Saat Pala Berhenti BerbuahOleh
“SEKARANG buah pala sulit, Pak,” keluh Syamsuar.Ia adalah petani pala di desa Jeulatang, kecamatan Sama Dua, Aceh Selatan. Siang itu, Syamsuar baru saja pulang dari kota Tapaktuan. Keringat membasahi kaosnya. Saya mengunjunginya pada awal Januari 2008 lalu.Tangannya menunjuk ke arah perbukitan ketika saya bertanya di mana letak kebun pala miliknya.
Ia tepat di samping jalan lintas Tapaktuan-Kota Subulussalam, jauh di perbukitan.Di kabupaten yang dijuluki kota naga itu, makin luas kebun pala yang dimiliki seorang warga, makin hormat warga yang lain kepadanya Pala mampu meningkatkan status sosial seseorang si sini. Kini sebagian besar pala Aceh Selatan sudah diganti dengan tanaman seperti pinang, rambutan dan karet.Setahun terakhir Syamsuar alih profesi.
Sebanyak 400 pohon pala miliknya mati diserang hama penggerek batang. Hama itu pula membuatnya banting setir menjadi pedagang kaki lima di kota Tapaktuan. “Sudah berapa lama pala ini mati?” tanya saya.“Sejak tahun 2003,” jawabnya sambil mempersilakan saya meneguk sirup pala yang ia hidangkan.
TANAMAN pala atau myristica fragan haitt mulai dikembangkan sejak tahun 1971 di Indonesia. Saat itu, seluas 22.809 hektare jenis rempah-rempah ini dikembangkan di Aceh, Maluku, Sulawesi, dan Papua.Namun, kualitas tanaman pala asal Aceh dan Maluku menjadi primadona dan digemari oleh masyarakat internasional.
Kedua daerah itu telah dikenal mengembangkan tanaman pala sejak berabad lalu. Salah satu penyebab Maluku dan Aceh diserang oleh Belanda, karena kedua daerah ini menyimpan cadangan pala yang melimpah dan rempah-rempah lainnya, seperti cengkeh.Pala terbagi dalam beberapa jenis. Antara lain myristica malabarica lam, myristica specioga ware, dan myristica argentea ware.
Di Aceh Selatan, pala jenis myristica fragans paling banyak dibudidayakan. Pala jenis ini memiliki kualitas ekonomi lebih tinggi dan harga jual lebih mahal di pasaran internasional.Sedangkan warga biasa memanfaatkan pala sebagai minyak urut, sirup, kue pala dan banyak lagi khasiat lainnya. Harga kue pala per bungkus sebesar Rp 5.000. Sedangkan sirup pala, per botolnya dijual dengan harga Rp 8.000.Namun, pala di Aceh Selatan tak lagi sejaya dulu. Menurut Syamsuar, kini sebagian besar tanaman itu telah mati.
Getah bening keluar dari pohon pala. Setelah itu, pohon akan kering dan mati perlahan.Hama telah menyerang tumbuhan tersebut. Kumbang yang bernama bathocera sp merontokkan rimbunnya.Data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Aceh Selatan menyebutkan bahwa di tahun 2001 Aceh Selatan mampu menghasilkan 4.937 ton pala. Jumlah itu mampu menghasilkan sedikitnya Rp.6,5 milyar. Dari tahun 1995 sampai 2000 rata-rata terjadi penurunan produksi 320 ton setiap tahun. Di tahun 2005, produksi pala hanya mencapai 4.321 ton.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultra Aceh Selatan, Yustiar Yuni menyebutkan lembaganya telah memberikan penyemprotan pada seluruh tanaman milik petani pala di Aceh Selatan. Bahkan, upaya menyelamatkan tanaman pala telah di lakukan sejak tahun 2001 silam. Namun, hasilnya nihil. Konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM saat itu ikut memperburuk kondisi tanaman pala. Aparatur pemerintah dan tim penyuluhan tidak berani masuk hutan untuk membasmi hama pala. Sedikitnya 15.443 orang masyarakat di Aceh Selatan bekerja sebagai petani pala.
“Kita khawatir niat baik membasmi pala, malah kita yang dibasmi. Konflik tidak mengenal siapa kita, apa kita aparat pemerintah atau ulama,” ujar Yustiar sambil tertawa.PETANI pala lainnya, Firdaus, menceritakan hal yang sama. Warga desa Alue Seumirah ini masih bisa bertahan saat hama kumbang itu menyerang kebunnya. Di masa konflik itu pun pendapatannya dari buah-buah pala yang ia panen masih lumanyan. Ia tidak pusing-pusing memikirkan biaya menyekolahkan anaknya di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.“Padahal saat itu kami sangat terbatas untuk ke bukit. Ke kebun harus ada jatah. Waktunya ditentukan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia),” tuturnya.Saat itu Firdaus mempekerjakan lima orang buruh harian untuk memanen pala miliknya.
Bila musim panen tiba, pala bisa dipanen setiap hari. “Makanya saya mempekerjakan orang lain. Kalau panen sendiri, bisa nggak habis,” ujarnya.Di masa konflik, tidak jarang aparat keamanan melarang para petani masuk ke perkebunan untuk memanen pala. Bagi warga yang bandel, mereka akan dicap sebagai pemasok logistik GAM. “Adak jitham, wate nyan boh pala manteung mangat tapeut. Nakeulah raseuki. Jino sapeu tan leu,” ujarnya dalam bahasa Aceh. Meskipun dilarang tentara, waktu itu pala masih mudah dipetik.
Tapi sekarang apapun sudah tak ada.Tatkala masih memiliki kebun pala, setiap akhir bulan Firdaus selalu mengirimkan uang Rp 1 juta untuk putranya, Andi Andival di Lhokseumawe. Uang itu digunakan untuk biaya kuliah, biaya kontrak rumah dan seluruh keperluan selama sebulan. Kini, putra keduanya, Zajuar, harus membiaya kuliahnya sendiri di Lhokseumawe.“Saya merasa tidak adil.
Waktu abangnya, saya kirim uang lebih dari cukup. Sekarang anak saya, Zajuar, malah tidak bisa saya kirim. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit sekali,” kisahnya.Saat ini Firdaus bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Pekerjaan itu terpaksa dilakukan setelah 250 pohon palanya mati diserang hama. Penghasilannya kini pas-pasan. Sekali berangkat melaut, ia hanya diberi upah sebesar Rp 50.000 plus setumpuk ikan untuk anak dan istri. Saban hari, ketika adzan subuh berkumandang, ia berangkat menyongsong laut lepas.
Firdaus baru pulang ketika adzan magrib terdengar.“Beginilah, padahal segala obat sudah diberikan untuk pala saya. Obat dari pemerintah juga ada,” ujarnya sambil merapikan jaring ikan milik majikannya.Kini harum sirup dan minyak pala sudah jarang jadi perbincangan orang di Aceh bahkan dunia. Padahal pala Aceh dan Maluku pernah jadi idola. Tujuh tahun lalu, 80 persen kebutuhan pala dunia bahkan diekspor dari Indonesia.“Entah kapan pala bisa tumbuh subur lagi,” keluh Firdaus, sambil berjalan menuju rumahnya. [Masriadi Sambo]