Oleh. Masriadi Sambo
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe
DUA hari lalu, publik Indonesia termasuk Aceh dikejutkan dengan hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta terhadap tayangan televisi Indonesia. KPI memasukkan tayangan kartun, Tom&Jerry yang disiarkan stasiun televisi swasta RCTI, Indosiar dalam kategori mengkhawatirkan. Khawatir dalam arti, tayangan ini mengandung unsur tidak baik bagi anak-anak. Sayangnya, pengumuman itu tidak dilakukan dengan tindakan pemberian sanksi pada stasiun televisi yang memutar secara reguler film kartun itu. KPI pun hanya memberikan kewajiban agar pengelola stasiun TV mencantumkan kode di sudut kanan layar televisi, misalnya dengan kode umum, 17 plus (untuk usia 17 tahun keatas), BO (Bimbingan orang tua) dan A (anak).
Aneh memang, di Indonesia termasuk di Aceh hari ini, globalisasi media yang menawarkan realitas semu malah semakin digemari. Realitas semu yang saya maksud tentu media yang menawarkan seakan-akan semuanya nyata dan terjadi sangat cepat. Lihatlah iklan produk kecantikan yang mengekplorasi kecantikan sang artis.
Lalu, masyarakat awam pun menerima ini mentah-mentah dan langsung membeli produk yang ditawarkan. Sampai di sini, ini tak masalah. Lalu, bagaimana dengan produk tayangan kekerasan atau media harian yang terbit menawarkan berita kekerasan. Aneh saja, segmen pasar media jenis ini bahkan sangat banyak.
Umumnya, dibeli oleh masyarakat bawah. Artinya, masyarakat kita ini terbilang sakit telah menyukai tayangan kekerasan dan media cetak yang menyajikan pemberitaan darah. Di tingkat nasional, perdebatan soal realitas semu dan masyarakat sakit ini masih berlangsung hingga kini.
Selain itu, saat ini, tidak ada pendidikan melek media untuk masyarakat secara umum. Lembaga kajian media massa pun jumlahnya sangat terbatas. Umumnya, hanya terdapat di kota-kota besar seperti, Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan. Sebelum kasus Tom&Jerry muncul, kartun Shincan juga mendapat sorotan tajam dari kalangan pemerhati media dan komunikasi massa di Indonesia. Shincan, si anak kecil yang tergolong tak sopan itu dianggap merusak moral anak-anak.
Pasalnya, si anak kecil nakal ini, seringkali melecehkan guru sekolahnya sendiri. Bahkan orang tuanya pun seringkali ”dikerjai” oleh si tokoh kecil yang menduduki ranking tontonan favorit anak di Indonesia tahun 2004 silam. Ini menarik, kini muncul Tom&Jerry.
Tom yang tak pernah akur dengan Jerry itu bukan hanya disiarkan oleh stasiun TV. Namun, kepingan Video Compact Disc (VCD) bajakannya pun laris manis di pasaran. Hampir semua anak di negeri ini pernah menonton tanyangan itu.
Lalu, saya pikir tidak cukup hanya sebatas pencantuman kode tayangan. Mencantumkan kode BO atau A, tentu bukan solusi bijak. Solusi ini hanya mengingatkan agar orangtua mendampingi anaknya ketika menonton televisi. Lalu, bagaimana dengan orangtua yang tergolong super sibuk, sehingga tak sempat mendampingi sang anak menikmati tayangan TV. Ini tentu masalah baru yang patut dipikirkan.
TV Lokal Aceh
Media komersil saat ini terlihat mulai lupa akan tanggungjawab sosialnya pada masyarakat. Maklum, media saat ini sudah beralih ke bisnis media. Bisnis tentu tujuan utamanya meraup keuntungan. Logika sederhana, tak ada pebisnis yang mahu rugi. Nah, media yang kini menawarkan realitas semu tampaknya perlu dicari penyeimbangnya. Media penyeimbang tentunya media yang peduli pada komunitas masyarakatnya.
Nah, dalam aturan hukum penyiaran Indonesia media ini disebut TV lokal. Hadirnya TV lokal disejumlah daerah di Indonesia, diharapkan menjadi penyeimbang media komersil. TV lokal, haluan utamanya bukan bisnis. Namun, memperjuangkan dan melayani kepentingan masyarakat (lokal) yang menjadi publiknya.
Untuk Aceh ini belum terlihat. Untuk jenis tayangan, tentunya tayangan TV lokal cendrung mengarah pada penguatan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Nah, kita tampaknya tak bisa berharap dari stasiun TVRI Aceh.
Selain jam siar terbatas, TVRI Aceh tampaknya belum menggunakan manajemen produksi TV yang mengacu pada standarisasi media komersil.
Saat ini, tampak iklan layanan masyarakat yang seringkali, masih terlalu kaku. Saya mengamati iklan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang menghimbau agar masyarakat mahu mendaftarkan diri ke KIP agar terdaftar sebagai peserta pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang.
Dalam iklan yang diputarkan TVRI Aceh itu bahasa yang digunakan sudah mengandung unsur lokalitas, bahasa Aceh. Namun, iklan itu tak efektif melihat durasi yang terlalu panjang, dan pola iklan yang sedikit berbelit-belit. Prinsip iklan perlu diingat, ringkas, padat, dan jelas.
Ini yang belum terlihat. Secara keseluruhan, tayangan TVRI Aceh tampaknya perlu mendapat sentuhan dan nuansa baru. Tampil modern dan tak mengeyampingkan lokalitas masyarakat Aceh.
Selain itu, Aceh TV yang kabarnya milik Jawa Pos Group ini juga belum memperlihatkan eksistensi yang dominan di Aceh. Saya berharap, Aceh TV tampil dengan nuansa modern dan lahir sebagai media yang mendidik.
Tak semata-mata meraup keuntungan seperti kebanyakan media nasional. Karena, dengan penguatan tayangan agama, budaya dan dikemas dalam nuansa modernitas yang apik, pasti media ini berhasil merebut hati masyarakat Aceh. Sayangnya, jangkauan siar Aceh TV masih terbatas.
Sebagai media dengan bendera Jawa Pos Group tentu media ini patut menawarkan prosfek lebih menjanjikan ketimbang media sebagian sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Nah, untuk itu, pencerdasan pemirsa harus terus dilakukan oleh media lokal, TV lokal ini.
Saat ini, penguasa bisnis media di Indonesia dipegang oleh Kompas Group dan Jawa Pos Group. Dua kelompok ini yang menguasai segmen pasar terbesar. Sedangkan kelompok lainnya hanya lahir sebagai media penyeimbang dengan oplah atau jangkauan terbatas.
TV lokal di Indonesia yang telah menggunakan pendekatan budaya (lokal) yang baik dan tampilan modernis, yaitu Bali TV. Dengan tampilan yang menarik, tentunya iklan bukan menjadi masalah. Tentu untuk menghidupi media, tidak cukup dengan idealis dan profesionalitas saja. Kehebatan media juga ditopang dengan modal dan laba yang lumanyan besar.
Sehingga keberlangsungan media pun bertahan lama. Pemasang iklan akan melirik media mana saja yang banyak ditonton oleh masyarakat. Saat ini, seperti saya bilang diatas, masyarakat kita cendrung menonton TV yang modernis, meskipun menawarkan realitas semu.
Tinggal lagi, bagaimana teknis media itu mengemas tayangan se-modern mungkin, namun mengandung unsur budaya lokal yang kuat. Kasus Bali TV, produk nasional juga sudah memasang iklannya pada media lokal di Bali itu. Tentu ini sebuah prestasi yang luar biasa. Selain Bali TV, JakTV juga melakukan pola yang sama.
Lalu, kenapa Aceh tak belajar dari media yang sudah sukses diluar provinsi Seramoe Mekkah ini. Sehingga, dengan adanya media penyeimbang ini, efek dari tayangan TV nasional seperti Shincan, Tom&Jerry dapat diminimalisir. Tentu, orangtua juga harus berperan mendampingi sang anak. Mendampingi dan ditambah dengan membantu anak menyaksikan tayangan lokal, budaya daerahnya sendiri akan membuat psikologis anak lebih baik. Sehingga kita tak dipusingkan lagi dengan perubahan perilaku anak sesuai tayangan yang ditontonnya. Kita tak akan disibukkan dengan Shincan, Tom & Jerry dan sepuluh jenis kartun lainnya yang tak baik ditonton anak-anak. Dengan TV lokal, anak akan tumbuh sebagai anak yang cinta akan budayanya.
Bukan cinta pada hegemoni budaya barat yang ditampilkan media nasional saat ini. Mungkinkah ini terjadi di Aceh? Entahlah.