Berakhirnya Penantian di Mon Geudong
Siang itu, Fadli sibuk membersihkan rumah barunya di Desa Blang Crum, Kemukiman Kandang, Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe. Tangannya memegang sapu lidi, sesekali istrinya menyiram air ke lantai keramik rumah tipe 36 itu. Lalu, Fadli menyapu air. Dia membersihkan lumpur tebal yang menempel di lantai rumah. “Inilah rumah kami sekarang,” sebut korban tsunami asal Keudai Aceh Lhokseumawe itu, pertengahan Maret lalu. Dua orang anaknya juga turut membantu membersihkan rumah itu. Fadli, ketua kelompok pengungsi asal Keudai Aceh.
Diluar rumahnya, tampak hilir mudik kendaraan roda dua dan tiga mengangkat barang menuju rumah tersebut. Barang-barang itu milik korban tsunami yang sebelumnya menempati barak pengungsian Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe.
Ratusan Kepala Keluarga (KK) korban tsunami asal Keudai Aceh, Pusong Lama dan Pusong Baru itu mulai membongkar baraknya dikarenakan tidak tahan lagi menetap disana. “Haek ta then le tinggai di Barak. Ban sigra yang pah. Hai kale thon peu lom,” Tidak sanggup lagi saya tinggal di Barak. Maunya secepatnya pindah. Sudah tiga tahun, apalagi?” sebut Fadli dalam bahasa Aceh yang kental.
Suka duka tinggal di barak pengungsian telah dirasakan oleh korban tsunami di Lhokseumawe selama tiga tahun lebih. Wajar, bila mereka memutuskan untuk langsung pindah ke perumahan yang telah disediakan. Meskipun perumahan itu masih dalam pengerjaan oleh kontraktor PT. Puncak Perdana. Fadli menyebutkan, 13 Maret lalu, warga desa sekitar barak tersebut membongkar balai pengajian barak itu. Mereka tak berani melarang aksi pembongkaran balai pengajian itu. Toh, mereka merasa barak itu bukan milik mereka. Namun, milik negara yang ditempati sementara.
“Ya memang belum serah terima barak ini dari kontraktor pada BRR. Tapi, kita tempati terus. Kalau tak ditempati, mungkin tak akan tahu kapan kita dipindahkan kemari,” sebut Fadli.
***
Tak ada manusia yang betah tinggal diruang sempit 3x3 meter di barak pengungsian Mon Geudong. Namun, apa hendak dikata. Air bah, akhir tahun 2004 silam memaksa mereka bertahan disana. Setahun terakhir, bahkan tak ada bantuan yang mengalir dari para non government organization (NGO) baik lokal, maupun internasional. 203 Kepala Keluarga korban tsunami disana masih mencoba bertahan. Pilu semakin terasa. Ketika hujan, barak mereka yang keropos diterobos air hujan. Metes membasahi lantai. “Sedih sekali. Barak saya sudah bocor malah. Kalau hujan, habis becek semua,” sebut TM. Juned Amin, imam di barak Mon Geudong itu.
Dia bersama warga lainnya juga membongkar barak. Pindah ke Blang Crum. Tempat 163 unit rumah korban tsunami dibangun. “Meskipun belum siap benar. Saya pindah saja. Tempati yang mana saja. Masalah nanti di bagi sesuai nomor urut, itu urusan nanti,” ujar pria renta ini sambil membereskan barang-barang miliknya.
Alasan tidak betah satu hal, hal lain, pencurian material di kompleks perumahan korban tsunami di Blang Crum kerap terjadi. Fadli menyebutkan, awal Maret lalu, kompleks yang hampir rampung itu disatroni maling. Seluruh stop kontak dan kabel listrik serta lampu dicuri orang yang tak bertanggungjawab. Hasilnya, kontraktor enggan melanjutkan pengerjaan proyek itu. “Kontaktornya, Pak Ibnu Perdana, mengaku tidak mahu melanjutkan proyek ini kalau tak di tempati warga. Banyak pencurian disini. Lihat itu,” katanya. Tangannya menunjukkan stop kontak listrik yang dirusak secara paksa.
Pembongkaran barak di Mon Geudong kata Fadli juga bukan anjuran dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias. Murni inisiatif warga. Kata dia, tak ada yang menyuruh dan melarang. “Tak ada larangan dari pihak kecamatan juga BRR. Pembongkaran memang murni dari warga,” sebutnya. Warga yang mendapatkan rumah di Blang Crum merupakan korban tsunami yang langsung merasakan dahsyatnya gelombang maut itu. Sisanya 42 Kepala Keluraga lagi, berstatus penyewa. “Komitmen BRR dengan kita, mereka juga akan mendapatkan rumah tapi tipe 21. Cara lain, mereka menyediakan tanah, BRR membangun rumah,” sebut Fadli. Kata Fadli, itu merupakan hasil pertemuan mereka dengan BRR baru-baru ini
Perumahan di Blang Crum memang belum selesai. Hanya tinggal finishing. Tampak tak ada sumur, rumah ibadah dan saluran listrik. Namun, kontraktor pelaksana, PT. Puncak Perdana, mengaku akan segera menyelesaikan sisa pembangunan tersebut. “Segera kita selesaikan. Dulu, itu beberapa kali dicuri. Makanya sedikit tertahan,” sebut Ibnu Perdana.
Lalu, apa kata BRR kasus pembongkaran barak Mon Geudong? Oya Akbar, kepala layanan umum dan informasi BRR Regional II Lhokseumawe mengatakan BRR tidak pernah memberikan intruksi pembongkaran barak pada korban tsunami itu. “Kami merencanakan penyerahan rumah pada korban tsunami pertengahan April mendatang. Itu semua barang mereka akan kita antar ke rumah yang baru,” sebut Oya Akbar pada beberapa wartawan di ruang kerjanya, 17 Maret lalu.
Oya didampingi T. Amir Has, staf hunian sementara dan dan Bukhari, kepala program perumahan kantor BRR Regional II. T. Amir menyebutkan sebelum serah terima kepada pihaknya rumah yang di Blang Crum masih dikategorikan milik kontraktor. Setelah memenuhi syarat administrasi, maka pihaknya langsung menyerahkan rumah tersebut kepada masyarakat korban tsunami.
“Ada syarat administrasi. Setelah selesai itu, maka kita akan serahkan pada masyarakat korban. Sekarang mereka lebih dulu. Kita akan serahkan juga nantinya,” sebutnya. Soal pembongkaran barak, T. Amir menyebutkan pihaknya tak pernah mengintruksikan korban tsunami. Karena barak tersebut sebenarnya milik Departemen PU Republik Indonesia. Hanya dapat ditempati sementara.
Namun, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Kota Lhokseumawe, Mizwar Ibrahim menyebutkan, belum pernah menerima barak tersebut sebagai asset kota petro dollar itu. Kata dia, pihaknya merelakan barak tersebut untuk korban tsunami. “Kami merelakan material bangunan barak tersebut untuk mereka (korban tsunami) itu,” sebutnya.
Kini tak ada lagi, ratusan barak berjejer di Lapangan Reklamasi Mon Geudong. Rata dengan tanah. Mereka telah menempati rumah yang lebih nyaman. Akhirnya, berakhir sudah penantian selama tiga tahun lebih di barak Mon Geudong. [Masriadi Sambo]