MOST RECENT

|

Memutuskan Hubungan dengan Medan




Rute pelabuhan mulai di buka. Lonching dilakukan 30 November mendatang. Tidak berhenti sampai di situ. Buruh pelabuhan, masih menolak rencana tersebut.


PEMERINTAHAN orde baru, berkuasa. Sejak itu pula pelabuhan di Aceh mulai ditutup secara tidak langsung. Seluruh pelabuhan di Aceh praktis tidak terurus dengan baik. Ditambah lagi, konflik bersenjata yang berkepanjangan membuat pelabuhan itu hanya digunakan sebagai pangkalan militer. Bahkan, bukan hanya angkatan laut yang menggunakan pelabuhan sebagai pangkalan militer, namun hal yang sama juga dilakukan angkatan darat dan udara. Semua pasukan yang berstatus bawa kendali operasi (BKO) juga didistribusikan dari jalur pelabuhan. Meski ada juga yang didistribusikan dari udara.

Akibatnya, puluhan tahun pula masyarakat Aceh terpaksa menyuplai barang dari Medan, Sumatera Utara. Upaya membuka pelabuhan pun belum bisa dilakukan. Ketika senjata masih menyalak di Aceh, praktis pemerintahan lumpuh. Tidak ada orang yang memikirkan pelabuhan itu. Bahkan, harga barang yang dipasok dari Medan, melambung tinggi. Pedagang Medan, mengambil keuntungan 50 persen dengan menjual ke Aceh. Angka ini tentu laba yang sangat luar biasa. Sementara masyarakat Aceh kesulitan dengan harga barang yang melambung itu. Contohnya saja, jika harga sepatu di Medan, sebesar Rp 200.000, maka di Aceh harga itu bisa mencapai Rp 300.000 per pasang.
Kondisi ini sudah berlangsung lama. Angin damai juga tidak membawa perubahan yang banyak. Aceh, masih mengantungkan diri pada Medan, dari sisi suplai barang. Barang masih tetap saja mahal. Bahkan, ketika pekerja NGO yang membantu memulihkan Aceh paskatsunami, sampai terkejut-kejut, begitu mahalnya barang di provinsi yang menerapkan syariat Islam itu.

Selain itu, komuditi pertanian di Aceh dihargai dengan harga rendah. Ini diakibatkan, banyak agen pengumpul yang ikut ambil peran dalam bisnis komuditi ini. Agen yang mengumpulkan ke pelosok desa, akan membawa pada agen kecamatan. Lalu, agen kecamatan membawa pada agen lebih besar untuk dijual ke Medan, Sumatera Utara. Dari sini saja, para agen sudah mengambil laba. Sehingga, harga jual pada petani sangat murah. Pinang hanya dibeli Rp 1.500 per kilogram.

Anehnya lagi, daerah seperti Papua saja sudah bisa menjual barang secara langsung ke seluruh Indonesia dengan menggunakan pelabuhan. Kesan diskriminasi masih terekam kuat untuk Aceh. Dalam UU Pemerintah Aceh, memang telah diamanahkan untuk membuka jalur pelabuhan. Namun, tiga tahun paska UU itu disahkan, geliat pelabuhan belum ada sama sekali. Di Pelabuhan Malahayati dan Krueng Geukuh, rata-rata hanya satu kapal saja yang berlabuh. Itu pun untuk keperluan angkutan semen.
“Padahal, komuditi kita cukup untuk kita jual ke luar Aceh langsung dari Krueng Geukuh. Saya contohkan, misalnya pinang. Rata-rata dua hari sekali, 700 ton pinang per dua hari. Meski ini pada kondisi musim panen. Kalau kondisi tidak musim panen, 200 ton per dua hari ada barang,” kata Ketua Tim Ekspor Aceh Utara, Syahruddin Hamzah kepada Kontras.

Dia menyebutkan, tahun 2007 pihaknya telah berusaha untuk mendatangkan kapal-kapal agar masuk ke pelabuhan. Namun, hasilnya nihil.

Djakarta Lloyd

Sementara itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Djakarta Lloyd bidang transfortasi laut menyebutkan pihaknya komit untuk membuka rut eke Aceh. Namun, pihaknya juga sangat hati-hati. Karena khawatir ketiadaan barang dari Jakarta untuk diangkut ke Aceh. Kapasitas kapal yang dimiliki oleh perusahaan Negara itu mencapai 200 kontainer untuk sekali jalan. Untuk tahap awal, akan dibuka jalur transfortasi pengangkutan barang Jakarta-Batam-Medan-Krueng Geukuh-Banda Aceh. Jalur ini merupakan jalur terbaru yang dibuka perusahaan yang milik Negara itu. Rute ini resmi dimulai pada 15 November mendatang. Sedang lonching rute tersebut dilakukan pada 30 November mendatang di Jakarta oleh Meneg BUMN, Mustafa Abubakar dan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.

“Masak di Aceh belum. Ini kan kesannya diskriminasi. Makanya, kami juga membuka rute kemari. Ini untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Aceh. Jadi, tidak via Belawan lagi. Hanya transit saja di Belawan,” kata vice presiden PT Djakarta Lloyd, Bambang Sudarsono, di Hotel Lido Graha, Ahad kepada Kontras (1/11).

Lebih jauh dia menyebutkan, biaya angkut per container mencapai Rp 8 juta. Sekali jalan, kapal milik Djakarta Lloyd itu bisa membawa 200 kontainer. “Kita tempuh jalur yang panjang transit sana-sini itu untuk menghindari kerugian. Kita khawatir barang untuk Aceh tidak banyak, makanya kita transit. Kalau ada barang langsung ke Aceh, kita langsung bawa ke Aceh. Tidak singgah-singgah,” kata Bambang. Dia memperkirakan, butuh waktu 11 hari dalam perjalan bila mengunakan rute yang telah dibuat. Namun, jika dari Jakarta-Aceh hanya membutuhkan tiga hari.

Bambang menyebutkan, pihaknya juga sudah ketemu dengan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, Sabtu (31/10) malam. Intinya, Wagub setuju dan sangat berharap agar pelabuhan Aceh bisa segera difungsikan.

Masalah Tersisa
Sementara itu, dalam rapat itu mencuat pula persoalan buruh pelabuhan. Buruh pelabuhan di Krueng Geukuh, Aceh Utara meminta biaya bongkar-muat itu digunakan satuan ton. Namun, secara umum, di pelabuhan mana pun di Indonesia, satuannya adalah Kontainer. “ Persoalan ini nantinya bisa kita bicarakan dengan para buruh dan pihak pelabuhan Krueng Geukuh. Kita harap ini tidak ada kendala,” kata Kadis Perindagkop Aceh Utara, Mehrabsyah.

Mehrab menyebutkan, pihaknya sangat antusias menyambut rute palayaran kapal barang itu. “Sudah lama pelabuhan tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Ini menjadi titik awal, untuk memutuskan mata rantai via Medan. Jadi, langsung ke Aceh,” pungkas Mehrabsyah.

Hasil akhir kesepakatan itu akan dilakukan pertemuan berikutnya, untuk membicarakan teknis pengumpulan barang, tempat penampungan, dan lain sebagainya. Rapat ini akan digelar dalam waktu dekat ini. Jika pemerintah memaksa, maka buruh bongkar-muat itu akan melakukan boikot kerja. “Kalau persoalan buruh ini, kita akan tangani segera. Sebelum kapal masuk pada tanggal 25 November di Lhokseumawe. Harus sudah selesai persoalan ini. Jika memang buruh memaksakan kehendaknya, kita akan datangkan buruh lain dari Banda Aceh. Malahayati Banda Aceh sudah setuju. Kita ikuti pola sana,” kata Mehrabsyah. Soal ongkos bongkar-muat akan dihitung per container, sebesar Rp 405.000. Harga ini, kata Mehrab, sama dengan harga di Pelabuhan Belawan, dan Malahayati, Banda Aceh.

Dukungan Perbankan

Pemerintah Aceh Utara dan Pemerintah Aceh sudah siap untuk realisasi perdagangan Jakarta-Aceh ini. Sementara itu, pihak perbankan, menyatakan akan mendorong agar perbankan semakin rajin memberikan kredit pada pengusaha di Aceh. Sejauh ini, banyak dana perbankan yang menganggur, tidak disalurkan pada nasabah, karena dinilai tidak layak dibantu. Prinsip kehati-hatian pada perbankan membuat dana itu banyak menganggur.


Deputi Pimpinan Bank Indonesia Lhokseumawe, Rusli Albas, baru-baru ini menyebutkan, BI akan terus memompa perbankan agar lebih agresif memberikan kredit pada pengusaha di Aceh. “Kita terus dorong perbankan untuk memberikan kredit pada pengusaha. Intinya, kalau pengusaha kesulitan dana, ya ke perbankan. Jika perbankan sudah lancar, maka pengusaha bisa melakukan kegiatan bisnis via pelabuhan,” kata Rusli.


Dia menyebutkan, pihaknya serius untuk mendukung beroperasinya pelabuhan di Aceh. “Kita serius dukung. Tentu dengan kapasitas BI yang bisa mendorong perbankan memberikan kredit. Ini yang bisa kami bantu,” pungkas Rusli Albas.


Kini, sejarah baru perdagangan via laut tercatat di Aceh. Memutuskan rantai dagang dengan Sumatera Utara, Berharap, harga barang bisa jauh lebih murah di banding saat ini, dan hasil pertanian jauh lebih mahal. Semoga. [masriadi]

Publis Oleh Dimas Sambo on 01.24. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Memutuskan Hubungan dengan Medan"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added