MOST RECENT

|

Pelabuhan-Pelabuhan “Beku” di Aceh


SUASANA sepi membekap jalan menuju Pelabuhan Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Siang itu, matahari terik. Hanya satu-dua kendaraan saja lalu lalang menuju pelabuhan. Di depan pintu gerbang pelabuhan, tampak dua orang security duduk santai, asap kretek mereka mengepul dari bibir. Sejurus kemudian, dia membukakan pintu pelabuhan.

Di kompleks pelabuhan ini, seluruh fasilitas sudah memadai. Polisi, bea cukai, dan lain sebagainya berkantor di sana. Namun, lihatlah ke bibir pelabuhan. Tidak ada kapal raksasa berjejer. Hanya satu kapal saja yang sedang membongkar semen, bersandar di pelabuhan yang kini berstatus internasional itu. Tampak pula pasukan pengamanan pelabuhan duduk santai. Bagian lain, hanya terlihat masyarakat memancing. Tidak terlihat kesibukan buruh bongkar-muat pelabuhan. Sepi.

Kondisi serupa juga terlihat di Pelabuhan Langsa dan Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh. Tidak ada geliat bisnis yang luar biasa, di ketiga pelabuhan Aceh tersebut. Saat ini, Pelabuhan Langsa berstatus pelabuhan umum kelas IV, sedangkan Malahayati Banda Aceh, terbuka untuk perdagangan luar negeri, berada pada kelas III. Sedangkan Pelabuhan Lhokseumawe, kini berstatus internasional, terbuka untuk perdagangan luar negeri.

Padahal, UU Pemerintah Aceh menyebutkan, pelabuhan salah satu pintu masuk pendapatan daerah untuk provinsi di ujung Pulau Sumatera itu. Namun, tampaknya pemerintah belum mampu berbuat banyak. Sehingga, fasilitas yang diberikan Negara, dan disahkan dalam UUPA tidak mampu direalisasikan. Menjadi aneh, karena pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dua tahun lalu gencar melobi investor sampai ke luar negeri. Namun, hingga saat ini belum ada eksekusi nyata dari sejumlah investor yang hanya berjanji itu.

Pengamat pelabuhan dan pelayaran di Aceh, Amsidar, menyebutkan banyak faktor yang membuat pelabuhan di Aceh tidak menggeliat. Salah satunya, tidak ada keinginan pemerintah untuk membuat sentra komudity pertanian. Untuk ekspor, harus terjamin pasokan barang. Jika tidak, maka importir tidak akan mau membeli barang dari Aceh. Saat ini, sentral pertanian Aceh di Takengon, Aceh Tengah, Redelong, Bener Meriah dan Blang Kejeren, Kabupaten Gayo Lues, dinilai belum cukup untuk menjamin kuota ekspor tersebut.

“Jadi, butuh diperbaiki sentral pertanian dulu. Dibuat dulu sentral pertaniannya. Misalnya, pinang dimana? Kapasitasnya berapa ribu ton. Sehingga, India sebagai pembeli pinang terbesar, mau melirik Aceh. Kalau tidak ada jaminan pasokan barang, jangan pernah bermimpi Aceh bisa melakukan ekspor, meski pun UUPA sudah memberikan peluang itu,” ujar Amsidar.

Amsidar menilai, PT Pelindo hanya sebagai operator dalam aktifitas pelabuhan. Sedangkan, pemerintah lah yang harus memikirkan cara untuk memanfaatkan fasilitas pelabuhan. Sehingga bisa menjadi salah satu sumber pendapatan daerah terbesar, seperti Provinsi Sumatera Utara.

Lelaki yang lama terjun di bidang pelayaran dan pelabuhan ini menyebutkan sector perdagangan juga sangat sulit berkembang di Aceh. Tahun lalu, dia pernah mengajak beberapa distributor produk luar negeri, dan nasional untuk langsung membawa barang via Pelabuhan Krueng Geukuh dan Malahayati, Banda Aceh. “Prinsipnya, distributor nasional itu mau masuk via pelabuhan Krueng Geukuh dan Malahayati. Namun, masalah yang muncul adalah pedagang di Aceh tidak mau membeli di Lhokseumawe atau Banda Aceh. Mereka lebih memilih di Belawan. Mungkin, karena sekaligus jalan-jalan,” ujar Amsidar. Jika membeli di Pelabuhan Belawan,tidak kurang sebanyak 12 persen harga akan lebih mahal bila dibandingkan membeli di Aceh. Selain itu, tidak ada kebijakan khusus untuk mengatur pembeli ini dari pemerintah Aceh. “Saya pikir perlu qanun terkait perdagangan kapasitas besar ini. Sehingga, pedagang Aceh tidak lagi membeli ke Medan. Namun, langsung di Lhokseumawe atau Banda Aceh. Kita punya pelabuhan, mengapa tidak kita berdayakan,” tanya Amsidar.

Dia menyesalkan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Langsa tidak gencar melihat peluang pendapatan asli daerah dari sektor perdagangan dengan menggunakan jasa pelabuhan itu. Informasi yang dihimpun, awal tahun 2008, telah ditandatangani sebanyak 13 nota kesefahaman (MoU) antara Pemerintah Aceh Utara dengan investor nasional dan internasional. Tahun 2007, hingga 2008, memang gubernur dan bupati di Aceh sibuk mencari investor dalam dan luar negeri. Namun, hingga kini, 13 buah MoU itu hanya sebatas bundel kesepakatan. Tidak ada action atau realisasi dari MoU tersebut. Pertemuan demi pertemuan pun dilakukan untuk mengajak investor masuk ke daerah ini. Pelabuhan dan lapangan udara sudah mendukung. Tinggal lagi, maukah investor datang ke bumi Iskandar Muda, via Aceh Utara?

Investor butuh zaminan keamanan, bila mereka ketika berkunjung dikawal oleh militer, bagi investor ini sebagai bukti bahwa Aceh Utara dan daerah Aceh lainnya belum kondusif. Sisi lain, investor ingin jaminan hukum dan perizinan yang tidak berbelit-belit. Pertanyannya, mampukah Aceh Utara dan daerah lainnya menggerakkan pelabuhan yang telah diberikan pemerintah pusat itu?

Menjawab kritikan tajam dan keraguan sejumlah masyarakat, Kepala Dinas Perindustrian,Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Mehrabsyah, menyebutkan pihaknya terus berupaya menggenjot sektor perdagangan via pelabuhan. 1 8 Maret 2009, telah dilakukan pertemuan dengan instansi terkait dengan pelabuhan di Gedung Bupati Aceh Utara. Pertemuan ini membahas kemungkinan melakukan ekspor dan import. Intinya semua sepakat. Namun, Negara tujuan belum ditentukan. Kemudian, Pemerintah Aceh Utara mengajak Bank Indonesia Lhokseumawe untuk duduk membahas persoalan ini. Bank diminta memberikan dukungan pada pengusaha lokal yang akan berbisnis ke luar negeri.

Pertemuan puncak dilakukan 1 Oktober 2009 di Aula Bank Indonesia. Pertemuan ini ditargetkan dihadiri oleh 40 pengusaha lokal dari Bireuen, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Utara dan Aceh Timur. Pertemuan ini diikuti oleh pengusaha dan pemilik kapal asal Malaysia, Mr David dan Ketua IMT-GT Join Business Tangkeil Malaysia, Datok Fauzinawan.

Diharapkan pertemuan ini akan langsung membicarakan teknis perdagangan ekspor dan perdagangan nasional. Mr David disebut-sebut sebagai pengusaha yang menyediakan kapal, bila kegiatan ekspor dan impor dilakukan dari Aceh Utara. Mehrab mengakui hal tersebut. “Kita harap, aka nada kesepakatan dengan pengusaha lokal nantinya. 40 pengusaha lokal, ditambah Perusahaan Daerah Bina Usaha, milik Aceh Utara,” kata Mehrabsyah.

Dia juga mengakui, bahwa Bupati Bireuen, Nurdin Abdurahman, sebagai inisiator agar pelabuhan Krueng Geukuh digerakkan secara bersama oleh beberapa kepala daerah. “Kita juga akan datangkan produk-produk nasional via Krueng Geukuh dalam waktu dekat nanti. Ya, distributor bisa masuk dari Aceh Utara, tak usah melalui Belawan lagi. Salah satu produk yang sudah siap masuk, PT Unilever,” terang Mehrab.

Saat disinggung Negara tujuan ekspor, Mehrab hanya menyebutkan Malaysia. Komudity yang diekspor pun berupa Pinang, Kakao, Karet dan lain sebagainya. Semua barang itu didatangkan dari daerah tetangga Aceh Utara, seperti Pidie, Aceh Tengah, Bireuen, dan Aceh Timur.

Jika pengusaha lokal tertarik, mereka juga bisa melakukan impor dari Malaysia. Harganya lebih murah. “Barang-barang dari Malaysia bisa kita import dengan bekerjasama dengan PAMA Selangor. Mereka perusahaan yang mau bekerjasama,” ujar Mehrab.

Dia tidak menampik bahwa selama ini belum ada hasil dari nota kesepahaman antara Pemerintah Aceh Utara dan para investor. Dia berharap, pada pertemuan 1 Oktober mendatang, akan disepakati teknis kerjasama, impor dan ekspor, serta peragangan nasional dari Pelabuhan Krueng Geukuh. “Ke depan aka nada pertemuan lagi. Teknis kerjasama sepertinya akan kita bahas berulangkali. Tujuannya, agar semua pihak diuntungkan. Tampaknya, tak bisa putus pada 1 Oktober 2009,” kata Mehrabsyah.

Pertemuan demi pertemuan terus belangsung. Masyarakat berharap pertemuan itu bisa membuahkan hasil nyata. Tak hanya sekadar retorika. Tak saatnya lagi jual kecap, akan datang investor ini dan itu. Terpenting, aksi nyata. Mengerakkan pelabuhan, menambah penghasilan daerah, dan otomatis kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Pegangguran akan menurun dengan sendirinya. Ayo, beraksi. Jangan hanya berjanji. (masriadi)

Publis Oleh Dimas Sambo on 22.50. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

1 komentar for "Pelabuhan-Pelabuhan “Beku” di Aceh"

  1. mas postingnya bgus.hsil tlsan ndri atau kutipan? blh ga dw msuin d blog dw..visit k blog dw ya 7unique.co.cc

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added