Belajar dari Buku Ainun & Habibie
“Terima
kasih Allah, ENGKAU telah lahirkan Saya untuk Ainun dan Ainun untuk Saya.
Terima kasih Allah, Engkau sudah mempertemukan Saya dengan Ainun dan Ainun
dengan Saya....."
Kalimat itu ditulis Mantan Presiden RI, Habibie dalam bukunya Ainun
& Habibie. Saya membaca buku itu sekitar enam bulan lalu. Awalnya, iseng
saya membeli buku ini di salah satu toko buku di Lhokseumawe. Saya tidak pernah
berpikir, bahwa Mantan Menteri Negera Ri set dan Teknologi 1978-Maret 1998 itu mampu menulis
sebagus itu dan seindah itu. Tentu editor berperan mempermak naskah itu menjadi
sangat Ind ah.
Saya sempat berpikir, Habibie yang sepanjang
hidupnya sibuk dibidang teknologi rekayasa pesawat terbang tidak bisa menulis
sastra. Menulis kisah hidupnya secara mengalir. Lengkap dengan tanggal dan
tahun kejadian rangkaian peristiwa itu. Jarang-jarang saya membaca buku lengkap
dengan tanggal dan tahun kejadian. Umumnya, buku biografi hanya memuat tahun
kejadian. Namun, dalam buku itu, Habibie lebih detail mengungkapkan tanggalnya.
Habibie juga jujur mengungkapkan bahwa dia
pernah melewati masa-masa sulit selama berada Aahen, Jerman. Lalu, perlahan
namun pasti, dia terus belajar, gigih berusaha dan membuka jaringan dengan
perusahaan Jerman, maka Habibie pun menjadi tokoh penting dalam industri
pesawat terbang di Jerman , Indonesia , dan dunia.
Pria yang lahir di Parepara, Sulawesi Selatan
itu menunjukkan sisi manusiawi seorang ilmuan. Sisi romantis seorang mantan
pejabat negara, pernah menjadi oran g nomor satu di
negeri ini.
Romantis, manusiawi. Habibie menunjukkan
perhatian penuh terhadap istri dan anaknya. Sesibuk apa pun, Habibie tetap
berkomunikasi dengan Almh Ainun melalui telepon atau handphone.
Setelah tiga tahun, Almh Ainun tidak berada
disisinya, toh Habibie masih menjadi bapak bangsa. Mantan Wakil Presiden 4
Maret 1998-21 Mei 1998 ini kini menghabiskan waktunya dengan menulis. Bahkan,
Habibie memilih menulis buku untuk mengatasi kerinduannya terhadap sang istri. Menghilangkan
trauma kehilangan oran g yang dicintainya lewat
tulisan-tulisannya. Kini, kita sadar, menulis itu menyehatkan.
Selain itu, poin penting dari buku Habibie,
bahwa cinta perlu dijaga, dipupuk, dan disiram. Bahwa cinta juga butuh
perawatan. Seperti tanaman butuh perawatan, air, dan pupuk. Cinta, perlu
dijaga. Agar utuh, awet dan bertahan hingga nafas tak berhembus. Kita beruntung
memperlajari makna cinta dari seorang bapak bangsa dan ahli teknologi rekayasa
pesawat terbang.
Publis Oleh Dimas Sambo
on 04.42. Filed under
Feature,
Resensi,
UPDATE SAMBO
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response