M Rasyid Hasyem
Pensiunan TNI yang Berwirausaha
SIANG itu, Kamis (31/7) pria itu duduk santai di pinggir jalan Desa Ulee Jalan, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Sesekali, dia memperhatikan pengendara yang singgah ke pondok miliknya. Pondok itu dibuat ala kadar. Hanya 4 x 4 meter. Itulah M Rasyid Hasyem (78 tahun). Di depannya puluhan kilogram ikan teri ditumpuk pada dua tempat terpisah. “Sudah
Dia tak pernah bermimpi menjadi penjual ikan teri. Ketika remaja, Rasyid, pernah menjadi penarik pukat di pantai desa itu. Terkadang dia juga ikut melaut dengan sejumlah nelayan lainnya. Lalu, dia juga pernah menanam bayam dan kacang panjang. Hasilnya tak memuaskan. ”Saya pikir tak mungkin hidup menjadi petani terus. Jadi, saya berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain,” ujarnya. Lalu, tahun 1957 silam, dia memutuskan untuk masuk ke kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat. Masa tugasnya berakhir 1987 silam.
Penghasilan pensiun tak seberapa. Namun, dia bersyukur karena sudah mampu memerikan pendidikan delapan orang buah hatinya sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). ”Saya sudah syukur dengan gaji yang pas-pasan, bisa sekolah kan anak-anak. Meskipun hanya SMA,” ujarnya.
Pensiun dari kesatuan TNI tidak membuatnya enggan membuka usaha lainnya. Tak ada kata gengsi untuk membuka usaha, bahkan menjual ikan teri. ”Ini untuk menghidupi istri, anak-anak sudah menikah semua,” katanya. Dia dan istrinya, Puteh Cut sepakat membuka usaha jualan ikan teri. Dia membeli ikan teri dari nelayan setempat. Harganya Rp 800.000 per keranjang. Itu ikan teri basah. Jumlah itu, bisa menghasilkan 35 kilogram ikan kering.
Setelah dibeli dari nelayan, ikan teri itu lalu dijemur. ”Istri saya yang jemur. Kalau matahari terik, satu hari sudah kering,” paparnya. Setelah itu, Rasyid menjual di pondok pinggir jalan desa itu. Ikan itu, sebut Rasyid tak menggunakan formalin. Murni dikeringkan dengan matahari. ”Lihat ini, bisa dipatahkan. Kalau ikan formalin, itu kenyal sekali. Jadi digigit saja susah. Kalau alami, dipatahkan pun gampang, apalagi digigit,” paparnya. Selain itu, ciri ikan yang mengandung formalin lainnya, warna ikan teri pasti lebih mengkilap dibanding ikan teri biasa yang tanpa menggunakan formalin. Formalin, khusus digunakan untuk pengawet jenazah manusia.
Rasyid menjual ikan teri enceran. Harga jual Rp 35.000 per kilogram. Untuk satu ons dia menjual Rp 4.000. Setiap hari dia mampu menjual ikan teri kering sebanyak enam kilogram. ”Tapi, terkadang bisa lebih. Tak tentu. Maklum, nasib orang jualan,” katanya sambil tertawa.
Dia menyebutkan, sangat banyak masyarakat Aceh yang saat ini bergantung pada gelar yang diperoleh. ”Kalau sudah sarjana, tak mau bekerja seperti saya ini. Menurut saya ini salah. Jangan pakai malu kalau bekerja, yang penting kan halal. Ini yang mengakibatkan banyak sarjana pengangguran di Aceh. Karena, sudah gengsi dengan gelarnya itu,” sebutnya diplomatis.
Rasyid menambahkan, saat ini di perairan laut Aceh masih banyak jumlah ikan teri. Namun, sayangnya, sebagian besar pedagang ikan di Aceh menjual ikan itu ke Medan. Sampai di Medan, tidak ada lagi embel-embel nama ikan asal Aceh. Pengusaha Medan mengganti merk dengan nama Medan, bukan Aceh. ”Bisnis ini sebenarnya menjanjikan sekali. Sayangnya, pemerintah kita (Aceh) belum memperhatikan hasil laut. Padahal, hasil laut Aceh luar biasa,” pungkas Rasyid.
Rasyid lalu sibuk melayani pembeli ikan teri miliknya. Dia berharap hari itu dagangannya laris manis. Karena itu, untuk menyambung hidup dan tali cintanya bersama sang istri, Puteh Cut. [masriadi sambo]