Liputan Kutacane [2]
Berharap Rezeki di Kumbang Indah
TANGAN kecil itu terlihat gesit mengangkat cangkul, mematok parit di Komplek Perusahan Kumbang Indah, di Desa Kumbang Indah, Kecamatan Badar, Aceh Tenggara. Badan cekingnya dibalut peluh. Mengkilap diterpa sinar matahari. Itulah, Agusni (16 tahun).
Sudah empat minggu dia di kota itu. Bekerja sebagai buruh pembuatan parit di kompleks perumahan itu. Pria ini warga Desa Tanjong Dalam, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Bersama enam warga desanya, dia merantau ke Kutacane. Tujuannya tak lain, mencari rezeki. ”Ya, berharap bisa mencukupi kebutuhan uang Idul Adha nanti,” kata Agusni, Ahad (30/11) lalu. Pria ini tak pernah bermimpi menjadi kuli bangunan.
Namun, kesulitan ekonomi membuatnya berhenti sekolah. Dia hanya menamatkan pendidikan SMP Negeri 1 Langkahan. Orang tuanya, tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sewaktu kecil, dia pernah bercita-cita menjadi Tentara Negara Indonesia (TNI) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, nasib berkata lain. Di kampungnya, dia tak memiliki pekerjaan tetap. Sesekali dia bekerja sebagai kuli bangunan.
Dilain waktu dia bekerja sebagai pembajak sawah milik masyarakat desanya. ”Beginilah. Saya hanya berpikir, bagaimana mengumpulkan uang sekarang. Biar bisa buka usaha nanti, entah kapan!” keluhnya. Di Kutacane, dia bersama enam temannya mengontrak rumah ukuran 4 x 8 meter dengan biaya patungan. Biaya sewa rumah Rp 200.000 per bulan.
Gaji Agusni per hari hanya sebesar Rp 60.000. Gaji itu diambil per minggu. Dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 18.000 per hari untuk biaya makan. Ditambah biaya rokok, dan kebutuhan sehari-hari. ”Paling bisa disimpan Rp 20.000,” terang Agusni. ”Sekarang saya boleh begini. Tapi, saya berharap, bisa lebih baik nanti. Ya, ka lon lage nyo, aneuk lon teuman bek le (sudah saya begini, anak saya nanti jangan lagi),” katanya.
Cita-cita Agus melambung. Dia tak lagi berharap menjadi TNI, memegang senapan, dan berseragam loreng. Dia juga tak ingin menjadi orang kantoran. Maklum, ijazah tak ada.
Menurutnya, Indonesia, negara yang mengandalkan ijazah. ”Bagi kami yang tak sekolah ini. Ya, hanya bisa diam saja,” keluhnya. Kini, dia bercita-cita menjadi pengusaha. Memulai bisnis di kampungnya. Namun, untuk mencapai impian itu, dia harus kerja keras. Mengumpulkan uang. Filosofi hidupnya, kumpul sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit.
”Saya bekerja kemari juga karena ingin lebih baik. Di kampung saja tak punya kerjaan. Bangun tidur saja entah jam berapa. Saya tak mau seperti itu. Makanya, ketika ada tawaran bekerja, ya saya terima. Meski pun menjadi buruh ha ha ha...,” katanya terbahak.
Jam telah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Terik matahari begitu menyengat. Memanggang bumi. Agus tak perduli. Dia mengambil cangkul, berjalan santai sambil bersiul. Menuju galian parit tak jauh dari rumah kontrak mereka. Satu waktu, dia menginginkan nasib berubah. Agus potrem buram pendidikan Aceh Utara.
Masih banyak anak di kabupaten itu yang mengalami putus sekolah. Data dari Dinas Pendidikan Aceh Utara, sebanyak 16.705 orang mengalami nasib yang sama seperti Agus, di bangku SMP. [masriadi sambo]