan bahan berupa plat kontainer yang nantinya akan di potong berbentuk persegi panjang dan kemudian di bentuk diketok serta di haluskan dengan menggunakan mesin gerinda listrik.
“Sekarang sudah ada gerinda. Dulu, saya haluskan besi pakai alat kikir manual,” kenangnya melambung ke empat tahun lalu.

Untuk harga jual skop Aziz dibanderol 17.000 per lembar. Untuk kategori skop tebal dijual Rp 22.000 per lembar.

“Kami bisa membuat skop 50 buah sehari. Kami yakin, bila ada orderan besar, bisa selesai tepat waktu. Itu menjaga kepuasan pelanggan,” kata Aziz berpromosi.

Aziz terus mengangkat palu. Memukul lempengan demi lempengan besi. Membakar dan menyeduh besi ke air. Bukan hanya soal rupiah, namun juga soal melanjutkan tradisi. Ya, tradisi yang diwariskan endatu di kampung itu. [masriadi sambo]

22.26 | Posted in | Read More »

Lensa

Teman, dunia semakin jauh saja
Tatapan kosong ada dimana-mana
Dari balik lensa
Ku coba abadikan itu

Derai tangis, tawa riang, tepuk tangan, segudang senang, sejemput pilu
Ku rekam dalam lensa kuno milikku
Ku coba membeli lensa baru
Tak mampu
Harganya terlalu mahal

Ah, kata seorang teman
Hemat saja
Nanti juga bisa dibelikan Oma
Ah, aku lupa
Oma sudah pergi
Entah kemana

Ya, waktu ku buang begitu saja
Mencari lensa baru
Untuk merekam tindakanmu
Merekam bukan wajah kuyu
Tapi wajah baru
Segar, seperti orang usai mandi dan berhias diri

20 November 2008

02.36 | Posted in | Read More »

TERBATAS

Langkah, lidah, dan lisanku kelu
Terbatas mengucapkan makna
Menghapuskan dosa dunia
Melupakan makna tersirat

Terbatas untuk angin dan hujan
Terbatas untuk sebuah kenangan
Terbatas untuk semua kenyataaan
Terbatas kemampuan
Dan,
Aku harus diam
Tak bergeming
Untuk semuanya

15 November 2008

05.56 | Posted in | Read More »

Pertimbangan

Sebenarnya, ingin aku tidak menulis lagi di kolom ucapan, dalam dunia maya yang kurancang dengan segala upaya. Ingin aku tak mau melihat dunia lagi. Ingin aku tak bersandar lagi, di kursi tempatku melepas lelah. Ingin rasanya, aku terlelap. Tertidur, untuk sebuah kemenangan. Ya, untuk sebuah kesunyian. Untuk sebuah catatan tentangmu. Ingin semua kulakukan itu. Memasukkan sobekan wajahmu dalam peti es.


Di satu sudut kisah ini telah panjang. Di sudut lainnya, ada hati yang menanti. Menunggu kata pasti. Dibagian cerita ini pula aku terpana, pada hitam di belakang masa. Tak ada yang sempurna, itu kata pepatah.


Aku sadar, dunia kita takkan sama. Ya, tak sama. Aku dibesarkan oleh alam. Dari bongkahan batu, desing mesiu, deras hujan, terpaan badai, hantaman gelombang. Alam mendidikku seperti ini. Alam pula yang membawaku kemari. Ya, ke tempat ini. Belajar dari waktu dan batu. Belajar dari dunia yang beku, kelu dan kaku.


Belajar dari makna. Kata pena dan kata hati. Belajar menentukan orientasi dan perioritas. Belajar dan terus belajar. Ya, entah sampai kapan harus belajar. Ku pikir, tak ada waktu untuk berhenti. Aku terus belajar. Mencapai target dan tujuan bangunan hidup dan kehidupan.

Di sini masalah muncul. Ketika waktuku tak banyak. Ketika nafasku melelah. Ketika detak jantung seakan enggan berdenyut. Ketika aku minta dukungan. Apa yang terjadi. Entahlah. Diam. Tertawa. Dan, melemparkan kesalahan pada waktu dan kata ”nanti”. Ah, nanti juga bisa. Kan besok baru dikumpulkan. Ini yang aneh.


Aku terbentur pada kata nanti. Nanti dan nanti lagi. Kata nanti, apa itu sebuah prioritas. Apa ini target yang akan dicapai. Seorang teman bercerita tentang makna kata ini. Dia hidup sama denganku, seperti dalam hutan belantara. Dia bercetita banyak. Tentang hidup dan kehidupan. Tentang target dan tujuan. Dan, aku mengerti maksudnya. Aku faham apa yang dia inginkan. Aku tau, dia sama sepertiku dibesarkan oleh bongkahan batu.


Merubah pikiran tak mudah. Merubah tabiat lahir sangat susah. Merubah semua kebiasaan memang sangat payah. Ini pula yang kupikir, sangat sulit kulakukan. Sulit untuk mengubahmu. Sulit untuk membentuk pola pikiranmu. Dan, sulit untuk semua prioritas yang katamu bisa nanti itu.


Pertimbangan apa lagi yang harus kubuat? Entahlah. Aku ini lahir dan dibesarkan oleh alam. Oleh batu, desing mesiu, bau menyengat dan oleh semua disekelilingku.

Aku bingung meraih kata pertimbangan.


Markas Biru, 24 September 2008.

01.39 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added