Sehari di Kutacane (1)
PERJALANAN menuju Kutacane, Aceh Tenggara, memang
sangat melelahkan, Sabtu, 20 Oktober 2012. Perjalanan kali ini, saya mengemban
misi membawa Ayah yang baru saja keluar dari Rumah Sakit Adam Malik, Medan,
Sumatera Utara. Ayah saya, ditabrak oleh seorang remaja sebulan lalu. Dia harus
menjalani dua operasi pada kaki dan tangan kiri. Perjalanan menuju Kutacane,
saya ditemani oleh dua abang saya, Samsul Amar, dan Muhammad Hatta. Sangat
melelahkan. Kami menempuh rute dari Medan menuju Sibolangit, Brastagi,
Kabanjahe, Tiga Binaga, dan Kutacane.
Sepanjang
jalan, petani bunga dan buah berada disisi kiri-kanan jalan. Bunga warna merah,
kuning, putih ditata api. Sebagian petani sedang memanen bunga, dan sebagian
lainnya sedang memanen buah jeruk. Di Kecamatan Munthe, Kabupaten Tanah Karo,
saya singgah untuk merasakan sejuknya aroma kota itu. Sembari menikmati jeruk
rasa asam-manis. Sebagian asam, dan sebagian manis.
Menyempatkan
diri foto di kota yang didominasi penduduk beragama Kristen ini. Sembari
menikmati jeruk, kami berfoto membelakangi gunung menjulang. Jalan berliku,
berkelok-kelok dan rusak parah sangat sulit dilalu. Jalan berkelok bisa
mengocok isi perut. Sebagian dari kami muntah, tak tahan dengan kocokan alam
tersebut. Jalan itu dibangun oleh nenek moyang kita, dibawah tekanan Belanda.
Sampai saat ini, belum ada jalan yang lebih bagus dibanding jalan yang dibuat
pada masa Belanda tersebut.
Idealnya
Medan-Kutacane ditempuh enam jam. Namun, karena kondisi jalan rusak parah, kami
terpaksa menempuhnya delapan jam. Tiba di Kutacane sekitar pukul 16.00 WIB.
Ikan Mas
Kota
ini dikenal sebagai penghasil ikan mas. Kami pun menikmati ikan mas, dari
kepala, bodi, dan ekor ikan. Ada yang dilemak, ada pula yang digoreng. Rasanya
gurih, dan nikmat sekali.
Jika
dijual di warung makan,sepotong ikan mas goreng atau lemak dijual Rp 10.000.
Harga yang terbilang mahal. Namun, mahal itu sebanding dengan gurihnya ikan
tersebut. Tahun 2007, saya pernah mengunjungi kota itu. Kini, perlahan kota
mulai berubah. Misalnya, jalan dua jalur, dari Biak Moli sampai pusat kota.
Jalan
ini sepertinya untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas. Dulu, jalan dalam
kota hanya satu jalur. Akibatnya, kecelakaan terjadi saban hari. Kini, mulai
membaik.
Kuda
Saya
sempat mengunjungi Sungai Alas. Sungai terpanjang yang dimiliki Provinsi Aceh.
Sungai ini banyak digunakan sebagai ajang arung jeram. Aliran sungai sangat
deras dan jernih. Sembari menikmati aliran sungai. Sekitar delapan remaja
menunggangi kuda. Mereka bermain, dan tertawa ria. Luar biasa. Kota ini
memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Sayangnya, kuda tersebut belum menjadi
ikon tujuan wisata di kota itu.
Tak Ada Souvenir
Saya
mencoba mencari souvenior khas kota tersebut. Be\berapa toko kami kunjungi.
Sayangnya, tak ada toko yang menjual souvenir khas Aceh Tenggara. Souvenir yang
ditawarkan umumnya berasal dari Aceh Utara, seperti tas Aceh, baju kaos dengan
tulisan Aceh dan lain sebagainya. Sementara khas Kutacane nihil. Kota ini belum
siap menjadi kota wisata.
Pemerintah
Aceh Tenggara sudah sepatutnya memanfaatkan kekayaan alam menjadi tujuan
wisata. Sehingga,PAD tak hanya berasal dari sektor pertanian, namun juga dari
sektor wisata. Kita tunggu, gebrakan bupati baru kabupaten itu, Hasanuddin Beruh
(Sanu).
–masriadi
sambo—
Publis Oleh Dimas Sambo
on 02.50. Filed under
Reportase,
UPDATE SAMBO
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response