MOST RECENT

|

Pemerintah tak Hargai Pahlawan




JALAN menuju rumah Cut Nyak Mutia di Desa Meunasah Masjid, Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara sepi. Kiri-kanan jalan dipenuhi semak belukar. Jalan itu dulunya diaspal. Kini, aspal itu terkelupas. Menyisakan lubang menganga. Sejurus, tak pernah terpikirkan bahwa jalan menuju rumah pahlawan nasional asal Aceh itu sangat buruk. Namun, realitas berkata lain. Di kiri-kanan jalan, sawah petani membentang. Air berhembus, membuai rumah Cut Mutia teronggok sepi.

Meski menyimpan sejarah perjuangan Cut Ny ak Mutia melawan Belanda, namun sangat sedikit masyarakat yang berkunjung. Jika pun ada, hanya mahasiswa yang menyelesaikan tugas kuliah. Maklum saja, tidak ada promosi khusus yang dilakukan Pemerintah Aceh Utara terkait obyek situs sejarah dan wis ata di daerah itu. Ind ikasinya, tidak ada penunjuk jalan menuju rumah panggung Cut Mutia. Rumah ini terletak sekitar 15 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe. Lalu, ikutilah jalan aspal menuju kemukiman Pirak. Di situ, akan ada persimpangan. Berbeloklah ke kiri. Ikuti jalan itu, dari kejauhan akan terlihat monument perlawan Cut Mutia, menjulang setinggi lima meter. Dicat warna merah dan putih.

Di rumah itu, terdapat lesung penumbuk padi, balai tempat rapat perjuangan, kolam renang, di sisi kolam ada monumen perjuangan. Rumah pangung itu modelnya sama seperti rumah Aceh pada umumnya. Nam un, tidak ada yang luar biasa tersimpan dalam rumah bersejarah itu. Foto-foto kusam perjuangan Cut Mutia tidak terawat dengan baik. Hanya ada satu buah lemari kosong, dan satu buah lukisan foto Cut Mutia terbaru. Selebihnya, hanya ruang berdebu. Begitu juga kondisi makam srikandi Aceh itu. Terletak jauh ke pedalaman, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara. Jalan menuju ke makam itu sudah dibangun dengan program TNI Masuk Desa (TMD) akhir tahun lalu. Jalan ke sana berlumpur,komplek makam itu jauh kepedalaman. Makam hanya ditutupi dengan kelambu kusam. Nisan pun sudah kabur. Hanya, prasasti yang dibangun oleh TNI sepuluh tahun lalu. Prasasti ini pun sudah kusam.

Kondisi serupa terlihat di Makam Tengku Dilhokseumawe, di Desa Uten Bayi, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Makam yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di Lhokseumawe itu bahkan tidak ada gapura sama sekali. Juga tidak ada penjaga makam yang membersihkan makam tersebut saban hari. Makam hanya dibersihkan oleh warga yang menetap disekitar makam. “Tidak ada penjaga makam ini. Hanya, kami masyarakat di sini yang menjaga makam dan membersihkannya,” kata salah seorang warga, Munawarah, baru-baru ini.

Munawarah berharap, makam itu dijaga dengan baik oleh pemerintah. Sehingga, setiap orang yang berkunjung dan ingin mengetahui sejarah Lhokseumawe bisa menjadikan makam itu sebagai referensi utama. Anehnya, di kiri-kanan makam tidak ada museum kecil pun. Renovasi peninggalan sejarah di Aceh Utara dan Lhokseumawe bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali. Renovasi rumah Cut Mutia dilakukan tahun 2005 silam, Tengku Dilhokseumawe, tahun 2004 silam. Itu pun hanya sekadar membuat pagar belaka.

Buruknya perawatan situs sejarah di Lhokseumawe dan Aceh Utara dikesalkan pengamat budaya, TM Zuhri. Zuhri yang juga pelaku seni di kota yang dulu dijuluki kota migas itu menyatakan perlu perhatian serius untuk membenahi situs sejarah dan wisata. Pasalnya, di Ancol, Serang, Banten, sektor wisata dan budaya bisa menghasilkan Rp 6 Miliyar pendapatan daerah per tahun. “Perlu pembenahan serius. Jika tidak, maka sampai kapan pun, wisata dan budaya kita tidak dilirik oleh pengunjung dari luar Aceh,” kata Zuhri.

Dia menyebutkan, program visit Aceh year yang digalakkan sejak tahun 2007 silam hingga kini tidak akan berjalan bila tidak didukung dengan pembangunan wisata dan situs sejarah yang memadai. Selain itu, program Mis Tourism, yang dilakukan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Aceh saban tahun tidak aka nada manfaatnya. “Mereka itu ditargetkan menjadi pemandu wisata, mau pandu kemana. Toh, obyek wisatanya tidak bagus. Tdiak dibenahi situs sejarahnya. Ini mubazir,” terang Zuhri. Selain itu, promosi wisata dari Aceh memang terbilang minim. Promosi seharusnya dilakukan secara integral oleh satu dinas semata, namun, di Aceh dan umumnya Indonesia , promosi wisata dan budaya dilakukan oleh beberapa dinas, seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Olahraga, ada pula yang dilakukan Dinas Kebudayaan. “Buat saja misalnya, promosi satu atap, hanya dilakukan oleh dinas pariwisata dan kebudayaan. Ini soal penamaan dinas saja, tidak seragam. Sehingga, promosi tidak berjalan efektif,” terang Zuhri.

Penjaga Makam Terlantar
Perhatian terhadap penjaga situs sejarah juga minim. Hal ini diakuit, Cut Hasan, penjaga Makam Putro Neng, di Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. Cut Hasan telah menjaga makam itu sejak puluhan tahun silam. “Dulu, waktu masih Aceh Utara, gaji saya dibayar per tiga bulan sekali,” ungkap pria penuh uban ini.

Namun, sejak dua tahun terakhir, gaji Cut Hasan dibiayai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh. Besarnya hanya Rp 300.000 per bulan. Itu pun dibayar setahun sekali. Angka itu tentu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan ayah enam oran g anak itu. “Untuk membeli cangkul membersihkan kompleks makam saja susa h. Gajinya sakit kecil,” kata Hasan. Dia berharap, pemerintah memperhatikan gajinya. Dia juga meminta agar gaji itu bisa dikirim tiap bulan. Layaknya, gaji pejabat negeri ini. “Kalau angka gaji saya itu kan , hanya gaji lima hari satu hari kerja para pejabat. Saya harap ada perhatian,” lirih Hasan.

Meski begitu, Hasan terus menjaga makam. Dia berharap ada peningkatan di tahun depan. Hasan dan Zuhri meminta, agar Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota mulai tahun ini segera membenahi situs sejarah. Sehingga, bisa dijadikan salah satu sumber pendapatan daerah. Selain itu, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Jika bukan kita yang menghargai situs sejarah dan wisata, siapa lagi tengku?


Sektor Wisata Terseok
MENTERI Kebudayaan dan Pariwisata RI , Jero Wacik, mencanangkan visit Indonesia years sejak tiga tahun silam. Tahun kunjungan wisata ini diharapkan bisa meningkatkan kunjungan wisata ke Indonesia dari mancanegara. Seluruh daerah pun diamanahkan untuk membuat daerah kunjungan wisata. Situs sejarah dan lokasi pariwisata menjadi dua sektor andalan. Maka, pemerintah provinsi di Indonesia pun membuat daerah kunjungan. Sebut saja Sumatera Utara, membuat visit sumut years, visit Aceh year, visit ranahminang year dan daerah lainnya. Namun, sayangnya, sektor wisata di daerah terseok. Pencanagan tahun kunjungan wisata hanya sekadar slogan. Tak mampu direalisasikan pemerintah provinsi dan daerah.

Struktur dinas di daerah pun berbeda. Lihatlah Lhokseumawe, sektor budaya dan sejarah satu atap dengan Dinas Perhubungan. Aceh Utara, berada di bawah Dinas Pemuda dan Olahraga. Hal ini mempengaruhi kinerja bidang pariwisata dan budaya.

Hal itu diakui oleh Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, Hasbullah. “Pernah ada program untuk kabupaten/kota dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh. Tapi, karena kami berada di bawah Dinas Perhubungan, maka program ini tidak bisa disalurkan ke Lhokseumawe. Ini menjadi kendala juga,” kata Hasbullah.

Kemudian, saat disinggung soal perawatan Makam Tengku Dilhokseumawe, Hasbullah menyebutkan tidak ada dana untuk merenovasi makam itu. Dia beralasan, bahwa sejarah Tengku Dilhokseumawe sangat kabur. Tidak ada satu orang pun di kota itu yang bisa ditemui untuk menanyakan sejarah Tengku Dilhokseumawe. “Kami sudah mencoba melakukan riset kecil-kecilan. Tapi, tidak ada sejarah yang jelas, kapan lahirnya, asalnya, keluarganya Tengku Lhokseumawe. Sehingga, kita tidak bisa mengajukan proposal renovasi makam. Ini yang menjadi kenadala,” kata Hasbullah. Di sektor wisata, dia menyebutkan tidak memiliki pondasi dana yang kuat. Untuk tahun 2008 silam, sektor wisata hanya mendapatkan dana Rp 80 juta, dan tahun 2009 hanya Rp 49 juta dari APBK Lhokseumawe. “Kalau jumlah dananya begini, kita mau buat apa? Tidak cukup,” ungkap Hasbullah.

Meski begitu, dia telah mengajukan pada Walikota Lhokseumawe, Munir Usman untuk menata lokasi wisata yang memadai. Direncanakan, pantai Ujong Blang akan dijadikan semi ancol. Sumber dana untuk membangun Ujong Blang akan bekerjasama dengan VDven, sebuah perusahaan asal Belanda. Perusahaan ini, telah mengunjungi lokasi wisata Ujong Blang. “VDven meminta kita menyiapkan gambar bangunan. Kemudian, mereka yang akan membangun. Ini murni bisnis. Misalnya, kontrak dengan VDven selama dua puluh tahun, dengan bagi hasil 60 persen untuk VDven dan 40 persen untuk Pemko Lhokseumawe. Setelah itu baru VDven melepasnya murni ke Lhokseumawe,” kata Hasballah.

VDven telah mengunjungi Ujong Blang. Diprediksikan, tahun 2010 mendatang perusahaan ini telah mulai beroperasi di Lhokseumawe. Soal Syariat Islam, VDven menawarkan lokasi wisata terpisah. Misalnya, waterboom, kolam renang laki dan perempuan dipisahkan. Konsep ini sebenarnya telah dilakukan di Bandung , Jawa Barat. “VDven sudah siap. Jika tidak ada kendala apa pun, maka tahun depan akan action untuk pembangun kawasan wisata pantai,” pungkas Hasballah. (masriadi)


RIDWAN YUNUS [KETUA FRAKSI GABUNGAN DPRK ACEH UTARA]
“Situs Sejarah Harus Dibenahi”

MENANGGAPI buruknya pengelolaan situs sejarah di Aceh Utara, ketua fraksi gabungan DPRK Aceh Utara, Ridwan Yunus menyesalkan tindakan itu. Pasalnya, situs sejarah harus dikelola dengan baik. Sehingga, generasi muda Aceh, bisa mengetahui letak dan tempat pahlawan negerinya.


Dia mengkhawatirkan, jika situs sejarah tidak dikelola dengan baik, lama kelamaan generasi Aceh tidak akan lagi menghargai jasa pahlawannya. Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh Utara itu mengatakan, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh Utara harus segera memperbaiki jalan menuju makam dan rumah Cut Mutia.


“Memang ada anggapan bahwa persoalan situs sejarah tidak menarik di Aceh. Ini anggapan yang keliru, jika kita tidak membuatnya menjadi menarik, maka situs itu tidak akan menarik. Namun, jika kita buat menarik, maka dengan sendirinya akan menarik,” kata Ridwan.
Lebih jauh dia menyebutkan, jika persoalan akses jalan menuju situs sejarah itu sudah selesai, baru akan dipikirkan persoalan promosi yang bagus. Dia mengakui, bahwa jalan menuju makam dan rumah Cut Mutia memang sulit dilalui. “Dari jalan saja yang sulit dilalui, orang sudah malas berkunjung. Belum lagi letaknya yang sangat jauh. Saya pikir, terpenting jalan dulu dibenahi,” tegas

Ridwan menyebutkan, pihaknya akan memanggil dinas terkait untuk membicarakan persoalan jalan menuju makam tersebut. “Kalau dana tidak usah khawatir. Jika sekarang tidak ada dana, bisa diusulkan tahun depan. Terpenting, ada niat untuk memperbaiki situs sejarah,” pungkas Ridwan. (masriadi)

Publis Oleh Dimas Sambo on 22.43. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Pemerintah tak Hargai Pahlawan"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added