Pembuktian Bang Yan Dalam Berkarya
CACAT bukan alasan untuk berhenti berusaha. Semangat menjadi modal utama. Tekad itu menjadi modal awal bagi Alfian M Basyir (60 Tahun). Warga Desa Blang, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara itu, mulai merintis bisnis furnitur. Meski kecil-kecilan, Bang Yan, panggilan akrab Alfian M Basyir, tetap semangat. Dia yakin, selagi matahari terbit, semua orang bisa berusaha. Tergantung tekad dan kemauan.
Dia juga yakin, manusia diciptakan memiliki ide dan gagasan untuk berkembang. Tatapan mata pria ini tajam. Dia tak malu memiliki kekurangan. Kakinya kecil, tidak seperti masyarakat lainnya. Namun, itu pula yang memicu semangatnya.
”Saya yakin, selagi matahari bersinar, saya masih bisa berusaha. Saya percaya, semua orang diberikan rezeki. Tinggal, cara mencarinya saja yang berbeda,” ujarnya di lokasi usaha miliknya di Desa Blang, Selasa (2/12) lalu.
Lelaki ini sebelumnya membuka usaha di Lamnyong, Banda Aceh. Kemampuan mengolah kayu, mengukir, dan menjadikannya perabot rumah tangga, didapat dari Balai Latihan Kerja (BLK) Banda Aceh, 1997 silam.
Usai pelatihan, dengan modal seadanya, dia memantapkan diri untuk membuka usaha. Dia terampil membuat lemari, meja makan, meja rias, dan seluruh perabotan rumah tangga. Usaha itu terus berkembang.
Dia bahkan optimis mampu mengalahkan pelaku bisnis yang sama di Banda Aceh. Jajaran kepolisian dari Polda NAD juga memesan perabotan hasil buatan Bang Yan. Maklum, dia sangat menjaga kualitas produknya.
Saat itu, dia menetap di Pasar Lamnyong. Istrinya menetap di Desa Blang, Tanah Pasir, Aceh Utara. Seminggu sekali, dia pulang menjenguk istri tercinta. Kebahagiaan dan puncak bisnisnya sirna, tepat 26 Desember 2004 silam.
Musibah ie beuna (tsunami) menghancurkan seluruh lokasi usahanya. Tak ada yang tersisa. Barang kesayangannya pun, gambar-gambar ukiran dari berbagai sumber, hilang disapu air bah mahadahsyat itu.
”Tak ada yang tersisa,” kenangnya melambung ke tragedi empat tahun silam. Matanya nanar menatap sebuah lemari yang sedang dikerjakannya. Usai tsunami, Bang Yan, masih bertahan di Banda Aceh. Sepeda motor butut miliknya yang tertimpa pohon ketika tsunami, kembali dia gunakan. Namun, Banda Aceh telah berubah.
Seluruhnya rata dengan tanah. Dia berpikir, tak mungkin bisa memulai bisnis kembali di ibukota Provinsi Aceh itu. Selain itu, Rubiah, istrinya selalu memesannya. Agar pulang ke kampung.
Dia juga rindu pada pelukan tiga orang anaknya. ”Saya putuskan pulang. Tapi, saya tetap membuka usaha, dengan uang seadanya, sisa bisnis di Banda Aceh,” kisahnya. Pria yang bercita-cita menjadi Sarjana Elektro itu, sesekali mengelap peluh yang membasahi keningnya. Meski kini hidup pas-pasan, dia tak pernah menyerah. Dia tak ingin mengais rezeki di jalanan. Dia tak ingin menjadi pengemis. ”Saya akan terus berusaha. Meski kaki saya, tidak normal, seperi kaki orang lain,” sebutnya.
Bang Yan mengatakan, peristiwa yang tak bisa dilupakan sepanjang hidupnya itu terjadi ketika dia kecil. Saat itu, dia demam. Panas badannya sangat tinggi. Saat itu, tidak ada bidan di kampungnya. Ibu Bang Yan, memutuskan membawanya berobat ke mantri kesehatan terdekat dengan desa tersebut. Malang tak bisa dihindarkan, mantri itu menyuntiknya dengan obat. Obat ini pula yang membuatnya kehilangan kaki yang kokoh. Kakinya hanya dibalut tulang. Sangat kecil. Kondisi panas tinggi, seharusnya tidak disuntik.
Namun, cukup diberikan obat saja. ”Saya baru sadar itu ketika remaja. Dulu, mana tahu. Suntik, ya suntik. Kaki saya jadi begini setelah disuntik. Sebelumnya normal,” ungkap Bang Yan. Meski begitu, Bang Yan tetap tabah. Menerima takdir yang terjadi. Kini, masa kejayaan bisnisnya telah sirna. Dia tak mempunyai fondasi modal usaha yang kuat untuk mengembangkan bisnis furnitur itu. ”Saya butuh sekitar Rp 20 juta untuk pengembangan bisnis ini,” katanya. Jangan khawatir memesan furnitur dari Bang Yan.
Meski terbatas kemampuan fisiknya, dia sangat teliti. Hasil buatannya halus dan padat. Pengecatannya pun mengkilap. Sangat rapi. ”Kalau ada orang yang mau memberi modal, saya pasti sangat senang,” harap Bang Yan. Siang itu dia terus bekerja. Mesin bor, martil, dan lain sebagainya berserakan di lokasi kerjanya. Harapannya menyala, menyongsong matahari terbit. Untuk kehidupan lebih layak. [masriadi sambo]