MOST RECENT

|

ROSE


Cerpen. Masriadi Sambo
Ketua Komunitas Markas Biru di Lhokseumawe

”Aneh, mengapa dia seperti itu. Seakan tak mengenal aku sama sekali. Apa karena aku ini kere?” aku berujar. Aku tak habis pikir mengapa wanita selembut dia bisa berbuat seperti itu. Siang itu, awal masuk kuliah.

Hari pertama aku mengenal kampus Universitas Malikussaleh ini, aku ingin semua hal serba baru. Ya, mengenal teman-teman yang baru. Terpenting, mengenal orang yang selama ini, aku cintai. Selama ini, selalu kubanggakan. Selama ini pula, aku selalu membayangkan wajahnya. Aku ingat benar senyumnya. Ya, dengan rambut terburai. Dengan latar biru muda. Dengan senyum merekah dan tatapan mata yang mempesona. Aku pikir, semua pria juga setuju dengan rangkumanku tentang dia.

Masih jelas, betapa wajahnya kusam saat melihat wajahku. Ya, aku yang kurus. Aku yang tak memiliki apa-apa. Aku yang mengenakan pakaian super besar, celana bekas peninggalan orang tuaku. Ya, semua itu, mungkin membuatnya gengsi bertemu dan berkenalan dengan pria yang miskin.

”Ya, nasib Mas. Terima sajalah,” ujar Albert, teman kosku. Aku baru kenal dia, dua hari lalu. Dia berkulit putih. Mirip bulek jika dari jarak jauh. Jika dekat, ya dia mengidap penyakit albino. Namanya Okti, kami lebih akrab memanggilnya Albert, karena putihnya itu.

Jam berdentang tiga kali. Dini hari. Aku belum bisa memejamkan mata. Aku tak habis pikir mengapa dia sekejam itu. Dulu, ketika aku masih menetap di Kutacane, Aceh Tenggara, dia selalu menghubungiku. Bercerita tentang kotanya yang kaya minyak bumi dan gas. Bercerita tentang laut dan air terjun. Bercerita tentang keindahan dan kemegahan kotanya.

Masih jelas diingatanku, ketika aku menelponnya dari wartel terdekat dari Kutacane. ”Kapan kemari? Aku kangen kamu. Segeralah pindah dan melanjutkan kuliah di sini. Aku juga mungkin kuliah di sini,” ujar Rose. Tawanya renyah. Aku dengar kalimat lamat-lamat, merdu dan indah itu.

Kalimat itu membuatku memacu studiku. Harapanku cuman satu, menyelesaikan SMA dan segera pindah ke kotanya. Melanjutkan kuliah di sana.

”Sayang, di sini aku baik. Kamu bagaimana di sana? Aku harap, kamu baik saja. Aku ingin katakan, aku sayang kamu. Aku tunggu kamu di kota ini,” kalimat dalam surat itu semakin membuatku memacu semangat. Membuyarkan rasa sakit di lengan kananku.

Rasanya pusing dan ngilu di sekujur tubuhku hilang seketika. Dua hari lalu, aku mengalami kecelakaan. Motorku ditabrak mobil yang pengendaranya ternyata seorang polisi dalam keadaan mabuk.

Kupaksakan diri mengambil kertas. Tapi tak bisa. Kakakku kusuruh menuliskan kalimatku. Tanganku masih diperban. Wajah, kaki dan leherku juga masih diperban. Aku tak bisa bergerak. Jika terlalu banyak bergerak, efeknya aku harus mengerang kesakitan. Urat leherku tegang. Seakan ditarik ke atas, seperti orang yang mahu meninggal dunia. Lalu, dokter pasti lari tergopoh-gopoh memberikan obat penenang. Sudah tiga kali aku mengalami itu. Sakitnya luar biasa. Benturan keras dikepalaku membuatku tak bisa banyak bicara. Dokter mengatakan, tulang kepalaku retak. Itu yang membuat aku tak bisa berpikir.

Dalam suratku, kukaakan bahwa aku baik saja. Aku sehat, tak kurang apa pun. Masih seperti dulu, kurus dan hitam. Lalu, aku sebutkan juga, aku sangat kangen. Ingin bertemu secepat mungkin. Tak satu pun, kata yang menceritakan aku sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Kutacane. Aku tak mau dia khawatir.

***
Waktu bergulir begitu cepat. Aku melanjutkan studi di Kota Lhokseumawe. Kota yang selama ini kuimpikan. Ya, mimpi bertemu gadis tercantik itu. Menjalin hubungan, memasang target hidup, dengan tawa kecil si mungil.

Kulalui begitu saja. Aku kehilangan kontak dengan gadisku. Aku mencoba mencari dimana alamatnya. Ah, aku tak bertemu. Waktu terus melaju. Didepan kampus biru, aku bertemu dengannya. Apakah aku tidak salah? Benarkah dia Iros? Mengapa terlalu dingin?.
”Rose. Kamu benar Iros kan?”
”Iya.”
”Kamu masih ingat aku?”
”Ingat.”

Dingin sekali. Kalimat itu menggodam jantungku. Kuhentikan langkah dan membiarkannya berlalu. Beralalu dari hidupku. Berlalu dari semua ingatan. Hanya sepenggal kenangan yang menyayat luka. Menoreh dunia ini dengan tinta tiada makna. Hilang semua hayalan tentang masa depan, dan tawa simungil. Aku menguburkanmu dalam sudut hati. Untuk sebuah kenangan. Ini yang membuatku terluka. Alpa pada wanita disekelilingku. Hingga kini.
***
Anehnya, empat tahun telah berlalu. Kamu datang untuk mengusikku. Mengusik tentang cinta dan kesetiaan. Mengubah kata maaf melalui ponselmu.

”Dim, maafkan semua kesalahanku ya. Masih ingat sama aku?” itu kalimat pesan singkat yang masuk ke handphoneku. Aku pikir, ini wanita gila mana, yang tiba-tiba minta maaf, di siang hari. Ditengah kesibukan menyergapku.
”Ah, biasa saja. Kamu siapa. Maaf aku lupa. Perasaan tak ada yang perlu dimaafkan. Itu semua permainan bumi,” kujawab sekenanya.

”Aku Iros. Wajarlah, kalau Dim lupakan aku. Aku sudah banyak berbuat salah?” Wah semakin menggila wanita ini. Aku memiliki banyak teman wanita bernama Iros.
Namun, pesanku tak dibalas. Aku menghubunginya. Ah, ternyata dia Iros. Wanita yang pernah menoreh luka. Jujur, aku belum bisa melupakan duka itu. Namun, hatiku berontak tuk tidak mengatakan aku masih ingat dia. Aku masih sayang padanya.

Kini dia tak sendiri, dia memiliki tambatan hati. Aku merasa, ini sebuah kenangan buruk. Dulu, dia pergi tanpa pesan. Kini kembali, membawa sebuah kabar duka. Dia memiliki tambatan hati. Apakah aku harus menyalahkan waktu, mempertemukanmu diwaktu yang tidak pernah tepat? Haruskan aku menyalahkan takdir? Tidak. Aku harus mengubur diri, dalam relung duka, dalam relung harapan untuk sebuah kehidupan. Ada atau tidak adanya kamu. Selamat jalan Iros.

Publis Oleh Dimas Sambo on 01.20. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added