Liputan Kutacane [3]
SEPULUH unit mobil L300 berjalan pelan, beriringan, dari Kutacane menuju Lhokseumawe, Sabtu (29/11). Dari Kutacane hingga Kecamatan Lawe Pakam, perbatasan dengan Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mobil berjalan mulus.
Tak berhenti. Lalu, seluruh penumpang diperiksa pos polisi di perbatasan itu. Razia ini rutin dilakukan. Karena, terkadang ada penumpang yang membawa ganja, untuk dijual ke luar kabupaten dengan sembonyan Sepakat Segenep itu.
Memasuki Kabupaten Karo, jalanan rusak parah. Mobil berjalan pelan. Hujan deras mengguyur perjalanan. Sesekali mobil berhenti, sopir berlari, tergesa-gesa menuju pos di pinggir jalan. ”Biasa bang, setoran tak resmi. Pungutan liar,” ujar Nasrullah, sopir mobil L300. Pria asal Kabupaten Pidie, itu menyebutkan banyak pos pungutan liar yang harus diberikan uang. Jumlahnya bervariasi, dari Rp 3.000 sampai Rp 15.000.
”Tergantung posnya juga. Ada yang terpaksa kita kasih Rp 15.000. Kita malas berurusan,” katanya. Anehnya, ada pula pos masyarakat. Kata Nasrul, pos jaga masyarakat di sepanjang jalan Kutacane – Medan, ini merupakan pos preman. Mobil terus berjalan. Sekitar 15 menit kemudian, dua orang remaja berdiri, di pinggir jalan. ”Ka lom, sepi Pak. Besok ya... Penumpang lagi sepi,” teriak Nasrul sambil melanjutkan perjalanan. Di belakang, tampak dua remaja itu mengumpat. Kalimat kasar keluar serabutan.
”Sepi Pak” dua kata yang terkadang terpaksa dikeluarkan oleh Nasrul. Maklum, malam itu, hanya empat orang penumpang yang menuju Kota Lhokseumawe. Padahal kapasitas penumpang mobil itu sepuluh orang. ”Ya, kadang-kadang harus berani. Bayangkan, untuk bensin saja, kami kewalahan. Masak dimintai lagi,” keluhnya. Praktik pungutan liar ini telah berlangsung lama. Para sopir ini sering dipalak. Jika tidak memberikan uang, maka mereka akan berurusan dengan oknum petugas polisi di sepanjang jalan itu. Motifnya, terkadang pura-pura melakukan razia. Ada-ada saja yang diperiksa.
Mulai dari tas, badan, hingga barang bawaan penumpang. Surat-surat kendaraan seperti STNK, dan SIM menjadi salah satu alasan. ”Beginilah nasib kami. Padahal, kalau cepat kita salamkan uang, langsung disilahkan jalan. Mereka hanya mau uang, pemeriksaan itu alasan saja,” kata Nasrul. Selain pungutan liar, bahaya lain yang menunggu adalah perampok. Mobil angkutan umum dari dan menuju Kutacane umumnya tak berani saling mendahului. Tujuannya, menghindarkan diri dari aksi perampokan.
”Kami kompak, untuk saling tunggu. Kalau dari Kutacane, kami berkumpul di perbatasan, di Lawe Sigala. Kalau dari Banda Aceh kemari, kami berkumpul dan berangkat bersama dari Titi Bobrok, Medan,” terang Nasrul. Praktik pungutan liar ini juga terjadi di sepanjang Jalan Medan-Banda Aceh. Namun, hanya razia saja yang disodorkan uang. Relatif sedikit. ”Kalau ada razia, kita berikan juga uang.
Terkadang, ya terpaksa bilang, sepi pak, besok ya,” kata Nasrul tertawa. Soal pungutan liar juga menjadi bahasan hangat pada musyawarah daerah Organisasi Angkutan Darat (Organda) ke IX di Banda Aceh, 11 November lalu. Sejumlah ketua Organda kabupaten mengeluhkan masih adanya praktik pungutan liar. Menanggapi itu, Sekretaris Jendral DPP Organda, Jend (Purn) Syarnubi Hasyim di Banda Aceh menyesalkan praktik pungutan liar itu. ”Itu ’kan ujung-ujungnya duit. Kita sesalkan ini,” ujar Syarnubi.
Menurutnya, Dinas Pehubungan, aparat keamanan dan seluruh instansi terkait agar memantau kinerja aparat kemanan di daerah. Karena, pungutan liar sangat berdampak pada geliat perekonomian di Aceh. ”Kalau angkutan darat di palak terus, ini akan berdampak pada perkembangan ekonomi. Ini merugikan Aceh,” sebut Syarnubi Hasyim. [masriadi sambo]