MOST RECENT

|

Jalan Panjang Tak Berujung


Undang-Undang Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) telah disahkan pemerintah 10 Desember lalu. BHP dinilai sebagai undang-undang yang tepat untuk melahirkan kampus yang mandiri dan otonom. Mengembangkan bidang ilmu dan pembangunan kampus, sesuai daerah masing-masing. Selain itu, BHP dinilai sebagai undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, yang mensyaratkan seluruh rakyat berhak menerima pendidikan yang layak.

Melalui pintu BHP, kampus-kampus negeri menjadi setengah swasta. Kampus bisa mengeluarkan kebijakan menaikkan biaya administrasi, dan sejumlah rentetan biaya lainnya. Ini yang dinilai sejumlah mahasiswa memberatkan rakyat. Toh, rakyat negeri ini belum kaya dan mampu menimba ilmu dengan biaya tinggi.

Paska disahkannya BHP, seluruh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh melakukan demontrasi. Menolak BHP, dan meminta mencabutnya.

Namun, sosiolog Universitas Syah Kuala (Unsyah) DR Saleh Syafi’i memiliki pandangan lain. Dia menyebutkan BHP sebagai dasar hukum untuk mewujudkan kampus mandiri. ”Jangan terlalu takut dengan BHP. Baca lagi konsiderannya. Disebutkan memang kampus sebagai lembaga nirlaba. Tidak mencari keuntungan,” kata Saleh.

Dia mengatakan, dengan BHP kampus menjadi lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan. Seluruh kebijakan kampus untuk menambah pondasi keuangan kampus, juga digunakan untuk kemapanan kampus. Masalahnya, siapkah orang-orang dalam kampus menjadi ”manusia setengah dewa”. Benar-benar tidak mencari keuntungan?

”Ini yang menjadi masalah. Seluruh Indonesia belum ada yang siap benar seperti itu. Namun, semuanya harus dimulai. Jadi, dimulai pelan-pelan, misalnya, tahun ini 20 persen saja BHP, tahun depan ditingkatkan lagi,” katanya.

Saleh sepakat dengan BHP. Dia menilai, jika orang kampus bersih dan menjalankan sesuai amanah BHP, maka kampus negeri akan semakin maju dan berkembang. Sebaliknya, pengamat sosial nasional asal Aceh, Al Chaidar memiliki pendapat lain. Al Chaidar menyebutkan BHP merupakan jalan panjang pemerintah untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap pendidikan. Pasalnya, pemerintah merasa berat untuk memenuhi biaya pendidikan sebesar 20 persen dari alokasi APBN. Sehingga BHP menjadi tindakan jelas untuk meringankan beban pemerintah. Padahal di Kanada, alokasi untuk biaya pendidikan mencapai 30 persen dari belanja rutin negara itu.

”BHP itu jelas-jelas membuktikan pemerintah melepaskan tanggungjawabnya dibidang pendidikan tinggi. Ini tidak baik, dan seharusnya dicabut saja BHP itu,” kata Al Chaidar kepada Independen, Kamis (25/12).

Dia menyebutkan, jika pemerintah tidak bisa mencerdaskan rakyatnya, artinya pemerintah sudah tidak berguna lagi. Sehingga, masyarakat harus merogoh kocek setebal-tebalnya untuk masuk ke perguruan tinggi.

Penulis buku tentang Aceh ini menilai, jika BHP dilaksanakan, maka kampus akan sama dengan lembaga pemerintahan lainnya. ”Di kampus akan ada mafia proyek. Tidak ada BHP saja, kampus sudah sangat sombong. BHP akan membuat kampus semakin sombong. Tidak ada yang bisa menjamin, pengelolaan kampus akan bersih nirlaba, tanpa mengambil keuntungan,” ketus Al Chaidar.

Dia menyebutkan, pemerintah perlu mencabut BHP tersebut untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Jika BHP tidak dicabut, maka kaum miskin tidak akan bisa menimba ilmu di kampus. Pasalnya, biaya sekolah yang sangat tinggi. Tidak akan ada pula orang yang berani menjamin, bahwa keuntungan dari pengelolaan kampus akan diberikan pada kaum miskin yang cerdas dan ingin sekolah. Jika pun ada, pertanyaannya berapa persen uang keuntungan kampus diberikan untuk kaum miskin, dan berapa persen dikeruk masuk kedalam rekening pribadi? Entahlah, ini jalan panjang tak berujung pendidikan tinggi di negeri ini. [masriadi sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 23.22. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Jalan Panjang Tak Berujung"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added