Memaknai Perjuangan Mantan GAM
MEMBACA Novel “Teuntra Atom” ditulis oleh Thayeb Loh Angen kali ini begitu mengejutkan. Thayeb merevisi naskah asli yang sebelumnya pada tahun 2005 diberi judul “Retina” ini. Novel ini bahkan menuliskan beberapa nama dengan jelas, dan kegiatan politik mereka di tahun 2009. Ya, bisa disebut novel ini kesaksian sejarah Aceh yang pernah dibalur konflik dan duka yang berkepanjangan. Tokoh utama, yang dilakonkan dengan cara bercerita orang pertama tunggal, “Aku alias Irfan” ini mencoba mengajak pembaca menikmati suasana konflik. Thayeb menulis tentang aktifitas politik Zulkifli, alias Doli, guru bahasa Inggris tokoh Irfan yang kini lolos menjadi anggota DPR Aceh dari partai yang didirikan mantan kombatan, Partai Aceh.
Ketegangan dan ketakutan seluruh masyarakat sipil di aceh. Meski kurang detail, namun, novel ini merupakan saksi sejarah konflik. Kurang detail terlihat bagaimana drama ketakutan demi ketakutan masyarakat waktu itu kurang berhasil digambarkan sang penulis dalam bukunya. Jelas, ketika konflik masih terjadi di Aceh, masyarakat sipil seperti boh limeung diateuh bate neupeh (belimbing di atas gilingan). Masyarakat sipil selalu saja menjadi sasaran kedua pihak yang bertikai. Bisa disebutkan, keluar rumah salah, tidak keluar, juga dicurigai sebagai bagian dari komplotan pemberontak. Terlepas benar atau tidak warga sipil itu sebagai pemberontak. Menarik memang, karena buku ini ditulis oleh orang yang terlibat konflik di Aceh.
Saya menyebut, novel ini mencoba memaknai arti gerakan dan pejuang. Memaknai arti pemimpin dan pejabat. Dimana, dalam novel ini disebutkan bahwa ada pula pejabat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kurang peka terhadap nasib bawahannya. Ada yang mengeruk harta, atas nama perjuangan. Ini yang disebut oleh Prof Taufik Abdullah, sebagai perbedaan kata antara pemimpin dan pejuang. Pemimpin memiliki rakyat yang dipimpinnya. Memiliki rakyat atau bawahan yang patut disejahterakan. Karena itu adalah tugas utama yang harus dipikirkan oleh pemimpin. Ada hubungan patron-klien jika mengunakan kata pemimpin. Pemimpin menjadi patron, sedangkan rakyat dan masyarakat sipil menjadi klien.
Sedangkan pejabat, ditabalkan samadengan elit politik. Artinya, pejabat hanya jabatan politis, dan tidak serta merta akan memperjuangkan nasib rakyat, mengentaskan kemiskinan, dan mencerdaskan generasi penerus bangsa. Semua itu terekam dalam tulisan setebal 362 dari tangan Thayeb. Namun, sedikit menganggu ketika Thayeb terlalu lamban menceritakan bagian awal novel ini. Dia memulai cerita dengan letak topografi Desa Loh Angen, lalu pada bagian berikutnya bercerita tentang ketertarikannya pada seorang wanita kampung, cantik dan sangat menawan. Tokoh peragu Irfan ini digambarkan sangat takut. Masuk dalam perjuangan GAM, yang ketika itu dicap separatis juga bukan karena keinginan yang kuat. Irfan hanya ingin membuktikan, bahwa dia bisa berbuat dalam perjuangan. Terlepas tujuan perjuangan itu apa? Lamban ini jika boleh jujur, akan mengurangi selera pembaca untuk melanjutkan bab berikutnya yang jauh lebih menarik.
Saya sebutkan, jika boleh jujur, kita tidak akan menikmati sajian khas, kental dengan setting masa perjuangan pada bagian awal. Justu cerita novel ini menarik pada bagian tengah novel ini. Dimana, Irfan mulai masuk dalam gerilyawan, dengan segala keterbatasan yang ada. Bahkan, baju seragam para pejuang pun tak pernah selesai dijahit. Selalu saja mengenakan pakaian alakadar. Mengenakan satu jaket, berbagi dengan teman-teman kaum pejuang yang lain.
Pada bab berikutnya, kejujuran Thayeb dalam buku ini patut diacungkan jempol. Jika buku ini, dibaca oleh penduduk Aceh dan atau oleh orang yang pernah menetap di Aceh, akan sangat terasa bagaimana kalangan pejuang GAM, sangat hormat pada senior atau pimpinan mereka. Meski ada satu atau dua orang yang disebut Thayeb sebagai pimpinan korup. Namun, contoh yang diambil Thayeb adalah pimpinan sipil GAM yang cendrung menetap di desa ketika konflik menyalak. Namun, pada barisan militer, tidak ada keraguan akan gerakan. Bagi kalangan militer GAM, perjuangan dan kata merdeka, adalah perintah yang patut diperjuangkan, plus cap perjuangan adalah mulia. Cap mulia ini disebut-sebut oleh Thayeb adalah perjuangan mulia dan dipegang penuh oleh militer, baik itu polisi dan tentera GAM kala itu.
Penggambaran sosok Irfan yang tidak betah di hutan, lalu menjadi tukang masak di salah satu pesantren di Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe mencerminkan judul cerita ini. Ya, “Tentera Atom” adalah sebutan Thayeb untuk sosok Irfan. Dia secara tidak langsung, menyebutkan bahwa “Tentera Atom” adalah pejuang GAM yang tidak berani, kecut jika senjata menyalak, dan tak tahan menahan lapar. Jenis ini ketika konflik memang tidak pernah bersembunyi di hutan belantara. Hanya mengendap-ngendap di kampung-kampung. Ini yang dimaksud dengan Tentera Atom. Sebutan bagi pejuang garis bawah, tidak memanggul senjata, dan hanya bermodalkan sebuah handy talky. Realitas ini berani diungkapkan oleh Thayeb, yang dulu ketika konflik masih menyalak, sangat tabu mengungkapkan realitas-realitas yang disebutkan dalam buku ini. Inilah cara mengukir realitas, dan menertawakan perjuangan si penulis dulu. Apa pun cerita, ketika perjanjian damai di Aceh telah disepakati antara pemerintah RI-Gerakan Aceh Merdeka, di Helsinki, medio 2005 silam, banyak perubahan telah terjadi. Buku ini mencoba mengingatkan semua orang akan perih dan getirnya konflik. Konflik hanya menyisakan kesengsaraan masyarakat. Bukan cerita menang dan kalah yang ingin diungkapkan buku ini. Namun, sejarah duka yang berkepanjangan masyarakat Aceh.
Kini, tak ada masyarakat yang ingin luka lama kembali bernanah. Kini, semua masyarakat ingin damai terus berlanjut. Empat tahun sudah proses tarnformasi dari konflik ke damai terjadi di negeri syariah ini, masih banyak persoalan post concflik yang belum terselesaikan. Dari persoalan realisasi bantuan korban konflik yang tidak merata, sampai persoalan janda korban konflik yang belum tersentuh sama sekali.
Bahkan, sampai tugas dan elit Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang dinilai masih lamban dalam proses penyaluran bantuan. Ingat, Thayeb telah mengingatkan pil pahit konflik dalam bukunya. Jangan sampai, ketika senjata tak lagi menyalak di Aceh, konflik sosial menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Untuk itu, perlu upaya serius menangani persoalan-persoalan pascakonflik di Aceh secepat mungkin. Jangan sampai muncul kelompok sipil yang kecewa pada proses konflik dan melahirkan konflik baru. Jika konflik kembali terjadi, maka tidak akan ada pembangunan yang berjalan. Geliat ekonomi masyarakat yang hilang dan hanya kemiskinan yang membekap seluruh Aceh. Selain itu, ekses konflik adalah tingginya angka kriminalitas. Untuk menghindari semua itu, eksekutif, legislatif, yudikatif dan mantan-mantan orang yang berkonflik harus peka pada seluruh kerikil dalam sepatu perdamaian ini.
Semua pihak harus memikirkan keberlanjutan Aceh damai. Aceh damai, rakyat makmur, dan seluruh pembangunan berjalan sebagaimana mestinya. Ini yang diharapkan masyarakat Aceh. Dan, buku ini adalah rekam sejarah dibalut sastra, mengingatkan semua orang akan konflik. Sekecil apa pun makna perjuangan dalam buku ini, haruslah dilihat dari sisi histori. Bukankah bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah. Dan, Thayeb menulis sejarah Aceh dengan caranya sendiri. Buku ini patut dibaca. Dengan harapan, pada cetakan berikutnya, penulis kembali merevisi beberapa ejaan yang kurang tepat, salah ketik dan lain sebagainya. Salut buat Thayeb yang kini “menceburkan” diri pada profesi jurnalis di sebuah harian lokal di Aceh. [masriadi]
Judul : Teuntra Atom, Kesaksian Seorang Kombatan
Penulis : Thayeb Loh Angen
Penerbit : Center for Aceh Justice and Peace (CAJP) Banda Aceh, 2009
Tebal : 362 Lembar