MOST RECENT

|

ACEH UTARA PASKAGAS [2]

Untung atau Buntung?

Masa kejayaan Aceh Utara telah berakhir. Sejumlah proyek vital di daerah yang dulu dijuluki “petro dollar” itu telah tutup usia. Apa tindakan Pemerintah Aceh Utara untuk mengantisipasi itu?

SEJUMLAH proyek vital di Aceh Utara resmi tidak beroperasi lagi. PT Asean Aceh Fertilizer, PT Humpus Aromatic, telah lebih dulu memutuskan tidak lagi beroperasi di Aceh Utara. Terakhir, PT Kertas Kraf Aceh (KKA)juga memutuskan untuk tidak beroperasi. Bahkan, awal Agustus lalu, badan usaha milik negara (BUMN) itu sudah merumahkan karyawannya. Kini, hanya PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan PT Arun NGL yang beroperasi di daerah yang dulu dijuluki kawasan petro dollar itu.

Berakhirnya produksi perusahaan itu secara otomatis membuat Aceh Utara harus siap-siap dengan kebijakan baru. Ya, kebijakan untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Belajar dari beberapa unit usaha yang didirikan Pemerintah Aceh Utara, tampaknya, daerah itu lebih memilih pengembangan ekonomi makro untuk menambah sumber pendapatan asli daerah. Lihat saja, pendirian pesawat Nort Aceh Air Service (NAAS) tahun lalu, yang berakhir pada tutupnya perusahaan itu. Kini, pemerintah kembali melahirkan gagasan besar. Berpakem pada sektor ekonomi makro, yaitu mendirikan perusahaan yang mengelola minyak bumi dan gas (PD Migas). Niat itu tampaknya serius. Pasalnya, saat ini qanun untuk legalitas perusahaan daerah itu sudah masuk pada pembahasan tim panitia legislasi DPRK Aceh Utara.

Sekretaris Komisi A, bidang pemerintahan, DPRK Aceh Utara, Harry Azhar Nur, mengatakan saat ini rumusan qanun sudah sampai pada panitia legislasi. Hary sendiri sebagai wakil ketua pada panitia legislasi. “DPRK pada prinsipnya mendukung pendirian PD Migas ini. Hal ini karena, kita melihat dari sisi positifnya, yaitu bahwa jika ada PD Migas bisa memproduksi elpiji, bisa membuat SPBU. Dan, mobil pemerintah semuanya bisa mengisi pada SPBU itu,” kata politisi Partai Golkar Aceh Utara tersebut.

Hary menyebutkan, diupayakan pengesahan qanun tersebut akan dilakukan sebelum masa jabatan DPRK Aceh Utara yang menjabat saat ini berakhir. “Kita upayakan secepatnya pengesahan. Sebelum masa jabatan berakhir. Jika tidak bisa, ya mau bagaimana. Terpaksa diteruskan DPRK hasil Pemilu 2009,” terang Hary.

Pria berkacamata ini menilai bahwa teknis pelaksanaan PD Migas harus diperjelas. Misalnya, dengan membiarkan direktur utama PD Migas nantinya mengelola perusahaan tanpa mengambil uang dari APBK. “Kalau PD Migas, siapa pun nanti direkturnya harus diperjelas mekanisme kerjanya. Jangan mengambil uang APBK. Namun, mengambil sumber dana lain dari kerjasama dengan lembaga lainnya. Intinya, DPRK mendukung PD Migas ini,” tegas Harry.

Niat untuk membangun PD Migas itu juga pernah disebutkan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid. Ketika berbicara pada pekan kreatif usaha ExxonMobil, 17 Februari lalu menyebutkan pihaknya serius untuk membentuk PD Migas. PD Migas ini nantinya akan mengelola sumur bekas ExxonMobil di Aceh Utara. Hal ini, menurut Ilyas, bisa mendatangkan untung untuk pendapatan daerah. “PD Migas itu bisa mendatangkan untung untuk daerah. Sumur bekas ExxonMobil bisa dikelola oleh perusahaan daerah,” kata Ilyas pada wartawan waktu itu.

Bupati Ilyas A Hamid, menambahkan, sumber daya manusia (SDM) yang akan mengelola PD Migas itu bisa jadi bekas karyawan ExxonMobil. Sehingga, dari sisi SDM tidak dikhawatirkan lagi. Hal itu menurut Ilyas, mengantisipasi hengkangnya ExxonMobil dalam waktu dekat dari Aceh. Menurut kabar angin, kata bupati dari jalur independen ini, ExxonMobil akan meninggalkan Aceh pada tahun 2010 atau 2012 mendatang.

Elemen Sipil Menolak
Elemen sipil di Aceh Utara pun menolak rencana pendirian PD Migas tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Aceh Utara, Baharuddin Hasan, menamsilkan niat pemerintah mendirikan PD Migas sama dengan cok peulaken cilet bak prut (ambil aspal panas, tempelkan di perut). Artinya, sebut Bahar, rencana itu sama dengan niat pemerintah untuk melukai dirinya sendiri. Bahar mengkritisi bahwa tidak ada SDM yang memadai untuk mengoperasikan PD Migas di Aceh Utara. “Kebijakan itu tidak populer. Kondisi sumur tua bekas ExxonMobil pasti sudah tidak produktif. Kalau produktif, mana mungkin perusahaan raksasa sebesar ExxonMobil meninggalkan sumur itu dan rela dikelola oleh pemerintah daerah,” kata Baharuddin, kepada Kontras, 10 Agustus lalu.

Dia memprediksikan kadar gas sumur itu hanya dua persen per setiap sumurnya. Krtitik tajam lainnya datang dari Lembaga anti korupsi, Masyarakat Transfaransi Aceh (MaTA). Ketua MaTA, Alfian mengkhawatirkan perusahaan daerah yang baru itu akan menyedot APBK Aceh Utara. Dia menyebutkan beberapa waktu lalu, pihaknya duduk bersama dengan LSM lainnya di Aceh Utara dan Lhokseumawe, membahas qanun PD Migas dengan panitia legislasi.

“Panitia legislasi menyebutkan bahwa perusahaan itu tidak akan mengeruk uang daerah untuk operasionalnya. Mereka katakan, bahwa operasional PD Migas akan diambil dari kerjasama dengan lembaga lainnya. Sejenis investor. Bahkan, panitia legislasi menyebutkan bahwa PD Migas Aceh Timur sudah berhasil,” kata Alfian meniru ucapan sejumlah panitia legislasi DPRK Aceh Utara, beberapa waktu lalu.

Alfian menyebutkan bahwa lembaga yang dipimpinnya telah mengkroscek PD Migas Aceh Timur, hasilnya, perusahaan migas di Aceh Timur hingga kini masih menyedot anggaran APBK Aceh Timur sebesar Rp 900 juta tahun anggaran APBK 2008-2009. “Lebih baik dibuat qanun pendidikan, kesehatan atau qanun transfaransi anggaran dibanding qanun PD Migas yang tidak banyak manfaatnya itu,” kata Alfian.

Dia menyarankan, agar rencana pendirian PD Migas itu dibubarkan saja. Jika ingin untung, disarankan pemerintah memberikan gas tua milik ExxonMobil pada perusahaan swasta saja. Jadi, pemerintah hanya mendapatkan imbal bagi hasil. “Ini lebih baik. Jelas, bagi hasil lebih untung. Tidak mengeluarkan biaya produksi dan lain sebagainya,” kata Alfian.

Dia sangat khawtir hadirnya PD Migas akan menyedot angaran dari APBK. “Nanti alasannya bisa saja modal awal, atau lainnya. Intinya, tetap mengeruk APBK untuk membelanjai PD Migas itu,” ungkapnya.

Sementara itu, ternyata di kalangan anggota DPRK Aceh Utara tidak semuanya sepakat mendukung pendirian PD Migas. Salah seorang anggota Komisi C, DPRK Aceh Utara, Muhammad Sawang yang dihubungi per telepon menyebutkan alangkah baiknya rencana pendirian PD Migas itu ditinjau kembali.

“Masih ada PD Bina Usaha yang sudah berdiri di Aceh Utara. Alangkah baiknya, bidang Migas ini bisa dibuat sub pada PD Bina Usaha. Jadi, tak usah mendirikan PD baru lagi,” kata Muhammad. Baik, Muhammad, Alfian, dan Baharuddin sepakat bahwa kinerja perusahaan daerah di Aceh Utara belum menggembirakan rakyat banyak. Perlu evaluasi kembali terhadap rencana pendirian perusahaan daerah yang baru itu. Nanti, dikhawatirkan berharap untung, malah buntung. [masriadi]

Publis Oleh Dimas Sambo on 01.05. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "ACEH UTARA PASKAGAS [2]"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added