“Tolong Kami…!”
FAUZI kini terbaring lemah di rumahnya di Desa Meucat, Samudera, Aceh Utara. Tubuhnya kurus, iga-iga menonjol, kontras dengan perutnya yang buncit. Sorot mata cekungnya seakan mengisyaratkan ia benar-benar sedang tersiksa.
Sudah delapan tahun ia melewatkan hari-hari menyedihkan seperti ini. Fauzi, yang kini berusia 16 tahun, tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa keluar rumah untuk bermain dengan teman seusianya. Dia juga tak bisa bergerak bebas. Dokter memvonis Fauzi mengidap lever dan anemia akut.
”Beginilah kondisi anak saya. Kasihan dia,” ujar ibunda Fauzi, Hamidah.
Oleh dokter, remaja malang ini diwajibkan cuci darah (hemodialisis) sebulan sekali. Sekali cuci darah, dia butuh tiga sampai empat kantung darah.
Saat masih berumur delapan bulan, Hamidah melihat keanehan pada kulit anaknya, yang tidak dilihatnya pada anak–anak lain. Kulit tubuh Fauzi kuning, dengan kondisi badan kurus kering dan hanya tinggal kulit pembalut tulang.
Hamidah bingung, tidak tahu apa penyebabnya. Niat hatinya saat itu ingin memeriksakan anaknya ke dokter, tapi terbentur biaya. Ia benar-benar miskin.
Seiring waktu berlalu, anaknya terus tumbuh. Fauzi kemudian bersekolah seperti anak-anak lain.
Tapi, baru 15 hari belajar di SMP, dia sudah tidak sanggup lagi, karena sakitnya semakin. Perutnya sering sakit. Dan, ketika siksaan ini datang ia tanpa sadar kencing di celananya. Kondisi ini membuat ia minder, lalu memutuskan berhenti sekolah.
Dalam kesehariannya kini, dia sering tidur dan jarang bermain dengan teman sebayanya.
“Kalau selera makan, jangan ditanya. Dia sanggup menghabiskan nasi dua piring. Tapi, apapun yang dimakannya sia-sia, karena apa yang dimakannya tidak menjadi darah. Bahkan, saat dipegang, perutnya keras seperti batu,” kata Hamidah.
Ayah Fauzi, Muhammad Ali, mengaku dirinya juga tak bisa berbuat banyak. Dia hanya nelayan berperahu tradisional. Penghasilannya pas-pasan.
“Saya merasa tidak berguna, karena tidak mampu membahagiakan anak saya. Tapi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak dulu, hingga sekarang, keluarga kami memang sudah miskin. Maklum, pun bukan orang sekolahan,” ujarnya.
Dulu keluarga itu tinggal di gubuk reot. Namun, musibah tsunami yang melanda desanya kemudian membawa hikmah. “Sekarang kami bisa tinggal di rumah bantuan tsunami ini, yang jauh lebih bagus dari rumah kami sebelumnya,” kata Muhammad Ali lagi.
Kemiskinan membuat keluarga ini hanya mampu mencuci darah Fauzi sekali dalam enam bulan, walaupun dokter menganjurkan sebulan sekali Fauzi ganti darah. Tapi, sekarang sudah lebih dari setahun darah Fauzi belum juga ditransfusi, karena terbentur biaya.
Jangankan untuk membeli empat kantung darah setiap bulan, kata ibu Fauzi, untuk makan sehari-hari saja cukup sulit. Syukur-syukur mereka bisa makan sehari tiga kali dan tidak kelaparan.
“Selama ini kami hanya mampu berobat ke Rumah Sakit Cut Meutia (di Lhokseumawe), meski pelayanannya sangat tidak memuaskan. Tapi, hanya sampai di situlah kemampuan kami,” ujarnya lagi.
“Kami mengharapkan uluran tangan dari semua pihak, agar biaya pengobatan anak kami terbantu. Dia sangat menderita. Ketika penyakitnya kambuh, dia pasti akan langsung batuk parah, dengan wajah yang selalu pucat serta kondisi tangan dan kaki yang mengecil. Yang besar hanya perutnya”.
“Tolong kami,” kata Hamidah sambil menangis. [dimas]