Dayah Darul Huda
PENGANTAR REDAKSI
Dayah Darul Huda di Desa Krueng Lingka Lueng Angen, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara merupakan salah satu dayah salafi murni di Aceh. Kemarin, jurnalis Independen, Masriadi Sambo, mengunjungi dayah tersebut. Berikut reportasenya;
Mempertahankan Salafi
SORE itu, Rabu, 9 Juli 2008. Pimpinan Dayah Darul Huda, Teungku Muhammad Daud Ahmad, tampak santai di salah satu balai di samping rumahnya. Dia mengenakan kain sarung kotak-kotak biru dan baju kaos oblong warna putih. Senyumnya mengulas menyambut kedatangan saya. Seorang santri menemani saya menemui pimpinan pesantren tersohor di pedalaman Aceh Utara itu. Santri itu menganggukkan badan dan berbicara sejenak dengan Abu, panggilan akrab Teungku Muhammad Daud Ahmad. “Silahkan naik. Duduk, peuna yang jeut lon bantu neuk (apa yang bisa saya bantu nak),” ujar Abu ramah. “Maaf, saya kurang sehat. Silahkan wawancara dengan Tengku Marzuki, saya percayakan pada dia. Maafkan saya,” ujar Abu kembali setelah mengetahui maksud kedatangan saya.
Abu memang kurang sehat waktu itu. Namun, dia berusaha untuk terlihat santai. Rileks, layaknya seperti orang yang sehat. Dia menunjuk, Teungku Marzuki, salah seorang murid dan bendahara dayah tersebut. Tengku Marzuki, sudah 16 tahun mendampingi Abu mengembangkan pesantren tersebut.
Pesantren itu salah satu pesantren yang mempertahankan tradisi salafi dan mengkaji kitab kuning. Abu, memang mendidik murid-muridnya tidak terlibat dalam kancah politik kepentingan. Tak ada cerita partai politik masuk dayah dalam tradisi pesantren itu. “Abu selalu menekankan tak ada politik di dayah. Kita murni, murni salafi,” sebut Teungku Marzuki Muhammad Ali, bendahara dayah tersebut.
Pesantren itu didirikan Tengku Muhammad Daud Ahmad, 27 April 1972 silam. Saat itu, Abu baru saja selesai menimba ilmu di pesantren Samalanga. Kala itu, diatas tanah 40.000 M2 itu hanya berdiri satu balai pengajian ukuran 4 x 7 meter. Disitulah, Abu memulai kegiatan mengajar para santri. Dia lalu, mencari dukungan masyarakat untuk kemajuan pesantren. Hasilnya, lumanyan. Saat ini, bangunan tiga tingkat dengan kontruksi beton berdiri megah di Desa Krueng Lingka Lueng Angen. Satu buah mesjid tempat ibadah juga berdiri megah dengan disain taman yang indah. Ditambah lagi dengan asrama santriwati, santriwan dan rumah para dewan guru. Dua orang anak Abu Muhammad Daud Ahmad, Muzakkir dan Zainab, juga turut membantu pengembangan pesantren itu.
“Dulu, Abu bersama masyarakat bersusah payah mengembangkan pesantren ini. Banyak masyarakat yang menyumbangkan tanahnya untuk pesantren,” ujar Teungku Marzuki.
Saat ini, pesantren itu memiliki 1.150 orang santri. Jumlah itu didik oleh 77 ustad dan 32 orang ustadzah. Sangat memadai. Seluruh kegiatan dipusatkan di kompleks pesantren. Santri sangat dilarang berkeliaran diluar kompleks pesantren. Tujuan pendidikan dayah salafi ini untuk mencerdaskan santri untuk mengkaji dan mendalami ilmu agama tentunya dengan penekanan pada kitab kuning (kitab gundul). “Aturan kita sangat ketat. Kalau ada orang tua santri meminta izin anaknya tanpa ada alasan yang jelas, kita tak izinkan santri untuk pulang ke rumah,” ujar Marzuki. Benar saja, sejurus kemudian, seorang orang tua santri meminta izin anaknya untuk pulang kampung. Alasannya, agar sang anak bisa membantu turun ke sawah.
Tengku Marzuki yang dimintai izin tak memberikan izin. “Karena alasannya turun ke sawah dan anak bapak masih di kelas dasar, kami tak izinkan,” ujar Tengku Marzuki lembut. Sang ayah ini tak keberatan dan pergi meninggalkan dayah tersebut.
Kurikulum Salafi
Saya mengelilingi dayah tersebut. Tampak beberapa santri bersiap-siap untuk bermain tennis meja dan tennis lapangan. Santri lainnya sibuk memasak di dapur umum. Sepuluh orang santri duduk di depan pintu masuk pesantren. Mereka bertugas sebagai piket. Piket pula yang memiliki kewajiban untuk menyiram bunga di pekarangan dayah tersebut. Sebelah kiri pintu masuk tampak satu gedung bertingkat tiga berdiri megah. Gedung itu khusus untuk santri putri. Di jalan masuk gedung itu terpampang tulisan “dilarang masuk bagi wanita yang mengenakan celana panjang”. Dayah ini memang sangat ketat aturan. Dalam sebulan, santri hanya mendapatkan waktu libur dua hari. “Dua hari mereka bisa pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga dan melepaskan rindu pada keluarga,” sebut Tengku Marzuki. Hal itu diamini salah seorang santri, Saiful Rizal. Dia mengakui aturan di pesantren itu sangat ketat. “Kalau tak ikut pengajian rutin, padahal kondisi badan sehat. Maka akan dihukum,” ujar Rizal.
Untuk kurikulum, dayah ini memiliki kurikulum sendiri. Mereka tidak mengadopsi kurikulum Departemen Agama yang berlaku secara nasional. “Abu mempertahankan salafi murni. Kita membuat kurikulum sendiri, untuk menghidari intervensi pendidikan dari departemen agama,” papar Tengku Marzuki.
Kurikulum di dayah itu terbagi tiga, yaitu untuk tingkat ibtidaiyah (pendidikan dasar), tsanawiyah (menengah pertama) dan aliyah. Santri yang belajar ditingkat ibtidaiyah wajib memahami kitab Tahrirul Aqwal, Dhammun, Matan Al Bina, Matan Al Jarumiah, Mutammimah, Al Bajuri, Khamsatu Mautun dan sejumlah kitab lainnya. “Untuk ibtidaiyah, kita menakankan agar santri memahami ilmu fikh, nahwu, sharaf, tauhid, akhlak dan tasawuf. Agar mereka lebih mudah nantinya mempelajari kitab-kitab besar,” ujar Tengku Marzkuki.
Sedangkan ditingkat tsanawiyah para santri disodorkan kitab I’anatutthalibiin, Matan Alfiah, Syarah Al Kailani, Asshawi, Majilisis Tsaniyah dan sejumlah kitab lainnya. Untuk tingkat aliyah kitab yang diajarkan berupa Fathul Wahhab, Syarah Ibnu Aqil, Tafsir Jalalain, Ihya Ulumuddin dan sejumlah kitab lainnya. “Kita terus pertahankan tradisi salafi ini. Tak ada sekolah formal di sini. Kita didik santri yang utuh dengan ilmu agama,” pungkas Tengku Marzuki.
Pondasi Keuangan Dayah
PERKEMBANGAN zaman membuat pesantren memikirkan pondasi keuangan. Pondasi keuangan yang kokoh menjamin kesejahteraan guru dan santri di pesantren itu. Selama ini, biaya operasional pesantren berasal dari sejumlah donatur, pemerintah dan Non Government Organisation (NGO) lokal dan internasional yang konsen untuk pengembangan pendidikan pesantren.
Sejauh ini, pesantren hanya memiliki koperasi yang menjual berbagai kebutuhan santri dan dewan guru. Satu unit warung serba ada terdapat di kompleks santri putra dan putri. Selain itu, setengah hektare lebih kebun jati juga dimiliki pesantren itu. Letaknya tepat disamping kiri bangunan pesantren.
Untuk mengembangkan perekonomian pesantren, dalam waktu dekat ini, dayah itu akan membuka usaha konveksi. Satu unit toko telah dimiliki. Disitu, akan menerima tempahan pakaian. Pekerjanya diambil dari luar pesantren. “Para santri juga akan kita libatkan untuk belajar di konveksi nanti,” ujar Teungku Marzuki. Selain itu, Abu Tengku Muhammad Dauh Ahmad juga telah membeli tanah di Desa Lhok Nibong, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur untuk dijadikan mini market.
Namun, modal pesantren itu tak cukup untuk membuka minimarket. Pihak dayah sedang mengupayakan donatur untuk membuka minimarket. Memilih minimarket sebagai unit usaha tampaknya pilihan yang tepat. Pasalnya, sejauh ini belum ada satu pun minimarket yang berdiri di Lhok Nibong.
Tengku Muzakir
Tak Mau Terlibat Partai Politik
Tengku Muzakir, yang ditunjuk Abu Muhammad Daud Ahmad menerima kedatangan saya. Saat itu, dia hendak menuju Pantonlabu, Aceh Utara untuk satu keperluan tertentu. Namun, karena Abu menyuruhnya, niat itu terpaksa ditunda sementara. Abu ingin beristirahat sore itu. Berikut petikan wawancaranya;
Saat ini, banyak sekali perkembangan pesantren. Ada pula elit politik yang mencari simpati lewat pesantren. Apalagi tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 sudah dimulai, bagaimana menurut Anda?
Ya, kalau dayah ini, sejak zaman dulu tidak mau terlibat dalam kancah politik praktis. Ini yang selalu ditekankan Abu pada kami dan dewan guru lainnya. Abu, selalu menganalisis perkembangan politik di luar sana. Beliau orangnya komitmen dan seakan tau apa yang akan terjadi kedepan. Kalau beliau sudah bilang tidak mau terlibat parpol, ya tidak mau. Begitu prinsip Abu.
Soal perkembangan pesantren, apa yang paling ditekankan pada sistem pengajaran di dayah ini?
Kita mewajibkan santri patuh aturan. Aturan penting untuk mendidik mereka agar disiplin dan menghargai hukum yang sudah ditetapkan. Misalnya, santri tidak boleh keluar kompleks. Lalu, haram merokok. Kalau kedapatan merokok, ini yang paling berat hukumannya. Hukumannya, kita akan berikan sanksi agar santri itu membersihkan toilet. Kalau pelanggaran lain, ya, hanya sekedar kita hukum dengan berdiri di matahari selama dua jam. Ini penting. Agar mereka patuh aturan. Bagaimana kalau sudah keluar dari sini, dan mereka tak patuh pada hukum dunia? Bisa gawat mereka. Terlebih lagi hukum Allah Swt.
Lalu, umumnya santri masuk kemari itu dari daerah mana saja?
Sejak berdiri banyak santri yang masuk kemari itu umumnya berasal dari desa. Sangat sedikit yang berasal dari kota. Sebagian besar santri dari Lhoksukon, Lhokseumawe, Aceh Timur lebih dominan, Aceh Tamiang dan kabupaten lainnya. Kemudian, dari Padang, Riau dan Medan. Untuk asal santri Pulau Jawa tidak ada sama sekali.
Background pendidikan santri bagaimana?
Umumnya santri yang masuk ke mari setelah tamat SMP. Lalu, sebagian besar tamatan SMA. Sangat sedikit yang tamat SD masuk kemari. Kalau sudah masuk kemari, ya mereka tak dapat pendidikan formal. Disini pendidikan agama murni. Tak ada sekolah formal.
Apa saja yang sangat dibutuhkan pesantren saat ini?
Saat ini, kita butuh beberapa unit asrama guru. Kemudian, yang masih sangat kurang itu asrama santri. Sekarang kita punya tiga lantai, tapi tak cukup. Kalau bisa para donatur dan pemerintah membantu dua hal ini saja dulu.
Saiful Rizal
Sang Juara di Darul Huda
GENAP delapan tahun Saiful Rizal mondok di Pesantren Darul Huda. Pria kelahiran 20 Juni 1986 itu betah berlama-lama di pesantren itu. Awalnya, ketika masuk ke pesantren itu tahun 2000 silam, dia sempat menangis. Tidak biasa dengan tadisi mondok dengan aturan yang begitu ketat. “Dua minggu pertama saya rasanya setiap hari mau menangis. Tak betah. Setelah itu, sampai sekarang, rasanya pulang saja malas,” ujar Saiful Rizal pada saya.
Pria bertubuh gempal itu dikenal akrab dikalangan santri di pesantren itu. Niat masuk pesantren berawal ketika Ayahanda Saiful Rizal meninggal dunia. Saat itu, ibunya, Hajjah Sairah memberi dua pilihan, masuk pesantren atau masuk ke sekolah formal. Alumni SMP Negeri 1 Seunuddon itu memilih pesantren sebagai pilihan utama.
Setiap tahun, pesantren itu mengadakan perlombaan khusus untuk santri dan santriwati. Nah, Saiful Rizal, keluar sebagai sang juara setiap kali perlombaan yang diadakan. Beberapa perlombaan yang diadakan seperti lomba menafsirkan sejumlah kitab kuning, membaca kitab mahali dan sejumlah kitab lainnya. Dia juga keluar sebagai juara umum dua tahun berturut-turut dalam perlombaan itu. “Tahun 2006 dan 2007 lalu, alhamdulillah saya keluar sebagai juara umum,” ujar Saiful Rizal bangga.
Sedangkan di tahun 2003 sampai 2005 dia keluar sebagai juara satu dalam lomba baca kitab. Dia dikenal sebagai santri yang kutu buku. Niatnya untuk menjadi ustad sangat besar. Saban waktu dihabiskan untuk membaca kitab dan mengulang pelajaran yang diberikan para ustadnya. Bahkan, izin pulang kampung yang diberikan pesantren jarang sekali digunakan pria ini. “Saya lebih memilih di pesantren. Tak ada waktu untuk tidak belajar, itu tekad saya. Kecuali, ada keluarga yang musibah, itu saya baru pulang kampung,” paparnya.
Sore itu, Saiful Rizal berpenampilan seadanya. Kain sarung dan baju kemeja lengan pendek warna kuning. Keluarga Saiful memang terbiasa dengan tradisi pesantren. Dua orang abang kandungnya juga mondok belasan tahun di Pesantren Samalanga. Anak kelima dari enam bersaudara itu ingin menghabiskan waktu lebih lama di pesantren itu.
Dia terkesima dengan sikap pimpinan pesantren, Tengku Muhammad Daud Ahmad yang sangat bersahaja. Tampil sederhana namun memiliki prinsip yang kuat. Dia bangga bisa menimba ilmu dari ulama kharismatik Aceh itu. Hingga saat ini, Saiful merasa ilmu yang didapat dari pesantren itu masih sangat sedikit. “Saya ingin lama di pesantren ini. Cara belajarnya mudah di fahami. Saya bangga bisa diajarkan ilmu agama langsung dari Abu, pimpinan pesantren,” sebutnya.
Setelah menimba ilmu di pesantren ini apa yang direncanakan? Saiful menjawab tegas. “Saya ingin mendirikan pesantren lagi. Saya ingin menyebarkan ilmu agama, layaknya Abu yang mendidik kami sekarang,” sebutnya. Niat itu menjadi tujuan akhir Saiful. Dia berharap, satu waktu bisa memiliki pesantren sendiri. Menyebarkan ilmu agama untuk seluruh umat di dunia. Semoga sukses Saiful. [foto dan teks > masriadi sambo]
DATA PESANTREN DARUL HUDA
Nama Pesantren : Dayah Darul Huda
Alamat : Desa Krueng Lingka Lueng Angen, Kecamatan Langkahan
Kabupaten Aceh Utara
Pendiri : Tengku H Muhammad Daud Ahmad
Tanggal Berdiri : 27 April 1972
Alumni :
- Dayah Bustanul Huda Pimpinan Tengku H Muhammad Ali, Julok, Aceh Timur
- Dayah Nurul Huda Pimpinan Tengku Zainal Abidin, Lhok Nibong, Aceh Timur
- Dayah Bayanuddin, Pimpinan Tengku Ilyas, Ara Kundo, Aceh Timur
- Dayah Nurul Huda, Pimpinan Tengku Muhammad Isa, Idi Rayeuk, Aceh Timur
Dayah Darul Huda di Desa Krueng Lingka Lueng Angen, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara merupakan salah satu dayah salafi murni di Aceh. Kemarin, jurnalis Independen, Masriadi Sambo, mengunjungi dayah tersebut. Berikut reportasenya;
Mempertahankan Salafi
SORE itu, Rabu, 9 Juli 2008. Pimpinan Dayah Darul Huda, Teungku Muhammad Daud Ahmad, tampak santai di salah satu balai di samping rumahnya. Dia mengenakan kain sarung kotak-kotak biru dan baju kaos oblong warna putih. Senyumnya mengulas menyambut kedatangan saya. Seorang santri menemani saya menemui pimpinan pesantren tersohor di pedalaman Aceh Utara itu. Santri itu menganggukkan badan dan berbicara sejenak dengan Abu, panggilan akrab Teungku Muhammad Daud Ahmad. “Silahkan naik. Duduk, peuna yang jeut lon bantu neuk (apa yang bisa saya bantu nak),” ujar Abu ramah. “Maaf, saya kurang sehat. Silahkan wawancara dengan Tengku Marzuki, saya percayakan pada dia. Maafkan saya,” ujar Abu kembali setelah mengetahui maksud kedatangan saya.
Abu memang kurang sehat waktu itu. Namun, dia berusaha untuk terlihat santai. Rileks, layaknya seperti orang yang sehat. Dia menunjuk, Teungku Marzuki, salah seorang murid dan bendahara dayah tersebut. Tengku Marzuki, sudah 16 tahun mendampingi Abu mengembangkan pesantren tersebut.
Pesantren itu salah satu pesantren yang mempertahankan tradisi salafi dan mengkaji kitab kuning. Abu, memang mendidik murid-muridnya tidak terlibat dalam kancah politik kepentingan. Tak ada cerita partai politik masuk dayah dalam tradisi pesantren itu. “Abu selalu menekankan tak ada politik di dayah. Kita murni, murni salafi,” sebut Teungku Marzuki Muhammad Ali, bendahara dayah tersebut.
Pesantren itu didirikan Tengku Muhammad Daud Ahmad, 27 April 1972 silam. Saat itu, Abu baru saja selesai menimba ilmu di pesantren Samalanga. Kala itu, diatas tanah 40.000 M2 itu hanya berdiri satu balai pengajian ukuran 4 x 7 meter. Disitulah, Abu memulai kegiatan mengajar para santri. Dia lalu, mencari dukungan masyarakat untuk kemajuan pesantren. Hasilnya, lumanyan. Saat ini, bangunan tiga tingkat dengan kontruksi beton berdiri megah di Desa Krueng Lingka Lueng Angen. Satu buah mesjid tempat ibadah juga berdiri megah dengan disain taman yang indah. Ditambah lagi dengan asrama santriwati, santriwan dan rumah para dewan guru. Dua orang anak Abu Muhammad Daud Ahmad, Muzakkir dan Zainab, juga turut membantu pengembangan pesantren itu.
“Dulu, Abu bersama masyarakat bersusah payah mengembangkan pesantren ini. Banyak masyarakat yang menyumbangkan tanahnya untuk pesantren,” ujar Teungku Marzuki.
Saat ini, pesantren itu memiliki 1.150 orang santri. Jumlah itu didik oleh 77 ustad dan 32 orang ustadzah. Sangat memadai. Seluruh kegiatan dipusatkan di kompleks pesantren. Santri sangat dilarang berkeliaran diluar kompleks pesantren. Tujuan pendidikan dayah salafi ini untuk mencerdaskan santri untuk mengkaji dan mendalami ilmu agama tentunya dengan penekanan pada kitab kuning (kitab gundul). “Aturan kita sangat ketat. Kalau ada orang tua santri meminta izin anaknya tanpa ada alasan yang jelas, kita tak izinkan santri untuk pulang ke rumah,” ujar Marzuki. Benar saja, sejurus kemudian, seorang orang tua santri meminta izin anaknya untuk pulang kampung. Alasannya, agar sang anak bisa membantu turun ke sawah.
Tengku Marzuki yang dimintai izin tak memberikan izin. “Karena alasannya turun ke sawah dan anak bapak masih di kelas dasar, kami tak izinkan,” ujar Tengku Marzuki lembut. Sang ayah ini tak keberatan dan pergi meninggalkan dayah tersebut.
Kurikulum Salafi
Saya mengelilingi dayah tersebut. Tampak beberapa santri bersiap-siap untuk bermain tennis meja dan tennis lapangan. Santri lainnya sibuk memasak di dapur umum. Sepuluh orang santri duduk di depan pintu masuk pesantren. Mereka bertugas sebagai piket. Piket pula yang memiliki kewajiban untuk menyiram bunga di pekarangan dayah tersebut. Sebelah kiri pintu masuk tampak satu gedung bertingkat tiga berdiri megah. Gedung itu khusus untuk santri putri. Di jalan masuk gedung itu terpampang tulisan “dilarang masuk bagi wanita yang mengenakan celana panjang”. Dayah ini memang sangat ketat aturan. Dalam sebulan, santri hanya mendapatkan waktu libur dua hari. “Dua hari mereka bisa pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga dan melepaskan rindu pada keluarga,” sebut Tengku Marzuki. Hal itu diamini salah seorang santri, Saiful Rizal. Dia mengakui aturan di pesantren itu sangat ketat. “Kalau tak ikut pengajian rutin, padahal kondisi badan sehat. Maka akan dihukum,” ujar Rizal.
Untuk kurikulum, dayah ini memiliki kurikulum sendiri. Mereka tidak mengadopsi kurikulum Departemen Agama yang berlaku secara nasional. “Abu mempertahankan salafi murni. Kita membuat kurikulum sendiri, untuk menghidari intervensi pendidikan dari departemen agama,” papar Tengku Marzuki.
Kurikulum di dayah itu terbagi tiga, yaitu untuk tingkat ibtidaiyah (pendidikan dasar), tsanawiyah (menengah pertama) dan aliyah. Santri yang belajar ditingkat ibtidaiyah wajib memahami kitab Tahrirul Aqwal, Dhammun, Matan Al Bina, Matan Al Jarumiah, Mutammimah, Al Bajuri, Khamsatu Mautun dan sejumlah kitab lainnya. “Untuk ibtidaiyah, kita menakankan agar santri memahami ilmu fikh, nahwu, sharaf, tauhid, akhlak dan tasawuf. Agar mereka lebih mudah nantinya mempelajari kitab-kitab besar,” ujar Tengku Marzkuki.
Sedangkan ditingkat tsanawiyah para santri disodorkan kitab I’anatutthalibiin, Matan Alfiah, Syarah Al Kailani, Asshawi, Majilisis Tsaniyah dan sejumlah kitab lainnya. Untuk tingkat aliyah kitab yang diajarkan berupa Fathul Wahhab, Syarah Ibnu Aqil, Tafsir Jalalain, Ihya Ulumuddin dan sejumlah kitab lainnya. “Kita terus pertahankan tradisi salafi ini. Tak ada sekolah formal di sini. Kita didik santri yang utuh dengan ilmu agama,” pungkas Tengku Marzuki.
Pondasi Keuangan Dayah
PERKEMBANGAN zaman membuat pesantren memikirkan pondasi keuangan. Pondasi keuangan yang kokoh menjamin kesejahteraan guru dan santri di pesantren itu. Selama ini, biaya operasional pesantren berasal dari sejumlah donatur, pemerintah dan Non Government Organisation (NGO) lokal dan internasional yang konsen untuk pengembangan pendidikan pesantren.
Sejauh ini, pesantren hanya memiliki koperasi yang menjual berbagai kebutuhan santri dan dewan guru. Satu unit warung serba ada terdapat di kompleks santri putra dan putri. Selain itu, setengah hektare lebih kebun jati juga dimiliki pesantren itu. Letaknya tepat disamping kiri bangunan pesantren.
Untuk mengembangkan perekonomian pesantren, dalam waktu dekat ini, dayah itu akan membuka usaha konveksi. Satu unit toko telah dimiliki. Disitu, akan menerima tempahan pakaian. Pekerjanya diambil dari luar pesantren. “Para santri juga akan kita libatkan untuk belajar di konveksi nanti,” ujar Teungku Marzuki. Selain itu, Abu Tengku Muhammad Dauh Ahmad juga telah membeli tanah di Desa Lhok Nibong, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur untuk dijadikan mini market.
Namun, modal pesantren itu tak cukup untuk membuka minimarket. Pihak dayah sedang mengupayakan donatur untuk membuka minimarket. Memilih minimarket sebagai unit usaha tampaknya pilihan yang tepat. Pasalnya, sejauh ini belum ada satu pun minimarket yang berdiri di Lhok Nibong.
Tengku Muzakir
Tak Mau Terlibat Partai Politik
Tengku Muzakir, yang ditunjuk Abu Muhammad Daud Ahmad menerima kedatangan saya. Saat itu, dia hendak menuju Pantonlabu, Aceh Utara untuk satu keperluan tertentu. Namun, karena Abu menyuruhnya, niat itu terpaksa ditunda sementara. Abu ingin beristirahat sore itu. Berikut petikan wawancaranya;
Saat ini, banyak sekali perkembangan pesantren. Ada pula elit politik yang mencari simpati lewat pesantren. Apalagi tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 sudah dimulai, bagaimana menurut Anda?
Ya, kalau dayah ini, sejak zaman dulu tidak mau terlibat dalam kancah politik praktis. Ini yang selalu ditekankan Abu pada kami dan dewan guru lainnya. Abu, selalu menganalisis perkembangan politik di luar sana. Beliau orangnya komitmen dan seakan tau apa yang akan terjadi kedepan. Kalau beliau sudah bilang tidak mau terlibat parpol, ya tidak mau. Begitu prinsip Abu.
Soal perkembangan pesantren, apa yang paling ditekankan pada sistem pengajaran di dayah ini?
Kita mewajibkan santri patuh aturan. Aturan penting untuk mendidik mereka agar disiplin dan menghargai hukum yang sudah ditetapkan. Misalnya, santri tidak boleh keluar kompleks. Lalu, haram merokok. Kalau kedapatan merokok, ini yang paling berat hukumannya. Hukumannya, kita akan berikan sanksi agar santri itu membersihkan toilet. Kalau pelanggaran lain, ya, hanya sekedar kita hukum dengan berdiri di matahari selama dua jam. Ini penting. Agar mereka patuh aturan. Bagaimana kalau sudah keluar dari sini, dan mereka tak patuh pada hukum dunia? Bisa gawat mereka. Terlebih lagi hukum Allah Swt.
Lalu, umumnya santri masuk kemari itu dari daerah mana saja?
Sejak berdiri banyak santri yang masuk kemari itu umumnya berasal dari desa. Sangat sedikit yang berasal dari kota. Sebagian besar santri dari Lhoksukon, Lhokseumawe, Aceh Timur lebih dominan, Aceh Tamiang dan kabupaten lainnya. Kemudian, dari Padang, Riau dan Medan. Untuk asal santri Pulau Jawa tidak ada sama sekali.
Background pendidikan santri bagaimana?
Umumnya santri yang masuk ke mari setelah tamat SMP. Lalu, sebagian besar tamatan SMA. Sangat sedikit yang tamat SD masuk kemari. Kalau sudah masuk kemari, ya mereka tak dapat pendidikan formal. Disini pendidikan agama murni. Tak ada sekolah formal.
Apa saja yang sangat dibutuhkan pesantren saat ini?
Saat ini, kita butuh beberapa unit asrama guru. Kemudian, yang masih sangat kurang itu asrama santri. Sekarang kita punya tiga lantai, tapi tak cukup. Kalau bisa para donatur dan pemerintah membantu dua hal ini saja dulu.
Saiful Rizal
Sang Juara di Darul Huda
GENAP delapan tahun Saiful Rizal mondok di Pesantren Darul Huda. Pria kelahiran 20 Juni 1986 itu betah berlama-lama di pesantren itu. Awalnya, ketika masuk ke pesantren itu tahun 2000 silam, dia sempat menangis. Tidak biasa dengan tadisi mondok dengan aturan yang begitu ketat. “Dua minggu pertama saya rasanya setiap hari mau menangis. Tak betah. Setelah itu, sampai sekarang, rasanya pulang saja malas,” ujar Saiful Rizal pada saya.
Pria bertubuh gempal itu dikenal akrab dikalangan santri di pesantren itu. Niat masuk pesantren berawal ketika Ayahanda Saiful Rizal meninggal dunia. Saat itu, ibunya, Hajjah Sairah memberi dua pilihan, masuk pesantren atau masuk ke sekolah formal. Alumni SMP Negeri 1 Seunuddon itu memilih pesantren sebagai pilihan utama.
Setiap tahun, pesantren itu mengadakan perlombaan khusus untuk santri dan santriwati. Nah, Saiful Rizal, keluar sebagai sang juara setiap kali perlombaan yang diadakan. Beberapa perlombaan yang diadakan seperti lomba menafsirkan sejumlah kitab kuning, membaca kitab mahali dan sejumlah kitab lainnya. Dia juga keluar sebagai juara umum dua tahun berturut-turut dalam perlombaan itu. “Tahun 2006 dan 2007 lalu, alhamdulillah saya keluar sebagai juara umum,” ujar Saiful Rizal bangga.
Sedangkan di tahun 2003 sampai 2005 dia keluar sebagai juara satu dalam lomba baca kitab. Dia dikenal sebagai santri yang kutu buku. Niatnya untuk menjadi ustad sangat besar. Saban waktu dihabiskan untuk membaca kitab dan mengulang pelajaran yang diberikan para ustadnya. Bahkan, izin pulang kampung yang diberikan pesantren jarang sekali digunakan pria ini. “Saya lebih memilih di pesantren. Tak ada waktu untuk tidak belajar, itu tekad saya. Kecuali, ada keluarga yang musibah, itu saya baru pulang kampung,” paparnya.
Sore itu, Saiful Rizal berpenampilan seadanya. Kain sarung dan baju kemeja lengan pendek warna kuning. Keluarga Saiful memang terbiasa dengan tradisi pesantren. Dua orang abang kandungnya juga mondok belasan tahun di Pesantren Samalanga. Anak kelima dari enam bersaudara itu ingin menghabiskan waktu lebih lama di pesantren itu.
Dia terkesima dengan sikap pimpinan pesantren, Tengku Muhammad Daud Ahmad yang sangat bersahaja. Tampil sederhana namun memiliki prinsip yang kuat. Dia bangga bisa menimba ilmu dari ulama kharismatik Aceh itu. Hingga saat ini, Saiful merasa ilmu yang didapat dari pesantren itu masih sangat sedikit. “Saya ingin lama di pesantren ini. Cara belajarnya mudah di fahami. Saya bangga bisa diajarkan ilmu agama langsung dari Abu, pimpinan pesantren,” sebutnya.
Setelah menimba ilmu di pesantren ini apa yang direncanakan? Saiful menjawab tegas. “Saya ingin mendirikan pesantren lagi. Saya ingin menyebarkan ilmu agama, layaknya Abu yang mendidik kami sekarang,” sebutnya. Niat itu menjadi tujuan akhir Saiful. Dia berharap, satu waktu bisa memiliki pesantren sendiri. Menyebarkan ilmu agama untuk seluruh umat di dunia. Semoga sukses Saiful. [foto dan teks > masriadi sambo]
DATA PESANTREN DARUL HUDA
Nama Pesantren : Dayah Darul Huda
Alamat : Desa Krueng Lingka Lueng Angen, Kecamatan Langkahan
Kabupaten Aceh Utara
Pendiri : Tengku H Muhammad Daud Ahmad
Tanggal Berdiri : 27 April 1972
Alumni :
- Dayah Bustanul Huda Pimpinan Tengku H Muhammad Ali, Julok, Aceh Timur
- Dayah Nurul Huda Pimpinan Tengku Zainal Abidin, Lhok Nibong, Aceh Timur
- Dayah Bayanuddin, Pimpinan Tengku Ilyas, Ara Kundo, Aceh Timur
- Dayah Nurul Huda, Pimpinan Tengku Muhammad Isa, Idi Rayeuk, Aceh Timur
Salam Mas...bagus banget liputannya...jarang2 sekarang media mau meliput dayah atau pesantren...salut pada mas sambo...moga sukses dengan liputan2 berikutnya karena masih banyak dayah2 di tanoh rintjoeng ..kalau saya dulu pernah juga didayah darul/nurul huda di Sei Pauh kota langsa,itu waktu saya kecil sampai remaja
Assalamu'alaikum Wr. Wb
saya sangat salut sekali untuk bang Masriadi Sambo yang sudah memuat profil dayah DARUL HUDA Lueng Angen sehingga saya jadi terkenang kembali dayah yang menjadi tempat saya menimba ilmu agama. Saya masih teringat semua masa-masa dimana saya pernah mondok di dayah tersebut selama 8 tahun sungguh menjadi pengalaman dan ilmu yang sangat berharga yang sudah saya peroleh.(Tgk Muchlis Lhoksukan)dan hanya Allah lah yang dapat membalas jasa para Guru-guru saya Amin.....
Salam Kenal.
bagus liputannya
Liputannya sangat bagus mas...
Saya membaca liputan mas semakin yakin saya untuk memondok disitu
Liputannya sangat bagus mas...
Saya membaca liputan mas semakin yakin saya untuk memondok disitu