MOST RECENT

|

Rezeki dari Tanah Liat



TERIK membakar bumi. Nur Laila baru saja menyelesaikan satu buah beulangoeng tanoh (periuk yang terbuat dari tanah). Dia membersihkan tangannya. Menyeka keringat yang menetes dikeningnya. Dia salah seorang pengrajin periuk tanah desa itu. Lalu, menemui dan mempersilahkan saya masuk rumah sederhana miliknya di Desa Me Matang Payang, Kecamatan Tanah Pasir Aceh Utara.

Usaha kerajinan itu dirintisnya 17 tahun silam. Wanita asal Seunuddon Aceh Utara itu menetap dan menikah di desa itu. Tanggannya lincah memperlihatkan cara pembuatan periuk dari tanah itu. “Sulit juga. Cara pembuatannya susa h. Tapi, harganya murah,” sebut Nur Laila, pengrajin itu pada saya.

Untuk proses pembuatan, Nur Laila, menggaji dua oran g masyarakat lainnya. Dia bisa menghasilkan 100 buah periuk tanah berbagai macam bentuk dan uk uran. Untuk membeli jerami sebagai bahan untuk membakar periuk itu, dia harus merogoh kocek sebesar Rp 100 Ribu.

“Belum lagi biaya angkut tanah. Rp 50 Ribu. Cape k sekali. Untungnya kecil,” sebutnya dalam bahasa Aceh. Sejurus dia berhenti. Lalu, mengambil kayu uk uran 30 centimeter. Kayu itu untuk memukul tanah liat agar berbentuk menjadi periuk. Untuk melicinkannya dia menggunakan batu uk uran segenggam tangan oran g dewasa. Tanah liat diambil dari sawah dikampung sekitar desa itu.

Untuk menjual produknya, dia tak mesti repot membawa barang itu ke pasar-pasar di Aceh Ut ara. Ada tauke yang mengambilnya dari pengrajin di desa itu. Lalu, bagaimana dengan harga jual? “Besar kecil harganya sama saja, Rp 1.500,” ujarnya sedih.

***
Sejak 17 tahun lalu memulai kerajinan itu, Nur Laila, tak pernah menerima bantuan dari pemerintah. “Lon ur eng bangai. Hana meuphom cara ur oh bantuan pemerintah,” ujarnya. Saya oran g bodoh. Tak mengerti cara mengurus bantuan dari pemerintah,” ujarnya.

Dia berharap pemerintah memberikan bantuan usa ha untuknya. Juga untuk pengrajin lainnya di desa itu. Lebih dari 20 kepala keluarga di desa itu menggantungkan hidupnya dari tanah. Jika mendung, mereka tak memproduksi kuali tanah itu. Matahari terik, dianggap sebagai rezeki dari Allah Swt. “Harus dijemur. Kalau mendung, tak bisa. Bisa retak dan pecah kuali tanah ini. Kalau begitu, pasti rugi,” sebutnya.

Meski begitu dia terus melanjutkan usa ha itu. Tak ada bisnis lain yang bisa dia kerjakan. Nur Laila, hanya mahir membuat periuk tanah. “Saya berharap pemerintahan sekarang ini, membantu saya. Ya, membantu modal atau alat-alat yang lebih mudah dan cepat menghasilkan kulai-kuali tanah ini,” ujarnya

Sore merangkak. Nur Laila menyusun kuali tanahnya kedalam gudang uk uran 2 x 3 meter didepan rumahnya. Dia berharap, besok mentari terus bersinar. Dan kuali tanah itu laku terjual. [Masriadi Sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 03.56. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added