PEMINDAHAN IBU KOTA ACEH UTARA
Membongkar Keseriusan Ilyas Pase !
GEDUNG Bachelor Camp itu tampak sepi. Sesekali terlihat lalu-lalang kendaraan roda dua melintas di depan gedung. Tampak dua orang satuan pengamanan (Satpam) duduk rileks. Menyulut sebatang kretek di bibir. Santai Tahun lalu, gedung ini sudah direnovasi untuk ditempati oleh tiga dinas Aceh Utara. Tiga dinas itu, Kantor Pemadan Kebakaran, Dinas Cipta Karya, dan sebagian sub pada Dinas Pendidikan Aceh Utara. Wacana ini sudah didukung oleh DPRK Aceh Utara, kala itu. Bahkan, DPRK mendesak agar seluruh dinas secepatnya bisa pindah ke Lhoksukon. Pasalnya, Peraturan Pemerintah No 18/2003 mengamanahkan bahwa ibukota Aceh Utara berada di Lhoksukon.
Saat itu, Komisi A, bidang pemerintahan, DPRK Aceh Utara, telah duduk bersama bupati Aceh Utara. Kesepakatannya, bahwa tiga dinas itu akan dipindahkan dalam waktu dekat. Namun, hingga kini belum terealisasi.
Penetapan ibukota ini dilakukan ketika Tarmizi A Karim, menjabat Bupati Aceh Utara. Saat itu, konflik masih menyalak di Aceh. Sehingga, sangat sedikit masyarakat yang melakukan protes terkait penetapan lokasi ibukota kabupaten itu. Secara demografi, Lhoksukon memang tidak strategis sebagai ibukota. Lhoksukon terlalu menjorok ke ujung timur Aceh Utara. Akibatnya, masyarakat di daerah barat pun protes.
Alasannya, terlalu jauh menuju ibukota, jika pemerintahan resmi pindah ke Lhoksukon.
Protes keras terjadi, pada Oktober tahun lalu. Sejumlah masyarakat yang mengatasnamakan diri dari Kecamatan Nisam, Nisam Antara, Sawang, Dewantara, Meurah Mulia, dan Kecamatan Simpang Kramat. Mereka khawatir, pelayanan pemerintah yang selama ini dinilai masih amburadul, akan mempersulit mereka. Mereka meminta bupati meninjau ulang kembali rencana pemindahan itu.
Kemudian, masyarakat di wilayah barat pun berang. Usulan mereka tidak diiyakan oleh pemerintah. Tokoh-tokoh di daerah itu pun merancang pemekaran wilayah. Kabupaten itu diberi nama Pase Barat, membawahi Kecamatan Sawang, Simpang Keramat, Kuta Makmur, Dewantara, Nisam, Nisam Antara, Banda Baro dan Kecamatan Muara Batu. Salah seorang tokoh gerakan pemekaran kabupaten itu, Basri A Gani. Dia menyebutkan bahwa Lhoksukon memang tidak layak menjadi ibukota. Pasalnya, Lhoksukon berada di dataran rendah. “Selain itu, sangat jauh masyarakat Sawang, Krueng Mane dan lain-lain di daerah barat ini menuju Lhoksukon. Idealnya memang ditengah-tengah,” kata Basri, kepada Kontras, baru-baru ini.
Basri menyebutkan ada tiga opsi yang ditawarkan ke Pemerintah Aceh Utara. Opsi pertama yaitu membatalkan penetapan Lhoksukon sebagai ibukota kabupaten. “Kedua akan bergabung dengan Lhokseumawe dan memperjuangkan pembentukkan kabupaten Lhokseumawe. Sudah ada pembicaraan dengan Lhokseumawe terkait masalah ini,” sebut Basri.
Jika opsi kedua gagal, maka opsi terakhir, adalah membentuk kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Pase Barat. Dari sisi territorial, kawasan ini memang memadai untuk kabupaten. Syarat pemekaran di Indonesia, adalah kejelasan sumber pendapatan daerah, rekomendasi daerah induk, luas wilayah yang memadai, dan lobi pemerintah pusat yang paling menentukan. Saat disinggung tentang opsi paling diburu bila Pemerintah Aceh Utara tetap memilih Lhoksukon, Basri, mengatakan tetap akan mendirikan Kabupaten Pase Barat.
“Tim pembentukan Pase Barat sudah terbentuk. Jadi, kita masih serius jika memang Aceh Utara memaksakan pemindahan ibukota ke Lhokseukon,” terang Basri.
Sementara itu, masyarakat di kawasan timur, masih mempertahankan Lhoksukon sebagai ibukota. Tokoh muda Lhoksukon, M Husen MR, mengatakan jika pemerintah tidak mengindahkan amanah PP 18/2003, maka sama dengan melanggar aturan negara. Untuk itu, dia mengingatkan Ilyas Pase agar serius dengan pemindahan. “Jangan dari zaman dulu, sejak 2003 hanya wacana-wacana saja. Ini harus dipercepat. Amanah PP itu perintah pemerintah pusat, dan daerah wajib melaksanakannya,” tegas Husen.
Dia mengesalkan sikap pemerintah yang hingga kini masih berencana untuk pindah. “Konkritnya kapan? Jangan hanya rencana-rencana saja. Harus jelas,” ujar Husen. Jika pemerintah beralasan hanya melakukan program pemindahan saja, Husen menilai tidak logis. Idealnya, pondasi dasar pemindahan itu dilakukan pada masa Tarmizi A Karim. Bukan pada masa Ilyas Pase.
Kemudian, soal jarak yang dipersoalkan oleh masyarakat wilayah barat, Husen menyebutkan tidak logis. Dia menamsilkan bahwa ibukota Provinsi Aceh saja terletak diujung Pulau Sumatera, dan 80 persen kabupaten/kota di Aceh juga berada jauh dari ibukota provinsi.
“Banda Aceh sebagai ibukota provinsi saja, terletak jauh dengan kabupaten lainnya. Mengapa menjadi ibukota provinsi, karena dinilai dari sisi sejarah, yaitu bekas kerajaan Iskandar Muda. Kalau Lhoksukon, karena sisi amanah PP. Ini harus difahami benar oleh seluruh masyarakat Aceh Utara,”beber Husen.
Dia mengancam bahwa masyarakat Lhoksukon akan turun kejalan raya bila tidak secepatnya pindah ke Lhoksukon. “Saya khawatir, jika tidak ada kejelasan. Maka masyarakat akan turun ke jalan raya, tidak percaya pada pemerintah lagi. Dan, kami siap untuk itu. Ini yang penting dicatat oleh pemerintah,” pungkas Husen.
Pemindahan ibukota hingga kini belum jelas. Gedung terlantar hingga kini belum ditempati. Inilah bola api untuk Pemerintah Aceh Utara. Jika tidak segera disikapi, alamat, masyarakat tidak akan percaya pada pemerintah saat ini. Ayo Pak Ilyas, tunjukkan aksimu. (masriadi).
Nice info, semoga dengan pemindahan ini, pembangunan jadi lebih baik
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Semoga proses pemindahan ibukota Aceh Baroh dari kecamatan Banda Saktu ke kecamatan Lhoksukon diselesaikan dalam tempo yang sesingkat2nya demi pemerataan pembangunan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Semoga proses pemindahan ibukota Aceh Baroh dari kecamatan Banda Saktu ke kecamatan Lhoksukon diselesaikan dalam tempo yang sesingkat2nya demi pemerataan pembangunan