NN
NN, kamu juga bercerita tentang militerisme di Aceh. Aku salut, bahwa kamu tak suka akan kekerasan. Padahal, ayahmu militer sejati. Teguh pendirian dan katamu, ayahmu orang yang berani. Pernah ikut perang kemana-mana. Bahkan, hampir ke seluruh provinsi negeri ini. Hebat sekali. Tapi aku tak suka militer.
NN, sontak berdeup jantungku ketika kamu tak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Padahal, bara semangatmu luar biasa. Kata orang, potensi mu ada, untuk menjadi pemikir dari kota itu. NN, waktumu mungkin tak banyak untuk melanjutkan teori-teori perkuliahan.
Dua hari lalu, aku mendapatkan informasi gembira. Dari seorang teman di Kediri, yang dulu tetanggamu. Dia bilang, kamu udah punya anak-momongan yang selalu di impikan kaummu. Wah, kabar bagus. Sekaligus kabar tak bagus. Dua mata yang berbeda. Aku terkejut, ketika mendengar kamu sudah punya anak. Ah, waktu begitu cepat. Padahal, seakan baru kemarin aku ketemu kamu.
Kamu selalu katakan, waktu tak kan menunggu kita. Kita yang kan selalu mengejar waktu. Mengejar ketertinggalan daerah. ”Kalau aku, mau menikah dan melahirkan, menyuruh anak-anak untuk sekolah dan membangun negeri ini. Itu kalau aku tak sempat kuliah. Siapalah aku? Aku tak bisa mengubah negeri ini,” katamu waktu aku usai memotret di kali terpanjang di Aceh itu.
Aku tanya? Siapa Kamu? ”Aku N-i-N-a. Nina Lianti Syaputri, gadis leuser yang ingin merubah dunia. Ya, aku pikir, impianmu wajib diteruskan. Paling tidak anakmu yang meneruskannya. Aku di sini, di kota ini hanya mendukung langkah perubahan negeri itu. Negeri yang tak pernah mau maju. Aku tunggu, gerakan dari anakmu, membawa negeri itu ke arah yang lebih baik. Meski saat itu, uban sudah memenuhi kepalaku. Aku tunggu, kamu dan perubahan yang pernah kamu ceritakan dari sini, dari kota migas ini.