MOST RECENT

|

Meretas Jurnalisme Damai di Aceh




BUKU ini diterbitkan oleh Yayasan KIPPAS Medan dan Obor Jakarta. Isinya, tentang meredam konflik Aceh yang berlangsung selama 30 tahun lebih melalui peran media. Ya, tak dapat disangkal, terkadang media tercebur dalam konflik yang berkepanjangan. Media yang seharusnya memiliki tangungjawab moral untuk mendamaikan orang-orang yang bertikai bahkan ikut-ikutan untuk meraup keuntungan dari konflik itu.

Ini yang kerap terjadi di negeri ini. Konflik seringkali dipicu oleh rasa ketertinggalan, keterbelakangan dan ketidakadilan Pemerintah Pusat untuk pemerintah dibawahnya. Setidaknya, itu yang terjadi di Aceh. Aceh dikenal memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Migas yang banyak, belum lagi kekayaan laut dan pertanian yang subur. Namun, itu tidak serta merta dapat dinikmati oleh 4 juta penduduk daerah itu.

Buktinya, sampai tahun 2008 ini angka kemiskinan dan pengangguran kian meningkat. Ditambah lagi dengan tsunami yang menghancurkan sebagian besar Aceh. Kembali ke konflik. Buku ini berpesan jurnalis harus peka akan konflik. Memahami gaya-gaya yang dapat mendamaikan orang-orang yang bertikai. Atau membangkitkan semangat membangun keluarga yang hancur, paskakonflik. Ini yang terekam dalam buku ini.

Ketika menulis salah satu bagian buku ini, aku masih bekerja di Aceh Magazine. Ya, saat itu aku masih belajar dan memahami dunia Jurnalistik. Dalam hidup, aku punya prinsip, teori saja tak cukup. Harus blance antara teori dan praktek. Aku kuliah di Ilmu Komunikasi, Imbang rasanya jika praktek di dunia Jurnalistik. Buku ini diterbitkan tahun 2007. Salah satu liputan mendalamku, ada dalam buku ini.Bagiku untuk jurnalisme damai paskaperang di Aceh tak perlu menggagas ide liputan yang besar dan sulit menemukan sumbernya. Aku hanya menulis soal janda-janda korban konflik yang mengais rezeki di salah satu sentra industri kecil di Lhokseumawe. Inilah yang ada dalam nukilan buku itu.

Saat itu, aku dan 80 orang jurnalis Aceh mengikuti pelatihan jurnalisme damai di Sibayak Internasional Hotel. 80 kuli pena itu, dibagi kedalam empat angkatan pelatihan. Aku di angkatan keempat. Angkatan terakhir dan kupikir menjadi peserta termuda. Waktu itu, usiaku belum genap 23 tahun.

Nah, inilah buku ketiga yang namaku menjadi salah satu penyumbang tulisan didalamnya. Sekarang, aku masih menulis dan terus menulis. Belajar. Agar satu waktu, aku menulis lagu kelu negeriku. Lagu kelu yang tak pernah didengarkan dunia. Negeriku Aceh Tenggara yang kelu dan bisu. Terperangkap di bawah kaki gunung leuser. Tak berkutik. Penasaran dengan buku itu. Silahkan saja, lihat isi didalamnya. [Masriadi Sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 03.32. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Meretas Jurnalisme Damai di Aceh"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added