Rezeki dari Kue Sepit Semakin Sempit
SIANG itu udara panas membakar bumi. Tak kelihatan aktivitas masyarakat di Desa Kumbang, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara, Minggu (20/4). Di sudut kampung itu, terdapat usaha kecil masyarakat. Ya, bisnis pembuatan kue sepit. Orang-orang di desa itu menyebutnya kue semprong. Bisnis pembuatan kue itu ternyata sudah dilakoni masyarakat disana sejak lama. “Sudah dari nenek-nenek kami dulu membuat kue ini,” ujar Mutia (20 Tahun) salah satu pembuat kue itu.
Ibu satu anak itu meneruskan usaha mertuanya, Sapiah (45 Tahun). “Kalau masyarakat di sini lebih kenal mamak saya dibanding saya. Sebut saja nama ibu saya, pasti orang-orang kampung sini kenal,” ujarnya sambil tersenyum. Menurut Mutia, keluarga mertuanya yang memperkenalkan usaha kecil itu di sana. Dia mengaku usaha itu turun temurun digeluti oleh keluarganya. Di desa itu hanya tiga Kepala Keluarga (KK) yang melakoni bisnis kue kering itu. Dua Kepala Keluarga lainnya juga keluarga Mutia.
Senyumnya ramah. Dia mempersilahkan saya minum air putih. Selembar tikar digelar di atas lantai bersemen untuk tempat kami mengobrol. Mutia mengatakan, ketika konflik masih terjadi di Aceh, usaha pembuatan kue kering itu tidak begitu menjanjikan. Bahkan, dia dan orang tuanya hanya memasok kue ke dua toko di Simpang Mulieng, ibukota kecamatan Syamtalira Aron. “Dulu hanya dua kedai yang kami titip kue. Sekarang sudah lumanyan. Perang terus mana ada yang pesan kue banyak-banyak,” sebutnya dalam logat khas Aceh.
Keamanan Aceh kian kondusif, membuat pangsa pasar kue itu semakin luas. Dia menjual kue sepit itu di jual sampai ke Simpang Keuramat, Gerugok, Peureulak dan beberapa kota kecamatan di Aceh Utara. Namun, musibah lain datang. Harga bahan baku seperti tepung segitiga biru terbilang mahal Rp 160 ribu per sak. Ditambah lagi harga gula dan minyak tanah.
Berapa besar laba sekali produksi? Mutia tersenyum. “Jet tapeugah chit hana laba idroneuh bang kue nyoe. Teuma hana but laen, kakeuh. (Memang tidak ada labanya bang kue ini. Tapi karena tidak ada kerjaan lain, ya sudahlah),” sebutnya dalam bahasa Aceh. Sesekali wanita itu membelai kepala putri pertamanya. Lalu, dia menyebutkan untuk mendistribusikannya ke sejumlah kios dan toko di Aceh Utara, Ibunya, Sapiah mengantarkan langsung ke toko tujuan. Otomatis, biaya tranfortasi juga bertambah.
Saban hari, sebut Mutia, mereka memproduksi kue sepit 12 kilogram kue sepit siap dipasarkan. “Setiap 2,5 kilogram tepung itu tiga kilogram hasil jadi. Biasanya kami membuat 10 kilogram per hari. Kalau ada pesanan bisa ditambah lagi,” sebutnya. Untuk membuat kue itu Mutia dibantu empat orang tenaga kerja. Dia menyebutkan, sistem gajinya tergantung hasil kue yang mampu dicetak. “Kalau untuk tenaga kerja, kita bayar Rp 4.000 per kilogram setelah kue dicetak,” ungkapnya.
Artinya biaya operasional pembuatan kue semakin bertambah. Dia menyebutkan, laba hanya sekitar Rp 3.000 per kilogramnya. Dua puluh tahun silam, modal awal usaha itu sebesar Rp 400 ribu. Itu untuk membeli cetakan kue sepit dan beberapa kompor untuk alat memasaknya. Saat disinggung bantuan dari pemerintah, kembali Mutia tersenyum. Wanita berkulit putih ini menyebutkan, baru-baru ini mereka menerima bantuan lima kilogram minyak goreng dan tepung sebanyak 25 kilogram. “Itupun telah kita usulkan dulu. Kita buat proposal dulu. Kita cek lagi ke kantor Dinas Sosial kalau tidak salah namanya,” sebutnya mencoba mengingat nama lembaga yang memberikan bantuan itu.
Bantuan itu tentu tidak cukup. Namun, daripada tidak ada sama sekali. Mutia mengaku senang juga menerima bantuan tersebut. “Daripada tidak ada sama sekali,” sebutnya sambil tertawa. Seminggu lalu, Dinas Sosial Aceh Utara kembali mendatangi usaha kecil itu. Mereka mengambil tiga kilogram kue untuk contoh promosi kue sepit produksi Desa Kumbang.
“Sebenarnya yang sangat kami harapkan, ketiga pembuat kue disini, yaitu agar pemerintah membantu kompor gas dan cetakan kue sepit elektrik. Selain itu, dia juga berharap agar pemerintah membantu tepung dalam jumlah besar. “Sekarang udah ada alat cetak kue sepit listrik. Tapi tak ada uang, kami tak sanggup membeli. Padahal, kalau ada alat itu pasti lebih mudah,” harapnya.
Usaha itu telah dilakoni turun temurun. Dari membuat kue sepit dengan membakarnya ditungku dan sabut kelapa sampai ke kompor. Kini, mereka berharap mesin cetak elektrik. Adakah yang peduli dengan bisnis kecil di pedalaman itu? Entahlah. [masriadi sambo]