MOST RECENT

|

Liputan Kutacane [1]

Harap-Harap Cemas di Kali Alas


TIGA orang pria sibuk membentengi kali Alas di Desa Kutarih, Kecamatan Babussalam, Aceh Tenggara. Peluh terlihat membasahi tubuh pria itu. Sesekali mereka diam. Lalu melanjutkan pekerjaan. Ada yang mengangkat bongkahan batu. Memotong kawat. Mereka sedang mengikat bronjong. Untuk membentengi desa itu dari abrasi sungai terpanjang di Aceh tersebut.


Itu bukan kali pertama dilakukan. Sebelumnya, mereka juga telah mengerjakan hal yang sama di beberapa desa di pinggiran kali Alas. Sungai itu, saban tahun meluap. Menghancurkan seluruh perkampungan yang terletak di pinggiran sungai tersebut.


“Beginilah, kami ini hanya pekerja saja. Mencoba mengikat batu, untuk menahan deras arus sungai,” kata Satuman, salah seorang pekerja, beberapa waktu lalu. Arus sungai ini sangat deras. Bahkan, sungai ini dijadikan pusat kegiatan olahraga arung jeram. Sering kali, para pencinta arung jeram datang dari berbagai kota di Pulau Sumatera untuk menguji ketajaman arus sungai. Ini hikmah sungai Alas. Namun, di sisi lain, sungai ini kerap mengundang maut.


Seperti yang diucapkan, Rabumin, warga Desa Kutarih. Dia membangun rumah tepat di pinggiran sungai itu, empat tahun silam. Dia pula membuka warung kopi. Niat hati meraup untung. Namun, takdir tak bisa dihindarkan. Tahun 2006 lalu, rumah dan warungnya amblas dihantam abrasi sungai tersebut.


”Mau bagaimana lagi. Udah begini, ya, untung kami semua selamat,” terang Rabumin. Rabumin, satu di antara lima orang warga yang menerima luapan air kali Alas. Abrasi diduga karena penebangan liar yang marak di kawasan kaki Gunung Leuser, Aceh Tenggara. Efeknya dirasakan oleh semua desa yang berada di pinggiran kali tersebut. Amatan Independen tampak jelas kekhawatiran dari benak masyarakat di desa itu. Mereka umumnya tidak menyimpan surat-surat berharga di rumah.


”Kami menyimpan di rumah saudara. Takut ketika banjir datang, kami lupa menyelamatkannya,” terang Rabumin. Pria gaek ini bekerja sebagai petani. Kebun seluas dua hektare juga ludes dihantam abrasi. Tak ada tanaman cokelat, pinang dan pohon pisang yang ditanaminya empat tahun lalu. ”Saya biasanya ke kebun.


Kalau ke kebun tinggal menyeberang sungai. Tak dalam kalau tidak banjir. Kalau banjir, luar biasa, dalam sekali dan deras,” jelasnya. Bukan hanya rumah dan perkebunan milik warga yang terancam akibat abrasi. Fasilitas umum pun tak luput dari amukan air bah. Biasanya banjir bandang rentan terjadi memasuki November dan Desember saban tahun.


Salah satu fasilitas umum yang terancam, yaitu terminal terpadu Kutacane. Terminal untuk angkutan antarkota dan provinsi itu, kini hanya dua meter dari bibir sungai. Diperkirakan, jika banjir bandang terjadi tahun ini, maka terminal ini alamat tak bisa diselamatkan. Namun, anehnya, belum terlihat upaya serius dari pemerintah setempat untuk mengatasi abrasi itu. Selama ini, setiap tahun, pemerintah hanya membangun bronjongan. Memasang batu di pinggiran sungai. Tidak ada upaya untuk mengalihkan arus sungai atau pengerukan kembali sungai di beberapa daerah yang rawan.


”Saya pikir, pemerintah seharusnya mengalihkan arus sungai. Misalnya, dialihkan jauh dari pemukiman. Lalu dilakukan pengerukan kembali, agar sungai tak dangkal. Ini tampaknya lebih bagus, kalau dibanding dengan pembuatan bronjongan,” terang Rabumin. Di Desa Kutarih, sepanjang 100 meter jalan umum juga amblas ke sungai tersebut. Dulunya, jalan di daerah itu dibangun dua jalur. Pasalnya, jalan ini menuju terminal terpadu.


Namun, kini hanya satu jalur yang tersisa. Kini, masyarakat saban hari berdoa. Agar banjir tak melanda desa mereka. Berharap dibalut kecemasan yang luar biasa. Ya, semoga banjir tak menyapa daerah itu. ”Semoga saja, banjir tak datang,” harap Rabumin. [masriadi sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 22.46. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added