MENERUSKAN TRADISI ENDATU
TRADISI memang unik. Namun, tradisi terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ya, tradisi pula yang membuat terus berkarya. Mengikuti jejak endatu (nenek moyang). Lakon itu terlihat di Desa Pande, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara.
Seperti namanya, kampung ini dihuni oleh masyarakat yang ahli mengolah potongan besi, menjadi alat-alat pertanian. Ya, pandai besi dalam bahasa Aceh, disebut seumande (mengolah besi menjadi alat pertanian).
Informasi yang dihimpun Independen, di desa itu menyebutkan, asal nama Kampung Pande diambil dari nama Kampung Pande,Kabupaten Aceh Besar. Puluhan tahun lalu, seorang warga asal Kampung Pande, Aceh Besar datang ke desa itu.
Tidak diketahui pasti, siapa namanya. Namun, kabarnya, dialah orang pertama yang mengajarkan masyarakat untuk membuat parang, cangkul, pisau, rencong dan lain sebagainya di Desa Pande, Aceh Utara.
Kini, usaha itu sudah merakyat di Aceh Utara. Jika ingin membeli parang, dan alat pertanian lainnya dalam jumlah besar, di Aceh Utara, Desa Pande tempatnya. Di sana, seluruh masyarakat membuka usaha itu.
Suara palu menggodam besi terdengar jelas dari belakang, dan samping rumah warga. Ketang, ketang……. Suara palu itu terdengar begitu keras.
Pelakunya bukan hanya kaum tua. Sejumlah anak remaja, menghabiskan paruh waktu, usai pulang sekolah, memegang palu. Memipih besi menjadi barang jadi. “Bukan hanya mencari uang. Tapi, ini sudah membumi. Saya senang bisa bekerja dan meneruskan keahlian orang tua,” kata Irfan Sasusi (18 tahun), Ahad (23/11).
Irfan belajar membuat sekop dari ayahnya. Uniknya, di desa itu masing-masing pengrajin memiliki produk yang berbeda. Ini cara menjaga persaingan bisnis, agar tetap lancar, dan tidak saling tiru.
Aziz, pemandai besi lainnya menyebutkan tradisi pandai besi memang tak pandang bulu di desa itu. Tak hanya kaum papa saja yang mengolah besi. Kaum kaya, juga melakukan hal yang sama. “Bagi masyarakat, pandai besi menjadi tradisi. Lihat saja, orang kaya juga masih membuka usaha ini,” kata Aziz.
Aziz khusus membuat skop. Dia membuka usaha itu, empat tahun lalu. Meski terbilang kecil, dibanding usaha pande besi lainnya, Aziz tetap optimis dengan pangsa pasarnya. Saat ini, dia tak hanya memasok kebutuhan skop untuk pasar Aceh Utara dan Lhokseumawe. Namun, dia juga memasok untuk kebutuhan, Meulaboh, Aceh Besar.
“Alhamdulillah, tidak pernah sepi orderan,” ungkap Aziz sumringah. Dia dibantu dua orang tenaga kerja. Puncak penjualan pandai besi di desa itu terjadi, tahun 2005-2007 silam. Banyak pesanan datang dari sejumlah kontraktor yang terlibat pembangunan fisik pascatsunami di Aceh. Aziz, bahkan kewalahan menerima orderan.
Saat itu, dia memasok 1.000 skop per satu orang kontraktor. Kini, pesanan mulai berkurang. Tidak ada lagi pesanan dalam jumlah besar. Dan, tak ada pula si pemesan harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan skop made in Aziz.
Awalnya, Aziz bekerja pada milik pemandai besi lainnya. Namun,terakhir dia memutuskan membuka usaha sendiri. Modalnya, hanya dua palu berat lima kilogram. Hasilnya, lumayan. Kini, dia bisa bertahan dan eksis pada bisnis mikro itu.
Aziz merincikan, untuk membuat skop membutuhkan bahan berupa plat kontainer yang nantinya akan di potong berbentuk persegi panjang dan kemudian di bentuk diketok serta di haluskan dengan menggunakan mesin gerinda listrik.
“Sekarang sudah ada gerinda. Dulu, saya haluskan besi pakai alat kikir manual,” kenangnya melambung ke empat tahun lalu.
Untuk harga jual skop Aziz dibanderol 17.000 per lembar. Untuk kategori skop tebal dijual Rp 22.000 per lembar.
“Kami bisa membuat skop 50 buah sehari. Kami yakin, bila ada orderan besar, bisa selesai tepat waktu. Itu menjaga kepuasan pelanggan,” kata Aziz berpromosi.
Aziz terus mengangkat palu. Memukul lempengan demi lempengan besi. Membakar dan menyeduh besi ke air. Bukan hanya soal rupiah, namun juga soal melanjutkan tradisi. Ya, tradisi yang diwariskan endatu di kampung itu. [masriadi sambo]