Aceh Utara Paskagas [3]
Sektor Mikro Perlu Perhatian
PAGI itu, 7 Agustus 2009. Suasana di Desa Teupin Punti, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara terlihat sepi. Desa ini dikenal sebagai desa pengrajin peci Aceh. Seluruh pengrajin sibuk di lokasi usahanya masing-masing. Deru mesin jahit terdengar bising. Mereka sibuk memperhatikan kain, membuat ukuran, dan menjahit motif. Seluruh motif khas Aceh. Dari motif rencong, kopiah meuketop, sampai ke pinto Aceh.
Seorang pemuda, Iwan Sunarya, duduk dibelakang mesin jahit elektrik. Mesin itu dibantu oleh salah satu NGO asing yang bekerja membantu pemulihan ekonomi Aceh paska konflik dan tsunami. Dia serius menjahit peci. Matanya teliti. Sejurus dia terdiam. Memperhatikan motif peci, lalu melanjutkan jahitannya.
Iwan mengaku, sejauh ini belum mendapatkan bantuan dari Pemerintah Aceh Utara. Padahal, untuk mendukung sektor kerajinan khas Aceh, Iwan membutuhkan bantuan mesin lebih banyak. Dia mempekerjakan, 12 tenaga kerja. Produksi yang dihasilkan, rata-rata mencapai 100 peci per hari. Itu pun tergantung aliran listrik ke desa itu.
“Kalau ada bantuan dari pemerintah, mungkin usaha ini bisa lebih besar lagi. Selain itu, kami harap, pemerintah mau membantu pengembangan pasar,” kata Iwan. Ruangan kerja Iwan hanya berupa kios dengan luas 5 x 10 meter. Di situ, sepuluh mesin jahit berjejer rapi. Di situlah, Iwan memproduksi ratusan peci saban hari.
Sektor lainnya yang perlu diperhatikan pemeirntah yaitu pertanian dan perikanan. Data dari Dekopinda Aceh Utara, tercatat 100.000 orang masyarakat berprofesi sebagai petani tambak. Luas tambak di Aceh Utara mencapai 28.000 hektare. Sedangkan untuk petani, sebanyak 47 persen penduduk Aceh Utara tercatat sebagai petani. Petani ini tergolong petani memiliki lahan dan petani tidak memiliki lahan, artinya meminjam lahan orang milik petani lainnya.
“Mengapa tidak sektor pertanian dan perikanan saja yang dibenahi pemerintah. Ini sehrausnya menjadi perioritas,” kata Ketua Dekopinda Aceh Utara, Baharuddin Hasan. Alokasi dana untuk kegiatan ekonomi mikro memang terbilang kecil. Lihatlah dana yang dialokasikan untuk Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) tahun 2009 hanya sebesar Rp 801 juta lebih. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, hanya sebesar Rp 2, 3 miliyar. Badan Pemberdayaan Masyarakat hanya mengantongi Rp 7,9 miliyar. Angka itu jauh lebih kecil dibanding dinas lainnya. Lihat saja angka pada Dinas Pasar, Kebersihan, dan Pertamanan yang mendapat alokasi dana sebesar Rp 6,9 miliyar. Jauh lebih besar dibanding Dinas Koperasi dan UKM yang mendapatkan Rp 801 juta. Besaran alokasi anggaran per dinas ini tercantum dalam surat Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, kepada seluruh SKPD tertanggal 19 Juni 2009. Surat itu menegaskan bahwa defisit anggaran APBK menyebabkan semua dinas harus diperkecil alokasi dananya. Surat itu ditujukan kepada Dinas, dan ditembuskan kepada pimpinan DPRK dan Inspektorat di Aceh
Minimnya anggaran untuk sektor mikro itu, sangat disayangkan oleh pelaku ekonomi. Baharuddin yang juga Ketua Aceh Micro Finance (AMF) Aceh meminta agar kedepan pemerintah segera memperhatikan sektor ekonomi mikro. “Dengan banyaknya sektor ekonomi mikro yang tumbuh, dengan sendirinya akan membuka lapangan kerja sendiri bagi masyarakat di Aceh Utara. Sektor ini sangat banyak, jadi patut mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah,” kata Baharuddin. Ucapan Baharuddin tampaknya tak berlebihan. Krisis ekonomi global melanda dunia, namun sektor ekonomi mikro terbukti mampu bertahan. Padahal, sektor makro tergulung derasnya arus krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia. Ya, kini tinggal lagi kebijakan pemerintah, memilih makro, atau mikro? Entahlah. [masriadi]