RAZALI menarik nafas. Dalam. Kemarin siang ia tak banyak bicara. Senyum pun jarang. Ia sedang mengingat kembali kenangan-kenangan buruk konflik yang merenggut sebagian kebahagiaan dalam hidupnya. Ia sulit lepas dari kenangan itu. “Anak saya meninggal dunia dalam konflik”.
“Dia anak saya satu-satunya,” kata pria 50 tahun itu. Ia mencoba menutup kesedihan itu dengan senyum yang tak manis. Tak ingin orang-orang melihat matanya berkaca. “Istri saya lumpuh,” ujarnya lagi.
Razali mengupas kembali kisah yang berat untuk dikenangnya. Ia bercerita tentang tragedi. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan TNI dan Gerakan Aceh Merdeka di dekat rumahnya di Meunasah Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Semuanya terjadi tiba-tiba.
Suatu malam, lebih empat tahun silam, senjata menyalak memecah sunyi di kampung itu. Kediaman Razali berada di antara dua pasukan yang saling gempur. Tak diketahui siapa yang kemudian menjadikan rumahnya sebagai sasaran tembak.
Anaknya tertembak. Meninggal dunia berdarah-darah di dalam rumah ketika bedil-bedil masih menyalak. Peluru, entah milik siapa, menyasar ke dadanya. Tak ada yang bisa dilakukan Razali saat itu. Tak ada yang menolong.
Desing peluru tak sempat berjeda. Tiba-tiba ledakan keras terjadi menggetarkan rumah Razali. Tidak diketahui ledakan itu berasal dari bom atau granat. Tak tahu pula siapa tuannya.
Razali hanya tahu istrinya, Nurjannah (40 tahun), tersungkur ke lantai setelah kaki kiri terkena serpihan ledakan. Nurjannah selamat, dengan sebelah kakinya lumpuh hingga sekarang.
Tragedi malam itu tidak berhenti pada kejadian berdarah-darah. Rumah Razali dibakar. Ia tahu pelakunya, tapi enggan menyebutnya. Ia menyimpan rahasia ini sendirian.
Razali kini mencoba mencari ketenangan di hidupnya. Bersama istri yang lumpuh, di lokasi rumahnya yang dulu, berdua tinggal di gubuk miring beratap terpal sumbangan kampung.
“Jangankan membuat rumah baru. Beli atap dari daun rumbia pun saya tak sanggup,” kata Razali, ketika ditemui di kantor Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) di Jalan Peutua Rumoh Rayeuk, Tumpok Teungoh, Lhokseumawe.
Untuk menafkahi keluarga, Razali yang tak berpendidikan bekerja menjadi buruh tani. Hasilnya cukup untuk makan. Jarang ia bisa menabung, karena masih harus mengobati kaki Nurjanah.
Suatu hari, pada tahun lalu, Razali mendapat kabar Badan Reintegrasi Aceh (BRA) akan memberikan bantuan kepadanya. Petugas bernama Abdullah bahkan menegaskan bahwa keluarga pria ini korban konflik yang harus dibantu, maka Razali dianjurkan segera membuat proposal permohonan bantuan dana.
Harapan ini membuat Razali menemukan kembali semangat hidup yang hilang bertahun-tahun. Ia membayangkan akan punya rumah lagi. Setidaknya ia bisa hidup bahagia lagi. Tapi, itu cuma mimpi.
BRA Aceh Utara kemudian memanggilnya datang. Di kantor itu, ia diminta menandatangani kuitansi tanda terima bantuan. Di kertas itu tertera Rp40 juta. Razali, yang tak sekolah, tak mengenal tanda tangan. Ia hanya membubuhi tanda jempol kiri di kuitansi itu. Capnya berbekas di meterai Rp6.000.
Razali masih menyimpannya. Di atas kuitansi itu, tertera nama Yusrida sebagai bendahara pengeluaran. Bukhari AK sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan dan Syahbuddin sebagai pengurus barang-barang pekerjaan di BRA Aceh Utara. Ketiga orang ini tidak menandatangani. Kuitansi itu kosong.
”Petugas BRA mengaku uang bantuan itu akan diberikan secepatnya, dalam dua tahap, untuk membangun rumah. Tapi, sampai sekarang uang itu tak ada,” kata Razali.
Terlambat. Sekarang Razali baru sadar bahwa dirinya tertipu. Ia tidak mendapatkan bantuan Rp40 juta itu. Secuil harapannya yang kembali tumbuh tiba-tiba pudar lagi. Mimpi itu tak tertebus. Razali tertipu kuitansi. [dimas]