MOST RECENT

|

Seni tak Sekadar di Seremoni



Laporan Masriadi dan Ibrahim Achmad

Pascatsunami dan konflik, dunia seni di Aceh tidak menunjukkan kebangkitan. Seniman hidup merana. Kalaupun dipakai, hanya di acara seremonial. Mengapa pemerintah kurang peduli?

PAGI itu, Hasballah Hanafiah (55 Tahun) terlihat santai duduk di atas tikar pandan di rumahnya di Desa Blang Weu Panjo, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe. Tangannya sibuk memegang alat musik tradisional Rapa ‘i di bagian belakang rumahnya. Dia satu-satunya pembuat alat musik tradisional itu di Kota Lhokseumawe. Kegiatan itu dilakoni sejak 1980 silam. Saat itu, dia mulai tertarik pada alat musik itu. Berbagai jenis Rapa’i seperti jenis Rapa’i daboh, uroh dan geleng diproduksi di ruang berukuran 5 x 5 meter itu.

“Saya memulai usaha ini sejak 1980. Saat itu, ide awal karena ingin membudayakan kesenian di Lhokseumawe. Paling tidak untuk desa ini,” terang Hasballah, kepada Kontras, baru-baru ini. Sembilan tahun usaha itu berjalan lancar. Dia mengolah kayu Merbo, Seradih, dan Tudang untuk lingkaran Rapa ‘i. Sedangkan untuk pelapis tabuhan digunakan kulit kambing. Produksi pun meningkat drastis. Laba membuatnya tersenyum bahagia.

Namun, bahagia itu berubah duka, ketika pada tahun 1990 konflik di Aceh semakin menyala. Tahun-tahun sedih itu pun terpaksa dilalui dengan perih. Hasballah meninggalkan kampung halamannya. Saat itu, sebagian besar kaum Adam memang memilih meninggalkan kampung. Tak tahan dengan interogasi aparat keamanan. Selain itu, senjata menyalak dimana-mana, saban waktu. Tak ada ruang bagi Hasballah untuk meneruskan niatnya, membudayakan pembuatan Rapa ‘i. “Saya pindah ke Kerinci, Kepulauan Riau waktu itu. Di kampung susah sekali. Usaha pembuatan Rapa ‘i terpaksa tutup,” kenang Hasballah melambung ke puluhan tahun silam.

Tahun 2002, konflik mulai mereda. Dia pun kembali ke Blang Weu Panjo. Usaha itu kembali dirintis. Kulit kambing dibeli seharga Rp 100.000 per lembar. Sedangkan, kayu lingkaran Rapa ‘i dibeli dengan harga bervariasi antara Rp 500.000 - Rp 800.000. Untuk memproduksi Rapa’i dari kayu sampai jadi dibutuhkan waktu dua bulan. Biasanya, Hasballah mencetak lingkaran Rapa ‘i baru memasang kulit kambing. “Kalau sudah ada lingkaran kayunya, saya bisa pasang kulit kambing itu sehari untuk satu Rapa ‘i,” terang Hasballah.

Harga jual antara Rp 500.000-Rp 1,5 juta. Tergantung kayu dan kulit kambing yang digunakan. Jika kulit kambing tebal, maka suara yang dihasilkan Rapa ‘i lebih jernih. Hasballah kini kekurangan alat produksi. Dia masih menggunakan alat tradisional untuk memproduksi usaha itu. Selama ini, dia menggunakan alat pisau, dan pahat untuk mengukir. Tentu membutuhkan waktu lama. Kegiatan ini bukan hanya sekadar bisnis. Namun, Hasballah juga membina grup Rapa ‘i di kampungnya. Ini yang disebut sebagai berkesenian ala kadar. Hasil yang diperoleh dari penjualan produk juga digunakan untuk dana mentas, dana latihan, dan lain sebagainya. Semua pengorbanan itu atas nama kesenian.

Dia mengaku, sudah mengusulkan permohonan bantuan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe. Namun, hingga kini, bantuan itu tak jelas juntrungannya. Dia berharap, Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, bisa ikut membudayakan Rapa ‘i. “Saya berharap Walikota bisa membantu alat. Artinya, Walikota juga ikut membudayakan seni musik ini,” kata Hasballah.

Hampir punah
Sementara itu, Ketua Persatuan Rapa’i Uroh, Kota Lhokseumawe, Hamdani Idris, menyebutkan tradisi Rapa ‘i diambang kepunahan. Buktinya, dari 63 desa di Kota Lhokseumawe, hanya 22 desa yang memiliki kelompok seni Rapa ‘i. “Jumlah ini sangat sedikit. Harus dibudayakan kembali. Jika tidak, saya khawatir, akan tidak ada lagi kesenian ini nantinya di Lhokseumawe,” terang Hamdani. Hamdani menyebutkan, perlu ada intervensi pemerintah untuk membudayakan kesenian daerah. Jika tidak, alamat sepuluh tahun mendatang, kesenian ini akan hilang ditelan zaman.

Majelis Seniman Aceh
Pemerintah Aceh perlu membentuk sebuah lembaga tempat bernaung para pelaku seni dan musisi Aceh. Kalau di bidang pendidikan telah memiliki Majelis Pendidikan Daerah (MPD), juga Majelis Adat Aceh (MAA), kenapa tidak para pelaku seni juga bisa dinaungi oleh Majelis Seniman Aceh (MSA) yang setara dengan MPD dan MAA.

Hal itu diungkapkan penyanyi Aceh, Rafli, baru-baru ini di Lhokseumawe. Dia menilai penting adanya Majelis Seniman di Aceh. Hal ini akan menjadi lembaga yang membina dan mendukung kegiatan berkesenian sampai ke pelosok desa. Realitas saat ini, sanggar kesenian tidak begitu berkembang. Pasalnya, kabupaten/kota di Aceh memiliki sanggar kesenian sendiri. Sehingga, sanggar di luar binaan pemerintah terkesan jalan di tempat.

Persoalan lainnya, seniman tidak dibina dengan baik. Rafly menilai, lembaga Dewan Kesenian Aceh (DKA) tidak memiliki kemampuan untuk membina para pelaku seni. Sehingga, perlu membentuk lembaga baru yang khusus memperhatikan para seniman dan kegiatan keseniannya. “Saya pikir perlu lembaga baru. Sekarang, banyak seniman yang pekerjaannya tidak jelas. Dia mencari uang dulu, baru melakukan pementasan. Jika pun ada bantuan pemerintah, jumlahnya sangat sedikit. Ini sangat memprihatinkan,” terang Rafly.

Menurut Rafly, selama ini pecinta seni bergerak sendiri-sendiri, dengan modal sendiri, ada pecinta seni di daerah desa menjual kelapa karena tak ada dana meniti kariernya. Lebih-lebih selama ini ada seni pembinaan khusus yang dibiayai, pelakunya hanya anak-anak pejabat dibina, sementara pelaku seni asli yang lahir dengan penuh jiwa dan pikirannya tidak mampu bangkit dan tergilas dengan pelaku seni binaan khusus pemerintah daerah.

Beberapa even yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai kurang tepat sasaran, misalnya penggelaran acara Dewan Kesenian Aceh (DKA). Acara tersebut menghabiskan dana mencapai Rp 300 juta, tapi tidak mengenai sasaran, penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang bukan pecinta seni.

Karena itu, ke depan Rafly meminta supaya pemerintah daerah tidak boleh mengelola seperti membina sanggar khusus, sementara pelaku seni lainnya di kecamatan dibiarkan punah. Sementara bibit pecinta seni kebanyakan di daerah pedesaan, malah beberapa seni seperti seni Rapai, Seurune Kale, Geundrang, dan beberapa tarian lainnya yang khas Aceh mulai punah digilas oleh seni luar daerah.

Memang, tambah Rafly, di Aceh telah ada MAA yang di dalamnya telah tergabung dengan Adat budaya Aceh, namun untuk diketahui bahwa MAA belum dapat menerima keberadaan peseni. Karena ada seni yang tidak berkenan dihati pejabat, lalu dibiarkan punah sendiri, hanya seni yang disenangi saja yang dipupuk dan dibina. “Ini tak boleh terjadi dan semua seni yang ada di Aceh harus dipelihara dengan baik,” kata Rafly, Sabtu kemarin.

Baginya, tambah Rafly, bukan berarti senang dengan mendapat bayaran belasan juta sekali tampil. Sementara pecinta seni lainnya dibiarkan punah, karena itu Rafly meminta pemerintah daerah dan pihak lain mendukung pembantukan Majelis Seni Aceh. Sebab, dengan adanya majelis (MSA) tentunya pembinaan pecinta seni akan lebih terarah dan terfokus, tidak sebagaimana yang telah dilakukan selama ini. Banyak pecinta seni bagaikan anak ayam disambar elang.

Pondasi dana
Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA) Lhokseumawe, TM Zuhri, menyebutkan DKA Lhokseumawe tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pembinaan terhadap para seniman. “Kami tidak memiliki dana yang cukup. Sekretariat saja kami kontrak yang murah di Terminal Bus Lhokseumawe. Ini yang membuat kami tak bisa berbuat banyak,” kata TM Zuhri.

Dia menyebutkan, memang perlu upaya serius untuk menjaga kesenian Aceh yang kian hari kian punah. Namun, keseriusan itu harus didukung oleh pemerintah daerah. “Jika pondasi dana yang diberikan hanya sedikit, bagaimana kita melakukan pembinaan. Membeli alat musik mahal, menggelar pementasan mahal. Semuanya serba tidak cukup. Jadi, kami pikir memang harus ada gerakan untuk mencintai dan mengembangkan budaya. Tentu, dengan pondasi dana yang memadai,” kata Zuhri.

Dia mendukung bila ada Majelis Seniman Aceh (MSA), sehingga peran DKA dan MSA nantinya bisa dikomunikasikan. Misalnya, DKA khusus menangani bidang tertentu, MSA menangani bidang lainnya. Sehingga, seniman, dan dunia seni semakin terperhatikan. Kisah para seniman memang unik. Demi melestarikan budaya, mengeluarkan uang dari saku celana sendiri sudah menjadi realitas. Hanya untuk kata berkesenian, dan pementasan. Sampai kapan dunia seni Aceh begini? Jika tidak dibantu pemerintah, alamat sepuluh tahun ke depan, kita hanya bisa mendengar cerita kemasyuran Tari Ranup Lampuan, dan sejumlah seni tari lainnya. Seniman memang harus dibantu, sekarang juga! Ayo, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota, buktikan mengembangkan seni dan budaya.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 518 | Tahun XI 3 - 9 Desember 2009

Publis Oleh Dimas Sambo on 06.55. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Seni tak Sekadar di Seremoni"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added