MOST RECENT

|

Wisata Cet Langet

[Catatan Akhir Tahun 2008]
Oleh Masriadi Sambo

Ketua Komunitas Markas Biru di Lhokseumawe

TAHUN 2008 ditetapkan sebagai tahun investasi dan kunjungan wisata di Aceh. Hal ini ditandai dengan digelarnya pesta rakyat “Diwana Cakradonya” 12-14 April 2008 silam. Di situ, diundang sejumlah tokoh seni, budaya, dari dalam dan luar Aceh. Tak tanggung-tanggung, sejumlah pertunjukan seni, dan budaya juga dipentaskan. Di kaji pula, sejauhmana peran mukim, sebagai lembaga pemerintahan yang telah lama ada di Aceh.


Diwana Cakrodonya, sekaligus mendukung program Visit Indonesia Year 2008 yang dicanangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jero Wacik. Visit Indonesia juga ditetapkan sebagai tahun kunjungan wisata diseluruh Indonesia. Pemerintah mensyaratkan seluruh daerah, harus membenahi obyek wisata, menarik wisatawan asing untuk berkunjung, sehingga dengan sendirinya pendapatan asli daerah (PAD) sektor ini bisa digenjot.


Namun, apa yang terjadi di Aceh. Usai pagelaran Diwana Cakradonya, tidak semua daerah mampu mengembangkan sektor wisatanya. Sebut saja, misalnya Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Dua daerah ini, belum terlihat bisa menunjukkan sesuatu yang baru pada obyek wisata di daerah tersebut. Lihat pula Pantai Ujong Blang dan Pulo Seumadu, sebagai obyek wisata yang jorok, kumuh dan tidak tertata. Padahal, setiap akhir pekan, masyarakat dari Lhokseumawe dan Aceh Utara memadati obyek wisata itu. Jika melihat sisi keindahan, tak ada yang menarik di dua lokasi obyek wisata itu. Namun, masyarakat tak memiliki pilihan lain. Hanya obyek wisata itu yang tersedia.


Di Aceh Utara, ada air terjun Blang Kolam. Lokasi ini jauh ke pedalaman. Ketika konflik belum menyalak, lokasi ini menjadi tujuan utama para wisatawan lokal. Konflik membuat obyek wisata ini mati, tak ada yang berani mengunjungi. Saat ini, umumnya yang mengunjungi lokasi wisata itu, hanya para jurnalis yang meliput, dan mengabadikan air jatuh itu dengan kamera. Masyarakat sipil, enggan ke sana. Dinas Pariwisata, Aceh Utara mencanangkan akan membangun kembali obyek wisata ini. Namun, hingga akhir tahun belum terlihat upaya konkrit untuk mengembalikan ruh obyek wisata itu.


Jika menurut program Gubernur Irwandi Yusuf dengan Diwana Cakradonya, serta program Visit Indonesia Year, Jero Wacik, merupakan program yang baik, bijak, dan sangat fantastis. Indonesia dan Aceh, memiliki alam yang indah dan memiliki potensi wisata yang luar biasa. Rasakanlah kesejukan air terjun Blang Kolam. Ditambah dengan suara burung yang berkicau, keindahan alam yang masih ”perawan” merupakan modal awal untuk menarik wisatawan. Namun, hal itu belum dimanfaatkan. Kabarnya, dinas terkait kesulitan dana untuk melakukan itu. Untuk Lhokseumawe, tahun 2008, dana bidang wisata hanya Rp 140 juta. Kabarnya, tahun 2009 malah semakin menciut menjadi Rp 75 juta.


Dengan anggaran yang diplotkan itu, tentu program kunjungan wisata merupakan program cet langet . Dalam bahasa Aceh, cet langet (mengecat langit). Tidak akan mungkin bisa mengecat langit. Dan, tak akan mungkin pula bisa merubah wajah wisata di Lhokseuamawe dengan alokasi dana hanya Rp 75 juta per tahun.

Untuk menata para penjual rujak di Pantai Ujong Blang saja, uang itu pasti tidak cukup. Belum lagi membangun sarana ibadah, toilet dan fasilitas pendukung lainnya. Mustahil bisa dilakukan. Aceh Utara juga mengalami kurang lebih sama dengan Lhokseumawe. Sejumlah obyek wisata sejarah, seperti Makam Ratu Nahrisyah, Makam Sultan Malikussaleh, belum menjadi pusat perhatian para wisatawan.


Local Wisdom

Kearifan lokal (local wisdom) merupakan kunci utama menarik perhatian wisatawan mancanegara. Bali dikenal didunia, karena pendekatan budaya lokal yang disajikan pada para pengunjung. Begitu juga dengan Brastagi, Sumatera Utara dan daerah wisata lainnya. Namun, Aceh tampaknya belum memperhatikan kearifan lokal ini sebagai potensi yang bisa dijual. Lihatlah, wisata-wisata di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Kabupaten Bener Meriah. Ketenaran Danau Laut Tawar, Wih Pesam, Wih Kulus, dan lain sebagianya tidak mencerminkan kearifan lokal di sana. Tidak ada pula tarian saman gayo di daerah wisata itu setiap akhir pekan. Souvenir gayo juga tidak terlihat. Mengapa tidak menggali


Ini juga terlihat di Aceh Selatan, ketika berkunjung ke sana, saya tidak menemukan sovenir khas Aceh Selatan, dengan cerita dan legenda Tuan Tapa yang tersohor itu. Putri Bungsu, dan air terjun tujuh tingkatnya. Hanya ada cerita-cerita yang kita dengar dari masyarakat sekitar obyek wisata.


Untuk memajukan pariwisata di Aceh, tampaknya pemerintah di kabupaten/kota harus memperhatikan soal identitas lokal. Ini memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu, berikanlah alokasi anggaran yang lumanyan besar untuk mendesain obyek wisata lebih indah dan bagus.


Promosi wisata selama ini sangat kurang dilakukan. Ketika berkunjung ke obyek wisata Sultan Malikussaleh, hanya deretan makam yang ada di sana. Tidak ada museum kecil yang menyimpan catatan sejarah. Tidak ada pula buku sejarah tentang kerajaan islam pertama di Indonesia itu yang bisa dibeli di kompleks makam. Promosi wisata ke masyarakat luar Aceh juga belum dilakukan. Sehingga, banyak orang yang yang tidak mengetahui dimana letak kompleks makam Kerajaan Malikussaleh itu.


Akhirnya, tahun 2008 tidak menjadi tahun kunjungan wisata di Aceh. Tahun yang dicanangkan sebagai tahun wisata ini berlalu begitu saja. Saya pikir, harus ada langkah baru di tahun baru mendatang. Langkah nyata, untuk pariwisata Aceh. Semoga.

Publis Oleh Dimas Sambo on 23.12. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added