Hasan Tiro dan Nasionalisme Suku
Masriadi Sambo
Ketua Komunitas Markas Biru di Lhokseumawe
PERTEMUAN deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Tengku Muhammad Hasan Di Tiro dengan Wakil Presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla sebuah langkah baru untuk proses kehidupan politik di Aceh. Kalla dikenal sebagai orang pertama yang diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengakhiri konflik di Aceh secara damai dan bermartabat. Ya, lewat diplomasi dan perundingan. Bukan senjata dan perang.
Selama kunjungannya ke Aceh, Hasan Tiro, tak henti-hentinya, mengatakan komitmennya mendukung damai. Ini pernyataan luar biasa, dan tentu menyulut semangat menjaga perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Lalu, muncul pernyataan juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) bahwa mantan kombatan juga nasionalisme. Artinya memiliki kecintaan nasional dalam tubuh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Tampaknya, nasionalisme di negeri ini memang menjadi perdebatan hangat. Di forum-forum ilmiah, warung debat mahasiswa nasional dan forum akademisi di Indonesia, nasionalisme juga menjadi isu sentral. Maklum, banyak faktor yang menyebabkan lunturnya rasa nasionalisme masyarakat terhadap bangsanya sendiri. Kemiskinan masuk dalam ranah utama penyebab lunturnya nasionalisme itu sendiri. Tak adil, jika memvonis, masyarakat miskin lalu membuat rasa nasionalisme mereka luntur. Indikator kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga patut dipertanyakan.
Pasalnya, kategori miskin menurut BPS adalah orang-orang yang memiliki penghasilan dibawah Rp 189.000 per orang per bulan. Sehingga, hingga saat ini tercatat lebih dari 40 juta penduduk Indonesia tergolong miskin. Untuk Aceh tercatat 23 persen dari 4, 032 juta jiwa total jumlah penduduk Aceh masih tergolong miskin. Kriteria kemiskinan jenis ini terbilang sulit dipercaya. Perkembangan global dan meningkatnya harga jual di negeri ini tentu tidak memungkinkan masyarakat Indonesia bisa bertahan hidup bila hanya mengantongi penghasilan sebesar Rp 189.000 per bulan. Angka ini patut ditinjau ulang oleh BPS untuk melihat angka rill kemiskinan itu sendiri. Sehingga, bisa disebutkan bukan kemiskinan menjadi faktor utama rendahnya rasa nasionalisme masyarakat terhadap Indonesia. Namun, faktor lain seperti ketidakadilan menjadi pemantik rendahnya nasionalisme masyarakat di negara ini.
Menurut kebelakang, munculnya pergolakan politik di Indonesia tak lebih dari salah urus elit politik negeri ini dalam menjalankan roda pemerintahan. Kita tahu, bahwa sebelum Indonesia merdeka, seluruh pulau memiliki konsep masyarakat adat. Dalam antropologi sosial dapat juga disebut masyarakat suku (tibal society). Pemberontakan di Ambon, Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Aceh sebelumnya juga dikarenakan, pemerintah pusat terlalu memaksakan kehendak untuk meleburkan masyarakat suku kedalam rasa nasionalisme yang heroik. Rasa bersatu dan tidak boleh berkata lain, selain Indonesia. Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, tatanan sosial, sistem pemerintahan, adat, budaya dan agama telah berkembangan di kalangan masyarakat suku di sejumlah daerah. Bahkan, ketika awal Indonesia merdeka, mereka (suku-suku di Indonesia) telah berikrar menyatakan dukungan untuk Indonesia. Bersatu dalam kata merdeka dan semangat keadilan dan kemajuan seluruh Indonesia.
Aceh bisa diambil sebagai contoh kekuatan suku di Indonesia tempo dulu. Jalur diplomasi yang dibangunan Sultan Iskandar Muda, dengan negara Turki dan negara lainnya merupakan bentuk sistem pemerintahan yang mapan.
Lalu, ketika bergabung kedalam tubuh Indonesia, elit politik negeri ini tampaknya tidak memikirkan masyarakat suku tadi. Bahkan, masyarakat suku merasa dizalimi dan ditipu oleh pemerintah pusat kala itu.
Kini, zaman sudah berbeda. Tampaknya, elit politik Indonesia lebih baik mempertimbangkan masyarakat suku secara arif dan bijaksana. Sehingga tak muncul ketidakadilan, ketertinggalan dan kesenjangan sosial di berbagai daerah termasuk Aceh.
Soal nasionalisme masyarakat negeri ini, Indra Jaya Piliang, menamsilkan dengan istilah shadow tribal state (negara suku yang dibayangkan atau negara suku yang terbayang). 16 Oktober lalu saya bertemu dengan Indra, pengamat sosial dan poltik nasional di Surabaya. Saat itu, Indra menjadi pemateri dalam acara dialog kebangsaan yang diselenggarakan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Konsep shadow tribal state berarti komunitas suku bangsa yang terbayangkan hidup sejajar dalam wadah keindonesiaan, tetapi tidak dianggap sebagai sesuatu yang layak dimusuhi oleh paham nasionalisme. Artinya, selama ini pemerintah dan elit politik nasional memang membayangkan komunitas suku di Indonesia termasuk Aceh itu benar-benar nyata. Namun, mereka tidak mempertimbangkan komunitas suku itu ketika mengambil kebijakan yang bersingunggan dengan suku tersebut (Aceh).
Konsep yang dipikirkan Indra klop dengan merunut sejarah Aceh tempo dulu. Kita ingat, bahwa Aceh pernah menyumbangkan dua pesawat yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia untuk Presiden Soekarno. Ini wujud nasionalisme suku Aceh, terhadap nasionalisme Indonesia yang kala itu masih digembar-gemborkan sebagai nasionalisme heroik.
Dalam konteks kekinian, rasa nasionalisme suku Aceh dapat dilihat dari ucapan-ucapan sang deklarator GAM. Dimana, Hasan Tiro, dalam kunjungan saweu gampong ke berbagai kabupaten/kota di Aceh selalu berpesan agar merawat dan mempertahankan perdamaian yang telah ditandatangani dengan Republik Indonesia medio Agustus 2005 silam. Ini saya pikir wujud nasionalisme suku yang dilemparkan Hasan Tiro pada Pemerintah Republik Indonesia. Keinginan berdamai antara pimpinan GAM dan RI, medio Agustus 2005 silam di Helsinki, merupakan langkah tepat setelah ribuan masyarakat meninggal dunia akibat bencara tsunami. Prihatin akan nasib Aceh, maka Hasan Tiro berpikir untuk mengakhir konflik berkepanjangan itu.
Semangat menjaga perdamaian itu tentu perlu didukung semua elemen negeri ini. Dari masyarakat awam hinga elit politik di Jakarta. Dukungan itu paling tidak diwujudkan dalam bentuk realisasi butir-butir MoU Helsinki. Jika butir ini tidak direalisasikan secara mapan dan bermartabat, maka Aceh dan suku lainnya di Indonesia akan menjadi shadow tribal state dalam arti sebenarnya. Tentu dalam ranah demokratis dan semangat menjaga perdamaian rasa ini perlu dibuang jauh-jauh. Perlu bukti nyata, dan merangkum Aceh dan daerah lainnya di Indonesia bukan sebagai masyarakat suku bayangan. Namun, menjadi masyarakat suku nyata dan dipertimbangkan keberadaannya ketika mengambil kebijakan. Jangan ada penzaliman terhadap suku-suku bangsa yang ada di negeri ini. Sehingga, konflik tak terjadi dan perang tak menyalak saban hari. Ini untuk mewujudkan nasionalisme suku yang berbaur kedalam nasionalisme Indonesia baru. Nasionalisme Indonesia baru, seperti saya singgung diatas, adalah nasionalisme yang merangkum kesukuan, menganggap mereka nyata. Bukan nasionalisme yang kaku, dan mengeyampingkan suku yang ada.
Diakhir tulisan ini, saya ingin menyebutkan, nasionalisme suku Aceh telah terbukti. Bukan hanya imajinasi dari para ahli sejarah. Bukti nyata telah dirasakan Indonesia atas nasionalisme suku ini. Nah, saatnya, menyatukan persepsi antara Aceh dan pemerintah pusat untuk mewujudkan Aceh damai, bermatabat hingga akhir usia bumi. Semoga.