MOST RECENT

|

Harapan I Lomba Resensi Aceh Institute


KELANGKAAN referensi buku tentang Aceh tampaknya telah diminilamisir dengan hadirnya buku hasil pemikiran Tengku Ibrahim Bardan atau akrab disapa Abu Panton. Buku ”Resolusi konflik dalam Islam, kajian normatif dan historis perspektif ulama dayah Aceh” itu menjadi pelengkap sekian banyak buku resolusi konflik yang ditulis oleh pakar ilmu politik, sosiologi, dan pakar resolusi konflik dunia.
Konsep menjaga perdamaian ditawarkan secara detail dengan istilah suloh diadopsi dari bahasa arab al-shulh yang berarti perdamaian ini memadukan padanan hadih maja yang berkembang di Aceh dengan hukum islam. Tampak jelas, bagaimana Abu Panton menamsilkan tidak ada cerita balas dendam dalam ajaran Islam. Kerugian akibat konflik dihitung dan diselesaikan secara adat Aceh yang sangat berkorelasi dengan hukum Islam.

”Luka tasipat. Darah tasukat (Luka diukur, darah ditakar)”. Tamsilan ini memiliki arti bahwa, penyelesaian konflik dengan membayar denda pada pelaku. Misal saja, pelaku pembunuhan, lalu ditangkap dan disidangkan dalam hukum adat. Penyelesaiannya dibayar melalui denda. Bukan darah dibayar dengan darah, sebagaimana digembar-gemborkan oleh faham diluar Islam. Padanan hadih maja, dan hukum Islam akan membuat pembaca semakin faham dan mengerti pesan yang disampaikan oleh Abu Panton. Namun sayangnya, dalam buku ini, ulasan tentang Suloh terkesan diulang beberapa kali.

Tampak pada bab pertama, telah dirincikan tentang bagaimana pengertian Suloh dalam ajaran Islam. Disini diuraikan pula penyelesaian konflik, dan konflik yang pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW yaitu antara Habil dan Qabil. Bahkan digambarkan pula bagaimana sikap Rasul dalam melakukan penyelesaian konflik itu.

Namun, anehnya, mengapa pada bab dua, buku ini mengulang kembali dasar filosofi tentang Suloh. Terjadi pemborosan di sini. Idealnya, bab satu dan bab dua ini bisa disatukan. Sehingga gagasannya menjadi lebih jelas dan tidak mubajir dalam hal kertas. Melihat isinya, bisa saja, pada bab dua ini disebutkan kisah perjuangan penyelesaian konflik selama kepemimpinan Rasulullah secara eksternal, diluar konteks keluarga dan pengertian Suloh. Artinya, nama bab dua bisa disebutkan implementasi Suloh semasa kepemimpinan Rasulullah di Mekkah dan Madinah. Lalu, ini akan bersambung pada bab tiga pola mediasi konflik yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah, seperti Umar, Ali dan lain sebagainya. Saya melihat pemilihan judul bab kurang tepat dengan isinya. Sehingga, terkesan menoton dan kurang komprehensif. Ingat dalam buku teks yang mengandung isi religi lebih baik gaya penulisan yang digunakan adalah gaya penulisan populer. Mencari padanan kata yang ringan, sehingga memudahkan pembaca untuk mencerna isi buku ini secara keseluruhan.

Lalu pada bab berikutnya terjadi loncatan luar biasa. Terlihat pada bab lima, dikupas sejarah tentang kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, Samudera Pasai hingga Kerajaan Aceh dipimpin Iskandar Muda. Upaya penyerangan Belanda juga dimasukkan pada bab ini. Kita tau, bahwa perang Aceh melawan Belanda merupakan perang termahal yang dirasakan oleh Belanda. Tidak mudah menundukkan bala tentara Aceh yang dikomandoi umara (raja) dan sejumlah ulama di Aceh. Aceh juga tercatat sebagai perang terlama, dan tak mudah menundukkan tatanan sosial, dan heroisme masyarakat Aceh yang berbaur dengan para pemimpinnya. Uniknya, pengertian ulama tidak masuk dalam kajian bab ini. Padahal, sangat banyak sub judul yang mengupas peran ulama, termasuk cerita tentang kematian ulama-ulama Tiro. Pengertian ulama baru ditemukan pada bab enam, yang membahasa tentang peran ulama dalam kurun waktu 1999-2006 dalam membantu penyelesaian konflik di Aceh. Ini yang saya maksud loncatan besar. Seharusnya, definisi tentang ulama bisa dimasukkan dalam bab lima, yang membahas tentang kinerja ulama pada masa kerjaan dan perang Aceh yang tersohor itu.

Jika pola ini digunakan, pembaca akan dikejutkan dan merasa buku ini tidak sistematis. Soal gagasan pada bab enam, tampaknya Abu Panton sadar benar, bahwa dalam konflik dewasa ini, terlebih lagi konflik yang telah berlangsung 35 tahun lebih di Aceh, diperlukan mediator konflik.

Di dunia mana pun, resolusi konflik yang digunakan saat ini adalah dengan jalur mediator (pihak ketiga). Ini pula yang dilihat oleh Abu Panton. Dalam resolusi konflik kontemporer, hadirnya pihak ketiga untuk menjembatani kedua belah pihak yang bertikai, bertujuan menyatukan persepsi keduanya. Sehingga, jalan tengah perdamaian bisa tercapai. Tidak cukup sekali diskusi dalam mengakhiri konflik dan memberhentikan korban jiwa yang terus berjatuhan di Aceh. Ini yang dikupas Abu Panton dalam fase perundingan damai Helsinki, 15 Agustus 2005 silam.

Marti Ahtisari dibawah bendera Crisis Manajemen Inisiative (CMI) melakukan diskusi berulangkali dengan juru runding GAM dan Republik Indonesia. Tujuannya tak lain, untuk menemukan celah masuk, dan memberikan kesefahaman yang disepakati kedua belah pihak.

Gagasan ini, sangat jelas terlihat Abu Panton banyak mengkonsumsi buku-buku resolusi konflik kontemporer. Tidak mengupas panjang lebar tentang upaya perundingan damai, namun, langsung menohok pada pentingnya peran pihak ketiga dalam sebuah konflik yang berkepanjangan. Kredibilitas pihak ketiga menjadi taruhan apakah sebuah perundingan akan berlangsung sesuai dengan rencana, atau malah menjadi pemicu konflik baru. Membuat salah satu dari dua kelompok yang bertikai semakin marah dan mengobarkan bara perang.

Kita tau, Aceh ini merupakan daerah yang tak pernah luput dari konflik. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), kemudian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang paling fenomenal. Namun, anehnya, pertimbangan penyusun buku ini tentang memasukkan naskah DI/TII dibawah bab perundingan damai dan peran ulama 1999-2006. Saya pikir ini kilas balik yang tidak tepat. Seharusnya, lebih sistematis, konflik DI/TII bisa dimasukkan didalam bab yang mengupas tentang Perang Aceh. Sehingga dari tahun kejadian lebih runtut dan tidak membingungkan.

Lalu, pengulangan kembali terjadi diakhir tulisan, yaitu tentang makna Suloh. Ulasannya juga sama dengan bagian sebelumnya. Ini yang membuat buku ini sedikit boros dan kurang menarik. Disisi lain, halaman depan buku memuat sambutan dari sekian banyak tokoh, juga sangat mengganggu selera membaca saya. Seharusnya kata sambutan, cukup satu orang saja. Jangan terlalu banyak. Selebihnya, bisa memberi komentar singkat sebagaimana tertulis pada cover belakang buku ini. Tidak mesti memuat utuh secara keseluruhan kata sambutan itu.

Terlepas dari kekurangannya, bagi saya, buku ini merupakan buku langka. Ditulis oleh ”kiayai sepuh” Nahdatul Ulama di Aceh. Selain itu, gagasan yang ditawarkan sangat komprehensif, memadukan unsur religi, culture, dan win-win solution tentang konflik Aceh. Tinggal lagi, pada edisi revisi, saya berharap buku ini lebih disusun sistematis, dan disesuaikan isi dan judul bab. Sehingga, lebih banyak gagasan Abu Panton yang bisa dimasukkan dalam buku dengan pendekatan library researc dan interviwe sejumlah tokoh ulama dayah itu.

Meski begitu, buku ini layak untuk dibaca semua pihak, semua kalangan, dan semua masyarakat di Aceh. Ini merupakan buah tinta ulama dayah untuk menjaga perdamaian Aceh. Intinya, tidak berburuk sangka, menyelesaikan persengketaan dengan hukum Islam, dan tidak menaruh dendam antar sesama. Ingat, dendam itu dosa. Mari menjaga damai abadi selamanya. Selamat buat Abu Panton atas sumbangan tinta untuk perdamaian Aceh [masriadi sambo]
Judul
:
Resolusi konflik dalam Islam (Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah)
Penulis:
Tgk. H. Ibrahim Bardan (Abu Panton)
Editor:
Hasan Basri M. Nur
Penerbit:
The Aceh Institute bekerjasama dengan BRR NAD Nias

Publis Oleh Dimas Sambo on 04.47. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Harapan I Lomba Resensi Aceh Institute"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added