Benalu Penguras APBK Aceh Utara
Laporan Masriadi
KONTRAS
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mon Pase telah diaudit oleh auditor independen. Kabarnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BKPK) Provinsi Aceh juga telah beberapa kali mendatangi perusahaan itu untuk melakukan audit. Audit itu dilakukan secara menyeluruh. Benarkah banyak ditemukan dugaan penyimpangan? Bagaimana pula dengan kinerja BUMD lainnya?
PARLEMEN Aceh Utara mulai mempertanyakan laba badan usaha milik daerah (BUMD) di kabupaten itu. Pasalnya, sejauh ini belum diketahui seberapa besar laba yang disetor ke pemerintah daerah dari BUMD itu. Saat ini tercatat Aceh Utara memiliki BUMD, yang sebagian dikelola di bawah PD Bina Usaha, yaitu PT Lombarteks di Rancong, Kecamatan Muara Satu, Tangki CPO di Pelabuhan Krueng Geukuh, PT Hotel Lido Graha, PT Nort Aceh Airline dan Kapal Marisa. Selain itu, ada juga PT BPR Sabe Meusampe, dan PDAM Tirta Mon Pase.
Perusahaan itu diminta kalangan dewan untuk menyerahkan laporan pertanggungjawaban dan rugi laba ke gedung parlemen Aceh Utara. Ada lah Komisi C, bidang anggaran yang akan memanggil seluruh direktur utama perusahaan itu. Dua orang anggota Komisi C, DPRK Aceh Utara, Thantawi dan Tengku Subki Elmadny menyorot tajam seluruh BUMD itu. “Kita akan panggil semua Dirut BUMD di Aceh Utara. Kita ingin tahu, bagaimana posisi perusahaan itu. Sehat atau tidak,” kata Thantawi, diamini oleh Tengku Subki, kepada Kontras, baru-baru ini.
Tengku Subki menyebutkan, idealnya seluruh perusahaan menyerahkan laporan rugi laba kepada legislatif. “Jika tidak, maka kita tidak tahu apakah itu laba atau rugi. Jika rugi, mengapa disuntik modal lagi. Harus ditutup saja,” kata Subki. Dia menyebutkan, setiap kali pergantian direktur utama, diharapkan ada auditor yang melakukan audit perusahaan. Sehingga, direktur yang baru tidak menerima “dosa warisan’ dari direktur sebelumnya.
“Kalau BUMD tidak menyerahkan laporan sebelum kita memulai masa persidangan 2010, maka kita tidak akan berikan suntikan modal lagi,” terang Subki. Dia menyarankan, perusahaan yang tidak sehat itu lebih baik dikelola oleh pihak ketiga, dengan sistem bagi hasil. “Misalnya, bagi hasil dengan pemerintah daerah. Kita dapat Rp 1 miliar misalnya per tahun. Ini lebih jelas, dibanding dikelola sendiri tapi hasilnya tak jelas,” kata Thantawi.
Beberapa perusahaan milik pemkab Aceh Utara itu dituding selama ini tidak transparan. Tidak jelas berapa untung, juga tidak jelas berapa ruginya setiap tahun. Yang pasti, permintaan suntikan dana APBK hampir selalu menyertai setiap pengesahan anggaran. Seorang mantan pejabat di Aceh Utara kepada Kontras mengatakan, perusahaan-perusahaan itu seperti benalu yang menggerogoti APBK. “Sejatinya bisa menguntungkan kalau dikelola secara profesional, akan tetapi ini tidak dilakukan,” kata mantan pejabat ini seraya meminta tidak disebutkan namanya.
Kontras juga coba menelusuri persoalan di PDAM Tirta Mon Pase. Kabarnya, perusahaan itu telah melakukan audit internal, pascapelantikan Direktur Utama yang baru, Zulfikar Rasyid. Audit PDAM dilakukan oleh auditor independen dari Kantor Rizal Yahya M Ec, CPA, tertanggal 15 Oktober 2009. Hasilnya, tunggakan rekening konsumen hingga kini mencapai Rp 13 miliar. Selain itu, utang perusahaan pada sejumlah toko di Aceh Utara mencapai Rp 25. 560.000. Utang pada rekanan yang belum dibayar hingga kini Rp 279.530.000.
Beban operasional yang harus dibayar Rp 294.161. 974. Piutang karyawan sebesar Rp 24.700.000. Sedangkan total aktiva tetap perusahaan berupa tanah, instalasi sumber air, gedung, dan lain sebagainya sebesar Rp 53. 120.428.227. Uang tunai milik perusahaan saat ini disimpan pada Bank BPD dengan nomor rekening 010.358.001-8 sebesar Rp 2 juta. Rekening BPD 010.358.0001-5 sebesar Rp 13.248.114.690, pada Bank Mandiri Lhokseumawe dengan nomor rekening 105.00.9606268-6, sebesar Rp 603.042.
Direktur Utama PDAM Tirta Mon Pase, yang baru dilantik dua bulan lalu, Zulfikar Rasyid, menyebutkan, dirinya akan membenahi seluruh manajemen di kantor itu. Dia menyebutkan, tunggakan konsumen misalnya yang terlalu besar akan dibentuk tim pemutusan sambungan. “Kita akan putuskan sambungan bagi konsumen yang tidak membayar. Ini salah satu cara untuk mengembalikan dana dari penjualan air yang tertunggak itu,” kata Zulfikar baru-baru ini.
Selain itu, dia juga mengetahui kabar bahwa ada karyawan nakal yang memasang sambungan liar pada konsumen. Uang sambungan itu tidak disetorkan ke kantor. “Jika saya temukan karyawan ini, saya akan pecat, tanpa surat peringatan. Plus, saya serahkan ke polisi, agar ditindak secara hukum,” terang Zulfikar. Dia juga menyebutkan, saat ini tim BPKP Banda Aceh telah datang ke kantor itu untuk melakukan pemeriksaan. Saat ditanya hasilnya, Zulfikar enggan berkomentar. “Yang diperiksa itu anggaran yang lalu. Saya baru dua bulan. Jadi, silakan tanya langsung ke BPKP Aceh saja,” kata Zulfikar. Untuk memastikan apa saja persoalan yang melilit BUMD “basah” itu, hingga kini Kontras belum berhasil menghubungi pihak BPKP Aceh.
Tugas berat memang menghidupkan perusahaan itu. Zulfikar harus berusaha keras untuk memulihkan kembali perusahaan yang jumlah tenaga kerjanya mencapai 201 karyawan. Dia juga harus membenahi dan membayar hutan yang belum dibayar sampai saat ini. “Saya akan berusaha maksimal. Saya terbuka saja. Laporan auditor independen ini nantinya juga saya sampaikan ke legislatif bila diminta,” kata Zulfikar. Benarkah hasil audit ini nantinya akan dipublikasikan secara terbuka? Wallahu’aklam.
Nasib pesawat NAA
Satu lagi BUMD Aceh Utara adalah NAA. Pemkab setempat berencana membuat sebuah maskapai yang bisa menjadi lalulintas penghubung Aceh Utara dengan Medan, Sumatera Utara. Pada Jumat 16 Mei 2008 menjadi hari bersejarah bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, karena pesawat komersial North Aceh Air (NAA) yang dicarter Pemkab Aceh Utara dari Pelita Air Service (PAS) itu terbang untuk pertama kalinya dari Lhokseumawe ke Medan. Sayangnya, sebulan kemudian tidak jelas lagi nasib pesawat tersebut. Bahkan masalah pesawat ini sempat menjadi kasus, lantaran tim penyelidik Kejati Aceh mencurigai penggunaan dana Rp 6 miliar untuk maskapai yang akhirnya gagal terbang itu. Kini tidak jelas lagi nasib maskapai milik Pemkab Aceh Utara itu.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 520 | Tahun XI 17 - 23 Desember 2009