Menggugat Visit Aceh Year
Oleh Masriadi Sambo | Jurnalis KONTRAS, dan alumnus Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
PEMILIHAN, putri pariwisata Indonesia (PPI) digelar Sabtu (7/11) malam di salah satu stasiun televisi swasta untuk kedua kalinya digelar. Utusan Aceh, Erika Adam, meraih posisi runner up kedua, sedangkan posisi pertama diraih utusan DKI Jakarta 5, Andara Rainy. Dari sisi intelektual, Erika Adam mampu menjawab dengan baik pertanyaan dewan juri. Namun, dalam tulisan ini saya tidak mempersoalkan kuwalitas Erika. Namun, eksistensi Aceh untuk mengembangkan pariwisatanya, dan peran Erika untuk mempromosikannya.
Dua tahun terakhir, setiap daerah di Aceh mengadakan pemilihan miss torism. Tujuannya,agar puteri yang terpilih mampu mempromosikan wisata di daerah masing-masing. Selain itu, tentu mengikuti seleksi puteri pariwisata di tingkat provinsi yang kemudian diutus untuk mengikuti pemilihan puteri pariwisata Indonesia (PPI). Pemenang PPI, akan mengikuti miss torism tingkat internasional. Saya menilai, acara seremoni ini jauh dari tujuan dasar, yaitu mempromosikan pariwisata dan budaya di Aceh. Pasalnya, ribuan situs sejarah tidak terawat dengan baik.
Lihatlah lokasi Makam Putro Neng, di Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Makam Tengku di Lhokseumawe, di Desa Uteun Bayi, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe. Di Aceh Utara, lihatlah Makam Sultan Malikussaleh di Kecamatan Samudera, Rumah Cut Nyak Mutia, di Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara. Situs sejarah paling populer itu juga tidak ditata dengan baik. Dalilnya, selalu tidak memiliki anggaran yang memadai. Data dari Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata, Lhokseumawe (2008) hanya memiliki anggaran sebesar Rp 75 juta. Angka ini sangat kecil. Hanya cukup untuk membuat plang nama pada lokasi situs sejarah. Tanpa bisa melakukan rehabilitasi lebih baik, dan mengadakan promosi wisata.
Secara umum, ada peningkatan kunjungan wisata ke Aceh. Jika merujuk pada data Aceh’s Culture and Tourism Agency, (2008) jumlah wisatawan terus meningkat dari tahun ke tahun baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing. Pada tahun 2006, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh sebanyak 12.596 wisatawan. Pada tahun 2007, terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan asing sebanyak 14.602 wisatawan. Sementara itu, jumlah kunjungan wisatawan nusantara juga mengalami peningkatan. Jumlah kunjungan wisata pada tahun 2007 meningkat sebesar 595.546 wisatawan dibandingkan pada tahun 2006 sebanyak 395.691 wisatawan (Azhar A Gani : 2009). Sekilas, program visit Aceh year, memang berhasil. Namun, perlu beberapa wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Aceh, cendrung dalam rangka penelitian. Beberapa diantaranya, pernah saya temui. Mereka menyanyangkan mengapa, asset sejarah yang begitu berharga tidak dikelola dengan baik. Jika pun kembali ke Aceh, para wisatawan ini, hanya sekadar mengumpulkan bahan penelitian. Tidak lebih dari itu. Aceh tidak menjadi target kunjungan mereka. Karena, fasilitas pendukung wisata tidak memadai.
Pembenahan Menyeluruh
Untuk meningkatkan kunjungan wisata, tidak cukup hanya dengan mengadakan pemilihan miss tourism, di setiap daerah. Kondisi infrastruktur menuju lokasi wisata perlu dibenahi, jalan menuju Makam Cut Nyak Mutia hingga kini masih berlumpur, dan sulit dilalui kendaraan roda empat. Jalan menuju rumah srikandi Aceh itu juga compang-camping. Begitu juga dengan lokasi situs sejarah lainnya. Kondisi memprihatinkan ini terjadi masiv, di seluruh Aceh. Hingga kini, belum ada satu pun lokasi wisata yang patut dibanggakan di Aceh. Lalu, apa yang akan dipromosikan oleh Erika Adam, runner up, puteri pariwisata asal Aceh itu?
Pembenahan lainnya adalah soal gaji para penjaga situs sejarah ini. Saya mewawancarai beberapa penjaga situs sejarah di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Mereka mengaku hanya mendapat gaji Rp 300.000 per bulan. Itu pun dirapel enam bulan sekali oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh. Penjaga situs sejarah tentu menjadi garda terdepan untuk menjelaskan tentang situs yang dijaganya pada para wisatawan. Mereka sudah menjaga situs sejarah itu puluhan tahun. Jasa mereka, hanya diharga Rp 300.000 per bulan. Angka yang sangat-sangat tidak ideal.
Lokasi wisata bahari juga mengalami nasib yang sama. Air terjun Blang Kulam, Aceh Utara, dan tiga air terjun di Aceh Tamiang, dua air terjun di Kota Subulussalam, juga memprihatinkan. Tidak mudah menuju lokasi wisata itu. Fanorama alam air terjun tiga daerah di atas sangat luar biasa. Sangat indah. Namun, tidak memiliki fasilitas pendukung, seperti toilet, dan lain sebagainya. Kondisi jalan yang buruk saja, sudah menyurutkan niat para wisatawan untuk menuju lokasi wisata itu.
Lalu, dari sisi promosi wisata. Aceh dan provinsi lainnya di Indonesia selalu memasukkan mata anggaran promosi wisata di hampir semua dinas. Idealnya, promosi wisata ini hanya dilakukan oleh satu dinas saja. Jadi, jangan sampai dinas pariwisata, dinas perdagangan, dan dinas lainnya juga memasukkan mata anggaran promosi wisata. Sehingga, promosi yang dilakukan tidak tepat sasaran.
Jika beberapa poin di atas, tidak dibenahi, maka ajang miss tourism, dilakukan setiap tahun di kabupaten/kota tidak akan menghasilkan apa pun. Hanya sekadar memenuhi agenda seremoni. Tanpa membidik substansi pariwisata itu sendiri. Jika ini terus berlanjut, lebih baik, kegiatan itu dihentikan. Karena, akan menghabiskan anggaran daerah saja. Tanpa membawa makna yang nyata.