Satu Sore di Makam Putroe Neng
ANGIN berhembus pelan, Jumat, 1 Maret 2013. Langit
bersih. Tak ada mendung menggulung di langit. Sore itu, Cut Asan, keluar dari
rumahnya. Tubuh ringkihnya ditopang tongkat rotan. Berjalan perlahan,
menyambutku, Ari, dan Zaki Mubarak. Sejurus kami bicara pelan. Meminta agar
penjaga makam Putroe Neng di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe itu membuka pintu
makam. Lokasi itu persis di lintasan jalan Medan- Banda Aceh.
Lantai
menuju makam rusak parah. Cat pagar dan gapura memudar. Sepertinya sudah lama
tak dipugar. Sebanyak 11 pinang dan 12 pohon asam mengelilingi makam. Daunnya
membuat makam menjadi teduh.
Cut
Asan menuturkan, sisi kanan dipenuhi makam said. Salah seorang yang diketahui
namanya yaitu Said Mukhtar Siddiq. Sebelah kiri dipenuhi makam para putroe. Bagian depan terdapat beberapa
batu nis an biasa. Tanpa uk iran. Disisi kan an makam putroe,
sebut Cut Asan terdapat dua makam ulama.
“Lihat
nisan dua makam, ini nisan buatan Aceh. Batunya diambil dari gunung. Bandingkan
dengan nisan di makam lain. Corak dan ukirannya beda. Khas nisan dari Persia ,” sebut Cut Asan.
Sulit
menemukan referensi lengkap tentang Putroe Neng. Awalnya, Putroe Neng bernama an
Nio Lian Khi dari Cina. Hidup sekitar tahun 1180. Ulama kharismatik dan
panglima perang tangguh dari Kerajaan Peureulak, Meurah Johan menaklukan
pasukan Putroe Neng di Indra Purba-kini Sibreh, Aceh Besar. Setelah memeluk Islam,
Nian Nio Lian Khi berganti nama menjadi Putroe Neng.
Lalu,
Putroe menikah dengan Meurah Johan. Tubuh Meurah Johan membiru, menghembuskan
nafas terakhir usai menuntaskan tugas sebagai suami di malam pertama.
Kecantikan Putroe menyebar dari mulut ke mulut. Kulit putih, mata sipit dan
suara merdu membuat para pria bangsawan kala itu berhasrat menikahinya. Ingin
membuktikan diri sebagai pria tangguh yang mampu melewati malam pertama dan
malam – malam berikutnya bersama sang bidadari cantik.
Sayangnya,
seluruh pria yang menikahi Putroe tak mampu mengucapkan melewati malam pertama.
Umumnya meninggal sebelum menuntaskan tugas sebagai pria dewasa memanjakan
istri dan menuntaskan hasrat malam pengantin.
Menurut
cerita, Putroe menikah dengan 100 pria. Pria terakhir Syeih Syiah Hudam yang
mampu menuntaskan malam pertama dan malam-malam berikutnya. Syeih pula yang
mampu mengeluarkan racun di rahim Putroe. Racun ini diduga sebagai penyebab
kematian suami-suami sebelumnya.
Kini,
makam Syeih terpaut sekitar 300 meter dari makam Putroe Neng. Berada di
perbukitan Desa Blang Pulo. Namun, Cut Asan tidak membenarkan cerita tentang
pernikahan Syeih dengan Putroe Neng.
“Tidak
benar itu. Syeih itu ulama, gurunya Putroe. Saya belum tahu siapa nama-nama
suami Putroe,” terangnya dalam bahasa Aceh fasih.
Menurut
Cut Asan, dia mengetahui sejarah tentang Putroe Neng dari mimpi yang datang
silih berganti. Misalnya, soal makam Said, Cut Asan menyebutkan itu diketahui
dari mimpinya.
“Yang
lain saya tak berani cerita. Karena saya tidak tahu,” sambungnya.
Lalu,
siapa nama makam yang berada di kiri-kanan Putroe Neng? “Saya tidak tahu. Tidak
diberitahu oleh Putroe. Hanya diberitahu bahwa deretan makam dekat Putroe itu
semuanya wanita,” terang Cut Asan. Entahlah. Referensi sejarah Putroe Neng tak
utuh. Ke depan, kita berharap, setiap tahun pemerintah menerbitkan buku-buku
sejarah tentang pahlawan, bangsawan, atau ulama di seluruh kabupaten/kota.
Sehingga, anak cucu-cucu nanti bisa mengetahui sejarah generasi sebelumnya.
Pemugaran
Catatan
saya, pemugaran makam ini dilakukan dilakukan tahun 1978 oleh Pemkab Aceh
Utara. Saat itu, Lhokseumawe masih berstatus kota administratif dan tunduk ke Pemkab Aceh Utara. Lalu,
tahun 2004, Pemko Lhokseumawe memugar kembali makam itu, dan terakhir tahun
2007, Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh memugar kembali makam itu.
Kini, kondisi makam memprihatinkan. Perlu dipugar segera, agar situs sejarah
tak hanya tinggal nama.
Jam
terus berputar. Dilangit senja mulai temaram. Memendarkan sinar keemasan.
Mentari mengejar waktu menuju peraduan dan berganti bulan menyinari punggung
bumi. Aku, Zaki dan Ari pun meninggalkan makam. Membawa pulang setumpuk
kenangan tentang Putro. Zaki membawa seratusan file foto untuk ditampilkan pada
rubrik menatap Aceh. (masriadi sambo)
Publis Oleh Dimas Sambo
on 05.53. Filed under
Feature,
Reportase,
Sejarah,
UPDATE SAMBO
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response